Levon tersenyum licik saat melihat meja yang ditempati mereka masih tersisa satu kursi kosong. Levon menoleh pada Jack yang ada di sampingnya.
“Jack! Bawakan segelas whisky nomor satu untukku. Di meja itu masih ada satu kursi yang kosong. Aku akan berpura-pura mabuk dan duduk di tempat itu. Kau juga harus berakting agar mereka percaya,” kata Levon dengan suara lirih.
“Tuan tenang saja, itu keahlianku,” respon Jack. Lalu, ia berjalan memesan segelas whisky dengan dosis alkohol yang paling tinggi.
Tak butuh waktu lama, Jack datang membawa segelas whisky dan menyodorkan pada Levon, “Ini, Tuan.”
“Terima kasih, Jack.” Levon tidak meminum segelas whisky itu, melainkan hanya berkumur-kumur dan membuangnya kembali ke gelas.
Jack mengembalikan gelas itu, lalu mengikuti Sang Tuan dari belakang. Levon mulai berakting dengan berjalan gontai ke arah meja dimana Rose berada.
“Halo Tuan dan Nona,&
Rose yang tepat berada di samping Levon, mundur ke sisi meja lainnya karena ketakutan. Ketiga anak buahnya tanpa disuruh mendekat dan siap menghajar pria bertopeng. Rose dan Frankie tidak sadar bahwa pria bertopeng itu adalah Levon. Meskipun terlihat marah, Levon tetap menyamarkan suaranya dengan suara besar sedikit serak. Melihat ketiga orang suruhan Rose mendekat, tatapan mata Levon semakin menyala dengan menggertakkan giginya pada mereka. Namun, itu tak bertahan lama. Di detik berikutmya ia langsung menangis dan meracau kembali. “Aku akan bunuh anjingku karena mereka mengejekku.” Levon meracau dengan menangis sejadi-jadinya, membuat semua orang yang tadinya ketakutan, kini menertawakan Levon. Ketiga orang suruhan Rose pun juga menghentikan langkahnya dan tertawa lepas. Levon langsung duduk kembali dengan kepala ambruk di atas meja. “Dasar, pria gila,” kata Rose dengan senyuman sinis sambil duduk kembali di samping pria bertopeng. Le
Tiga puluh menit kemudian, Levon berpura-pura sudah sadar sepenuhnya. Ia mengangkat kepala dan merentangkan kedua tangannya. Levon juga berpura-pura terkejut, mendapati dirinya duduk di meja bersama dengan orang yang tidak dikenalnya. Ia mengedarkan pandangan ke setiap arah club malam, tidak melihat satu pun pengunjung selain mereka. “Maaf, Tuan, Nona. Pasti aku mabuk.” Levon berdiri dan hendak ingin pergi, tetapi Rose langsung memegang tangannya. “Tunggu, jangan keburu-buru. Duduklah,” pinta Rose dengan senyuman terbaiknya. “Ya, duduklah dulu anak muda,” sambung Frankie menerbitkan senyuman kepura-puraan. Levon menurut, ia duduk kembali dengan memasang wajah cemas, “Apakah aku berbuat masalah saat aku mabuk?” tanya Levon ragu-ragu. “Ow tidak-tidak! Justru kami merasa kasihan dengan hidupmu. Kami sudah mendengar masalahmu. Jadi kami menyuruh pengunjung lainnya pulang hanya demi dirimu,” respon cepat Rose sambil mengusap tangan Le
Pyaaarrrr, pyarrrr, pyaaarrrrr ... Ketiga peluru itu hanya mengenai botol minuman karena secepat kilat Levon menunduk dan berlindung di bawah kolong meja bartender. “Cepat, habisi dia!” titah Rose kepada ketiga anak buahnya sambil menggebrak meja. “Kau akan mati, Gerald!” teriak Rose menakut-nakuti Levon. Ketiga orang itu pun mendekati meja bartender. “Itu akibat jika kau menolak tawaran kami, Bodoh!” teriak Frankie dengan wajah begitu semringah. Dengan kecerdikannya, Levon merangkak menuju sudut meja bartender dan menerjang ke salah satu di antara mereka yang terdekat darinya. Dengan keahlian bela dirinya, Levon berhasil mengecoh satu orang dan mengambil pistol dari tangannya. Ia juga menempatkan orang itu di depan tubuhnya sebagai perlindungan. Dan benar saja, Saat kedua orang lainnya bersamaan menarik pelatuk pistol, peluru itu melesat sempurna di dada temannya. Tak mau membuang kesempatan, Levon memuntahkan peluru ke arah kedua orang itu d
Ahhhh ....” Rose meraung saat pria bertopeng sudah pergi. Ia mengibas gelas yang ada di atas meja hingga berjatuhan ke lantai. “Sial, sial. Malam ini sungguh sial. Pria bertopeng itu sudah mengacaukan semuanya. Dia juga sudah membunuh Aron.”Sementara itu Frankie terengah dengan wajah memerah, giginya bergemelatuk menahan rasa sakit. Peluru yang masih menancap di lengannya menjalur ke seluruh tubuh. “Lupakan pria bertopeng itu sejenak, bawa aku ke rumah sakit.”Pemilik club malam ini juga meringis kesakitan, ia menyelonjorkan kakinya di lantai, “Aku juga tidak kuat menahan rasa sakit ini.”“Sebentar, Pa. Aku harus membereskan ini dulu. Malam ini kita terpaksa mengalah, kita tidak boleh melaporkan peristiwa pembunuhan ini kepada polisi. Pria bertopeng itu mempunyai rekaman cctv yang memperlihatkan kejahatan kita.” Rose begitu geram karena pertama kalinya ia kalah dengan seseorang. Lalu di detik berikutnya ia m
Berita tentang peristiwa yang terjadi di pabrik perusahaan LEO Group menjadi trending topic di seluruh Negara. Banyak yang menunggu jawaban mengapa itu bisa terjadi? Apakah banyak para pengkhianat yang berkeliaran disana? Hubert dan beberapa karyawan lainnya sedang di interogasi di ruangan khusus penjara. Dan pada akhirnya ada tiga orang yang mengakui kejahatannya. Mereka adalah petugas pengecekan karyawan pabrik sebelum masuk, petugas pengawas cctv, dan karyawan yang hendak menjalankan aksi memotong pipa kondensat. Ketika ditanya siapa yang menyuruh mereka? Jawabannya adalah mereka sendiri yang ingin menghancurkan pabrik yang berada di New York. Alasan dibalik itu, karena mereka tidak puas dengan jabatan yang sekarang. Berhubung sudah ada tiga orang sudah mengakui kejahatan, karyawan lainnya yang ditangkap dibebaskan sementara. Petugas kepolisian terus menyelidiki kasus ini sampai benar-benar ditemukan bukti yang akurat. ****Hari ini Le
Mendengar jawaban dari Levon, membuat Amelia dan Pulisic terkejut.“Apakah kau tidak bercanda Leo? Sadarlah tujuan awalmu menikahi Rose. Kau Azmir Levon Leonardo, Sang Penguasa yang disegani seluruh dunia. Kau tidak mungkin terpengaruh oleh wanita iblis seperti Rose.” Amelia menggeleng-gelengkan kepala. Ia tak percaya Levon mengatakan itu. Apakah sepupunya itu sudah dikuasai Rose?Tapi itu tidak mungkin! Amelia menjawabnya sendiri dalam hatinya. Levon pasti bercanda dan mengerjai dirinya.“Kau orangnya tidak sabaran, Amelia.” Tatapan serius dari Levon berubah menjadi senyuman indah dan tatapan gemas pada Amelia. “Dengarkan dulu, baru mengocehlah.”“Aku takut saja kau telah ... ah lupakan saja. Aku akan mendengar penjelasanmu, katakanlah,” respon Amelia tidak sabar dan mempertahankan kontak mata drngan Levon.“Aku tidak ingin mereka tamat. Sebelum mereka tersiksa di dalam penjara, aku ingin membe
Saat jam istirahat, Rose pergi ke ruangan Amelia.“Nona! Bisakah kita berbicara sebentar?” tanya Rose pada Amelia yang duduk di kursi kerjanya, sedangkan dirinya duduk di kursi depan meja kerja Amelia.“Ah tentu saja. Lagian ini sudah jam istirahat,” jawab Amelia sambil merapikan beberapa dokumen di atas meja kerjanya. “Ada apa, Rose? Tampaknya kau terlihat gelisah.”“Aku menganggapmu sahabatku. Aku ingin curhat mengenai masalah yang sedang kuhadapi,” ucap Rose menatap Amelia dengan tatapan sedih. Dari tatapannya, Rose sangat membutuhkan teman curhat dan bisa menceritakan semua masalahnya.Amelia memicingkan mata sebentar. Mungkin ini maksud dari Levon, Rose menemuinya untuk menjalankan rencana liciknya. Apa rencana licikmu, Rose? Batin Amelia bertanya-tanya.“Tentu aku adalah sahabatmu, apalagi kita sesama wanita,” respon Amelia mengulas senyuman di bibir. “Janganlah bersedih, Rose.
Rose mempercepat langkah menuju ruangannya dengan tatapan kesal dan penuh kecurigaan pada Levon. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat sosok gagah yang berdiri di depan pintu ruangannya. Sosok itu tak lain adalah suaminya sendiri, Azmir Levon.Levon tersenyum menatap lembut pada Rose, tetapi Rose menatapnya bingung dan bagai mikir. Bagaimana mungkin Levon ada di depan ruangannya?“Hai, Sayang.” Levon membuyarkan lamunan Rose.Rose mendekati Levon dengan tatapan kesal, “Bagaimana kau berada disini, Lev? Aku mencarimu, dan saat kutanya pada karyawan lainnya kau tidak ada di kantor? Kemana kau pergi?” Rose memberondong pertanyaan pada Levon penuh selidik.“Aku? Aku sedang keluar menemui seseorang,” jawab Levon menunduk sambil menghela napas. Ia menampilkan wajah cemas.“Menemui seseorang? Siapa?” tanya Rose penuh penekanan karena Levon tampak terlihat tidak senang menemui seseorang
Air mata Angelina mengalir deras, menumpahkan semua kesedihannya. Kalimatnya barusan diucapkan secara sadar. Ia siap mati, Jika dengan nyawanya bisa membuat Amelia kembali ke jalan yang Sementara itu, Amelia sangat terkejut. Tanpa dugaannya sama sekali, Angelina mengetahui identaitasnya. “Nona Amelia? Aku Ketty ... Namaku Ketty, bukan Nona Amelia,” ucap Amelia masih belum mengaku. “Sudahlah, Nona. Buka topengmu. Jika kau ingin membunuhku, silahkan saja. Aku tidak akan melawannnya,” kata Angelina pasrah. Amelia mulai cemas. Ia mulai curiga bahwa Angelina datang bersama dengan Levon dan orang-orang kepercayaannya. “Aku bukan Nona Amelia!” teriak Amelia. “Aku Ketty ... Aku memanggilmu kesini untuk menyelesaikan masalahku. Tapi kau justru berpihak pada wanita itu.” Amelia masih mempertahankan penyamarannya. Lalu ia berjalan cepat ke arah sudut pintu. Ia melihat layar pengintai aktifitas di luar, depan dan sekitar kamarnya. Tidak ada siapa-siapa, batinnya. Lalu ia kembali memutar ba
“Sayang sekali, padahal kue ini sangat enak,” ucap Amelia sambil meletakkan kue itu ke wadahnya“Em kalau begitu, makanlah,” kata Angelina setengah mengetes.“Ah aku sudah kenyang ... aku sudah banyak menghabiskan kue ini,” kilah Amelia tersenyum paksa, menutupi rasa kesalnya.“Ow ya, Ketty. Rumahmu dimana?” tanya Angelina.“Hemmm dekat dengan mansion Tuan Leo,” jawab Amelia.“Apa Tuan Leo mengenalmu?” tanya Angelina memancing.“Emmm tidak ... Tuan Leo tidak mengenalku,” kilah Amelia. “ow ya lanjutkan pembahasan yang tadi ... Jadi bagaimana menurutmu? Apa aku harus mengalah?”“Terkadang kita harus mengalah demi kebahagiaan orang yang kita cintai,” jawab Angelina bijak. “Tapi aku tidak sudi wanita iblis itu merebut orang yang aku cintai ... Hanya aku yang pantas mendampinginya, bukan wanita iblis itu,” respon Amelia sedikit emosi. Tatapan tajamnya mulai diperlihatkan pada Angelina. “tunggu ... Apa itu artinya kau mendukung wanita itu merebut pujaan hatiku?” tanyanya.Angelina menghela
“Ya, Tuan.” Angelina mengangguk dengan tatapan serius “aku siap kehilangan nyawa asal Nona Amelia kembali menjadi orang baik. Karena aku memang salah.”Mendengar itu, Levon terharu. Ia menatap Angelina dengan tatapan bangga. Jack dan teman-temannya pun merasakan hal yang sama.“Aku tidak salah memilih calon istri ...” ucap Levon dengan tatapan lembut. Lalu ia mengambil ponsel Angelina. “Aku tidak akan membiarkan calon istriku celaka.”Angelina meneteskan air mata, lalu ia spontan memeluk Levon.“Tuan, aku stress. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku ingin sekali menjadi istri Tuan, tapi disisi lain ... aku kasihan pada Nona Amelia. Aku tidak mau merebut Tuan darinya,” kata Angelina menangis dalam pelukan Levon. Lalu ia melepas pelukannya dan mendongak menatap penuh arti pada calon suaminya itu. “Menikahlah saja dengan Nona Amelia, Tuan.”“Aku menyayangi Amelia. Dia adikku, dan selamanya statusnya tidak berubah ... Sementara kau, Angel. Kau adalah calon istriku,” respon Levon tersenyu
Dengan pakaian khas pria bertopeng, Amelia menunggu di salah satu kamar apartemen British, kira-kira jarak tempuhnya sekitar satu jam dari apartemen Hoston. Amelia sudah menyelipkan sebuah pisau di sela-sela lubang sofa. Ia juga mencampurkan racun di makanan ringan berupa kue keju yang ada di atas meja. “Leo sudah berbohong padaku, Angelina tidak pulang ke Washington.” Angelina sangat marah, ia sudah tidak sabar ingin bertemu gadis itu dan segera membunuhnya. “Aku pastikan hari adalah hari terakhirnya bisa bernapas!” Sementara itu, Jack bergerak cepat setelah menerima pesan dari Levon. Ia melacak nomor ponsel yang diberikan Sang Tuan. “kamar nomor 987,” ucap temannya pada Jack setelah berhasil melacak keberadaan pemilik nomor itu. Jack dan teman-temannya menyusuri setiap lorong, menaiki lift untuk sampai ke kamar teratas yang ada di apartemen British. Salah satu di antara mereka menyamar sebagai cleaning service, namanya Sancho. TOK! TOK! Sancho mengetok pintu kamar Amelia, se
Levon tampak duduk di kursi ruangan makan yang ada di apartemen Hoston. Ia sudah janjian dengan Angelina untuk makan bersama.“Hem dia sangat cantik,” gerutu Levon ketika melihat Angelina datang. Ia memandangi penampilan gadis itu dari atas sampai bawah. Kecantikannya sangat natural.“Tuan sudah menunggu lama?” tanya Angelina sambil menarik kursi makan yang menghadap Levon.“Hemm dua menit yang lalu,” jawab Levon. lalu ia memanggil waitress“Mau makan apa, Angel?” tanya Levon, Angelina pun mengamati daftar menu makanan dan minuman yang ada di hadapannya.“Tuna sandwich, terus minumannya emmm ...lemon tea.”“Dua tuna sandwich, dua lemon tea,” ulang Levon pada waitress yang berdiri di samping meja makan mereka.“Baik, mohon ditunggu.”Angelina terkekeh pelan, “Kenapa Tuan memesan menu yang sama?”“Karena sebent
Amelia turun dari atas dan bepura-pura tidak mengetahui apa-apa. Dengan mengenakan pakaian olaharaga, ia menghampiri mereka.“Hai,” sapa Amelia ramah. “Selamat pagi semuanya.”“Pagi,” jawab mereka bersamaan.“Mau kemana, nak?” tanya Emma perhatian. Sebenarnya ia merasa kasihan dan tidak tidak tega mendengar keputusan Levon mengirim sepupunya itu kembali ke Turki.“Mau olahraga, Anne,” jawab Amelia. “Ya udah dulu, lanjutkan obrolan kalian.”Amelia berjalan ke luar mansion. Ia ingin melarikan diri tanpa naik mobil karena orang-orang kepercayaan Levon ada dimana-mana.Pandangannya mengawasi sekitar jalan. Dirasa aman, ia meyetop taksi yang kebetulan lewat.“Nona Amelia?” tanya supir taksi itu setelah tahu siapa penumpangnya.“Hem antarkan aku ke toko pakaian terdekat,” titah Amelia. “cepat, aku terburu-buru.”“B
“Arg! Sial!” teriak Amelia menghempaskan tubuhnya ke kasur sambil mengacak-acak rambutnya sendiri. Lalu ia berdiri lagi dan mulai merusak barang-barang miliknya di kamar itu.“Leo!” teriaknya lagi penuh emosi. Kali ini ia mengacak-acak sprei kasur. “Apa kau menginginkan aku mati? Kenapa kau tak mencegahku, Leo? Kenapa kau malah mengantar wanita iblis itu pulang?”Angelina sangat marah karena setelah mengirim video itu, Levon justru tidak panik dan berusaha datang menemuinya.“Leo!” teriakannya lebih kencang hingga suaranya serak. “gara-gara wanita iblis itu, kau jauh dariku!”Sementara itu Levon sudah sampai di mansion. Kedatangannya ditemui Emma.“Leo kenapa pulang? Dimana Angel? Bukannya kau mengantarkan Angel ke Washington?” tanya Emma cemas.“Tidak, Anne. Leo mengantarnya ke apartemen Hoston. Sementara waktu dia lebih baik tinggal di sana sampai keadaan di mans
Amelia mengirimkan sebuah video yang memperlihatkan dirinya sedang melakukan aksi percobaan bunuh diri dengan cara memakan serbuk sabun cuci.“Ada apa, Leo?” tanya Emma sekilas melihat perubahan ekspresi wajah Levon.“Hem tidak ada apa-apa, Anne,” kilah Levon. Beruntung ia barusan menekan mute suara di ponselnya.“Hem Anne kira ada sesuatu.”Levon menggelengkan kepala. Lalu pandangannya bergeser ke arah Angelina. “Ow ya, Angel. Aku akan mengantarmu pulang.”“Tidak perlu, Tuan. Aku minta bantuan pada Fred saja,” respon Angelina menolak. Ia berusaha menghindar dari Levon.“Biarlah Levon yang mengantarmu pulang, Angel,” kata Emma.“Tidak perlu ....” Angelina berhenti berbicara ketika Emma menatapnya dengan isyarat dirinya tidak boleh menolak dihantar Levon. “Baik, Anne.”Malam ini aja aku menuruti permintaan Anne. Setelah ini aku akan m
“Nona, jangan lakukan itu.” Yang tadinya Angelina diam seribu bahasa, akhirnya bersuara. Tatapannya penuh rasa bersalah. “Aku tidak akan menerima perjodohan ini. Maafkan aku ... aku gadis yang tidak tahu diri. Seharusnya dari dulu aku tidak hadir dalam keluarga Tuan Leo.” “Jika kau menyadari semua kesalahanmu, pergilah sekarang juga!” bentak Amelia pada Angelina dengan sorot mata tajam. “Jika kau tidak ingin melihatku mati, pergilah sejauh mungkin dan jangan perlihatkan wajahmu lagi! Kalau perlu pindah Negara!” Angelina meneteskan air mata, “Baik, Nona. Aku akan pergi dari kehidupan Tuan Leo. Aku akan menjauh dari Tuan Leo ... Maafkan semua kesalahanku. Sejujurnya aku tidak pernah punya niat merebut Tuan Leo dari Nona.” Angelina pun berlari ke kamarnya dengan tangisan, sedangkan sedari tadi tatapan tajam Levon tetap menyorot pada Amelia. “Menikahlah denganku, Leo. Aku janji akan menjadi istri yang baik untukmu,” ucap Amelia dengan buliran tangisan, me