Kedua netra Diara masih membola dengan begitu lebar, ia begitu shock melihat apa yang ada dalam ponselnya.Ketika ia baru saja membuka ponsel untuk memesan makanan via online, hal tersebut tidak sempat ia lakukan karena sudah lebih dulu melihat begitu banyaknya notifikasi dari akun sosial medianya. Diara belum membukanya, tapi ia sudah membaca beberapa dari baris bar notifikasi.Isinya berupa kalimat kasar penuh caci maki yang ditujukkan untuknya. Sama sekali ia tidak mengenal orang-orang yang mengirimkan kalimat penuh cacian itu. Siapa mereka? Diara tidak tahu. Tapi mengapa mereka begitu tega menghinanya?Baru saja Diara ingin mencari tahu dengan mengklik dan menelusuri akun-akun tersebut, namun hal itu kembali ia urungkan, karena lebih dulu menerima sebuah pesan dari Rianti.Diara lantas lebih dulu membuka pesan dari sahabatnya itu.[Lo liat ini!] isi pesan dari Rianti, kemudian wanita itu mengirim sebuah video. Diara lantas mengklik dan melihatnya.Video itu ternyata berisi adegan
Semestinya hari ini Diara lalui dengan bersenang-senang bersama Steno seperti hari-hari kemarin, bahkan bisa lebih dari itu karena seharusnya seharian ini Steno berada di apartemen terus.Semua rencana dan niat yang sudah Diara susun di kepala mengenai apa yang akan ia lakukan seperti berbelanja kebutuhan dapur di supermarket, dan juga mengenai usaha agar cepat mendapat seorang bayi--harus musnah dan melebur begitu saja, seperti debu yang tertiup angin. Hilang tak tersisa.Setelah mendapat panggilan dari Yugo, Steno lekas meluncur entah ke mana? Lelaki itu hanya berkata bahwa akan berusaha semaksimal mungkin untuk bisa mempertahankan semuanya.Diara tidak tahu bagaimana caranya? namun ia cukup bersyukur karena meski dalam keadaan kacau seperti ini, Steno masih tetap ingin mempertahankan dirinya. Lelaki itu juga masih bersikap lembut dengan mencium keningnya ketika pergi tadi.Sekarang Diara berada di apartemen ini sendiri berteman sepi. Ia bosan, namun ia tidak berani untuk melihat po
"Apa!" Rianti memekik tidak percaya. "Sekarang mana hape lo?"Diara menunjuk pada ponselnya yang teronggok di lantai itu--masih di posisi yang sama ketika ia lempar dengan keras. Diara tidak tahu keadaan ponsel itu pecah atau mungkin malah sudah rusak? Ia tidak peduli.Rianti melangkah ke arah ponsel lalu mengambilnya. Terlihat gadis itu tengah mengutak-atik sembari berjalan mendekati Diara lagi. Jari-jari tangan Rianti masih sibuk mengutak-atik ponsel, sepertinya sih ponsel Diara tidak rusak dan masih berfunsi dengan baik. Ah tidak tahulah, Diara tidak ingin memastikannya. Ia sungguh trauma pada ponsel itu, agaknya setelah ini akan ia buang saja ponsel itu."Chat ini jangan di hapus dulu, ini bisa lo pake buat nyari tahu siapa orang dibalik semua ini." Kata Rianti."Gak usah, buang aja. Gue udah tahu kok siapa orangnya. Ya kalo bukan anaknya Mas Steno, berarti istrinya. Bisa jadi juga Lola." Jelas Diara, memberitahu kecurigaannya. Ya me
Diara tidak tahu kenapa kesialan seolah tidak mau terlepas dari dirinya. Melekat begitu kuat dan selalu berdampingan dengan hidupnya. Bagaimana Diara tidak berpikir demikian? Jika baru saja ia menyesap kebahagiaan secuil, tapi semua itu harus kembali terenggut.Saat di mana ia yakin bahwa kebahagian yang ia rasakan beberapa saat lalu, akan berlangsung dalam jangka waktu lama. Namun agaknya hal tersebut hanyalah angan-angan dirinya semata. Semuanya, semakin hari terus terkikis dan menghilang habis tanpa menyisakan bagian kecilnya sedikitpun.Kali ini ia memang tidak ditinggalkan, tidak dicampakkan seperti sebelumnya. Steno sampai detik ini masih membersamai Diara. Namun itu hanya raganya saja, sedangkan jiwanya entah ke mana.Kesehatan Steno semakin hari semakin memburuk bersamaan dengan memburuknya segala yang lelaki itu punya. Harta, jabatan, kekuasaan, serta citra baik yang selama ini melekat dalam diri Steno, hancur hanya dalam waktu singkat.Laki-laki tua yang Diara kagumi karena
Steno tengah mengusap-usap lembut kepala Diara membuat gadis itu merasakan gelenyar nyaman yang terus merambat memenuhi suasana hatinya yang semakin membaik. Sungguh Diara tidak ingin kehilangan pria itu."Makasih ya, kamu masih mau menemani Mas. Padahal Mas sudah tidak punya apa-apa lagi." Ucapnya.Diara mengangguk-angguk dalam dekapan Steno. "Aku cinta sama Mas. Cintaku sungguh-sungguh tulus buat Mas."Diara merasakan Steno menciumi puncak kepalanya seraya terus menggaungkan kalimat terima kasih. "Mas gak salah mempertahankan kamu, sayang. Harus dengan cara apa Mas membalas kesetiaanmu ini?"Diara seketika mendongak--beranjak dari posisinya yang sudah cukup lama berada di atas tubuh lelaki tua itu. Diara takut mungkin saja pria itu merasa keberatan karena sudah cukup lama ia menindihnya, walau hanya bagian kepala saja."Asalkan Mas janji mau bertahan, mau sembuh dan bangkit lagi. Itu sudah cukup buatku Mas." Kata Diara.Steno mengulas senyum lebih lebar, tangannya kembali menggapai
"Anh ..."Diara melenguh ketika Steno menyatukan miliknya. Lelaki itu lantas membungkam bibir si gadis yang hanya pasrah di bawah Kungkungannya.Steno menekan lebih dalam hingga seluruhnya tertanam di kewanitaan Diara. Rasa nikmat jelas lelaki itu rasakan, ia semakin bergairah melumat bibir gadisnya."Kamu selalu nikmat, sayang." Steno mengelus rambut Diara, memandang gadis tersebut yang tersenyum menatapnya sayu. Steno cinta, cinta sekali pada gadis yang kini ada di bawah tubuhnya. Lelaki itu merendahkan tubuh lagi lalu membubuhkan kecupan hangat pada keningnya.Ia mencium dengan segenap perasaan. Beberapa saat Steno bangkit, lelaki itu mulai menggerakkan pinggulnya. "Rasanya kok semakin sempit sayang. Punya Mas diremas-remas. Uh.""Ah ..." Diara menarik napas, berusaha menjawab. Memang menjalin obrolan dalam keadaan seperti ini sangatlah tidak disarankan. Namun begitu mampu memantik hasrat semakin besar. "Mas sudah lama tidak memasuki aku. Wajar kalau punyaku menjadi sempit.""Maa
Setelah dua minggu akhirnya Diara bisa merasakan lagi nikmat bercinta dengan Steno. Ia kira tidak akan pernah, sebab melihat kondisi laki-laki tua itu yang seperti mayat hidup.Syukurlah Steno tersadar dan mau bangkit dari keterpurukan. Sekarang yang menjadi tugas Diara adalah untuk terus memberikan lelaki itu semangat agar bisa kembali seperti sedia kala. Yah walau Diara tahu itu pasti sangat sulit.Diara kecup pipi lelakinya sekilas, lalu mendaratkan kepala di dadanya seraya memeluk dari samping. Mereka baru saja menyelesaikan pertempuran alot, omong-omong. "Makasih ya Mas, aku sungguh puas. Mas luar biasa." Dengan tulus ia memujinya. Diara melontarkan pujian tersebut bukan semerta-merta untuk menyenangkan hatinya saja, tapi memang kenyataannya begitu. Ia cukup terkejut, pasalnya dengan kondisi Steno yang belum sepenuhnya pulih, lelaki itu mampu menyeimbangi permainannya. Bahkan dengan usianya yang sudah lanjut, lelaki itu tetap perkasa. Steno memang sungguh luar biasa dan Diara se
Arghhhhh ... Rasanya Diara ingin berteriak sekeras-kerasnya. Lagi? Hanya dalam kurun waktu singkat, kesialan itu kembali menghampirinya.Ia dan Steno sama sekali tidak bisa berkutik, untuk memprotes saja mereka tidak mampu sebab Anne mempunyai bukti penuh atas semua ucapannya.Walaupun Diara meronta sembari bersujud--memohon agar tidak diusir, agaknya hal tersebut tidak akan bisa mengubah keputusan wanita tua itu. Bahkan Steno yang mendadak tidak sadarkan diri setelah mengusir. Wanita itu sama sekali tidak merasa iba. Mungkin hatinya sudah terlampau terluka dan mati karena pengkhianatan yang Steno lakukan. Anne hanya mengizinkan keduanya tetap tinggal di apartemen itu sampai Steno tersadar dan sampai Diara selesai mengemas semua pakaian."Sekarang Mas sudah tidak punya apa-apa lagi. Maafkan Mas sayang, maafkan Mas."Kembali Steno menggaungkan kata maaf pada Diara. Sejak ke luar area apartemen itu, sampai kini mereka berada dalam sebuah taksi, Steno tidak henti mengucapkan kata-kata it
Jadi apa kata yang tepat untuk Diara berikan pada Echa, hm? Munafik 'kah? Ah ya, sepertinya kata itu cukup cocok untuknya.Echa memang munafik! Mengapa Diara bisa berkata demikian? Karena apa yang diucapkan olehnya sangat berbeda jauh dengan apa yang ia lakukan. Echa berucap kukuh ingin bercerai, tapi mengapa ia masih mau melayani suaminya itu di atas ranjang?Diara yakin Echa tidak terpaksa, Diara yakin wanita itu menikmatinya juga. Diara bisa mendengar dari bagaimana cara Echa mendesah semalam. Jelas sekali wanita itu sangat menikmati permainan yang diberikan oleh suami mereka.Dasar wanita plin-plan dan munafik!Setelah mengetahui keberadaan Zaenal, yang ternyata tengah bercinta dengan istri pertamanya. Diara tidak bersikap bar-bar dengan menggedor pintu kamar Echa dan membuat percintaan mereka berhenti. ia justru lebih memilih untuk kembali ke kamar yang ia tempati sendiri.Alasannya bukan karena Diara tidak berani, tapi ia hanya tidak mau membuang-buang energi untuk melakukan hal
Ternyata benar apa yang dipikirkan Diara. Kamar yang menjadi tempat istirahat sementarnnya merupakan kamar yang diperuntukkan untuk pembantu. Dari letaknya yang berada paling belakang saja Diara sudah dapat menebaknya, apalagi ketika ia sudah berada di dalamnya. Luasnya, isinya, semuanya sangat mirip dengan kamar yang dulu pernah Diara tempati ketika ia masih menjadi pembantu. "Ish benar-benar ya, Mas Zaenal tega banget ngebiarin aku tidur di tempat kaya gini. Padahal aku lagi hamil dan kondisiku lagi lemah.Diara tidak terima, tapi tidak bisa juga berbuat banyak untuk protes, karena memang hanya kamar ini saja yang tersisa. Ah, sudahlah untung hanya untuk sementara.Namun karena Diara tidak mau menderita sendirian, dan sebagai penebus rasa kesalnya. Ia terus memaksa Zaenal untuk tidur di sana juga.Awalnya lelaki itu terus beralasan, katanya ranjangnya terlalu kecil takut nanti Diara kesempitan dan tidak nyaman. Zaenal juga memakai alasan udara yang akan menjadi menipis dan pengap
"Dasar wanita mandul menyebalkan!" Diara menggerutu pasalnya Echa tidak mau bertukar kamar dengannya. Wanita itu terus mendebat Zaenal hingga membuat suami mereka pusing dan akhirnya memilih mengalah. Diara tidak terima keinginannya tidak terpenuhi, lantas wanita itu ikut merajut yang membuat Zaenal semakin dilanda pening. Diara masa bodo melihat suaminya yang pusing. Lagipula salah sendiri kenapa malah mengalah dan menuruti istri pertamanya. sudah jelas-jelas yang hamil Diara. jadi seharusnya Zaenal lebih mengutamakan keinginannya bukan istri mandulnya itu. Ceklek! suara pintu terbuka membuat Diara yang terus menggerutu seketika terdiam. Ia melihat ke arah pintu, ternyata itu Zaenal. Sontak Diara membuang pandang ke arah lain. pokoknya ia ingin merajuk sebelum keinginannya terpenuhi. Zaenal menghela napas dengan kasar. Lelaki itu lalu menghampiri istrinya yang tengah merajuk. "Sayang, kamu laper gak? Mau makan apa?" Diara mendecih, wanita itu semakin dilanda kesal karena sang
Perlahan Diara membuka mata, hal pertama yang ia lihat setelah matanya terbuka dengan lebar adalah presensi Zaenal dengan wajah panik.Zaenal sudah melontarkan tanya, mengenai keadaan sang istri, namun alih-alih mendapat jawab, istrinya itu justru tidak mengindahkan dan malah mengedarkan pandangan--menelisik sekitar guna mengetahui keberadaannya sekarang.Diara tidak menemukan apapun yang berbau rumah sakit, aroma khas rumah sakit juga tidak tercium indra penciumannya. Ia mengenali ruangan ini dan ya, ternyata Diara berada di kamarnya sendiri--kamarnya di rumah sang suami.Jadi Zaenal tidak membawanya ke rumah sakit? Ah syukurlah, pasalnya Diara tidak mau menginap lagi di sana. Dan fakta ini sudah cukup menjawab pertanyaan yang sedari tadi bergelindang dalam benak, mengenai keadaannya sendiri. Bukankah sudah jelas membuktikan, bahwa tidak terjadi hal buruk pada dirinya dan kandungannya? Ah iya Diara yakin, pasti ia tidak apa-apa, sebab jika ia kenapa-kenapa ia tidak akan berada di sin
Walaupun Diara tidak keberatan atas keputusan Zaenal yang tidak ingin menceraikan Echa, namun tetap saja ia merasa penasaran dan ingin tahu apa-apa saja yang dikatakan Zaenal pada istri pertamanya itu.Sebagai pihak yang dirugikan dan disakiti, Diara yakin Echa pasti bersikukuh meminta untuk tetap berpisah. Dan sudah pasti juga bukan hal mudah untuk Zaenal membujuk istrinya untuk mempertahankan pernikahan mereka.Awalnya Zaenal enggan untuk menceritakannya, entah kenapa lelaki tidak mau bercerita. Tapi Diara terus memaksa, sehingga mau tak mau Zaenal pun menceritakan semuanya.Zaenal bilang, sebetulnya Echa masih sulit menerima. Tapi Zaenal tidak mau tahu dan tidak mau dibantah, lelaki itu juga sampai harus sedikit memberi ancaman agar Echa tidak berani mengajukan perceraian. Tentang apa ancamannya, Zaenal tidak memberitahukan secara detail, Diara juga enggan untuk bertanya lagi, namun yang pasti Zaenal berhasil membuat Echa menurut.Tapi Diara yakin Zaenal tidak hanya memberikan anca
"Gue kok kasian ya liat istrinya Mas Zaenal." Ucap Rianti, begitu ia beres membantu Diara berbaring dan bersandar di atas kasur, yang mulai hari ini resmi menjadi kamarnya. "Lo yakin gak mau mengurungkan niat?" Diara menatap sang sahabat yang kini duduk di sisi ranjang, kemudian ia gelengan kepala pelan. "Gak. Dia juga tega udah bikin gue dan anak gue celaka. Pokoknya gue mau dia harus tanggung jawab atas perbuatannya!" "Tapi Ra, menurut gue ini terlalu berlebihan. Lagian wajar kalau dia sampe kaya gitu ke lo. Soalnya lo udah ngerebut lakinya. Gue rasa semua istri yang suaminya direbut wanita lain, rata-rata pasti bakal ngelakuin hal yang sama." Ucapan Rianti tersebut membuat Diara terheran, pasalnya baru kali ini sahabatnya itu tidak sepemikiran dengannya. Rianti menentang keinginan Diara. Jujur saja Diara kurang suka sikap Rianti yang seperti ini, gadis itu seolah menyalahkan Diara. Padahal yang awalnya memberikan ide untuk merebut Zaenal dari istrinya adalah Rianti. Namun meng
"Kamu? Mau apa kamu ke rumahku?!" Echa bertanya setelah beberapa saat tadi hanya terdiam.Diara tersenyum kecut seraya berdecih, dalam hati ia membatin. 'Kau boleh bersikap angkuh sekarang, namun sebentar lagi kau pasti akan menangis darah! Huh..'"Aku akan--" Diara baru saja ingin menjawab, akan tetapi Zaenal sudah lebih dulu menghampiri sembari membawa barang-barang milik Diara.Sontak saja hal tersebut menyedot perhatian Echa. Diara bisa menangkap wajah istri pertama suaminya yang sangat kebingungan dengan apa yang terjadi saat ini. Sepertinya Zaenal memang belum menceritakan rencana mereka. Diara menyunggingkan senyum dan hati ia bersyukur. 'baguslah, pasti akan lebih seru lagi.'"Mas!" Dengan wajah yang masih menatap bingung, Echa memanggil suaminya, agaknya wanita itu ingin menuntut penjelasan."Kita bicara di dalam!" Tukas Zaenal tegas.Echa menggelengkan kepalanya. "Tidak! Aku tidak sudi rumahku diinjak wanita murahan ini!" Tunjuknya pada Diara dengan mata yang melotot."Ini r
Akhirnya hari ini Diara sudah diizinkan untuk pulang, setelah tiga hari dirawat. Rasanya sangat senang sekali, apalagi Zaenal menuruti keinginannya untuk tinggal di rumah yang ditempati oleh Echa. Ah Diara sangat tidak sabar, ingin bertemu dengan kakak madunya. Kira-kira bagaimana ya reaksinya nanti? Terkejut? Itu sih sudah pasti, tapi apakah Echa akan mengamuk? Atau mungkin malah pingsan karena saking terkejutnya? Tidak tahulah, pokoknya Diara sudah tidak sabar ingin bertemu. ia sudah tidak sabar ingin segera melihat wajah kekalahannya. Huh pasti sangat lucu sekali, bukan? Diara pastikan kali ini ia menang telak. Buktinya saja selama dirawat di rumah sakit, Zaenal selalu menemaninya, selalu ada di sampingnya. Paling-paling jika pergi hanya untuk urusan pekerjaan yang benar-benar mendesak saja dan tidak bisa diwakilkan oleh orang lain. Perhatian Zaenal sekarang semakin bertambah, ia jadi semakin over protektif. Ketika ia harus pergi, Zaenal akan meminta Rianti untuk menemani. Zaena
"Sstt~" Diara seketika mendesis saat merasakan rasa nyeri itu lagi di bagian perut. Rasanya memang tidak begitu sakit seperti beberapa saat lalu, tapi tetap saja masih terasa sakit juga."Sayang, kamu sudah sadar?" Zaenal semerta-merta menghampiri. Diara tidak langsung menjawab pertanyaan, melainkan matanya mengedar ke seluruh ruangan--meneliti, dan ia baru menyadari bahwa kini dirinya sudah berada di rumah sakit.Ah Diara baru ingat, sepertinya tadi ia pingsan karena dorongan kencang yang dilakukan Echa. Sejurus kemudian matanya membelalak, ketika otaknya mengingat kejadian terakhir itu."Sayang, kamu gak apa-apa 'kan? Apa masih sakit?" Zaenal bertanya lagi, tapi Diara tidak menjawabnya melainkan meraba perutnya dengan panik. Diara takut anaknya gugur. Bisa gawat jika hal itu terjadi. Zaenal bisa saja meninggalkannya karena sesuatu yang mengikatnya sudah tidak ada lagi."Mas! Gimana anak kita? Dia gak gugur 'kan? Dia masih ada di perutku 'kan Mas?" Diara bertanya panik, sungguh ia ta