"Putus? Bukankah kalian sudah bersama selama lima tahun?" Jemari lentik berkuteks merah itu mengelus seduktif dada bidang pria yang kini mendekapnya.
Mendongakan kepala hingga tatapan mereka bertemu, Laura mengukir senyum muram, "kau ingin mengakhiri hubungan yang sudah terjalin selama lima tahun, demi wanita yang baru kau kenal kurang dari dua minggu sepertiku?"
"Kau berbeda Sekar." Pria itu menatap penuh damba, lalu mengecup punggung tangan Laura yang membuatnya nyaris hilang akal. Apa wanita dalam pelukannya ini adalah penyihir? Dia mampu menjeratnya hanya dalam waktu singkat. Bahkan membuatnya berani menjanjikan sebuah komitmen, setelah nanti mengakhiri hubungan dengan wanita yang masih menyandang status sebagai kekasihnya selama lima tahun terakhir.
Harus diakui dia memang brengsek. Sekali pun memiliki kekasih tak membuatnya lepas dari para wanita lainnya. Tapi sebagian besar hanya dianggapnya sebagai bentuk senang-senang menghilangkan penat. Tidak lebih.
Tak ada satu pun dari para wanita itu yang membuatnya terjerat begitu kuat. Hingga kemudian, seorang wanita bernama Sekar berhasil melumpuhkannya.
Pertemuan mereka terjadi ketika mobilnya mogok dipinggir jalan, dan gadis itu menawarkan tumpangan sekaligus membantu mencarikan bengkel terdekat.
Seolah takdir memang menggiring mereka untuk bersama. Pertemuan-pertemuan selanjutnya terjadi dan membuat keduanya kian dekat.
Sekar memberikannya sebuah kenyamanan yang tak pernah didapatkannya dari wanita mana pun. Termasuk kekasihnya sendiri.
Sayangnya, yang tak pria itu tau. Bukan sekadar tentang takdir, tapi semua pertemuan itu sebelumnya sudah terencana.
Menegakan posisi duduknya, Laura merekahkan senyuman yang membuat targetnya kian kepayahan menahan diri.
Mendekatkan wajah, pria itu memangkas sisa jarak yang terbentang diantara mereka.
Laura bergeming diposisinya. Hanya menatap tenang saat pria itu kian mendekat kearahnya. Embusan napas hangatnya bahkan menerpa wajahnya.
Ketika ujung hidung keduanya telah saling menyentuh, dan mata pria itu menutup, menyisakan sedikit lagi baginya meraih bibir ranum yang tak pernah tersentuh selama mereka dekat, karena Laura memberi penegasan pada batas-batas tertentu yang tak bisa dilanggar, selama hubungan mereka belum bernamakan sesuatu secara jelas.
Pria itu tentu saja tak mau menamakan hubungannya sebagai pertemanan. Dia ingin serakah. Menjadikan wanita itu miliknya. Tapi terhalang kondisinya yang kini telah memiliki kekasih.
Ya, dia pria brengsek yang pantas mendapat sumpah serapah.
Suara ketukan pintu membuatnya menggeram. Tak menutupi kekesalan yang menjamah hatinya.
Siapa si brengsek yang sudah merusak momen berharganya dengan Sekar?!
Padahal, demi bisa menikmati waktu berdua, ia sengaja memesan private room disebuah restoran ternama.
"Aku saja." cegah Laura ketika Edo—targetnya, dengan wajah tertekuk masam berniat bangkit dari duduknya. Tak mau kecolongan, Laura segera meraih lengan pria itu yang sepertinya berniat menyemburkan kekesalan pada sosok yang telah mengoyak suasana intim yang sempat memerangkap mereka.
Bangkit dari tempat duduknya, Laura berjalan anggun, mengayunkan langkah menuju pintu. Di bawah tatapan Edo yang tak pernah melepas setiap gerak-geriknya. Seolah takut jika wanita pujaannya bisa menghilang dari pandangannya.
Sejak kapan jatuh cinta bisa membuat seorang Edo melakukan hal-hal menggelikan seperti itu?
Bahkan pada kekasihnya yang terikat selama lima tahun, dia mana pernah bersikap posesif?
Ketika daun pintu terkuak, sesosok wanita bermata sembap tertangkap penglihatan Laura.
"Siapa, Sayang?!" teriak Edo tak sabaran.
Sayang?
Tatapan wanita itu seketika menghunus tajam kearah Laura. Membuat gadis itu mengangkat kedua tangan hingga sejajar dengan telinga. Bak buronan yang akhirnya menyatakan diri menyerah usai terkepung.
Hei, bukan dia tersangkanya.
Laura jelas tak berminat menjadi tempat penampungan kemarahan seorang wanita yang terkhianati.
"Bukan salah saya loh dipanggil Sayang. Pacar kamu memang mudah sayang sama perempuan lain." ringis Laura yang tak mau terkena amukan kliennya.
"Sayang, siap—Sinta?"
Laura berjalan menyingkir dari sejoli yang sebentar lagi akan terlibat peperangan.
Uh, ini momen menyenangkan lainnya yang tak boleh terlewatkan. Kapan lagi melihat pria hidung belang kena amuk.
"IYA! INI AKU! KENAPA?!" mendorong pria yang masih berstatus sebagai kekasihnya, tangis Sinta kembali pecah, "TEGA KAMU SAMA AKU YA, MAS! AKU KURANG APA?! HUBUNGAN KITA SUDAH LIMA TAHUN! TERUS KAMU MAU PUTUS KARENA DIA!" Sinta menunjuk Laura yang bersandar sembari bersedekap tangan di dekat pintu.
Nah, kan. Kena lagi gue. Laura hanya bisa mendesah pasrah. Kadang kliennya lupa jika dia itu sekutu, bukan pelakor.
Edo yang terdesak menjambak rambutnya dengan frustrasi, "dengar! Aku akui sudah bersikap brengsek."
"KAMU MEMANG BRENGSEK!" raung Sinta sembari melayangkan pukulan secara serampangan ditubuh kekasihnya. Sesuatu yang mungkin tak terasa menyakitkan karena tenaganya tak seberapa.
Sinta mengamuk. Memukuli Edo yang kepayahan menghindar.
"BUKAN SALAHKU KALAU AKU CINTA SAMA SEKAR!" teriak Edo akhirnya. Tak tahan terus disudutkan.
Laura yang sejak tadi berdiri sebagai penonton, seketika mendengkus.
Cinta?
Yang benar saja.
Pada wanita yang sudah bersamanya selama lima tahun saja, Edo dengan mudahnya berpaling. Apalagi hubungan mereka yang baru seumur jagung?
"Maaf nih ya, Mas. Saya nggak berminat. Soalnya, yang saya cinta cuma uang." Mengedikan bahu tas acuh, tatapan Laura kini beralih pada Sinta yang sudah bersimbah air mata, "tugas saya selesai."
Melambai singkat. Laura berbalik, mengayunkan langkah menuju pintu keluar. Meninggalkan sejoli itu dan enggan terlibat drama yang hanya akan menyusahkannya.
Sembari bersenandung, Laura berjalan santai. Meski menyadari beberapa pasang mata yang menjatuhkan atensi padanya. Terutama para pria.
Maaf saja. Tapi dia sedang tak berminat. Nyaris dua minggu lebih bertugas, akhirnya selesai.
Uh, dia merindukan kasurnya untuk segera meluruskan punggung.
Tapi sepertinya, keinginan itu terpaksa tertunda. Ketika ponselnya tiba-tiba berdering memekakan pendengaran.
"Halo?"
"Lau!"
"Apaan?"
"Ada klien baru."
"Gue mau istirahat dulu beberapa hari. Cancel ajalah." gerutunya sebal, tak mau harus kembali berjibaku mengurus para pria yang tak setia pada pasangannya.
"Ye ..., si curut. Ini kelas kakap woy! Rugi bandar kalau ngelepas gitu aja."
Menaikan satu alis mata, Laura mulai terpancing ucapan sahabatnya, "jangan ngibul ya lo."
"Beneran, astaga! Kalau bohong, di sumpahin kaya tujuh turunan, tujuh tanjakan, tujuh belokan, tujuh persimpangan pun gue nggak nolak."
Laura mendengkus, "itu mah emang lonya yang ngarep."
Terdengar gelak tawa di seberang sambungan. Tapi segera dienyahkan dan kembali fokus pada pembicaraan mereka.
"Gue bakal atur pertemuannya kalau lo setuju. Gimana?"
Laura terdiam. Menimbang sejenak.
"Katanya sih, berani bayar lo seratus juta."
Hah? S—seratus juta?!
Rasa ragu yang awalnya masih menggerogoti hati, kini enyah seketika.
"Oke, deal!"
"Dasar matre!"
"Jangan lupa ngaca ya lo!" dengkus Laura yang kembali memecah tawa sahabatnya.
Mengakhiri pembicaraan mereka. Senyum Laura merekah. Biarlah tak jadi libur, asal rekeningnya bisa tetap terisi.
Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja hingga menimbulkan bunyi konstan. Sementara tangan satunya menjadi penyangga dagu. Laura mulai bosan. Sudah lima belas menit pantat semoknya menempati kursi disebuah private room restoran ternama. Tapi sosok yang ditunggu tak juga memperlihatkan batang hidungnya.Hadeh, belum apa-apa sudah ngaret. Gimana mau membuat kesepakatan?Baiklah, jika lima menit lagi masih belum datang. Laura tak akan segan angkat kaki dari tempat ini.Bodo amat uang seratus juta gagal mengisi rekeningnya agar kian chubby. Mood Laura sudah terjun payung sekarang.Melirik penunjuk waktu yang melingkari pergelangan tangan kirinya, Laura mulai lelah menunggu.Sudahlah! Batalkan saja. Lebih baik rebahan di kontrakannya ketimbang duduk sampai pantat panas.Bye! Seratus juta.Laura baru saja mencangklongkan tas kebahu kanannya, lalu bangkit dari tempat duduknya. Saat pintu tiba-tiba saja terbuka. Menginterupsi pergerakannya yang hendak pergi.Mengejap, Laura membeku di tempatny
Melemparkan diri ke atas tempat tidur. Laura terlentang, sembari menatap langit-langit kamarnya.Mengembuskan napas gusar. Gadis itu meraih foto seorang pria yang akan menjadi targetnya.Dari sekian banyak makhluk penghuni bumi. Kenapa harus pria itu?! Kenapa harus Darius Bhalendra, bos galaknya? KENAPA?!Dan yang lebih gila. Laura sudah membuat kesepakatan dengan Ratu—wanita paruh baya yang baru diketahuinya merupakan ibu dari bosnya."Cari mati gue. Astaga Laura! Otak lo pasti ketinggalan pas tadi ketemuan sama emaknya si bos." menjambaki rambutnya sendiri, Laura terus mengocehkan kegusarannya.Tumpukan uang di dalam koper membuat pikiran Laura tumpul. Tapi setelah menginjakan kaki di kontrakannya, nyali Laura seketika menciut. Kesadarannya yang sempat lenyap terhipnotis uang seratus juta, akhirnya kembali. Apalagi setiap melihat foto Darius yang di dapatkannya dari Ratu tadi."Ke dukun aja kali ya, biar bos galak gue langsung klepek-klepek." anggap saja Laura memilih jalur express
Orang bilang, cinta datang karena terbiasa. Maka Laura akan membuat Darius terbiasa dengan keberadaanya, bukan hanya sebagai sekretaris pria itu di kantor. Tapi juga seorang wanita yang bisa menggeser tahta kekasih pria itu di hatinya.Atas bantuan Ratu, yang menyetujui rencana yang Laura ajukan. Di sinilah dirinya sekarang. Kepayahan menggeret koper besarnya memasuki sebuah apartemen mewah yang tak pernah dibayangkannya akan menjadi tempat tinggalnya, selama misi berlangsung.Sepertinya Ratu tak memedulikan harus merogoh kocek tambahan demi melancarkan misi yang tengah Laura emban.Wanita paruh baya itu benar-benar terobsesi meluluhlantakan hubungan asmara putranya, dengan wanita yang tak direstuinya."Kamu bisa menempati unit apartemen yang bersebelahan dengan Darius." Orang kaya memang beda. Hanya selang satu hari usai pertemuan keduanya dengan Ratu, mendiskusikan rencana untuk memulai pendekatan dengan Darius. Wanita paruh baya itu mencetuskan ide kepindahan ini. Bahkan mengirimk
Minggu pagi adalah kesempatan Laura bercumbu lebih lama dengan kasurnya. Tapi berbeda dengan minggu pagi kali ini. Dia sudah bersiap dengan celana training dan kaus yang dirasa nyaman untuk berolahraga. Mengikat rambut panjangnya menjadi kunciran tinggi yang bergoyang mengikuti gerak kepalanya. Laura bersiap melanjutkan misinya.Berbekal informasi dari Ratu, yang mengatakan Darius suka mengikuti car free day untuk berolahraga. Laura memasang alarm lebih pagi agar tak kesiangan.Selesai bersiap. Laura mengisi perut dengan sebungkus roti. Dia belum sempat berbelanja, jadi tak banyak stok makanan di apartemen barunya.Dari balik celah pintu yang sedikit terbuka, Laura mengawasi tetangga unit sebelahnya. Dia yakin Darius belum keluar dari sarangnya. Karena Laura terus mengawasi sejak tadi.Dan ketika target yang dinantikan akhirnya keluar. Laura segera bergerak.Menutup pintu apartemennya, sembari terburu-buru mengejar Darius yang terbalut pakain olahraga. Bahkan dari arah belakang. Pria
"Sepertinya kalian dekat," celetukan itu membuat pergerakan Darius yang hendak memasang sabuk pengaman sempat terinterupsi beberapa detik. Mencerna maksud dari kata-kata yang dilontarkan Regina padanya.Mengela napas, Darius tak segera memberi jawaban. Pria itu memilih melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda untuk memasang sabuk pengaman. Walau tau wanita di sampingnya tengah menekuk wajah masam."Tentu saja kami dekat," balas Darius kemudian. Tapi mungkin dia memilih kata-kata yang kurang tepat. Karena jawaban yang disuguhkan menambah kadar kekesalan kekasihnya. "Laura sekretarisku, ingat?" Tambahnya sebelum Regina memuntahkan kemarahan."Apa hubungannya?""Tentu saja ada, Na. Kami bekerjasama di kantor. Beberapa kali dia ikut makan siang bersamaku saat menemui klien. Atau jika sedang malas keluar untuk mencari makan. Aku biasanya meminta tolong pada Laura memesankan makanan. Dan memberitaunya beberapa hal yang aku kurang suka. Juga makanan yang menajdi pantangan untuk aku maka
Sepi meraja. Merayap dan memerangkap dua sosok di dalam mobil yang kini melaju dengan kecepatan sedang. Melalui ekor mata. Laura mencuri pandang kearah Darius. Aroma pria itu menguar kuat, bahkan mengalahkan pengharum mobil. Bukan. Yang menyerbu indra penciuman Laura bukan sesuatu yang membuatnya mual. Justru sebaliknya. Aroma pria itu membuat jantungnya berdegup genit. Kok bisa, orang yang baru selesai olahraga justru menguarkan aroma seksi begini? Sebenarnya sudah terendus setiap Laura berdekatan dengan Darius. Tapi sewaktu di luar masih agak samar. Dan ketika terperangkap berdua dengan pria itu di dalam mobil. Aromanya kian menjadi-jadi. Pantas saja Regina hobi menggelayuti pria itu. Astaga! Fokus! Kenapa pikirannya jadi melantur kemana-mana? Apa aroma tubuh Darius memiliki efek samping mengacaukan pikiran seseorang? Atau hal tersebut hanya berlaku untuk Laura? Aneh. Biasanya dia memiliki imun dan kebal terhadap pria tampan. Buktinya tak pernah kepincut para pria kliennya
Bahkan dalam mimpi sekali pun, Laura tak pernah membayangkan, apa yang saat ini tengah dilakukannya bersama Darius. Benar-benar bisa terjadi.Pria yang selalu memasang wajah serius. Bahkan garang saat menemukan hal yang menurutnya tak sesuai standar versi dirinya ketika mengurusi pekerjaan, akan bertransformasi bak monster yang begitu ditakuti.Tak terkecuali dengan Laura yang enggan berurusan dengan pria itu di luar persoalan pekerjaan.Sayangnya, takdir menuntun Laura untuk lebih banyak melibatkan diri pada pria yang kini diam-diam dia foto. Ck! Bagaimana bisa seorang pria yang tengah mendorong troli belanja bisa tampak begitu keren? Darius lebih mirip seperti seorang model yang tengah melakukan pemotretan dengan background rak-rak barang yang ada di super market.Pria itu mendorong troli belanja di sampingnya. Mengikuti kemana pun langkah Laura menyusuri setiap rak barang yang tengah ditujunya."Bapak nggak capek?""Capek?" dengan kening mengernyit bingung, Darius menatap gadis y
"Loh, Pak Darius? Mau nonton juga?" memasang wajah terkejut, Laura menyapa bosnya. Tentunya pria itu tak sendiri. Ada wanita berambut sebahu yang menggelayut manja dilengan Darius. Tawa bahagia yang sejak tadi mengudara seketika luruh. Mendapati sosok Laura yang menyapa kekasihnya."Iya Lau, kamu mau nonton juga?"Terkekeh sembari menyelipkan anak rambut ke belakang telinga, Laura memberi anggukan, "iya dong, Pa. Ke bioskop ya mau nonton. Masa nyuci baju?""Sayang, kita makan dulu yuk, filmnya masih satu jam lagi kan? Aku laper," menggoyang-goyangkan lengan Darius yang berada dipelukannya, Regina berusaha mencuri atensi kekasihnya.Ada rasa tak rela melihat perhatian pria itu terbagi untuk wanita lain."Sayang ...." Regina kembali merengek mendapati Darius tak segera menggubrisnya."Yasudah, ayo," jawab Darius, kemudian beralih menatap Laura yang sejak tadi memerhatikan interaksi mereka, "hm, Lau, saya duluan, ya. Selamat menonton.""Ah, oh, iya Pak, terima kasih. Bapak juga selamat
"Giliran lo," mengedipkan satu mata, Cindy memberi semangat pada Laura yang tersenyum kaku.Berdiri canggung di depan Darius, Laura berusaha menebas paksa rasa gugupnya.Ingat. Saat ini, pria di depannya bukan atasan di tempat kerjanya. Tapi target yang harus bisa Laura taklukan."Jadi, saya boleh berdansa dengan anda?"Mengulurkan tangan, Darius membalas pertanyaan Laura dengan isyarat jika dia menerimanya."Saya tidak tau kamu teman Cindy?" sembari menggerakan tubuh secara perlahan. Darius mulai membuka obrolan."Bukankah itu sebuah kebetulan yang tak terduga Pak? Oh, atau bisa saya panggil nama saja? Cindy atau pun ibu Pak Darius pasti heran jika saya memanggil anda dengan embel-embel, Pak."Darius mendengkus. Menatap sosok sekretarisnya yang malam ini tampak menawan dengan riasan yang berbeda dari biasanya. Ketika bekerja di kantor atau pun dalam kesehariannya. Tak terlalu tebal, tapi cukup pas dan mampu membuat pangling."Bukankah saya pernah meminta hal itu sama kamu?""Meminta
"Cewek lo mana? Nggak ikut?""Dia sibuk.""Sibuk apa takut ketemu gue sama Tante Ratu?"Mengela napas, Darius menatap sepupunya. Berusaha menebalkan kesabaran yang selalu menipis saat bersinggungan dengan Cindy."Gue nggak mau ribut."Mendengkus sinis, Cindy melirik Darius yang memilih menyibukan diri dengan ponsel. Meminimalisir konfrontasi dengannya."Pelet tuh cewek kenceng banget kayaknya. Bikin lo ketempelan dia bertahun-tahun."Mengela napas gusar, Darius mengantongi ponselnya. Bangkit dari duduknya yang satu meja dengan Cindy. "Kabur lagi? Lo bikin gue tersinggung tau nggak? Berasa virus yang harus dihindari.""Gue cuma berusaha menghargai pesta sepupu kita. Kalau sampai ada ribut-ribut, kasihan Mayang. Pestanya kacau.""Lo dari tadi ngoceh soal ribut. Emang siapa sih yang ngajak ribut? Nggak ada perasaan. Gue datengin meja lo buat ngobrol. Anggap aja menjalin silaturahmi, memperbaiki hubungan kita yang kaku dan dingin kayak balok es."Darius sudah akan kembali bicara. Membala
"Kamu Laura?"Suara yang tiba-tiba tertangkap pendengarannya membuat Laura yang seperti anak hilang di tengah keramaian, menolehkan kepala dan memberi anggukan dengan wajah bingung."Ya," menatap wanita asing di depannya, Laura mengerutkan kening, "anda—""Gue Cindy," mengulurkan tangan, ia memperkenalkan diri lebih dulu sebelum Laura menyelesaikan ucapannya.Ah, Cindy sepupunya Darius?Segera membalas uluran tangan gadis itu, Laura mengukir senyuman, "saya Laura.""Jangan terlalu formal," Cindy bersedekap usai jabatan tangan dengan Laura usai. "Jadi lo perempuan bayaran itu?"Laura terbelalak mendengar pertanyaan blak-blkan dari Cindy. Dengan gugup, ia mengedarkan pandangan ke sekitar, khawatir ada yang mencuri dengar."Jangan bahas itu di sini," Laura mengikis jarak dengan Cindy, "dan gue bukan perempuan bayaran," tambahnya sembari mendesis kesal."Tapi Tante Ratu bilang—""Apa kita bisa mencari tempat lain untuk membicarakan hal ini?"Astaga ..., kenapa Ratu harus membagi perjanjia
"Masuk!" Darius berseru keras, agar sosok yang baru saja mengetuk pintu bisa mendengar instruksinya.Ketika pintu ruang kerjanya terkuak. Sosok Laura muncul dengan senyuman secerah matahari di jam dua belas siang."Pagi Pak," sapa gadis itu, usai menutup pintu dan mengayunkan langkah. Memasuki ruang kerja Darius."Pagi," Darius membalas singkat, dengan kening yang mengernyit mendapati kedatangan sekretarisnya sembari membawa nampan alih-alih berkas yang biasa diberikan padanya.Berdeham-deham meluruhkan rasa gugupnya. Laura meletakan nampan berisi segelas susu coklat dan sepiring sandwich.Ikut menjatuhkan pandangan pada apa yang disuguhkan Laura. Kernyitan dikening Darius kian dalam, "ini apa?""Susu coklat dan sandwich."Apa pria itu masih mengantuk? Masa iya minuman dan makanan di depannya dia tak tau namanya?Mengela napas panjang Darius menutup laptop yang sudah dipelototinya lima belas menit yang lalu. Sesampainya di kantor dia memang segera mendekam di ruangannya untuk menyeles
"Hadeh, gue kira lo hilang dari peradaban," oceh Jihan ketika membukakan pintu apartemennya untuk Laura.Tak segera menjawab. Laura mendorong bahu sahabatnya agar segera menyingkir dan membuatnya bisa memasuki apartemen wanita itu.Mengempaskan tubuh lelahnya di atas sofa, Laura mengembuskan napas lega. Menyamankan diri ketika akhirnya bisa meluruhkan rasa lelah."Capek banget ya nyari duit."Berkacak pinggang di depan sahabatnya yang tengah berleha-leha, Jihan mendengkus, "tumben ngeluh.""Gue juga manusia biasa, yang kadang mengeluh soal hidup. Tapi seringnya disuarakan dalam hati. Nggak koar-koar kayak lo.""Gue nggak ngeluh, cuma curhat sama diri sendiri."Mengibaskan tangan tak acuh, Laura enggan menanggapi ocehan Jihan, "lo ada tamu suguhin minum kek. Panas banget di luar, kasih yang bikin seger, Ji.""Apaan? Sini gue ceburin ke bak mandi biar seger.""Buruan Ji, dehidarasi nih kayaknya gue.""Lo kalau dehidrasi bukan butuh air minum. Tapi segepok uang biasanya.""Itu sih kalau
"Bagaimana perkembangannya?" Ratu melempar tanya. Bahkan di saat pantatnya baru saja mendarat di atas kursi. Tapi seperti biasa, wanita paruh baya itu enggan berbasa-basi."Cukup baik, Bu.""Cukup?" beo Ratu dengan kening mengernyit tak suka. "Itu jelas bukan jawaban yang saya harapkan.""Bu, saya baru memulai pendekatan dengan Pak Darius.""Tapi kalian sudah mengenal lama.""Itu tidak ada korelasinya Bu. Saya bekerja secara profesional sebagai sekretaris Pak Darius. Di luar itu, kami jarang membahas hal yang tak berkaitan dengan pekerjaan."Ratu mengela napas, berusaha menebalkan kesabaran dari rasa kesal yang menggelayuti hatinya."Lalu bagaimana perkembangannya di lapangan? Apa Darius dan perempuan itu masih lengket?"Meringis, Laura tak segera memberi jawaban. Meraih minuman yang tersuguh di depannya. Ia teguk beberapa kali, meletakan gelasnya ke atas meja lagi. Baru kemudian melontarkan jawaban."Cukup sulit memisahkan mereka karena Pak Darius cukup bucin sama pacarnya, Bu.""Ben
"Loh, Pak Darius?"Suara itu bak pemantik ledakan dikepala Regina. Setelah susah payah memperbaiki moodnya. Kini kembali luluh lantak karena keberadaan Laura.Astaga ..., dari sekian banyak film yang terputar di gedung bioskop ini, kenapa harus menonton film yang sama dengannya serta Darius?Bagaimana caranya menjauhkan wanita itu?!Dan lagi, tunggu!A—apa yang wanita itu lakukan?! Kenapa menempati kursi di sisi kanan Darius? Sementara Regina sudah lebih dulu menduduki kursi bagian kiri pria itu.Jadi sekarang, posisi Darius berada di tengah-tengah."Kamu menonton ini juga?""Iya Pak, penasaran dari kemarin tapi masih maju-mundur soalnya belum dapat waktu yang tepat. Akhirnya kesampaian juga. Eh, nggak nyangka Bapak nonton film yang sama. Tau gitu kan, tadi barengan masuk ke sininya."Enak saja! Dia kira Regina sudi?Tentu tidak!Dengan wajah tertekuk kesal, Regina mempererat pelukannya dilengan Darius. Lagipula untuk apa kekasihnya itu melakukan sesi ramah tamah pada Laura?Tidak bia
"Loh, Pak Darius? Mau nonton juga?" memasang wajah terkejut, Laura menyapa bosnya. Tentunya pria itu tak sendiri. Ada wanita berambut sebahu yang menggelayut manja dilengan Darius. Tawa bahagia yang sejak tadi mengudara seketika luruh. Mendapati sosok Laura yang menyapa kekasihnya."Iya Lau, kamu mau nonton juga?"Terkekeh sembari menyelipkan anak rambut ke belakang telinga, Laura memberi anggukan, "iya dong, Pa. Ke bioskop ya mau nonton. Masa nyuci baju?""Sayang, kita makan dulu yuk, filmnya masih satu jam lagi kan? Aku laper," menggoyang-goyangkan lengan Darius yang berada dipelukannya, Regina berusaha mencuri atensi kekasihnya.Ada rasa tak rela melihat perhatian pria itu terbagi untuk wanita lain."Sayang ...." Regina kembali merengek mendapati Darius tak segera menggubrisnya."Yasudah, ayo," jawab Darius, kemudian beralih menatap Laura yang sejak tadi memerhatikan interaksi mereka, "hm, Lau, saya duluan, ya. Selamat menonton.""Ah, oh, iya Pak, terima kasih. Bapak juga selamat
Bahkan dalam mimpi sekali pun, Laura tak pernah membayangkan, apa yang saat ini tengah dilakukannya bersama Darius. Benar-benar bisa terjadi.Pria yang selalu memasang wajah serius. Bahkan garang saat menemukan hal yang menurutnya tak sesuai standar versi dirinya ketika mengurusi pekerjaan, akan bertransformasi bak monster yang begitu ditakuti.Tak terkecuali dengan Laura yang enggan berurusan dengan pria itu di luar persoalan pekerjaan.Sayangnya, takdir menuntun Laura untuk lebih banyak melibatkan diri pada pria yang kini diam-diam dia foto. Ck! Bagaimana bisa seorang pria yang tengah mendorong troli belanja bisa tampak begitu keren? Darius lebih mirip seperti seorang model yang tengah melakukan pemotretan dengan background rak-rak barang yang ada di super market.Pria itu mendorong troli belanja di sampingnya. Mengikuti kemana pun langkah Laura menyusuri setiap rak barang yang tengah ditujunya."Bapak nggak capek?""Capek?" dengan kening mengernyit bingung, Darius menatap gadis y