Sebuah meja bundar dengan empat kursi, menjadi saksi perjanjian di antara aku dengan Rini; istri Rudi. Janda ini terus saja membuatku jengkel, karena ia seakan menjadikan kesempatan ini untuk memerasku. Ia tidak membalas pesanku sama sekali sejak pertama kali kuhubungi. Ternyata, tidak hanya aku yang punya rencana. Tetapi, Rini juga. Ia benar-benar ingin memerasku.
"Pelit banget, Lo. Nggak bisa kalau cuma 2 milyar." Ia menggerutu.
"Jadi, mau Lo berapa?" Tanyaku kesal.
"5 miliyar!" Ia tersenyum sinis.
Mendengar hal itu, aku berhenti memainkan jari-jariku yang tadinya menyebabkan bising di meja kayu. Aku lantas berdiri dan mendekati Rini, kemudian berbisik mengancam,
"Rudi ada di sini."
"Memperhatikan kita." Sambungku sambil mengeluarkan pistol yang telah diberi peredam bunyi dari saku.
"Tapi sayangnya, dia nggak akan bisa melakukan apapun buat, Lo." Aku mempertegas ucapanku sambil meletakkan ujung pistol pada pelipisnya.
R
“Untuk insiden ini, gue sebagai artis benar-benar dengan tulus dari hati dan mewakili agensi meminta maaf kepada semua orang yang terpukul atas kepergian Rudi, terutama keluarga Rudi.” Aku menatap Rini yang masih terisak sejenak, mengelus pelan pundaknya, kemudian kembali melanjutkan, “Gue benar-benar menyesal dan merasa bersalah. Mulai sekarang, gue akan merenungi semuanya dan lebih peka terhadap orang-orang di sekeliling. Gue akan berusaha lebih berhati-hati.” Aku meneteskan air mata. Sandiwara tentunya. Puluhan kamera semakin gencar mengambil gambar. Mereka tampak benar-benar termakan. Setidaknya, Rudi tidak akan dikenang sebagai penyuka sesama jenis, tetapi sebagai seorang manager yang berarti bagi orang-orang di sekelilingnya. “Gue berharap, sekarang ini Rudi berada di tempat yang baik dan bahagia tentunya,” tutupku. “Tapi sayangnya dia malah gentayangan di sini.” Aku melanjutkan ucapanku dalam hati. Salah seorang perwakilan dari
Jaeryn SalimSebuah suara yang tak asing membisik perlahan di telingaku, dan suara itu membangunkanku.“Kamu harus mengungkap siapa pembunuhku yang sebenarnya,” bisik seorang pria.Kusadari, suara itu adalah suara milik Mas Rudi.“Kamu harus mengungkap siapa pembunuhku yang sebenarnya.” Suara Mas Rudi kembali terngiang, semakin keras, dan terdengar begitu nyata. Seakan-akan ia berada di sampingku.Aku pun membuka perlahan mataku, dan menelan pelan ludahku. Kurasakan punggungku pegal dan panas, mungkin karena aku sudah terlalu lama terbaring dengan posisi lurus. Kudaparti semua yang ada di depanku terlihat samar. Mataku berkedip lemah selama beberapa kali, berusaha menelaah apa yang sedang terjadi kepadaku.Aku mengambil napas sejenak, kemudian menatap kosong ke arah sesosok yang ada di hadapanku; Bunda.“Bund ….” Aku memanggil dengan suara yang sangat lemah.
“Kamu harus mengungkap siapa pembunuhku yang sebenarnya,” Suara Mas Rudi kembali terdengar. Aku pun kembali mencoba membuka mataku.Kudapati wajah Mas Rudi mendekat ke arahku, mata kami saling menatap.“Mas Rudi?” Panggilku.Tanpa menjawab, tiba-tiba saja Mas Rudi mencekikku keras. Aku sontak tercekat dan memukul keras kedua tangannya. Kupukul tangannya terus menerus, sebab aku mulai merasa kehabisan nafas.“Jaeryn ...” Terdengar seorang pria dengan suara berat memanggil namaku di saat yang bersamaan.“Jaeryn ...” Pria itu kembali memanggil namaku.Dan karena panggilan itu, sosok Mas Rudi perlahan menghilang di sela-sela aku berusaha melepaskan diri dari cekikan. Setelahnya kurasakan udara mulai lancar masuk melalui hidungku. Kurasakan pula, sebuah tangan hangat memegangi sepasang tanganku. Seakan berusaha menghentikan gerikku.Aku mencoba mengedip beberapa kali, berusaha memastika
“Terus kenapa Bunda nggak nanyak ke aku kalau tahu aku hamil?”“Emangnya kamu bakalan jujur? Bunda tahu kamu nggak bakalan jujur. Kalau mau jujur pasti udah langsung cerita ke Bunda. Bunda takut kamu bakalan gugurin janin itu. Dan janin itu tidak berdosa.”“Aku sendiri aja nggak tahu kalau aku hamil, Bund. Jangan ngaco, deh!” Aku terus membatah pernyataan Bunda.Bunda mengeluarkan sebuah hasil USG dan menunjukkannya kepadaku. Aku pun mengambil cepat hasil itu, serta langsung memeriksanya. Dan memang, tertera namaku di sana; Jaeryn Salim.Tanganku melemas seketika, aku menghembuskan napas dengan kasar. Air mata kembali jatuh tak terbendung.“Fiuh ….” Keluhku.Melihat reaksiku itu, Bunda malah memukul pelan lenganku dan berkata, “Bisa-bisanya kamu nggak tahu kalau kamu hamil padahal pernah nganu sama laki-laki!”“Kamu belajar hal itu dari siapa? Bunda udah selalu i
“Arghhh ...” Aku mengerang putus asa.“Hal ini perihal menyelamatkan diri sendiri atau orang lain, Jaeryn. Dan kamu nggak perlu menyelamatkan orang yang sudah merusak kamu. Lagipula dia sudah mati,” ucap Bunda sembari memegangi pelan kedua lenganku.“Jika detik ini Rudi tidak menghamili kamu, maka kamu boleh berdiri di garda depan untuk mengungkap kasus pembunuhan itu. Harus malah! Tapi sekarang, dia menghamili kamu. Anggap saja hal ini adalah hukuman buat dia. Menurut Bunda, semua ini setimpal. Lagipula kamu nggak melakukannya buat iseng-isengan. Ini di antara hidup dan mati.”“Jaeryn, kita sudah terlalu jauh. Ingat juga apa yang sudah Geraldy korbankan.” Bunda berusaha keras untuk menyakinkan aku.“Geraldy ... cowok itu! Aish!” Ucapku kesal sembari memukul kasur.“Kenapa malah menyalahkan Geraldy? Dia sudah bantuin kita sampai sejauh ini, Nak.” Bunda terus membela Geraldy.
Satu minggu kemudian.“Pagi Mbak Jaeryn, selang infusnya saya lepas, ya,” ucap seorang suster dengan ramah.“Oke, sus,” jawabku dengan nada yang ramah pula.Di saat yang bersamaan, Bunda mengelus punggungku dan melemparkan sebuah senyuman tipis; senyuman menguatkan.Hari ini, adalah saat di mana aku akhirnya bisa keluar dari rumah sakit dan kembali ke apartemen Geraldy, sesuai dengan rencana bunda.Satu minggu dari kunjungan terakhir, Geraldy tak pernah menjenggukku lagi. Karena, terakhir kali aku bilang ingin berdua saja dengan Bunda. Tumben sekali dia mau mendengarkanku dan memberikan ruang untukku. Apakah mungkin dia sibuk? Rasanya agak sedikit aneh.Setahuku semua jadwalnya masih ditunda. Soalnya keadaan di luar sana belum dipastikan seratus persen aman. Lagipula, saat ini banyak berita tentang dia yang simpang siur.Meskipun cerita bohongan, kemungkinan juga ada netizen yang menyudutkan Geraldy ka
Dengan spontan aku meraih kembali lengan seseorang yang saat ini sedang memegangiku, dan tak pernah sebelumnya aku memegang lengan seorang pria seerat ini. Lebih tepatnya, tak pernah aku mencengkram lengan berotot tebal seorang Geraldy. Setelah mencengkram erat lengan Geraldy, aku akhirnya berhasil mengeluarkan napas yang kutahan karena ketegangan menguasaiku. Keberadaannya membuatku merasa sedikit lebih lega. Namun, disaat yang bersamaan aku juga bertanya-tanya, apakah sosok Geraldy ini nyata ataukah hanya halusinasi? Semenjak tersadar minggu lalu, aku mendadak tak pandai membedakan kenyataan dengan halusinasi. Sepertinya aku masih trauma dengan kejadian malam itu. Sembari berusaha mengatur napasku lagi, aku mengajak Geraldy berbicara dengan suara bergetar,
“Ah, yasudahlah! Nggak usah dipikirin. Nggak usah heran, Geraldy memang seperti itu,” batinku sambil memijat pelan lenganku yang baru terasa pegal setelah mencengkram lengan Geraldy selama lebih dari lima menit.Saat panik tadi, aku tak bisa merasakan sensasi apapun pada tubuhku. Setelah mulai tenang, aku baru bisa menyadari rasa pegal pada lenganku. Ah ... sepertinya Geraldy juga kesakitan tadi karena cengkramanku.Lagian, kenapa juga Geraldy membiarkan aku mencengkram lama lengannya itu? Seharusnya dari awal dia tepis aja, kan? Dasar pria aneh! Aku tak mampu memahaminya sampai detik ini.“Kemarin dia mencaciku miskin, tapi habis itu bilang ke Bunda dia bersedia menerima kondisi kehamilanku dan mau bertanggung-jawab juga. Dan hari ini dia bilang aku lemah, tapi tetap aja membiarkan aku mencengkram lengannya. Memang bukan Geraldy namanya kalau sikapnya nggak konsisten!” Aku kembali larut dalam pikiranku sembari menoleh t
“Sekali lagi maaf udah bikin kamu marah.” Jaeryn menyadari kemarahanku dari rautku yang kesal.“Sumpah aku nggak maksud nuduh ataupun menyudutkan kamu. Aku cuma nanya aja tadi.” Jaeryn kembali meminta maaf dengan mata berkaca-kaca.Haduh, lagi-lagi air mata dan air mata. Memuakkan. Sepertinya sia-sia berusaha mengajari gadis bodoh ini untuk menjadi lebih kuat dan berani.Aku kembali mendekatkan wajahku ke wajahnya dan menatapnya benci,“Emangnya lo berharap bakalan terjadi apa?”Jaeryn tersentak mendengar pertanyaanku dan ia tidak berani menjawab apa-apa.Karena sudah malas berlama-lama dengannya, aku pun langsung meluruskan rasa penasarannya dengan berkata,“Lo ngompol semalam,” jelasku cuek lalu menegakkan tubuhku.Jaeryn sontak menatapku dengan sikap tubuh yang tak lagi tegang.“Agak aneh kalau Bunda lo tahu lo ngompol, jadi gue gantiin sama sempak emak gue yang ada,” lanjutku kemudian.“Ahh ... gitu,” jawab Jaeryn. Ia tampak begitu malu.“Sekali lagi maaf udah ngerepotin.” Jaeryn
“Kenapa? Ada yang mau lo tanyakan?” Aku menyadari kehadiran Jaeryn di sela-sela pemikiranku. Sepertinya dia sudah berdiri cukup lama di belakangku tanpa bersuara.“Oh, iya.”“Dari semalam mau nanya nggak sempat,” jawab Jaeryn ragu.“Apa?” Aku pun membalikkan badan dan menatapnya.“I-itu. Soal ....” Jaeryn masih tergagu-gagu.“Apaan, sih?” Aku mulai kesal. “Masih soal yang tadi?”“Bukan!” Jaeryn menjawab cepat.“Terus? Apa?”“Itu ... soal pelaku utama yang bakalan di sidang beberapa hari lagi. Kira-kira kamu udah nyogok dia belum, ya?”“Maksudku, dia nggak bakalan bilang ke hakim kalau aku hamil anak Mas Rudi, kan?” Jaeryn menundukkan kepalanya.“Enggak,” jawabku singkat.“Hah? Enggak?”“Kamu nggak nyogok dia? Atau ... nggak, untuk apa, nih?”“Itu gapapa? Maksudnya ... rahasiaku gapapa?” Jaeryn tampak panik.“Lagipula yang ngehamilin lo di tenda itu gue. Sehingga lo hamil anak gue, bukan Rudi. Jadi, enggak bakalan ada yang tahu.” Aku membatin puas.“Iya, engga. Nggak bakalan ada orang
Flashback Kamar Geraldy.“Bersalah? Untuk apa merasa bersalah kepada orang yang jahat? Yakin … lo juga beneran merasa bersalah? Buktinya sampai hari ini lo nggak ngucapin apapun perihal perasaan kehilangan lo buat Mas Rudi di sosmed. Yang ada tadi lo malah mengupload foto dengan curhatan yang super najis,” ucapku dengan nada tinggi.Perempuan sialan ini malah menyalahkan aku soal kematian Rudi. Dia pikir dia siapa berani menghakimi aku seperti ini.“Tapi … mungkin lo emang secinta itu sama Rudi. Sayang sekali kalian harus beda alam sekarang. Mau gue bantu biar kalian bisa barengan lagi, nggak?” Aku mulai mengancam Jaeryn.“Sebenarnya gue nggak merasa udah ngebunuh Rudi secara langsung, sih. Tapi kalau lo berpikiran gitu … anggap aja dia korban pertama gue. So … haruskah gue jadikan lo korban kedua? Agar gue benar-benar terbiasa dengan membunuh seperti tuduhan lo tadi?” Gertakku lagi sembari menodong serpihan pecahan kaca ke leher Jaeryn.Sikapku ini sukses membuat tubuhnya bergetar.
GERALDY PRATAMATidak ada seorang pun yang tahu, meski demi misi pembalasan dendam .... sesungguhnya aku sangat menyesal sudah ikut menikam Rudi. Seharusnya aku tak perlu sampai melewati batas malam itu, seharusnya kubiarkan saja dia mati dengan sendirinya. Tapi nyatanya, aku turut mengotori tanganku. Sungguh ... aku sangat menyesal untuk itu.Namun, segalanya telah terlanjur terjadi. Bahkan Rudi, kini terus bergentayangan di sekelilingku.Haah ... Biarlah penyesalan ini menjadi hukumanku. Lagipula aku tak bisa memutar waktu.Lalu perempuan ini .... mengapa tiba-tiba saja berubah pikiran? Kemarin dia menyudutkan aku, tetapi sekarang dia berusaha membuatku merasa lebih baik. Dia pikir dia siapa?Aku ... tidak butuh ini.Ah, tidak. Aku membutuhkannya. Aku butuh sebuah pengakuan, bahwa aku bukan pembunuh Rudi. Meski sering mengakui bahwa aku adalah pembunuh Rudi, tapi sejujurnya di dalam hatiku ... terbesit harapan bahwa bukan aku yang membunuhnya.Oleh karena itu, aku bilang kepada Jaer
“Engga juga.” Geraldy menjawab tanpa menatapku.“Ucapan lo kemarin nggak sepenuhnya salah.” Lanjut Geraldy dingin lalu menyuruput susu proteinnya.Mendengar ucapannya, aku hanya bisa terbenggong karena tak terlalu memahami apa yang sebenarnya ia maksud. Tapi setidaknya, Geraldy tidak mencaciku. Fiuh ... hampir saja. Aku lega setengah mati.Namun, aku tetap berusaha keras untuk memahami ucapannya. Bahkan saking terlalu binggung dan penasarannya aku akan makna ucapan Geraldy, tanpa kusadari aku menatapnya kosong cukup lama. Kali ini bukan karena terpaku akan kerupawanan, tapi aku hanya larut dalam tanda tanya pikiranku sendiri.“Makan dulu buburnya, nanti dingin.” Geraldy menunjuk mangkok buburku. Ia berhasil membuyarkan ketidakfokusanku.Aku sampai terlupa belum sempat menyendok sedikitpun bubur yang tersaji hangat di depanku ini, sejak duduk di meja makan.Tanpa merespon dengan kata-kata, aku buru-buru menyantap buburku dan tak berani menatap mata Geraldy lagi.“Kalau dipikir-pikir, m
“Oh, iya. Ini mau sarapan, kok. Aku mau cuci muka sebentar,” ucapku sembari memegangi pintu yang setengah terbuka. Meskipun tadinya sempat merasa panik sekaligus tegang, Geraldy sukseks membuatku terpaku sejenak memandangi wajahnya; mendonggak dari bawah karena aku terduduk di atas kursi roda.Sungguh ... ia tampan mau dilihat dari sudut manapun. Sebelum bibirku merasakan hangatnya santapan bubur buatan Bunda, mataku sudah terlebih dulu menyatap ketampanan Geraldy. Seperti yang diduga ... itulah mengapa hanya orang-orang pilihan yang bisa menjadi artis terkenal di tanah air. Karena tidak semua orang tetap terlihat rupawan meski tanpa riasan, serta sehabis mengelap iler mimpi semalam.“Oke,” jawab Geraldy singkat, lalu beranjak lebih dulu ke meja makan.Tentu ia sangat berbeda denganku, aku membukakan pintu dalam keadaan rambut yang acak-acakan. Mata yang sedikit bengkak, wajah kusam, bibir pucat ... serta ada perasaan tak nyaman di bawah sana. Ya, celana dalam yang bukan milikku ini t
Geraldy, banyak yang tak tahu sesungguhnya laki-laki seperti apa dirinya. Orang-orang pasti tak menyangka, Geraldy yang biasanya dikenal tampan dan penuh bakat bisa dengan keji melakukan pembunuhan. Pulanya ia tak ambil pusing untuk merasa bersalah.Sebuah serpihan besar botol wine kini menempel di leherku. Tanpa basa-basi Geraldy menyayatkan leherku dengan serpihan tersebut. Aku tak berdaya, begitu pula dengan darahku. Mereka mengalir deras ke arah bawah; mencari tempat yang lebih rendah. Pandanganku pun memudar seiring melemahnya kesadaranku.Geraldy benar-benar menjadikan aku sebagai korban keduanya. Sungguh betapa kejinya ia; seorang pembunuh bertopeng idola.Namun, leherku yang tersayat serpihan botol wine hingga mengeluarkan darah seharusnya terasa dingin. Tapi mengapa, aku malah merasakan kehangatan di sekuju
Di sela-sela perjuanganku untuk fokus, Geraldy kembali berbicara. Ia terdengar sedikit mabuk.“Santai. Lo nggak harus mikirin biaya karena rumah lo gue renov gratis. Kalau orang tanya sementara rumah lo di renov, lo tinggal di mana … ingat! Bilang aja lo nyewa rumah lagi. Jangan sampai keceplosan bilang kalau lo tinggal di rumah gue!”“Iya, siap,” jawabku cepat.Sepertinya sepulang dari rumah sakit tadi Geraldy langsung mengurusi renovasi rumahku. Makanya dia baliknya agak lama.Namun, jujur saja aku agak tak terima Geraldy merenovasi rumahku tanpa izinku dan Bunda. Meskipun hal itu adalah perbuatan baik, tapi setidaknya dia nanya dulu, ngga, sih? Aish … si micellar water ini benar-benar. Kali ini aku mulai kesal kepada Geraldy. Hanya karena dia punya banyak uang, bukan berarti bisa sesukanya saja merubah rumah orang lain.“Tapi kenapa, sih, renov rumahku tanpa izin? Barang-barangku gimana?” Protesk
“Kalau ditanya, tuh, langsung jawab bisa nggak, sih?” Geraldy kembali mendesakku yang terdiam kehabisan kata-kata.“Maaf,” jawabku singkat karena kehabisan kata-kata serta dipenuh rasa bersalah.Karena ditegur Geraldy, aku baru tersadar atas perilakuku yang salah. Memang seharusnya tadi aku mikir dulu sebelum upload foto itu. Sayangnya nasi sudah terlanjur menjadi bubur.“Duh, bodohnya kamu Jaeryn. Mau curhat malah berakhir nambah beban pikiran,” sesalku dalam batin.“Aku harus gimana, dong?” Tanyaku sedih. Aku kembali mengarahkan pandanganku ke lantai.Geraldy beranjak berdiri dan berkata, “Mau gimana lagi. Kalau ditanya lo harus jawab bahwa tadinya lo cuma mampir ke apartemen gue sepulang dari rumah sakit buat ngambil vitamin yang udah gue beli dari luar negeri. Jangan sampai ada yang tahu kalau lo tinggal di sini. Kecuali, kalau lo mau dihujat.”Mendengar ide kebohongan