Hanah yang berada di situ tersenyum mengejek. Iapun tak menyangka masakan Winda ditolak mentah-mentah. Ia tak mengerti mengapa Jono melakukan hal itu. "Pakailah otakmu, kemana saja kau waktu aku mengalami peradangan di mataku? Kau bahkan tidak tahu makanan apa yang dibolehkan dan juga makanan apa saja yang tidak boleh kumakan. Semua masakanmu adalah alergen, dasar bodoh!" umpat pria itu kesal. Iapun pergi meninggalkan kursi makan setelah minum air putih. Iapun lalu memanggil Hanah. "Hanah, belikan makanan untukku, jangan lupa membeli jus wortel tanpa gula," titahnya pada Hanah yang hanya memberikan lirikan mengejek pada Winda. "Baik, aku akan mencarikan makanan untukmu." Lalu dia mendekati Winda dan berkata, "Dasar tak berguna!"###Di sebuah rumah sakit, Laila sedang menjalani pengobatan awal pasca operasi.Sudah sebulan ia mengonsumsi obat-obatan, terkadang ia merasa bosan karena suasana rumah sakit yang membosankan.Dokter Wiliam yang mengawalnya merasa iba dengan Laila yang
Dokter Wiliam tercenung dengan intimidasi Laila kepadanya. Laila memang gadis yang energik, orang tidak akan tau kalau dia adalah penderita kanker. "Maksudku... kau adalah pasien spesial bagiku, apa kau tidak merasa?" "Ah, itulah sebabnya dokter bahkan mau ikut campur dengan urusan pribadiku?" Laila sangat marah dan iapun segera meninggalkan Dokter Wiliam yang melongo. Sebenarnya, sejak pertama Laila memeriksakan dirinya, iapun merasa Laila adalah gadis yang spesial. Gadis malang ini bahkan masih berjiwa besar dengan kemalangannya. Tidak banyak pasien yang bersikap seperti Laila. Iapun bahkan tidak bisa lagi membedakan apakah ia hanya bersimpati atau berempati atau bahkan menyukai sebagai seorang pria. Setidaknya ia tau, Laila sudah bercerai dengan suaminya yang menunjukkan status mereka adalah sama. Laila membuka laci nakas dan mencari kalung yang diberikan Jono untuknya. Entah mengapa ia merasa rindu dan justru ingin bertemu dengan pria itu. Ia merasa bersalah ta
Seolah bayangan Laila tidak pernah lepas dari kegelapan yang dirasakannya. Seolah keadaan ini membuatnya terfokus hanya pada satu wajah saja. Ya, bayangan Laila sangat jelas dalam ingatannya, dan kalau tidak... maka ia akan berusaha keras untuk mengingatnya. "Kemana sebenarnya engkau pergi, kau seperti sengaja menghilang dariku?" Sementara itu Laila merenung di kamarnya memikirkan kondisi Jono yang sedang kambuh kebutaannya. Rasanya ia ingin berada di dekatnya dan merawatnya seperti dulu. Maka iapun bergegas hendak menemui dokter Wiliam. Ia mengetuk ruang dokter pelan, dan terdengar seseorang memintanya masuk. "Laila?" dokter itu sedikit heran karena Laila menemuinya. "Ada apa? Kau berubah pikiran dan setuju buat refreshing keluar?" "Uhmm, bukan begitu, Dokter. Tapi... bagaimana kalau pengobatan ini kita tunda saja? Akhir-akhir ini aku merasa baik-baik saja. Mungkin..." "Laila, itu tidak mungkin. Sejauh ini kau sudah mengambil langkah yang tepat dan bersemangat melakuk
Nafas Hanah memburu, ingin rasanya menampar mulut Winda dengan keras. Tapi ia berpikir bukan itu caranya menyingkirkan Winda dan dari rumah Jono. Satu-satunya cara adalah membuatnya percaya bahwa dia tidak punya harapan. Laila sudah diceraikan, dan mungkin diapun tidak punya harapan untuk bersama Jono, tapi setidaknya ia bisa mengusir perempuan yang membuat Jono tidak nyaman. "Hei, kamu lebih tidak punya malu, kamu gampangan dan tidak bermoral. Sebenarnya aku juga sudah tau siapa yang menghamili kamu." Hanah sangat terkejut, apakah mungkin ucapan Winda benar? "Rumor itu sudah menyebar di perusahaan, soal bagaimana seorang anak angkat bos besar memiliki skandal dengan..." Plakk!! Hanah sudah tak tahan lagi. Rahasia itu bagaimana bisa ada yang tau? Kalau benar adanya maka hancurlah riwayatnya. Winda memegangi pipinya yang panas karena tamparan Hanah, tapi ia puas karena membuat wanita itu marah. "Dengar, aku tidak akan membiarkan kamu buka mulut atau aku juga akan membo
Hanah sadar, ia tidak boleh mengatakan yang sebenarnya siapa orang yang dilihatnya. Jika ia mengatakan siapa yang dia maksud, maka suasana akan semakin kacau. Jono hampir seperti orang gila saat mencarinya. Hanah yakin sekarang kalau Jono datang ke sini karena Laila juga suka tempat ini. Hal itu bisa dimengerti, kenapa Jono sangat bersemangat untuk datang di tempat ini. "Enggak, ternyata setelah dinikmati, tempat ini cukup asyik," kata Hanah berbohong. Sesekali ia bisa melihat tawa bahagia Laila bersama pria itu. Ada rasa iri, wanita pendiam seperti Laila ternyata lebih pintar mencari target, batinnya. "Apa kau sudah lelah, Hanah?" tiba-tiba Jono merasa Hanah tidak kerasan di tempat tersebut. "Kalau kamu bosan dan lelah maka kita bisa pulang sekarang," ujar pria itu merasa iba. Ia yakin Hanah tidak tertarik dengan tempat semacam ini. "Bukan begitu, tapi aku sudah lapar, bisakah kita mencari makanan yang jauh dari tempat ini? Aku merasa mual di sini," jawabannya. "Hmm,
"Dokter Wiliam yang terhormat, Anda terlalu ingin tau kehidupan pribadi seorang pasien. Hmm?" cibir Laila yang membuat Dokter tampan itu terkekeh. "Lelaki yang menjadi tuanku dulu adalah seorang yang baik hati dan pemurah. Aku hanya merasa sedih dengan kondisinya saat ini, apakah itu menjelaskan rasa penasaran dokter?" Lagi-lagi dokter itu semakin tertawa lebar. "Bener, aku nggak bermaksud mau tau urusan pribadimu, tapi kamu seperti orang yang terhipnotis saat melihatnya," jujur sang dokter. "Jadi aku berpikir..." "Untuk apa banyak memikirkan hal lain yang tidak penting, dia buta dan aku kena kanker, bukankah kita bernasib sama?" Sang dokter tersenyum mengerti sekarang, Laila mungkin merasa down karena mereka mengalami nasib tragis bersamaan. "Oh baiklah, maafkan aku." Untuk beberapa lama mereka akhirnya terdiam tanpa percakapan. Laila juga tersibukkan dengan pikirannya sendiri. Ia sebenarnya sungguh ingin tau, apa sih hubungan mereka, antara Jono dan Hanah sebenarnya. Ke
"Kelemahan?" Laila tak percaya dengan konteks yang dimaksud Wiliam. Menurutnya itu kesempurnaan dan orang menyebutnya perfeksionis. Bukannya itu kelebihan? "Iya, ini kelemahanku. Kau sungguh tak percaya?" "Kenapa kau menganggap ini kelemahan? Tidak banyak orang bisa seperti ini." "Karena inilah yang membuat istriku lari dariku. Jujur aku merasa malu untuk mengatakannya, tapi inilah fakta yang terjadi." Laila merasa bingung, ia masih menatap Dokter itu barangkali ada penjelasan lain. "Dulu aku masih muda, dan aku belum mengerti apa makna saling memahami. Aku anggap istriku orang yang paling menyebalkan." "Karena dia tidak bisa serapi dirimu?" tanya Laila sekaligus tebakan yang mungkin benar. "Ya, aku merasa dia selalu begitu sehingga kami sering bertengkar hanya karena hal remeh." "Sejujurnya aku baru menyadari kalau aku adalah seorang suami yang sangat aneh dan lebih perduli dengan perabotan ini dibandingkan perasaan istriku," katanya lagi. Laila duduk di salah satu ku
Jovan menatap lembut pada wanita yang masih terlihat muda meskipun usianya tidak terpaut jauh darinya. Wanita itu juga menatap penuh tanda tanya atas apa yang baru saja ia dengar. "Jujur, aku samasekali tidak bisa mengingat apapun soal masa lalu. Bukan hanya amnesia, aku bahkan tidak bisa tau dengan pasti siapa diriku yang sebenarnya," kata wanita itu meminta maaf. "Tidak hanya kamu, tapi bahkan beberapa orang mengaku sebagai ayah ibuku dan juga saudaraku tapi aku sungguh tidak mengenal mereka," terangnya lagi. Jovan menarik nafas dalam dan berat. Bagaimana mungkin menceritakan masa lalu sementara wanita ini tidak merasa memiliki masa lalu? "Aku tidak akan memaksa untuk kembali ke masa lalu, itu tidak akan baik untukmu. Akan tetapi bisakah kau percaya dengan orang-orang yang datang padamu?" Wanita itu tertawa ringan seolah mustahil baginya berada dalam bagian hidup yang samasekali tidak diingat atau dikenalnya. Hal itu hanya akan memperberat pikiran dan psikologis yang ada
"Jonathan, bangunlah nak, sebaiknya kalian tidur di kamar kalian dan bukan di sini," bisik ibunya pelan sementara Jonathan masih belum penuh kesadarannya. "Ibu? Oh, tidak, aku ketiduran tadi." "Mana Mirna pengasuh kalian? Kenapa tidak ada di sini untuk menjaga mereka?" "Anu Bu, Ayah Mirna sakit keras sehingga ia harus ke rumah sakit." "Oh, begitu rupanya. Kalau begitu, bangunkan istrimu dan aku yang akan menjaga anak-anak malam ini." Jonathan sedikit malu, tapi tentu saja itu yang diharapkan. "Baik, Bu, aku akan membangunkan Meena terlebih dahulu." "Baik, bangunkan dia dan aku akan menyiapkan botol susu untuk anak-anak." Setelah ibunya pergi, Jonathan mendekati Meena yang terlelap sementara Juan masih menyusu di tubuhnya. Perlahan iapun mengusap puncak kepala Meena dengan lembut lalu menyentuh pipinya. "Sayang, kamu mau bangun apa enggak?" panggil Jonathan dengan terus membelai pipinya. "Hah? Eh, Jonathan?" "Iya, ini aku, suamimu." "Ya Tuhan, aku lupa. Aku hampir terkejut
Winda berjalan mendekati dengan jantung berdetak hebat. Rasa malu bercampur marah seorang membayang di wajahnya. Akan tetapi ini adalah akhir dari perjalanan yang harus ia lakukan. Setelah semua ini, ia akan pergi menjauh dari pria pujaannya ini. Meena melihat wajah Winda yang tertunduk dalam membuatnya kasihan. "Winda..." "Selamat atas pernikahan kalian, Meena. Semoga kalian bahagia." Jonathan hanya diam melihatnya sementara Hanah melihatnya dengan wajah kesal. "Kamu tau sekarang, seorang lelaki itu tidak akan memaafkan perempuan yang berselingkuh, apa kamu mengerti sekarang?" Hanah berbicara blak-blakan, membuat Winda semakin sedih. "Maafkan aku atas semuanya. Aku sungguh minta maaf," wajah Winda kemerahan menahan air mata. Jonathan berharap penyesalan itu memang benar-benar ada pada wanita ini.Setelah mengatakannya Winda kemudian membalikkan tubuhnya untuk pergi dari sana.Meena sedikit merasa bersalah atas kejadian itu. Iapun tak mengira akan seperti ini akhirnya."Aku mer
Indriana menerimanya, akan tetapi telapak tangannya sudah penuh keringat dingin. Ia merasa inilah yang ia butuhkan selama ini. Sebuah bukti nyata yang bisa mengembalikan ingatannya pada masa itu. Jonathan membiarkan Indriana dalam pikirannya sendiri. Ia terus mencoba banyak hal untuk membantu Indriana pulih. Wanita itu terus membuka album dan melihat apa yang ada di sana. Entah mengapa dadanya bergemuruh hebat saat melihat wajahnya berada di setiap lembar foto di sana. "Aku tak menyangka memiliki kenangan yang begitu indah seperti ini." Indriana melihat sendiri betapa indah senyum yang ia miliki dahulu. Senyum seorang wanita yang penuh kebahagiaan. Pada foto pernikahan itu iapun bisa menyaksikan tatapan matanya yang mencintai Jovan. "Ini adalah pernikahan kita?" tanya Indriana takjub. Jovan hampir menitikkan air matanya karena sangat sedih saat ini. Semua kebahagiaan yang pernah mereka miliki bersama menghilang begitu cepat. Karena tiga bulan setelah itu Indriana meng
Meena terpaksa mencobanya karena permintaan Indriana dan cincin itu sangat pas di jarinya. "Itu sangat pas sama kamu, Meena." Meena mengedikkan bahunya, ia masih tak mengerti. "Kalau begitu, aku akan menikahimu saja, apakah kamu bersedia?" Meena melotot tajam, jadi benar Jonathan sedang bermain-main? "Jonathan, apa maksudmu?" "Ayah, ibu... sebenarnya wanita itu adalah Meena. Wanita yang kusukai adalah Meena, dan sekarang aku ingin mendengar jawaban dari Meena." Indriana lebih terkejut lagi, ia tak menyangka Meena adalah gadis yang dimaksud Jonathan. "Kamu Serius?" "Tentu saja aku serius, Bu. Aku tau Meena adalah yang terbaik untukku dan juga untuk Juan. Apakah menurut ibu tidak seperti itu?" Indriana menatap Meena tak bisa menahan untuk tersenyum. Tentu saja itulah yang ia harapkan selama ini. "Aku sudah pernah menjodohkan kalian dahulu, tapi kalian tidak menuruti keinginan ibu, hah?" Ya, Jonathan juga ingat waktu itu dirinya menolak mentah-mentah tawaran ibuny
Jovan mendengarkan dengan serius, dia tidak mengerti siapa wanita itu kali ini. "Kalau begitu, perkenalkan dia pada ayahmu ini, ayah senang mendengarnya, Juan membutuhkan seorang ibu, seharusnya kalian cepat menikah saja." Jonathan tersenyum, tidak sulit mendapatkan persetujuan semacam ini bukan? "Lalu bagaimana dengan ibu? Apakah ibu setuju kalau aku cepat menikah?" Indriana terdiam, ia tidak terlihat antusias. "Aku tidak yakin wanita seperti apa lagi yang kau pilih sebagai pendamping hidupmu. Tapi aku sudah kehabisan kata-kata untuk membuatmu sadar." Jawaban ibunya membuat Jonathan tidak puas samasekali. "Ibu tidak setuju aku menikah lagi?" "Bukan begitu, Jonathan. Ibu hanya ingin mengenal wanita seperti apakah dia itu. Ibu tentu saja merasa kuatir dengan kisahmu dalam menjalani rumah tangga. Ibu takut kamu terluka lagi." "Ibu, aku tidak seperti ayahku,.dia hanya setia dengan satu wanita saja, bukankah begitu, Ayah?" Jovan dan Indriana tertawa kecil dan sedikit t
Tentu saja itu sangat penting, apakah kamu tidak berniat memberi tau? batin Meena, ia tetap diam tidak mengatakan apapun. "Terserah, kalau menurutmu penting, suatu saat kau pasti akan memberi tau padaku. Tapi sebenarnya... ini cukup berlebihan, aku bahkan tidak berharap kau bertindak sejauh ini. Bagiku, sudah cukup jika kamu mencintaiku." "Kenapa aku merasa wanita tidak seperti itu, Meena? Winda dulu juga begitu, tapi ternyata..." "Lihatlah, kamu masih juga membawa-bawa masa lalu. Aku berharap menjadi wanita yang cukup pintar sehingga tidak terlalu menunggu dan menuntut pemberian seorang laki-laki. Akan tetapi sebenarnya banyak juga kejadian wanita jadi besar kepala kalau sudah menghasilkan uang sendiri. Apakah kamu tidak takut aku menjadi seperti itu?" Jonathan hanya tersenyum tipis dan melangkah pergi, "Lakukan dan tunjukkan sifat aslimu secepat mungkin, Meena. Mungkin suatu hari nanti aku akan mengerti dan memutuskan apakah aku bisa bertahan atau tidak, seperti yang sudah lewat
Ruangan itu sungguh diluar ekspektasinya. Bisa dibilang ruangan yang ditata begitu estetik dengan berbagai macam peralatan mewah. Ada satu meja besar dengan berbagai macam peralatan dan juga manekin dalam berbagai pose. Ada dua buah perangkat laptop dan juga monitor dinding yang besar. Meena bahkan tidak tau kapan ruangan ini di desain dan diubah menjadi seperti ini. "Apakah ini sungguh ruangan milikku?" Meena berbicara sendiri. "Tentu saja, ini adalah hadiah dariku. Kamu suka?" "Tapi... kenapa kau memberikan hadiah semahal ini? Aku...." "Apa yang harus ku berikan untuk wanita yang begitu spesial di hatiku? Aku juga tidak tau apakah ini cukup spesial. Selain itu... kau mungkin sangat kesal kepadaku akhir-akhir ini." "Jadi maksudmu?' "Kamu tidak akan melihatku dari sini, kau bisa fokus bekerja. Haruskah aku membuat area bermain untuk anak kita?" Meena tentu saja sangat terperangah, "Jangan keterlaluan, apa yang akan mereka katakan nantinya?" "Jangan perdulikan merek
Meena menghempaskan dirinya di pembaringan. Ia teringat dengan bagaimana Jonathan bersikeras untuk menikahinya. Egonya setinggi ini untuk menolak tawaran yang dulu begitu ia inginkan. "Aku merasa sangat marah, aku juga bingung harus bagaimana," lirihnya mematut dirinya di cermin. Wajahnya... ia teringat dengan Laila yang begitu dicintai Jonathan. Ia sedikit terganggu karena bisa jadi Jonathan hanya ingin mengabadikan wajahnya demi Laila di sisinya. "Kenapa semua ini membuatku semakin bodoh dan takut?" gumamnya lagi. Adapun Jonathan melakukan hal yang sama di kamarnya. Ia melihat dirinya di cermin dan berkata, "Aku ingin tau dan penasaran, apakah kamu hanya mengoleksi banyak sekali fotoku tanpa tujuan? Seharusnya kau menerimaku karena aku yakin kau membutuhkanku," ujarnya pelan. "Tapi baiklah, kita lihat nanti apa yang akan kau lakukan," ujarnya kemudian. Keesokan harinya Jonathan berangkat bekerja tanpa menjemput Meena. Pria itu bahkan tidak menjenguk Juan pagi ini. "J
"Kau masih tak mengerti? Aku bilang aku akan menjalani hidup ini bersamamu sampai akhir, kenapa kau masih berkeras menolakku?" "Tapi Jonathan..." "Kau menyukaiku, aku ingat sekarang bahwa Wiliam pernah mengatakan padaku bahwa kau menyukaiku. Sayangnya aku tidak pernah memikirkannya." Meena sedikit terkejut. Ia tak menyangka Wiliam mengatakan hal bodoh semacam itu pada Jonathan. "Maafkan aku karena keadaan tidak memungkinkan bagiku pada waktu itu. Kau tau aku menyimpan rasa bersalah karena Laila juga tidak pernah mendapatkan cinta dariku saat dia menjadi istriku. Aku hanya seorang lelaki dingin dan bodoh." "Aku membuatnya menderita dan pergi dari rumahku, sehingga dia sangat terpuruk sendirian." "Jadi kau menikah karena penyesalan?" tanya Meena penasaran. "Begitulah, dia sebenarnya menyukaiku sebelum ingatannya hilang," ujarnya. "Tapi pada akhirnya saat dia menemukan cinta itu, semuanya sudah terlambat." Meena terdiam memikirkannya, akan tetapi hatinya masih dipenuhi ke