Max masih saja diam di tempat sambil menggendong si kucing putih sementara Don Ramford sudah berjalan ke arah helikopter.“Hei Max! Apa kau mau aku menggendongmu untuk masuk ke dalam helikopter?” seru Don Ramford yang menyadari kalau saat ini ia berjalan sendirian.Lekas-lekas Max melangkah lebar kemudian memmbungkuk di hadapan Don Ramford begitu ia berada di dekatnya.“Maafkan saya Tuan, saya hanya … maksudku, saya masih tak percaya kalau Anda meminta saya untuk naik helikopter bersama Anda,” jawab Max yang memang benar-benar tidak mengira hal ini akan terjadi.“Kau kira aku suka bercanda? Ini sudah larut, dan besok kau masih harus mengantar kedua anak Vanessa dengan si bodoh Ernest kan?” Don Ramford mencoba untuk mengingatkan Max.“Sial berani benar ia menyebutku bodoh!” batin Max sambil menggigit bibir bawahnya, salah satu tangannya mengepal hendak menghantam wajah Don Ramford yang begitu menyebalkan.Si kucing putih tampak bergerak-gerak dalam gendongan Max, sepertinya ia meronta.
Vanessa menyisir rambut pirangnya yang panjang sambil berdiri di depan cermin. Ia baru saja mencoba gaun terbarunya dan bersiap untuk makan malam bersama Don Ramford. Wanita yang masih terlihat menawan di usia yang mencapai kepala empat ini. Tubuhnya pun masih terlihat ramping meski sudah beranak dua. Beberapa waktu lalu ia mendengar dari beberapa anak buah Don Ramford kalau ia akan dilamar oleh kekasihnya itu.Kali ini Vanessa terlihat begitu berbunga-bunga dan tampak tidak sabar untuk segera menjalin kehidupan bersama dengan Don Ramford. Pria yang bersamanya ini terlihat jauh lebih sempurna dari sang mantan suami, Ernest.“Hmm aku benar-benar tidak sabar untuk bisa bersama dengan Leon. Dia benar-benar seorang pria, sangat jantan, beda sekali dengan si bodoh Ernest itu,” gumam Vanessa sambil memperhatikan penampilannya.Saat wanita ini sedang memperhatikan bayangan dirinya di depan kaca dan tak bisa dipungkiri kalau dia sedikit gugup. Rencana Leon untuk melamarnya kali ini bukan yan
Kini laki-laki itu mengitari tubuh Vanessa dan menelanjangi setiap inchi tubuhnya dengan pandangan mata yang tajam dan diselingi senyuman misterius. Bahkan sesekali laki-laki itu menghirup aroma tubuhnya dan semakin membuat Vanessa merasa ngeri sampai-sampai kedua tangannya dipakai untuk mendekap tubuhnya sendiri.“Apa kabarmu Vanessa, kau sama sekali tidak berubah?” tanyanya kemudian membalikkan tubuh Vanessa.“Aku … aku,” jawab Vanessa terdengar ragu-ragu.“Hmm,” laki-laki itu meletakkan kedua tangannya pada lengan Vanessa lalu berbisik, “Aku tahu kau tak bisa berhenti memikirkanku, kau pasti begitu merindukanku Vanessa. Karena itu aku datang untuk menjemputmu!”Bisikan itu terdengar seperti ancaman di telinga Vanessa. Wanita cantik ini pun menggeleng dan sadar dengan cepat. Ia tak boleh terus menerus terlena.“Pergi! Pergi kau! Kau sudah mati kau tidak boleh berada di sini!” seru Vanessa dengan lantang dan mendorong laki-laki yang mendatanginya.Laki-laki itu hanya menyeringai sini
Leon Ramford mengembalikan ponselnya ke dalam saku dan menoleh sejenak ke arah Max yang duduk di sampingnya. Helikopter yang membawa mereka sudah tiba dan segera mengantar mereka menuju kediaman Ramford.“Vanessa bermimpi buruk!” seru Leon kemudian tersenyum tipis. “Cih! Lucu sekali dia menganggap mimpi yang dialaminya adalah hal yang nyata. Lagipula, mana mungkin suaminya yang bodoh itu hidup lagi.”Mendengar hal ini Max meremas kucing yang ada di pangkuannya dengan kuat. Kucing itu pun berbalik telentang dan melihat ke arah Max dan mereka kembali berbicara dalam hati, “Max, kau tenanglah! Jangan terlalu menanggapi, masih banyak hal yang harus kau lakukan. Misimu belum juga selesai!”Max hanya menghembuskan napas panjang dan menyandarkan diri pada sandaran kursi. Lalu ia pun memijit pelipisnya berpura-pura untuk kelelahan.“Kau kenapa? Apa kau capek?” tanya Tuan Ramford sambil sedikit menoleh ke arah Max yang sekarang duduk di sampingnya.“Ah tidak apa Tuan,” jawab Max berbohong. Kal
Max membuka pintu dengan perlahan lalu berjalan berjingkat. Ia tak ingin membangunkan Jade dan kedua anaknya yang sekarang sedang tertidur. Perlahan ia pun naik ke lantai dua, tapi kali ini ia tidak ke kamar melainkan mendatangi kamar tidur kedua anaknya.Max menggelengkan kepalanya, tak habis pikir ia melihat kedua anak itu. Wajah mereka begitu lugu dan polos. Semakin lama memandangi mereka dari pintu, ia pun semakin tidak tahan dan memutuskan untuk mendekat ke arah mereka berdua.Ia mulai dari mendekati tempat tidur Daniel yang paling dekat dengan pintu. Ia pun memperbaiki selimutnya dan menguap lembut kepala anak kecil itu.“Daniel, jadilah anak yang kuat! Jangan mudah menangis dan merepotkan kakakmu. Percayalah untuk saat ini hanya dia yang kau miliki. Ayah hanya bisa mengawasimu diam-diam,” gumam Max lirih dan tak ingin membangunkan anak bungsunya. Setelah puas menengok Daniel, ia pun mulai mencium kening anak lelaki itu dengan lembut kemudian bangkit dan berpindah menuju ranjang
“Max?” tanya Jade sambil memperhatikan suaminya yang sekarang menunjukkan ekspresi yang kaku.“Eh kenapa?” tanya Max tersentak.“Aku hanya tanya kau sudah makan atau belum, jika belum aku akan membuatkannya untukmu.”Sebenarnya dia lapar karena belum juga makan semenjak siang, tapi melihat Jade harus bersusah payah ia pun tidak tega. Max menggeleng, tapi ternyata perutnya berkata lain, suara kemrucuk pun terdengar dan membuat Jade menutup mulutnya tertawa.“Hmm kau ini seperti dengan siapa saja. Tak perlu sungkan padaku, bukankah aku selalu membuatkan makan malam untukmu setiap kau pulang kerja. Meskipun kau sudah makan di tempat kerja, kau pasti akan memintaku untuk membuatkan makanan untukmu,” kata Jade.Max mengerutkan alisnya dan bertanya, “Aku seperti itu?”Jade hanya tersenyum, kali ini harus diakui Max kalau wanita di sampingnya ini memiliki senyum yang menawan. Sangat serasi dengan belahan dagu dan juga kulitnya yang pucat.Jade pun menyentuh wajah Max dan mengusapnya dengan l
Max mengangkat tangan kanannya dan menutupi mata. Sinar matahari yang memancar dari celah tirai yang masih tertutup membuatnya sedikit terganggu.“Sudah pagi, dan aku seharusnya mengantar Olive dan Daniel!” serunya kemudian mengucek kedua mata dan harus segera bangun.Saat itulah ia menyadari ada hal yang tak biasa. Jade tampak melingkarkan lengan pada pinggangnya dan ia sendiri hanya mengenakan celana boxer. Saat itulah Max menepuk kepalanya dan memaki, “Sialan! Apa yang kulakukan semalam?” tanyanya kemudian memijat-mijat pelipis.Ia pun menggelengkan kepala mengingat-ingat apa yang telah dilakukannya sebelum tidur. Samar-samar ia pun teringat kalau melakukan hubungan suami istri bersama Jade.Max pun memaki dalam hati dan mengatakan betapa bodohnya dia melakukan hal itu. “Huft!” ia pun menghembuskan napas panjang sambil memaki dirinya.Saat itulah Jade tiba-tiba terbangun dan memeluk Max dengan erat. “Sayang, akhirnya kau sudah sembuh,” ucapnya.“Ah kenapa?” tanya Max yang berpura-p
Mobil melaju dengan tenang di tengah jalan yang lengang. Max, seorang pengawal yang setia mengemudi dengan penuh kewaspadaan. Di kursi belakang, tampak Olive dan Daniel duduk.Namun satu hal yang tak biasa, Olive, si putri tertua keluarga McCall, tampak duduk dengan posisi tegak dan menegang. Ia sama sekali tidak menunkkan ekspresi apa-apa. Tatapannya penuh dengan curiga dan penasaran terpancar dari matanya yang indah saat dia memperhatikan Max dengan seksama.Tak biasanya Olive bersikap demikian pada Max. Semenjak Max menjadi pengawal mereka berdua, Olive bisa lebih rileks dan lepas dari ketakutan.Pengawal yang dulu selalu bersikap tidak ramah dan sering menekan dia dan adiknya. Berapa banyak hinaan dan gertakan yang diterima oleh Olive dari pengawal terdahulu. Namun tidak dengan Maxim Williams, sosok pengawal ini benar-benar membuat mereka semua merasa nyaman, dan membuat mereka bebas dari rasa takut.Selama ini, Olive merasa ada sesuatu yang aneh dalam keberadaan Max di rumah mer