“Iya, nanti malam kita akan berkencan,” balas cepat Rose dengan senyuman manis menatap Levon.
Fletcher tersulut emosi. Bara apinya di dalam hati Sudah memuncak, tapi kemarahannya itu bukan ditujukan pada Rose, melainkan pada Levon.
“Dia hanya cleaning service!” berang Fletcher berusaha mengingatkan posisi Levon.
“Dia jauh lebih tampan dan baik daripada lelaki brengsek sepertimu!” seru Rose sambil lebih mempererat pegangannya pada tangan Levon. Ekspresi Levon terlihat tidak enak hati dipegang oleh Rose, tetapi batinnya tertawa.
“Hey, sampah! Jika kamu berkencan dengan Rose, maka akan kubunuh dirimu!” cecar Fletcher menatap dengan tatapan iblis pada Levon.
“Ampun, Tuan,” ucap Levon dengan terlihat tegang, lalu menoleh ke arah Rose. “Nona, sepertinya diriku tidak bisa berkencan dengan dirimu.” Levon ketakutan menatap dan memelas pada Rose. Fletcher tersenyum, ia yakin ancamannya itu membuat mereka batal untuk berkencan.
“Jika kamu menyakiti Levon, maka aku akan pergi dari perusahaan ini dengan membawa Levon bekerja di perusahaan lain.” Rose menatap Fletcher dengan nada menantang.
Fletcher kehabisan akal dan pergi dari ruangan Rose dengan perasaan kesal sambil menatap dengan tatapan bahaya penuh ancaman pada Levon.
Setelah Fletcher pergi dari ruangan, Rose berkata pada Levon, “Maafkan aku Lev, aku berkata seperti itu karena aku jengkel pada keangkuhan Fletcher. Aku mau menunjukkan pada dirinya bahwa uang bukan segalanya. Tapi kamu tenang saja, aku akan menepati ucapanku barusan.”
“Maksud, Nona?”
“Nanti malam kita akan kencan di restoran RDO. Disana makanan dan minumannya sangat lezat.”
“Tapi disana harganya sangat mahal, Nona. Gajiku saja tidak cukup untuk membeli satu jenis makanan saja.”
“Tenang, kamu jangan khawatir. Aku yang bayar.”
“Tapi, Nona—”
“Jangan membantah!” sela Rose sambil menatap tajam Levon.
“Baiklah, Nona,” jawab Levon. Kemudian, Rose dan Levon kembali bekerja.
Setelah berkutat dengan pekerjaan, Levon segera pulang kerumahnya, tapi di depan perusahaan, Fletcher menghampirinya. Levon berpikir bahwa Fletcher akan memukulnya.
“Hai teman?” sapa Fletcher dengan suara lembut, tidak seperti biasanya.
“Iya Tuan?” Levon tersenyum.
“Aku meminta maaf padamu atas setiap perilaku burukku padamu,” ucap Fletcher setengah menunduk. Ia memasang wajah sedih penuh penyesalan.
“Tuan, jangan seperti ini. Aku sudah memaafkan Tuan.”
“Terima kasih, teman. Kamu memang orang yang paling baik yang kukenal. Aku menyesal telah berbuat buruk padamu.”
“Tuan, janganlah bersedih. Yang berlalu biarlah berlalu, sekarang kita adalah teman.”
“Terima kasih, teman. Dan sebagai permintaan maaf, aku ingin mengajakmu ke bar nanti malam. Aku akan memberikan kesenangan untukmu disana.”
“Terima kasih, Tuan, tapi nanti malam aku sudah punya janji dengan Nona Rose,” tolak Levon secara halus.
“Ayolah teman. Jika kamu menolak ajakanku, seumur hidupku akan merasa bersalah padamu.” Fletcher memelas.
“Tapi—”
“Apakah kamu tidak menerima permintaan maafku?” Fletcher menyela dan tidak memberikan kesempatan kepada Levon untuk berbicara. Ia terus saja memelas dan mengiba-iba agar Levon mau menerima ajakannya.
“Baiklah, Tuan. Nanti aku akan menelpon Nona Rose untuk menunda kencan nanti malam,” balas Levon sambil menghembuskan napas pelan.
“Ow itu tidak perlu, teman. Aku sendiri yang akan meneleponnya agar Rose tidak salah paham,” respon cepat Fletcher.
“Baik, Tuan.”
“Terima kasih, teman,” jawab Fletcher sambil memeluk Levon yang sebenarnya jijik melakukannya.
“Baiklah, Tuan. Sampai ketemu nanti malam di bar.”
“Oke, jangan sampai telat karena pasti kamu sangat menyukainya. Aku pastikan kesenangan yang kamu dapatkan nanti malam adalah kesenangan yang paling indah dalam hidupmu.” Fletcher melepaskan pelukannya dan tersenyum pada Levon.
“Aku tidak sabar menunggunya, Tuan.”
“Aku juga, persiapkan dirimu,” balas Fletcher tersenyum. Lalu ia meninggalkan Levon dengan kegirangan.
Levon memandang sinis pada Fletcher yang berjalan meninggalkannya. Ia sadar, ini hanya akal-akalan Fletcher untuk menjebak dirinya.
Dua jam kemudian Levon meminta Pulisic untuk mengantarnya ke bar dan menyuruh menunggu di area sekitar bar. Disana Levon disambut dengan suka cita oleh Fletcher yang sudah berada di depan meja bartender, “Selamat datang, temanku. Kesenangan akan dimulai dari sekarang.”
“Terima kasih, Tuan.”
“Buatkan minuman untuk kita berdua!” perintah Fletcher kepada bartender.
“Siap, Tuan.” Si bartender melayani mereka dengan senang hati dan menyodorkan 2 gelas minuman whisky.
“Tuan, aku tidak terbiasa meminum minuman beralkohol,” protes Levon pada Fletcher setelah ia tahu minuman yang dipesan.
“Ayolah, teman! Minumlah demi merayakan pertemanan kita.” Fletcher memelas.
“Baiklah, aku akan meminumnya demi merayakan pertemanan kita.” Levon pun meminum sedikit demi sedikit sampai habis, tubuhnya mulai panas.
“Tambah satu lagi.” Fletcher mengambil gelas Levon dan menyodorkan kepada si bartender.
“Sudah cukup Tuan,” pinta Levon yang sudah terlihat linglung.
“Satu kali lagi!” Fletcher bersikeras. Dan ini terulang lagi sampai lima kali, sehingga Levon merasakan suatu di kepalanya. Ia mulai tidak bisa mengontrol dirinya. Bahkan, Levon meminta lagi.
“Tambah lagi, cepat.” Suara Levon sudah meracau, Fletcher sangat kegirangan.
“Ya tentu saja ... Cepat bodoh turuti kemauan temanku!” titah Fletcher kepada bartender sambil tersenyum lebar menatap Levon yang sudah mabuk.
“Baik, Tuan.” bartender itu juga tersenyum puas, sepertinya ia sudah bekerja sama dengan Fletcher.
Di detik ini pula, tiba-tiba ada seorang wanita cantik berpakaian seksi menghampiri mereka berdua. Ia menyentuh bahu dan turun ke dada Levon dengan sentuhan sensual. Levon sedikit terangsang karena pikirannya sudah dikuasai oleh minuman whisky yang memabukkan. Sementara itu, Fletcher berkedip mata kepada wanita cantik itu sebagai isyarat untuk membawa Levon ke ruangan VVIP yang sudah dipesan.
“Puncak kesenangan akan dimulai, teman. Silahkan bersenang-senang dengan wanita cantik ini di ruangan khusus yang sudah kupesan untukmu,” ucap Fletcher tersenyum menatap Levon yang terlihat mabuk sekali.
Levon sudah dikuasai, sehingga ia menuruti perintah Fletcher. Levon digandeng wanitu itu berjalan menuju ruangan yang dimaksud. Berberapa langkah, Levon berhenti dan menoleh ke belakang. “Mengapa Tuan tidak ikut dengan kita berdua?” tanya Levon dengan gerakan yang hampir seperti mau terjatuh. Wanita itu segera mengimbangi dan membopoh tubuh Levon agar tidak terjatuh.
Fletcher menyadari bahwa Levon sudah mabuk berat, ia tertawa lepas sebagai pertanda kemenangan, “Kesenangan ini hanya milikmu, sedangkan aku ....” Fletcher tersenyum dan menghentikan ucapannya bagaikan memikirkan sesuatu.
“Ya, Tuan? Marilah ikut bersenang-senang denganku,” ajak Levon kepada Fletcher sambil melirik wanita cantik yang menempel disampingnya.
Fletcher menyeringai jahat memainkan bibirnya. “Ow tidak Levon, aku akan bersenang-senang dengan wanitaku sendiri.”
“Dimana dia, Tuan?” tanya Levon, tetapi Fletcher tidak menjawab dan memberi isyarat kepada wanita itu untuk segera membawa Levon pergi dari hadapannya.
Setelah Levon berbalik badan dan berjalan, Fletcher menatap tajam Levon dan menyeringai jahat, “Wanitaku sekarang berada di retoran dan sedang menungguku. Aku akan bersenang-senang dengannya. Sementara dirimu ... malam ini akan bersenang-senang dengan wanita jal*ng itu. Ini sekaligus malam terakhirmu untuk bersenang-senang, karena setelah ini dirimu akan tamat.”
“Selamat masuk di perangkapku, Levon,” perangai Fletcher sambil berdiri dan tertawa sepuasnya.
Berselang beberapa menit, Levon dan wanita itu sudah berada di ruangan VVIP dan menuntun Levon menuju kasur. Kurang beberapa langkah, Levon mendorong keras wanita itu sampai terpental ke atas kasur.“Hei pemuda tampan, bersabarlah dan jangan bermain kasar,” ketus wanita itu kesakitan.“Siapa namamu, wanita jal*ng?” tanya Levon mempertebal ucapannya.“Brenda.”“Oke, Brenda. Malam ini kamu milikku!” seru Levon dengan tatapan menyeramkan sambil berjalan menghampiri Brenda dan menjambak rambutnya.“Sakit, Tuan. Jangan bermain kasar!” pinta Brenda menahan sakit.“Bukankah kamu sudah dibayar oleh Fletcher? Jadi aku berhak atas dirimu dan sesuka hatiku melakukan apa saja.”“Anda sangat mabuk be—berat,” rintih Brenda karena Levon semakin menekan rambutnya.Levon membanting tubuh Brenda, “Mabuk ataupun tidak, itu bukan urusanmu!” seru L
“Aku membicarakanmu, bajingan!” kesal Rose pada Fletcher sambil mengeraskan suara speaker hp yang sedang memutar isi rekaman video. Lalu, Rose menyodorkan hp itu pada Fletcher.“Apa? Tidak mungkin.” Fletcher terkejut setengah menahan malu setelah tahu rekaman video itu bukan Levon dan wanita jal*ng, melainkan video p*rno. Semua pengunjung yang mendengar, menertawakan Fletcher.“Diam!” teriak Fletcher sambil mematikan hp itu. Fletcher menatap tajam Levon sambil menelepon seseorang.“Kau salah mengirim video, sialan!” umpat Fletcher pada sesorang yang diteleponnya.“Maaf Tuan, sepertinya ada yang menghack isi rekaman itu,” jawab seseorang yang ditelepon Fletcher.“Bangsat!” kesal Fletcher sambil mematikan teleponnya dan menghampiri Levon penuh amarah.“Siapa dibalik semua ini, Sampah? Siapa yang kau suruh untuk menghack isi rekaman video bejatmu bersama wanita
“Ya...?” Rose tidak mengedipkan mata menatap Levon. Ia tidak sabar menunggu jawaban dari Levon.“Saya hanya menebak saja sosok Tuan Leo, setengah memberikan sedikit ancaman kepada Tuan Ethan agar sikapnya tidak semena-mena... tapi mereka justru tertawa dan mengangap ucapanku sebagai lelucon. Saya memang bodoh, tidak pandai mengarang cerita,” jelas Levon menyengir sambil memiringkan kepala menyipitkan mata.Rose menghela napas dan beberapa detik kemudian, ia tertawa sambil menepuk paha Levon, “Rupanya kau sedikit berani juga, Lev. Kau harus belajar lagi untuk meyakinkan sesorang bahwa ucapanmu itu fakta.”“Hehehe”“Aku tahu, kau melakukannya karena dirimu merasa kesal dan—” Rose tiba-tiba berhenti berkata dan bagai mikir seharusnya ia tak mengatakan ini pada Levon.“Dan selalu dihina oleh orang lain ... saya sudah terbiasa dengan itu,” sambung Levon tersenyum menatap
“Kau ...?” Rose dan Levon terperangah melihat kehadiran Fletcher, tanpa disadari ia sudah ada di meja makan sebelah.“Dasar Sampah tidak berguna! Bisanya hanya mengkhayal ... Mana mungkin orang miskin sepertimu bisa datang ke ruangan bawah tanah? Alam mimpi pun tidak sudi menerima orang kotor sepertimu!” sindir Fletcher di tempat duduk meja makannya. Ia tertawa sinis pada Levon.“Mengapa kau mengikuti kami, bajingan?” Rose spontan berdiri dan melotot pada Fletcher. Hal itu membuat para pengunjung melirik ke arah mereka.Fletcher berdiri menghampiri mereka, “Duduklah sayang ... Aku mengikutimu karena ingin menjagamu dari niat tangan kotor itu,” pungkas Fletcher lembut sambil melirik Levon dengan mata menyempit.“Ayo kita pergi dari tempat ini, Lev,” kesal Rose pada Fletcher sambil menarik tangan Levon, tetapi Levon tidak berdiri menuruti kemauan Rose.“Nona, makanannya dihabiskan dulu
“Maafkan aku, Rose. Maafkan jika pertanyaanku menyinggung perasaanmu.” Levon langsung menunduk dan mengatupkan tangan di depan dada. Rose terlihat marah, tetapi detik berikutnya berubah tertawa keras sampai memegangi perut, “Hahaha kau lucu, Lev. Kau seperti mobil tanpa rem.” “Hehehe.” Levon hanya bisa menyengir sambil menggaruk kepala. “Oke! Berhubung kau bertanya banyak sekaligus dengan super cepat maka kujawab juga dengan super cepat ... nama Papaku, Frankie. Nama Mamaku, Evelyn. Papa mempunyai perusahaan industri kimia di Washington. Dan mereka tinggal di rumah Washington agar lebih dekat dengan perusahaan. Seminggu sekali, Papa dan Mama mengunjungiku kesini.” Rose membalas Levon dengan menjawab pertanyaan dengan super cepat. “Oke! Kalau Papamu punya perusahaan, mengapa Rose tidak bekerja disana?” Levon tak mau kalah, ia bertanya lagi dengan super cepat. “Karena aku ingin mandiri dan untuk mencapai terget hidup.” Rose masih men
Keesokan hari, Levon berangkat ke kantor dengan peran seperti biasa. Levon langsung pergi menuju ruangan cleaning service untuk mengganti pakaian lusuhnya dengan seragam khusus cleaning service.Saat Levon membuka loker pakaian miliknya, ia kaget dan tak percaya. Di dalam loker ada jam tangan mahal merk Rolex. Beberapa detik, kekagetan Levon berubah menjadi sengiran, “Kau masih ingin bermain denganku? Sepertinya aku harus memberikan pelajaran padamu.” Yang dimaksud Levon adalah Fletcher. Ia tahu, jam tangan mahal yang ada di loker pakaian adalah milik Fletcher. Otak Levon bekerja, ia mengerti jam tangan ini dijadikan alat untuk menjebak dirinya.“Kau licik, Fletcher. Dan sedikit pintar,” gerutu Levon menyeringai sambil mengambil jam tangan.Bersamaan dengan itu, Fletcher, Jackson, dan beberapa staf lainnya datang ke ruangan Levon.“DASAR MALING!” teriak Fletcher menatap marah pada Levon yang sedang mem
“Coba dipercepat sedikit!” pinta Rose terus menerus mengetukkan jari pada meja komputer.“Baik, Nona.” Ronald mengangguk dan mempercepat rekaman cctv.“Stop!” perintah Rose melebarkan mata ketika isi rekaman menunjukkan seseorang yang mencurigakan.Orang yang dimaksud adalah Jackson. Ia mengendap-endap penuh hati-hati memasuki ruangan cleaning service. Di tangan Jackson terlihat sedang memegang sebuah jam tangan.“Tuan Jackson?” semua orang mulai bertanya-tanya keheranan pada Jackson.“Orang itu bukan aku!” kilah Jackson ragu-ragu membuka mulut dan kaki bergerak-gerak tidak tenang.“Untuk memperjelas, coba di zoom, Tuan,” pinta Levon dengan pandangan tidak terlepas dari layar komputer yang berisi rekaman cctv di depan pintu cleaning service.“Kamu benar, Lev. Cepat, Tuan Ronald!” Rose mempertegas ucapan Levon.“Baik.&rdqu
“Mengapa kau terkejut, Ethan? Tidak ada yang mustahil bagi Tuan Leo. Meski berada di Turki, ia tetap tahu pekerjaan anak buahnya disini!” geram Pulisic mengeraskan rahang memutari Ethan dengan tatapan iblis. “Tuan Leo sangat marah, ada pengunjungnya yang dihina oleh CEO restoran RDO sendiri.”“Ampun, Tuan. Sampaikan permintaan maafku pada Tuan Leo,” balas Ethan memelas sambil menurunkan badannya dan bersujud di kaki Pulisic.“Bukan kakiku yang harus kau cium, Ethan,” respon Pulisic tetap membiarkan Ethan mencium sepatu bersihnya.Ethan mengangkat alis, “Lalu? Siapa Tuan?”“Tuan Leo tidak akan memecatmu, asal kau mencium kaki pengunjung yang kau hina,” jelas Pulisic.Ethan membulatkan mata dan berdiri lagi, “Tidak mungkin, Tuan,” kata Ethan sambil melirik jijik ke arah Levon. Ethan semakin merasa jijik ketika melihat sepetu bekas yang melekat pada kaki Levon. “
Air mata Angelina mengalir deras, menumpahkan semua kesedihannya. Kalimatnya barusan diucapkan secara sadar. Ia siap mati, Jika dengan nyawanya bisa membuat Amelia kembali ke jalan yang Sementara itu, Amelia sangat terkejut. Tanpa dugaannya sama sekali, Angelina mengetahui identaitasnya. “Nona Amelia? Aku Ketty ... Namaku Ketty, bukan Nona Amelia,” ucap Amelia masih belum mengaku. “Sudahlah, Nona. Buka topengmu. Jika kau ingin membunuhku, silahkan saja. Aku tidak akan melawannnya,” kata Angelina pasrah. Amelia mulai cemas. Ia mulai curiga bahwa Angelina datang bersama dengan Levon dan orang-orang kepercayaannya. “Aku bukan Nona Amelia!” teriak Amelia. “Aku Ketty ... Aku memanggilmu kesini untuk menyelesaikan masalahku. Tapi kau justru berpihak pada wanita itu.” Amelia masih mempertahankan penyamarannya. Lalu ia berjalan cepat ke arah sudut pintu. Ia melihat layar pengintai aktifitas di luar, depan dan sekitar kamarnya. Tidak ada siapa-siapa, batinnya. Lalu ia kembali memutar ba
“Sayang sekali, padahal kue ini sangat enak,” ucap Amelia sambil meletakkan kue itu ke wadahnya“Em kalau begitu, makanlah,” kata Angelina setengah mengetes.“Ah aku sudah kenyang ... aku sudah banyak menghabiskan kue ini,” kilah Amelia tersenyum paksa, menutupi rasa kesalnya.“Ow ya, Ketty. Rumahmu dimana?” tanya Angelina.“Hemmm dekat dengan mansion Tuan Leo,” jawab Amelia.“Apa Tuan Leo mengenalmu?” tanya Angelina memancing.“Emmm tidak ... Tuan Leo tidak mengenalku,” kilah Amelia. “ow ya lanjutkan pembahasan yang tadi ... Jadi bagaimana menurutmu? Apa aku harus mengalah?”“Terkadang kita harus mengalah demi kebahagiaan orang yang kita cintai,” jawab Angelina bijak. “Tapi aku tidak sudi wanita iblis itu merebut orang yang aku cintai ... Hanya aku yang pantas mendampinginya, bukan wanita iblis itu,” respon Amelia sedikit emosi. Tatapan tajamnya mulai diperlihatkan pada Angelina. “tunggu ... Apa itu artinya kau mendukung wanita itu merebut pujaan hatiku?” tanyanya.Angelina menghela
“Ya, Tuan.” Angelina mengangguk dengan tatapan serius “aku siap kehilangan nyawa asal Nona Amelia kembali menjadi orang baik. Karena aku memang salah.”Mendengar itu, Levon terharu. Ia menatap Angelina dengan tatapan bangga. Jack dan teman-temannya pun merasakan hal yang sama.“Aku tidak salah memilih calon istri ...” ucap Levon dengan tatapan lembut. Lalu ia mengambil ponsel Angelina. “Aku tidak akan membiarkan calon istriku celaka.”Angelina meneteskan air mata, lalu ia spontan memeluk Levon.“Tuan, aku stress. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku ingin sekali menjadi istri Tuan, tapi disisi lain ... aku kasihan pada Nona Amelia. Aku tidak mau merebut Tuan darinya,” kata Angelina menangis dalam pelukan Levon. Lalu ia melepas pelukannya dan mendongak menatap penuh arti pada calon suaminya itu. “Menikahlah saja dengan Nona Amelia, Tuan.”“Aku menyayangi Amelia. Dia adikku, dan selamanya statusnya tidak berubah ... Sementara kau, Angel. Kau adalah calon istriku,” respon Levon tersenyu
Dengan pakaian khas pria bertopeng, Amelia menunggu di salah satu kamar apartemen British, kira-kira jarak tempuhnya sekitar satu jam dari apartemen Hoston. Amelia sudah menyelipkan sebuah pisau di sela-sela lubang sofa. Ia juga mencampurkan racun di makanan ringan berupa kue keju yang ada di atas meja. “Leo sudah berbohong padaku, Angelina tidak pulang ke Washington.” Angelina sangat marah, ia sudah tidak sabar ingin bertemu gadis itu dan segera membunuhnya. “Aku pastikan hari adalah hari terakhirnya bisa bernapas!” Sementara itu, Jack bergerak cepat setelah menerima pesan dari Levon. Ia melacak nomor ponsel yang diberikan Sang Tuan. “kamar nomor 987,” ucap temannya pada Jack setelah berhasil melacak keberadaan pemilik nomor itu. Jack dan teman-temannya menyusuri setiap lorong, menaiki lift untuk sampai ke kamar teratas yang ada di apartemen British. Salah satu di antara mereka menyamar sebagai cleaning service, namanya Sancho. TOK! TOK! Sancho mengetok pintu kamar Amelia, se
Levon tampak duduk di kursi ruangan makan yang ada di apartemen Hoston. Ia sudah janjian dengan Angelina untuk makan bersama.“Hem dia sangat cantik,” gerutu Levon ketika melihat Angelina datang. Ia memandangi penampilan gadis itu dari atas sampai bawah. Kecantikannya sangat natural.“Tuan sudah menunggu lama?” tanya Angelina sambil menarik kursi makan yang menghadap Levon.“Hemm dua menit yang lalu,” jawab Levon. lalu ia memanggil waitress“Mau makan apa, Angel?” tanya Levon, Angelina pun mengamati daftar menu makanan dan minuman yang ada di hadapannya.“Tuna sandwich, terus minumannya emmm ...lemon tea.”“Dua tuna sandwich, dua lemon tea,” ulang Levon pada waitress yang berdiri di samping meja makan mereka.“Baik, mohon ditunggu.”Angelina terkekeh pelan, “Kenapa Tuan memesan menu yang sama?”“Karena sebent
Amelia turun dari atas dan bepura-pura tidak mengetahui apa-apa. Dengan mengenakan pakaian olaharaga, ia menghampiri mereka.“Hai,” sapa Amelia ramah. “Selamat pagi semuanya.”“Pagi,” jawab mereka bersamaan.“Mau kemana, nak?” tanya Emma perhatian. Sebenarnya ia merasa kasihan dan tidak tidak tega mendengar keputusan Levon mengirim sepupunya itu kembali ke Turki.“Mau olahraga, Anne,” jawab Amelia. “Ya udah dulu, lanjutkan obrolan kalian.”Amelia berjalan ke luar mansion. Ia ingin melarikan diri tanpa naik mobil karena orang-orang kepercayaan Levon ada dimana-mana.Pandangannya mengawasi sekitar jalan. Dirasa aman, ia meyetop taksi yang kebetulan lewat.“Nona Amelia?” tanya supir taksi itu setelah tahu siapa penumpangnya.“Hem antarkan aku ke toko pakaian terdekat,” titah Amelia. “cepat, aku terburu-buru.”“B
“Arg! Sial!” teriak Amelia menghempaskan tubuhnya ke kasur sambil mengacak-acak rambutnya sendiri. Lalu ia berdiri lagi dan mulai merusak barang-barang miliknya di kamar itu.“Leo!” teriaknya lagi penuh emosi. Kali ini ia mengacak-acak sprei kasur. “Apa kau menginginkan aku mati? Kenapa kau tak mencegahku, Leo? Kenapa kau malah mengantar wanita iblis itu pulang?”Angelina sangat marah karena setelah mengirim video itu, Levon justru tidak panik dan berusaha datang menemuinya.“Leo!” teriakannya lebih kencang hingga suaranya serak. “gara-gara wanita iblis itu, kau jauh dariku!”Sementara itu Levon sudah sampai di mansion. Kedatangannya ditemui Emma.“Leo kenapa pulang? Dimana Angel? Bukannya kau mengantarkan Angel ke Washington?” tanya Emma cemas.“Tidak, Anne. Leo mengantarnya ke apartemen Hoston. Sementara waktu dia lebih baik tinggal di sana sampai keadaan di mans
Amelia mengirimkan sebuah video yang memperlihatkan dirinya sedang melakukan aksi percobaan bunuh diri dengan cara memakan serbuk sabun cuci.“Ada apa, Leo?” tanya Emma sekilas melihat perubahan ekspresi wajah Levon.“Hem tidak ada apa-apa, Anne,” kilah Levon. Beruntung ia barusan menekan mute suara di ponselnya.“Hem Anne kira ada sesuatu.”Levon menggelengkan kepala. Lalu pandangannya bergeser ke arah Angelina. “Ow ya, Angel. Aku akan mengantarmu pulang.”“Tidak perlu, Tuan. Aku minta bantuan pada Fred saja,” respon Angelina menolak. Ia berusaha menghindar dari Levon.“Biarlah Levon yang mengantarmu pulang, Angel,” kata Emma.“Tidak perlu ....” Angelina berhenti berbicara ketika Emma menatapnya dengan isyarat dirinya tidak boleh menolak dihantar Levon. “Baik, Anne.”Malam ini aja aku menuruti permintaan Anne. Setelah ini aku akan m
“Nona, jangan lakukan itu.” Yang tadinya Angelina diam seribu bahasa, akhirnya bersuara. Tatapannya penuh rasa bersalah. “Aku tidak akan menerima perjodohan ini. Maafkan aku ... aku gadis yang tidak tahu diri. Seharusnya dari dulu aku tidak hadir dalam keluarga Tuan Leo.” “Jika kau menyadari semua kesalahanmu, pergilah sekarang juga!” bentak Amelia pada Angelina dengan sorot mata tajam. “Jika kau tidak ingin melihatku mati, pergilah sejauh mungkin dan jangan perlihatkan wajahmu lagi! Kalau perlu pindah Negara!” Angelina meneteskan air mata, “Baik, Nona. Aku akan pergi dari kehidupan Tuan Leo. Aku akan menjauh dari Tuan Leo ... Maafkan semua kesalahanku. Sejujurnya aku tidak pernah punya niat merebut Tuan Leo dari Nona.” Angelina pun berlari ke kamarnya dengan tangisan, sedangkan sedari tadi tatapan tajam Levon tetap menyorot pada Amelia. “Menikahlah denganku, Leo. Aku janji akan menjadi istri yang baik untukmu,” ucap Amelia dengan buliran tangisan, me