Levon tersenyum miring, “Jika kalian melapor, Rose pasti mengincar nyawa kalian. Dan mau tidak mau aku harus melindungi kalian, tapi dampaknya mungkin akan buruk. Rose pasti curiga kalau kalian bukan orang sembarangan. Tidak mungkin orang tua dari anak supervisor cleaning service mempunyai pelindung. Rose pasti curiga ada Tuan Leo dibalik semua ini dan ada sesuatu yang harus dia selidiki. Bukan suatu kebetulan jika Tuan Leo selalu menolong Levon dan orang tuanya dari ancaman orang lain.” Levon menjelaskan dengan tatapan serius dan tetap mempertahankan volume suara agar tidak terdengar oleh Rose yang sedang memasak di dapur. Jarak antara ruang tamu dan dapur di rumah sewa ini tidak terlalu jauh. Jika mengeraskan suara, pasti akan terdengar.
“Jadi apa rencana kita, Tuan?” tanya Emma.
“Fletcher sangat mencintai Rose. Dia tidak rela Rose menjadi milikku. Dia akan tetap berusaha memisahkan kami, karena aku sangat yakin Fletcher tidak tahu kalau orang yang membebaskan diri
Para Pengkhianat mulai melaksanakan misi besarnya. Mampukah Levon menggagalkan misi jahat mereka? Ikuti terus ya ceritanya ... Dan jangan lupa vote dan tinggalkan jejak komentar kalian biar Author semakin semangat. Thanks
Setelah makan siang bersama yang diselimuti oleh sebuah canda tawa dan kehangatan sebuah keluarga, Rose izin pulang terlebih dahulu. Ia akan datang lagi nanti malam untuk menjemput Levon dan keluarganya.Ketika Rose benar- benar pergi, Levon langsung memasang wajah serius dan memberikan titah pada Azmir dan Emma untuk menghubungi sebagian orang-orang kepercayaannya agar berkumpul di mansion secepatnya.***Di mansion, lebih dari 100 orang kepercayaan Levon berkumpul di ruangan khusus kedap suara dengan duduk rapi di lantai. Sementara itu, Levon, Amelia, Pulisic, dan keluarga setingannya duduk di sofa menghadap ke arah mereka.“Terima kasih kalian sudah datang dengan cepat di pertemuan mendadak ini. Aku meminta kalian datang kesini agar aku bisa meminta tolong secara langsung pada kalian,” kata Levon memulai pembicaraan dengan sangat santai dan tersenyum sambil mengedarkan pandangan ke semua orang kepercayaannya yang.“Siap! Kami sia
Sebuah mobil pengantin berwarna hitam yang diiringi mobil rombongan lainnya sedang menuju gedung mewah yang terletak di tengah-tengah Kota New York. Di gedung itu sudah penuh dengan karangan bunga ucapan selamat untuk kedua mempelai pengantin.Selamat menikah Azmir Levon dan Elza Rose. Semoga anda mendapatkan cinta dan kebahagiaan seumur hidup.Banyak dari berbagai pihak yang mengirimkan karangan bunga ucapan selamat untuk Levon dan Rose. Banyak orang-orang penting di Negara ini yang hadir ke pernikahan mereka. Media-media ternama juga meliput pernikahan ini, apalagi mengetahui fakta bahwa Elza Rose adalah anak dari pemilik perusahaan insudtri kimia milik Frankie Robert.Dengan balutan gaun pernikahan yang selaras berwarna putih, Levon terlihat gagah menggandenng Rose yang tampak begitu cantik dan anggun. Mereka menyusuri jalan menuju pelaminan dengan melemparkan senyuman kepada para tamu yang datang.“Pernikahan ini seharusnya tidak pernah terjadi,
Amelia dan Pulisic bergerak dengan cepat setelah menerima pesan dari Levon. Mereka menyuruh orang kepercayaan Levon lebih memperketat dan mengawasi pabrik yang ada di New York. Mereka juga datang untuk memantau secara langsung pabrik itu. Saat tiba di pabrik, karyawan yang bekerja shift malam terkejut. Bahkan di antaranya terlihat gelisah. “Bukankah dia kerjanya sift pagi?” tanya Amelia pada Pulisic dengan memberi kode lewat matanya menunjuk salah satu karyawan yang terlihat jelas gerak-geriknya tidak tenang. “Nona benar. Dia pasti anak buahnya Rose,” jawab Pulisic dengan tatapan geram ke arah karyawan itu. Rose mendekati karyawan itu dengan berusaha tetap bersikap santai, Pulisic pun mengikuti dari belakang. “Hei siapa namamu?” sapa Amelia pada karyawan itu. Karyawan itu sedikit gugup, “Brandon ... Nama saya Brandon, Nona.” “Bukankah kau bekerja di pagi hari?” tanya Amelia penuh selidik. “Itu ...S-saya gantian de
“Apakah kau ingin mengatakan sesuatu, Hubert?” Yang tadinya Amelia menatap tajam pada Hubert, kini ia menatapnya dengan tatapan biasa. Amelia berharap Hubert mengakui semua kejahatan Rose. “Saya kecewa ...” Hubert menghentikan ucapannya, ia bagai masih berpikir kalimat selanjutnya yang harus diutarakan. Amelia tersenyum tipis, ia yakin Hubert akan mengungkapkan kejatahan Rose. Pulisic juga memasang telinga lebar-lebar, meski ia masih sibuk menghahajar karyawan itu. “Saya kecewa padanya karena dia sudah berniat ingin memotong salah satu pipa kondensat. Di harus dihukum!” Hubert berteriak menunjuk karyawan itu. Amelia kecewa dengan jawaban yang diberikan oleh Hubert. Amelia melihat mata Hubert penuh kebohongan. “Bukankah itu tugasmu mengawasi karyawan yang ada di pabrik?” tanya Amelia dengan tatapan tajam pada Hubert. Amelia benar-benar kecewa karena Hubert tidak berterus terang. Hubert menoleh dan detik berikutnya menunduk dengan
Levon tersenyum licik saat melihat meja yang ditempati mereka masih tersisa satu kursi kosong. Levon menoleh pada Jack yang ada di sampingnya.“Jack! Bawakan segelas whisky nomor satu untukku. Di meja itu masih ada satu kursi yang kosong. Aku akan berpura-pura mabuk dan duduk di tempat itu. Kau juga harus berakting agar mereka percaya,” kata Levon dengan suara lirih.“Tuan tenang saja, itu keahlianku,” respon Jack. Lalu, ia berjalan memesan segelas whisky dengan dosis alkohol yang paling tinggi.Tak butuh waktu lama, Jack datang membawa segelas whisky dan menyodorkan pada Levon, “Ini, Tuan.”“Terima kasih, Jack.” Levon tidak meminum segelas whisky itu, melainkan hanya berkumur-kumur dan membuangnya kembali ke gelas.Jack mengembalikan gelas itu, lalu mengikuti Sang Tuan dari belakang. Levon mulai berakting dengan berjalan gontai ke arah meja dimana Rose berada.“Halo Tuan dan Nona,&
Rose yang tepat berada di samping Levon, mundur ke sisi meja lainnya karena ketakutan. Ketiga anak buahnya tanpa disuruh mendekat dan siap menghajar pria bertopeng. Rose dan Frankie tidak sadar bahwa pria bertopeng itu adalah Levon. Meskipun terlihat marah, Levon tetap menyamarkan suaranya dengan suara besar sedikit serak. Melihat ketiga orang suruhan Rose mendekat, tatapan mata Levon semakin menyala dengan menggertakkan giginya pada mereka. Namun, itu tak bertahan lama. Di detik berikutmya ia langsung menangis dan meracau kembali. “Aku akan bunuh anjingku karena mereka mengejekku.” Levon meracau dengan menangis sejadi-jadinya, membuat semua orang yang tadinya ketakutan, kini menertawakan Levon. Ketiga orang suruhan Rose pun juga menghentikan langkahnya dan tertawa lepas. Levon langsung duduk kembali dengan kepala ambruk di atas meja. “Dasar, pria gila,” kata Rose dengan senyuman sinis sambil duduk kembali di samping pria bertopeng. Le
Tiga puluh menit kemudian, Levon berpura-pura sudah sadar sepenuhnya. Ia mengangkat kepala dan merentangkan kedua tangannya. Levon juga berpura-pura terkejut, mendapati dirinya duduk di meja bersama dengan orang yang tidak dikenalnya. Ia mengedarkan pandangan ke setiap arah club malam, tidak melihat satu pun pengunjung selain mereka. “Maaf, Tuan, Nona. Pasti aku mabuk.” Levon berdiri dan hendak ingin pergi, tetapi Rose langsung memegang tangannya. “Tunggu, jangan keburu-buru. Duduklah,” pinta Rose dengan senyuman terbaiknya. “Ya, duduklah dulu anak muda,” sambung Frankie menerbitkan senyuman kepura-puraan. Levon menurut, ia duduk kembali dengan memasang wajah cemas, “Apakah aku berbuat masalah saat aku mabuk?” tanya Levon ragu-ragu. “Ow tidak-tidak! Justru kami merasa kasihan dengan hidupmu. Kami sudah mendengar masalahmu. Jadi kami menyuruh pengunjung lainnya pulang hanya demi dirimu,” respon cepat Rose sambil mengusap tangan Le
Pyaaarrrr, pyarrrr, pyaaarrrrr ... Ketiga peluru itu hanya mengenai botol minuman karena secepat kilat Levon menunduk dan berlindung di bawah kolong meja bartender. “Cepat, habisi dia!” titah Rose kepada ketiga anak buahnya sambil menggebrak meja. “Kau akan mati, Gerald!” teriak Rose menakut-nakuti Levon. Ketiga orang itu pun mendekati meja bartender. “Itu akibat jika kau menolak tawaran kami, Bodoh!” teriak Frankie dengan wajah begitu semringah. Dengan kecerdikannya, Levon merangkak menuju sudut meja bartender dan menerjang ke salah satu di antara mereka yang terdekat darinya. Dengan keahlian bela dirinya, Levon berhasil mengecoh satu orang dan mengambil pistol dari tangannya. Ia juga menempatkan orang itu di depan tubuhnya sebagai perlindungan. Dan benar saja, Saat kedua orang lainnya bersamaan menarik pelatuk pistol, peluru itu melesat sempurna di dada temannya. Tak mau membuang kesempatan, Levon memuntahkan peluru ke arah kedua orang itu d