Sabar yaak, kan, sudah dibilang, cerita ini ringan tapi ngeselin. wkwkwk ...
“Abi!”“Ah, ya!” Abi menghela panjang, setelah kembali ditegur oleh Vira. Raganya memang berada di hadapan Vira, tetapi pikirannya melayang memikirkan pernikahannya dengan Fika. “Sorry, Vir, aku … oke, sampai mana tadi?”Gara-gara Fika, Abi kembali tidak bisa fokus dengan pekerjaannya. Harusnya, Abi senang karena gadis itu membebaskannya mengejar Vira. Fika bahkan mengikhlaskan Abi dan tidak mau peduli dengan apa pun yang dilakukannya di luar sana. Namun, Abi justru semakin merasa bersalah karena hal tersebut.Ada apa dengan Abi sebenarnya?Vira berdecak, lalu menutup berkas dan merapikannya. “Kalau lagi kurang sehat, lebih baik istirahat. Kita nggak akan bisa diskusi kalau pikiranmu nggak di sini.”“Sorry.” Abi meraih berkas yang hendak dimasukkan Vira ke dalam map plastik transparan. “Aku sehat, cuma … ada beberapa kasus yang sedikit rumit.”“I see.” Vira mengangguk paham, tetapi tetap saja terasa aneh. Seberat apa pun kasus yang ditangani Abi, pria itu tidak pernah seperti sekarang
“Jadi, apa kalian sudah bicarakan masalah resepsi?” celetuk Rasyid di tengah makan makan malam. “Kapan, dan mau digelar di mana?”“Belum,” jawab Fika cepat tanpa harus banyak berpikir. “Mas Abi masih sibuk, Pa. Jadi, biar aja begini dulu. Lagian kami juga sudah sah. Nggak perlu buru-buru.”“Tapi orang-orang juga perlu tahu, kalau kalian berdua sudah menikah,” lanjut Rasyid lalu beralih menatap putranya. “Lihat jadwalmu, Bi, terus ambil cuti dalam waktu dekat untuk resepsi dan lanjut bulan madu.”Fika sampai kesusahan menelan makanannya, karena kata bulan madu. Entah apa yang terjadi, bila Rasyid mengetahui permasalah mereka berdua nantinya. Karena Fika, sudah meminta cerai dalam jangka waktu satu bulan ke depan pada Abi.“Aku masih nangani kasus Darius, Pa.” Abi juga bingung, bila harus berbicara masalah resepsi pernikahannya dengan Fika. Apa yang mau dibicarakan, jika Fika sudah mantap meminta cerai darinya. “Papa tahu sendi—““Resepsi pernikahan itu nggak sampai satu hari sudah sele
Masalah Fika selesai. Abi sedikit bisa bernapas lega karena hal tersebut. Entah bagaimana nanti sebulan ke depan, yang terpenting, dirinya dan Fika sudah bisa berteman baik.Meskipun begitu, tetap saja Abi tidak bisa tidur dengan tenang semalaman. Pikirannya memang sudah bisa fokus pada pekerjaan, tetapi tidak, bila harus berada satu ranjang dengan Fika. Terlebih saat ada guling yang membatasi tidur mereka.Suami istri macam apa ini? Abi hanya bisa memandang bagian belakang tubuh Fika, tanpa bisa merapat dan memeluk gadis yang sudah halal menjadi miliknya.Sungguh memusingkan.Karena tidak kunjung bisa tidur, akhirnya Abi menyingkirkan guling tersebut dengan perlahan. Merapatkan diri dengan Fika, lalu memeluk gadis itu tetapi tidak terlalu erat. Hanya sekadar mengalungkan lengan, lalu menutup mata. Menghidu wangi rambut Fika dalam-dalam, dan akhirnya Abi bisa tidur dengan lelapnya.~~~~“Pagi, Bik,” sapa Abi sudah berada di dapur dan berdiri di belakang Fika.Imah menoleh pelan. Menge
Abi mengerjap hingga berulang kali, saat melihat Fika baru saja keluar dari kamar mandi. Gadis itu memakai celana jeans dan kaos berkerah berwarna senada, yang jatuh tepat di garis pinggang. Jika Fika mengangkat tangan sedikit saja, maka bagian perut rata gadis itu sudah pasti terlihat dengan jelas. “Mau ke mana?” tanya Abi menutup pintu kamar, dan segera menghampiri Fika yang berdiri di depan standing mirror. Baru kali ini Abi melihat Fika mengepang dua rambutnya, dan ujungnya jatuh di depan dada. Istrinya itu, sungguh terlihat seperti anak SMA yang sedang “lucu-lucunya”. “Pulang.” Fika menunduk sebentar, untuk meraih pelembab wajahnya. “Pulang?” Abi menelan ludah saat melihat punggung terbuka Fika, yang baru saja menunduk. Pikirannya benar, kan? Kaos yang dikenakan Fika saat ini pasti akan memperlihatkan bagian tubuhnya, bila melakukan pergerakan tertentu. “Ke rumah mama,” jelas Fika sambil mengoleskan pelembab di wajahnya. “Bukannya kita mau jalan? Beli meja rias, ter—“ “Aku,
Abi membuka pintu kamar, dan menyalakan lampu. Melihat tempat tidurnya masih rapi, dan seluruh ruangan juga terasa hening, Abi lantas memasuki kamar dengan perlahan.“Fika?” Abi melihat jam dinding. Sudah hampir jam 10 malam, tetapi tidak ada tanda-tanda kehidupan di kamarnya. Pagi tadi ….Abi lantas memejam. Mengingat beberapa hal yang terjadi pagi ini. Ia menerima panggilan dari Vira, lalu menghubungi Bening, dan … Abi bergegas pergi ke rumah Aga.Namun, ada yang terlewat, yaitu … Fika.Abi mengumpat detik itu juga. Seharian ini, Abi terlalu sibuk dengan kasus yang ditanganinya, sehingga melupakan gadis itu. Sungguh, Abi kembali didera rasa bersalah, karena semua sikapnya sepanjang hari ini.Lantas, Abi segera keluar kamar untuk menemui Rasyid. Namun, Abi mengurungkan niatnya ketika sudah berada di depan pintu kamar sang papa. Rasyid pasti sudah tidur, dan Abi tidak bisa mengganggu sang papa ketika malam telah larut seperti sekarang.Kemudian, Abi kembali memasuki garasi dan membuka
Ketegangan yang dialami Abi saat ini, sungguh melebihi ketika ia berada di persidangan. Rasyid, beserta kedua orang tua Fika sudah menatap tajam dan menunggu penjelasan dari Abi tentang semua hal. Apakah mereka sedang ada masalah, sehingga membuat Fika pergi tanpa kabar seperti sekarang? “Jadi, pernikahan kalian ternyata bermasalah?” tebak Romi harus mencari tahu, di mana titik permasalahan yang terjadi sebenarnya. “Kami … sebenarnya cuma perlu menyesuaikan diri, Pa,” jawab Abi tidak bisa mengungkapkan inti dari permasalahan dirinya dan Fika. Mau ditaruh di mana muka Abi, bila Rasyid dan kedua mertuanya tahu, perihal masalah yang sebenarnya. “Kita baru menikah, dan … banyak perbedaan yang juga perlu disatukan.” Di lubuk hati yang terdalam, Romi menyesal telah menikahkan Abi dengan putrinya. Fika sudah sempat membatalkan perjodohan itu, tetapi Romi justru menerima usulan dari Rasyid untuk menikahkan anak mereka. “Perbedaan seperti apa, sampai-sampai Fika pergi dari rumah, dan nggak
“Belum ketemu, Pa.” Abi menghempas tubuh lelahnya di sofa. Memijat kepala, sembari terus berpikir di mana keberadaan Fika saat ini. “Dean juga sudah ngecek ke teman-temannya Fika, tapi mereka nggak ada yang tahu.”“Papa kecewa sama kamu.” Rasyid benar-benar malu pada keluarga Romi. Andai Camila masih hidup, Rasyid pasti tidak punya muka untuk bertemu dengan wanita tua itu. Hubungan baik yang sudah dijalin dengan keluarga Sutomo sedari dulu, pastinya akan terasa canggung karena ulah putranya. “Tahu begini, Papa nggak akan minta pak Romi—”“Pa, sudah.” Abi tidak ingin lagi mendengar ceramah, di saat kepalanya sudah terlalu pusing memikirkan Fika. “Aku di sini juga sudah berusaha nyari Fika, tapi memang belum ketemu. Dia pasti … nggak tahulah!”“Lihat, kan? Jawabannya lagi-lagi nggak tahu.”“Aku memang nggak tahu, Pa.” Abi berusaha tidak meninggikan intonasi bicaranya di depan Rasyid. “Papa tahu sendiri aku baru dekat sama Fika, baru nikah dan … ya, begitu. Wajar kalau aku belum tahu ban
“Nggak boleh!” Bening jelas saja menolak, dan tidak akan membiarkan Abi menginap di rumahnya. “Pergi sana ke hotel, terus check in. Nggak mungkin, kamu nggak punya uang, kan?” Abi menatap Aga. Kini, giliran Abi yang menggeleng mendengar pengusiran Bening, yang benar-benar tanpa basa basi. Belum lagi, Bening sungguh-sungguh bicara pada Abi tanpa bahasa formal lagi. Mentang-mentang status Abi adalah adik iparnya, maka rasa sungkan itu tidak lagi ada pada diri Bening. “Ning, beg—” “Mbak!” ralat Bening dengan segera, sembari bertolak pinggang. “Tolong, ya, kalau jadi adek ipar itu yang sopan.” “Beb, ini sudah berlebihan.” Aga menangkup kedua lengan Bening dari belakang, lalu mengusapnya naik turun. Ia menatap Abi, dan kembali menggeleng agar pria itu tidak membalas ucapan Bening. “Masuklah dulu, biar aku bicara sama Abi.” Bening membuang napas kecil. Ia menurunkan kedua tangannya, lalu mengusap perut yang belum terlalu terlihat. Harusnya, ia tidak perlu repot-repot ikut campur dalam
“Congraduation, Istriku.” Dengan senyum semringah nan lebarnya, Fika menghambur ke pelukan Abi yang membawa sebuah buket yang berisi cokelat dan boneka beruang di tengah-tengahnya. Akhirnya, hari kelulusan itu datang juga. Meskipun tertatih-tatih, tetapi Fika bisa juga meraih gelar sarjana yang sudah diimpi-impikan selama ini. Kendati ijazahnya tidak akan terpakai, tetapi setidaknya Fika tidak putus di tengah jalan. “Makasih, Mas.” “Pergi sekarang? Atau mau foto-foto sama temanmu dulu?” “Emm …” Tanpa melepas satu tangan yang mengalung pada tubuh Abi, Fika menatap beberapa teman dekatnya yang sibuk dengan keluarga masing-masing. “Tadi sempat foto-foto bentar, sih. Jadi … kita pulang aja. Aku sudah kangen sama Esta. Lagian nanti kita juga foto-foto sama orang rumah.” “Ayolah kalau begitu!” Jelas saja Abi tidak akan menolak, karena seluruh keluarga besar sudah berkumpul di kediaman Pamungkas untuk merayakan kelulusan Fika. “Lagian, Esta nggak bakal nyari kita kalau sudah ada Bening.
“Abi itu memang harus jatuh dulu, baru dia bisa sadar.” Kalimat Aga tersebut, kerap terngiang di kepala Abi. Karena itu pula, Abi jadi memikirkan semua sifat dan sikapnya selama ini. Terutama dengan kehidupan pribadinya. Atau, dengan kata lain Abi sedang introspeksi. Sejauh ini, Abi memang tidak pernah mengalami kesulitan dan masalah dalam karirnya. Justru, semua pusat masalah Abi bersumber pada kehidupan pribadinya. Terlebih lagi, ketika Fika hadir dan membuat kehidupan Abi naik turun dengan berbagai sifat kekanakannya. “Mas, nanti kalau aku sudah bisa urus Esta sendiri, kita pindah aja ke rumah papa, ya?” Hening. Fika yang baru keluar dari kamar mandi, lalu duduk di meja rias segera menoleh pada Abi. Suaminya itu duduk pada sofa tunggal yang berada di samping boks bayi dan tengah menatap putrinya yang sedang tertidur pulas. “Mas …” panggil Fika sekali lagi. Karena Abi tidak kunjung merespons, Fika lantas berdiri kembali untuk menghampiri Abi. Setelah berdiri di samping pria itu
“Di mana Gara?”Bening terhenyak ketika seseorang menepuk bahunya dan bertanya tentang Gara. Meskipun sudah hafal dengan suara tersebut, tetapi Bening tetap saja terkejut karena ia sedang serius membaca buku menu MPASI untuk putranya.“Babe!” Bening membuang napas cepat, lalu terkekeh sembari melihat Rasyid duduk perlahan di sebelahnya. “Baru datang?”Rasyid balas terkekeh dengan anggukan. “Ngapain sendirian di sini? Fika sama mamamu ada di dapur, tapi kamu malah duduk di teras samping sendirian.”“Dapur lebih aman kalau nggak ada saya.” Bening kembali terkekeh tanpa malu sama sekali. Ia tidak akan menutupi kekurangan, yang sampai saat ini masih saja melekat pada dirinya. Bening tidak terlalu pintar memasak dan ia juga tidak berencana untuk belajar memasak. Setidaknya, untuk saat ini.“Terus ke mana perginya anak-anak?” Rasyid menengok ke arah pintu teras dan ke sekitarnya, tetapi tidak melihat suara berisik dari mana pun. Saat menemui Dean bersama Awan di depan, mereka hanya mengatak
“Mbak Ning sudah datang.” Fika memberi tahu, ketika sudah memasuki kamarnya di kediaman Nugraha. Ia segera menghampiri Abi yang duduk bersandar pada sofa dan tengah menggendong putri mereka. Satu tangan Abi dengan kokoh menyangga Esta dan tangan yang lainnya sedang memegang botol susu. “Papaku sudah datang?” “Belum.” Fika duduk perlahan di samping Abi, lalu mengusap pelan pipi putrinya yang semakin gembul itu. “Barusan dibawain ASI lagi sama mbak Ning.” Kemudian, bibir Fika mengerucut dan menghela. Fika bukan tidak bisa meng-ASI-hi putrinya, tetapi ASI yang dikeluarkannya tidaklah terlalu banyak seperti Bening. Padahal, Fika sudah memakan semua makanan bergizi dan melakukan segala cara untuk memperlancar produksi ASInya. Namun, tetapi saja miliknya tidak bisa sebanyak milik Bening. “Sudah minum ASI boosternya?” tanya Abi mengingatkan ketika Fika menyinggung masalah ASI. Karena Aga telah mewanti-wanti Abi sebelumnya, maka ia sungguh berhati-hati ketika berbicara dengan Fika. Jangan s
“Sudah urus cuti buat lahiran Fika, Bi?” tanya Rasyid saat melihat Abi masuk ke ruang kerja yang berada di rumahnya. “Sudah.” Abi mendesah panjang, saat menghempaskan tubuhnya di sofa panjang. Kemudian, ia berbaring sembari menatap Rasyid dengan memeluk bantal sofa yang ada di perutnya. “Habis lahiran, Fika minta tinggal di rumahnya dulu biar ada yang bantuin.” “Nggak masalah.” Rasyid melepas kacamatanya, kemudian beranjak menghampiri Abi. Ia duduk pada sofa tunggal yang posisinya berada di sebelah kepala Abi. “Senin depan, sidang putusan papanya Bening digelar. Habis itu, papa mau istirahat.” “Ada isu banding?” Abi sedikit mengangkat kepala, agar bisa melihat sang papa. Setelah ini, Abi tidak akan membiarkan Rasyin kembali terjun menangani kasus apa pun. Abi ingin sang papa hanya menikmati masa tuanya dengan tenang, tanpa harus memikirkan banyak hal. “Isu banding itu pasti ada, tapi kita lihat nanti.” Rasyid bersandar pada sofa dengan helaan panjang. “Papa sempat telpon Bening, ta
“Nggak usah.” Fika menolak tegas, ketika Abi hendak mengabari Clara mengenai kondisinya. Karena tidak terjadi sesuatu yang serius, maka Fika memutuskan untuk tidak memberi informasi apa pun pada keluarganya. Cukup dirinya dan Abi yang mengetahui hal tersebut.“Kalau nanti ada apa-apa, mama sama papamu pasti nyalahin aku.” Memang tidak terjadi sesuatu yang meresahkan, tetapi tetap saja Abi merasa perlu mengabari kedua mertuanya.“Mas Abi pengen sampe aku kenapa-nap—”“Tarik napas, Mi.” Abi menghentikan langkah Fika di koridor rumah sakit. Istrinya itu kembali keras kepala. “Ingat kata dokter, kamu nggak boleh stres dan jadwal lahiran masih tiga minggu lagi.”Seketika itu juga, Fika menarik napas panjang dan mengikuti aba-aba dari sang suami. Fika melakukannya hingga berulang kali, sampai perasaannya menjadi tenang kembali.“Aku nggak boleh stres.” Fika bergumam sendiri untuk meyakinkan diri. Kemudian, ia kembali melanjutkan langkahnya dan masih terus menarik napas panjang lalu menghela
Sebagai anak bungsu yang kerap dimanja dan mendapat perhatian lebih, Fika akhirnya merasakan bagaimana rasanya tersisihkan. Semua perhatian seluruh keluarganya, saat ini berpusat pada Bening. Bahkan, Dean pun tidak jarang mampir untuk mengunjungi keponakan barunya sepulang kerja.Sementara Abi, semakin ke sini pria itu semakin disibukkan dengan banyak kasus dan jadwal sidang yang kian padat.Di titik seperti sekarang, Fika benar-benar merasa kesepian dan terlupakan. Seolah tidak ada lagi tempat bermanja, seperti dahulu kala.“Mi.” Abi berhenti di ambang pintu. Memanggil Fika yang sejak tadi duduk termenung di teras samping rumah. Tidak melihat ataupun mendengar respons dari Fika, Abi lantas kembali memanggil sembari menghampiri sang istri. “Mi,” tegur Abi sekali lagi sambil menyentuh pundak Fika, yang kemudian terhenyak.“Mas!” Fika reflek memegang dadanya, lalu mendongak menatap Abi. “Jangan ngagetin!”“Aku nggak ngagetin.” Abi lantas berlutut di hadapan Fika. Menyentuh perut sang is
“Segara Cakrawala.” Fika menatap bayi mungil yang sedang tertidur di samping Bening. “Jadi ingat pak Pras.” “Kenapa pak Pras? Bukan pak Raja?” tanya Aga yang baru saja keluar dari kamar mandi. “Padahal yang jadi gubernur itu pak Raja, tapi orang-orang selalu ingatnya sama Pras.” “Serius masih tanya masalah itu, Ga?” tanya Abi sambil terus menatap wajah mungil putra Aga, yang masih tidur dengan pulas. Melihatnya, Abi jadi tidak sabar ingin menimang bayinya sendiri. “Pras itu—” “Pak Pras itu ganteng,” celetuk Bening sembari bangkit dengan perlahan setelah melihat Aga. Suaminya itu memberi respons dengan menggeleng kepala, ketika mendengar Bening memuji Pras. “Tapi, ya, gitu! Kayak batu. Mending es batu bisa cair, lah dia?” “Serem!” timpal Fika dengan anggukan setuju. Namun, Fika masih tidak mendapatkan jawaban mengenai pertanyaannya barusan. Mengapa nama anak Bening dan Aga harus “Segara”? Aga menarik napas panjang lalu menghela. Ia berdiri di samping Fika, kemudian mengangkat Gara
“Tarik napas.” Bening menggeram, setelah mendengar Aga memberi perintah untuk yang kesekian kalinya. Pria itu berdiri tepat di sampingnya dan tidak lepas menggenggam erat tangan Bening sejak keduanya berada di ruang persalinan. “Sakiiit, Beeb. Jangan nyuruh-nyuruh aja bisanya.” Aga menatap sang dokter, yang sejak tadi tidak ingin berkomentar banyak. Karena dokter tersebut tahu benar, Bening akan membalas semua ucapan yang ada dengan kalimat yang lebih panjang lagi. Aga hendak membalas ucapan sang istri, tetapi kemudian ia berubah pikiran. Sepertinya diam lebih baik, daripada mendengar Bening terus mengoceh dan menghabiskan tenaganya. “Bu Dok, lagi ...” Bening kembali merasakan kontraksi, sehingga membuat tubuhnya merasakan sakit yang luar biasa. “Tunggu sebentar.” Dokter wanita itu mengangguk, dan bersiap memberi aba-aba untuk Bening. “Tunggu gim—” “Tarik napas, Bu.” Dengan terpaksa, dokter tersebut memotong ucapan istri Aga. “Dorooong …” Bening kembali menuruti instruksi sang