“Baru pulang, Leo?” tanya Emma.
“Iya, Anne,” jawab singkat Levon sambil menghampiri Emma yang bersantai di sofa ruang tengah, mansion.
“Terus Angelina masih ada di rumah temannya?” tanya Emma.
“Ow Angel belum pulang, Anne?” tanya balik Levon sambil mendaratkan tubuhnya di samping kiri Emma.
“Belum, Leo,” jawab Emma sedikit cemas meskipun ia tahu orang-orang kepercayaan Levon menjaganya.
“Berarti dia masih punya banyak urusan dengan temannya. Maklum dia seorang pengacara.”
Amelia yang duduk di samping kanan Emma sekilas tersenyum miring. Ia seolah menemukan cara untuk menjauhkan Angelina dari Levon, “Setelah menangani kasus temannya, aku akan memberikan kasus baru untuknya,” batinnya.
Di titik ini, Angelina pulang. Levon dan Emma pun tersenyum menatap sang pengacara muda melangkah mendekat ke sofa ruang tengah, sedangkan Amelia langsung memasang wajah k
“Buka pintunya, Angel!” Emosi Amelia tak terkendali, suaranya semakin keras. Jika terus dibiarkan bisa saja di dengar oleh penghuni mansion lainnya.“Huhh ....” Levon menghela napas dalam. Lalu perlahan ia membuka pintu.“Kenapa kau lama sekali membuka pintu, Angel--” Amelia terdiam. “Leo?” Amelia sangat kaget. Ia mengedarkan pandangan ke setiap sudut kamar. Tidak ada siapa-siapa.“Kenapa kau ada disini?” tanya Amelia heran dengan suara pelan. “Ini 'kan kamar Angel? Dimana dia sekarang?”“Aku bertukar kamar dengan Angel,” jawab Levon menatap kecewa pada Amelia. “Angelina tidur di kamarku.”“Kenapa?” tanya Amelia kaku. “Apa dia yang meminta?”“Bukan,” jawab Levon menggelengkan kepala. “Aku yang memintanya.”“Kenapa?” tanya Amelia sekali lagi. Ia curiga semua ini pasti ada kait
Di pagi buta, Angelina bangun dan langsung pergi ke kamarnya sendiri untuk membangunkan Levon.TOK! TOK!Sambil mengetok pintu pelan, Angelina menghubungi nomor ponselnya sendiri dengan ponsel Levon.Tak menunggu lama, Levon membuka pintu. Angelina pun semakin kagum dengan sosok pria tampan di hadapannya itu. Ia pikir akan sulit membangunkan Sang Tuan.“Selamat pagi, Angelina.”Suara khas Levon ditambah ketampanannya, membuat Angelina menatapnya dalam-dalam. Sempurna!“Angel?” panggil Levon pada Angelina yang menatapnya penuh arti.“Ah ya, Tuan ... Maaf-maaf.” Angelina menunduk dalam, malu.“Ini ponselmu. Terima kasih sudah membangunkanku,” ucap Levon sambil menyodorkan sebuah ponsel.Angelina mendongak dan mengambil ponselnya. Lalu ia juga menyerahkan ponsel milik Levon, “Terima kasih juga.”***Senyum miring terukir di bibir Levon saat mena
Kebetulan sekali! Hari ini juga pada Jam tujuh malam, Levon dan Angelina sedang duduk di kursi jok mobil menghadap layar laptop. Saat ini mereka berada tak terlalu jauh dari rumah Pervita untuk memantau Mateo. Menurut informasi orang kepercayaan Levon, saat ini Mateo dalam perjalanan menuju ke arah rumah Pervita. Dan benar saja, lelaki brengsek itu datang menggunakan mobil chevrolet spark berwarna abu-abu. Matoe turun dari mobil itu dan berjalan ke arah pintu dengan sebelah tangan membawa setangkai bunga mawar. Tok! Tok! Sesuai rencana, Pervita tidak langsung membukakan pintu. “Siapa?” tanya Pervita dari dalam. Mateo diam. Jika ia menjawab, maka mantan istrinya itu tidak akan membukakan pintu. Setelah menunggu lama tak ada jawaban, Pervita berpura-pura penasaran. Ia pun membuka pintu. “Kau--” Pervita berpura-pura kaget dan takut melihat Mateo berdiri di depan pintu. “Ngapain kau datang ke rumahku lagi, brengsek?” “Kau l
Tangan kanan Mateo bergerak ke arah gunung kembar Pervita yang masih terbungkus rapat, “Sangat indah sekali.”“Angelina!!!” Pervita berteriak sekeras mungkin, ia tidak ingin tangan kotor Mateo menjamah tubuhnya kembali.BRAK!Bersamaan dengan teriakan Pervita, dua orang kepercayaan Levon menendang pintu itu sampai roboh.Mateo spontan berdiri. Ia terkejut bukan main, sedangkan Pervita berlari menghampiri Angelina dan memeluknya.“Siapa kalian?” tanya Mateo dengan wajah ketakutan melihat beberapa orang bertubuh kekar menatapnya dengan tatapan iblis.Levon melangkah mendekati Mateo yang diikuti lima orang kepercayaannya dari belakang.“Lelaki biadap sepertimu enaknya diapakan ya?” tanya Levon santai, tetapi matanya menyorot tajam pada Mateo yang mulai berkeringat dingin.Mateo berusaha bersikap tenang. Ia tersenyum sinis menatap Levon dan orang-orang kepercayaannya, “Siapa kal
“Kita mulai sekarang juga!” seru Brandon tidak sabar. “Persiapkan mentalmu. Sebentar lagi emas-emas itu akan menjadi milikku.”“Dan persiapkan nyawamu, Tuan. Aku yakin bisa mengalahkanmu,” balas Levon masih dengan sikap konyolnya.Brandon tertawa keras, “Keyakinanmu sangat tinggi, Le. Aku suka.”“Seseorang harus percaya diri, Tuan,” celetuk Levon sambil mengambil pistol dan berdiri sejauh sepuluh meter dari papan tembak.“Dan sebentar lagi kepercayaanmu itu akan lenyap dari dirimu,” sahut Brandon tersenyum meremehkan melihat posisi berdiri Levon sudah mencerminkan bukan orang yang ahli dalam menembak.Brandon mengambil pistol dan berdiri di posisinya, sebelah Levon, “Pistol ini ada lima peluru. Tapi aku cukup membutuhkan satu peluru untuk menyarangkan ke titik tengah papan itu. Menembak adalah makananku sehari-hari,” ucapnya dengan wajah sombong.“Janga
“Aku?” jawab Levon sambil menunjuk wajahnya sendiri dengan menampakkan wajah pria bodoh. “Aku Le, seorang pengusaha.” “Siapa yang melatihmu menembak? Tidak mungkin orang biasa tembakannya selalu tepat sasaran. Mustahil keberuntungan datang berulang kali di waktu yang sama.” Brandon mengintrogasi. Ia curiga lawannya itu bukan orang sembarangan. “Kenapa, Tuan? Apa Tuan takut? Apa Tuan mau menyerah dengan orang biasa sepertiku ini?” tanya Levon dengan sikap konyolnya. Ia mengalihkan perhatian Brandon agar tidak terus mengintrogasinya. “Mimpi!” pekik Brandon tersenyum sinis. “Brandon tak pernah kalah. Brandon adalah penembak nomor satu di dunia.” Brandon begitu emosi, ia tidak menyadari sudah menyebutkan nama aslinya pada orang asing. Namun, Levon memilih diam dengan sikap konyolnya. “Hemmm baiklah, kita lanjutkan pertandingan ini.” Tantangan berikutnya, membidik papan tembak berjarak 100 meter dengan senjata laras panjang. Kali ini,
Yang tadinya begitu semringah, kini Brandon menganga tak percaya. Ia berulang kali menggeleng-gelengkan kepalanya. “Mustahil.”“Lebih sempurna dari bidikanmu, Tuan. Itu artinya aku yang menang.” Levon memanas-manasi Brandon.Brandon menoleh ke arah Levon. Ia masih belum percaya bahwa lawannya itu lebih hebat darinya, “Kebetulan ... Itu hanya kebetulan. Kita ulang sekali lagi.”“Hah?” Levon berpura-pura terkejut. “Sekali lagi? Mana bisa, perjanjiannya hanya sekali.”Brandon menatap tajam sambil menodongkan senjata laras panjang pada Levon, “Aku bilang sekali lagi atau aku terpaksa mengeluarkan isi otak dari kepalamu!”Levon berpura-pura ketakutan, meski hatinya tengah tertawa iblis. Saat ini ia memilih menuruti kemauan Brandon dengan isyarat mengangguk.“Bagus!” Brandon berputar arah dan bersiap membidik sasaran.Levon juga fokus menat
Brandon tidak melihat sedikitpun sikap konyol yang biasa Levon tunjukkan. Justru aura mantan suami Rose itu terlihat sangat istimewa, wibawa, dan menakutkan.Bahkan bulu kulit Brandon ikut bereaksi. Tubuhnya juga bergetar hebat dengan keringat dingin mengalir deras di sekujur tubuh.“Si-siapa, kau?” tanya Brandon dengan napas tak beraturan, apalagi rasa sakit di perutnya semakin terasa.“Sudah aku bilang padamu, Brandon. Aku orang yang kau cari. Aku Leo, Tuan Leonardo dari Turki.” Levon mengeluarkan suara khas sebagai seorang penguasa.Dengan suara khas itu, Brandon kebingungan. Bukankah Levon adalah mantan suami Rose? Hatinya bertanya-tanya. Tidak mungkin pria tampan itu adalah Tuan Leo, tetapi disisi lain dilihat dari sikap dan suaranya sudah mencerminkan sang penguasa.“Kau mantan suami Rose. Kau hanya bekerja pada Tuan Leo. Kau hanya berpura-pura menjadi Tuan Leo untuk menakut-nakuti. Aku tau itu hanyal akal-akalan