Happy Reading*****"Eyang tahu keluarga Sasongko?" tanya Mahesa tak percaya. "Siapa yang tak kenal keluarga kaya raya itu. Kalau kamu direktur di pabrik kosmetik Ratu Ayu nggak mungkin kamu orang luar. Eyang kenal betul siapa Sasongko," kata Laksmi. Dia mempertajam tatapannya pada Mahesa. "Jadi, apa hubunganmu dengan Sasongko?"Mengulang pertanyaan yang sama, Laksmi menunggu kejujuran pemuda itu. Mahesa tak lagi bisa mengelak. Perusaahan itu memang milik keluarganya bahkan jika bukan karena dia adalah putra dari Broto, eyang kakungnya itu tak akan pernah memberikan jabatan direktur. "Apalah saya, Yang. Cuma sebagai pekerja saja di perusahaan tersebut," kata Mahesa merendah. Laksmi tertawa. "Oke, kalau kamu nggak mau jawab, Nak." Kini, perempuan sepuh itu berpindah menatap Riyan. "Mas, tolong ambilkan ponsel Eyang atau pinjem punyamu dulu saja. Kelamaan, eyang makin penasaran."Riyan yang sudah berdiri akan mengambil ponsel, urung. Dia merogoh saku dan memberikan benda pipih milikn
Happy Reading*****"Sialan. Kamu tahu dari siapa kalau aku ditolak gadis itu?" "Kan kamu yang cerita waktu itu. Nggak inget pas kamu mabuk berat gara-gara dia. Dih!" Beruntung Wandra bisa mengalihkan perkataan yang terlanjur diketahui waktu itu. "Bener, juga. Ah, kita ini emang sama, Ndra. Hari itu aku ditolak, kamu malah ketemu sama suami pujaanmu." Mahesa tertawa lebar demikian juga dengan Wandra. "Sama-sama koplak dalam cinta," sahut Wandr, "jadi, kapan mau balik Banyuwangi? Aku nggak bisa lama-lama di sini, Sa. Bikin nyesek aja. Kenangannya terlalu banyak dan aku belum sanggup melupakan semuanya. Besok, kalau kamu nggak balik, aku bakalan balik ke Jakarta. Kasihan Kakek sendirian.""Kasihan Kakek apa kangen Arsyana?" goda Mahesa, tawanya menggelegar saat umpatan keluar dari mulut sahabatnya di seberang sana. "Aku nunggu ayang balik, kayakny, Ndra. Nggak tega juga ngebiarin dia balik kampung sendirian.""Acie... gegayaan mau pulang bareng ayang. Emang sudah diterima cintamu?" H
Happy Reading*****"Kenapa kamu marah, Lit? Bukan kamu perempuan itu?" Mahesa merasa aneh dengan reaksi berlebihan dari Jelita. Gadis itu bahkan sampai menghentakkan kakinya ketika melontarkan perkataannya tadi. "Karena aku pernah ada diposisi yang Mas katakan tadi. Dituduh berkhianat oleh seseorang padahal lelaki itu sendirilah yang mengkhianati." Jelita merasa tubuhnya lemah saat mengingat kejadian beberapa tahun lalu. "Demi seseorang itu, aku rela memantaskan diri kuliah di Yogyakarta agar keluarganya nggak memandang sebelah mata lagi. Kenyataannya, setelah satu tahun, sebuah surat yang menyatakan bahwa dia telah menikahi orang lain, aku terima." Jelita tak kuasa membendung air mata yang mulai membasahi pipi. Mahesa tersentak melihat kenyataan yang baru saja diceritakan gadisnya. 'Jadi, inilah sebab Jelita membentengi dirinya agar tak jatuh cinta lagi.'"Mas tahu apa yang lelaki itu katakan saat kami punya kesempatan bertatap muka. Dia menuduhku mengkhianatinya. Sungguh, posis
Happy Reading*****Jelita masuk diikuti Puspa. Mereka berdua terkikik melihat tetangga sebelah kanan rumahnya kelabakan karena si suami pulang dibonceng seorang perempuan cantik. "Ibu kok tahu kalau Pak Saman pulang dibonceng orang," tanya Jelita ketika mereka sudah di dalam rumah. "Nggak sengaja tadi lihat. Niat hati mau ngomel juga, kenapa Mbak Romlah mesti ikut campur urusanmu. Pake tanya pelet segala. Apaan coba." Puspa mulai terlihat kesal. Selama ini dia sudah cukup bersabar dengan cemoohan semua tetangga tentang putrinya. "Masuk, yuk, Bu. Lita capek pengen istirahat," kata Jelita, sengaja menguap agar ibunya percaya. Sehari berada di rumah, Jelita sudah dihubungi Sularso untuk ikut menari di sebuah hajatan. Dia pun menyanggupi, tetapi sebelum itu Jelita harus ke kantor Pemda untuk memasukkan lowongan seperti yang diminta oleh lembaga yang memberinya beasiswa. Setelah menyerahkan surat lamaran itu, Jelita berangkat ke alamat hajatan yang sudah diberikan oleh Sularso. "Alh
Happy Reading*****Kaki Jelita seolah ditempeli lem. Kerongkongannya tercekat. Namun, dia tetap memilih mempercayai isi surat yang ditulis oleh sang kekasih. Tanda tangan yang terdapat di sana adalah asli tulisan tangan Wandra. Mana mungkin orang lain melakukannya. Bisa jadi, pernikahan Wandra memang masih dirahasiakan. Bukankah hal itu wajar sekali. Hati Jelita berperang, antara ingin menyelidiki atau membiarkan begitu saja semua yang telah terjadi. Toh, semesta tak pernah mendukungnya untuk bersatu bersama Wandra. "Lit, kamu nggak papa, Nduk?" Tangan Sularso bergerak-gerak di depan wajah Jelita. Tersadar dari perang batinnya, Jelita tersenyum. "Lita baik-baik saja, Pak.""Syukurlah," jawab Sularso, "sebaiknya kamu cari tahu kebenaran pernikahan Wandra, Lit. Bapak sangat sangsi kalau dia sudah menikah. Jangan sampai kamu salah duga dengannya. Wandra itu lelaki yang baik. Sangat berbeda dengan sifat ibunya dan dia terlihat sangat mencintaimu.""Ah, Bapak. Untuk apa lagi Lita membu
Happy Reading*****Mahesa menatap Jelita lekat. "Wah, kayaknya ada yang lope-lope, nih, bentar lagi. Asyik, bunda bakalan seneng punya mantu," godanya.Jelita melempar tisu ke arah Mahesa dan mengenai dada. "Nggak usah ngarep, Mas. Dari pada sakit hati nantinya.""Sah-sah saja, kan. Siapa tahu Allah mengijabah doaku selama ini dan menjodohkan kita."Deg....Jantung Jelita berpacu dengan cepat. "Mas nggak usah ngomongin itu, ya. Kita bakalan tersakiti satu sama lain. Terima kasih sarannya. Nanti aku obrolin lagi sama Ibu." Mengatasi rasa gugupnya, dia meneruskan suapan ke mulut. "Jangan diambil hati, dong, Lit. Mas cuma guyon." Mahesa pum melakukan hal sama seperti Jelita, melanjutkan makan. Ternyata, hati perempuan itu masih setegar karang, tak tergoyahkan sama sekali walau Mahesa sudah melakukan banyak cata agar hati gadisnya terbuka. "Ini serius, kalau kamu butuh bantuan untuk kostum-kostum seperti itu bisa hubungi Bunda atau Tante Shinta. Beliau berdua punya banyak relasi yang
Happy Reading*****"Bukan seperti itu, Nak," kata Puspa, "Jelita trauma jika harus berhubungan dengan orang kaya seperti Nak Mahesa. Bukan nggak mau buka hati. Benar begitu kan, Nduk?""Ibu salah menafsirkan. Lita memang nggak ingin membuka hati untuk lelaki mana pun selain dia." Mata gadis itu memerah.Mahesa menatap, Jelita geram. "Lelaki yang sudah menghinamu yang akan kamu tunggu seumur hidup? Ayolah, Lit. Berpikir realistis, bukankah dia sudah menikah?" "Mas datang ke sini bukan untuk membicarakan kisahku, kan?" Jelita seolah menutup celah untuk membahas masalah pribadinya."Oke. Mas pulang saja kalau gitu. Besok Mas jemput." Mahesa pamit, tak berjabat tangan pada Puspa atau Jelita. Perasaan cemburu masih membakar jiwanya.Puspa menatap putrinya dengan sedih. "Sudah waktunya kamu membuka hati, Nduk. Jangan biarkan pikiranmu berpusat pada Wandra. Mungkin, dia sudah melupakanmu dan bahagia dengan perempuan lain. Buktinya dia nggak pernah pulang kampung.""Bukan mungkin, Bu. Mas W
Happy Reading*****"Maaf, Bu. Bukannya saya berani, tapi ini kantor dan masih pagi untuk bertindak arogan seperti ini. Lagian kenapa mesti marah jika apa yang dituduhkan nggak bener," jawab Jelita masih dengan suara normal dan menghormati Ajeng. "Siapa yang arogan?" Ajeng berlalu meninggalkan semua orang. Keributan pagi hari itu membuat Jelita makin dibenci oleh Ajeng. Dia merasa kalah dengan anak bau kencur macam dirinya. Namun, semua itu tidak diungkapkan, hanya disimpan dan suatu saat kelak, dia akan bertindak memberi sedikit pelajaran pada Jelita. "Jelas-jelas dia itu orang yang sombong, masih aja ngelak. Anggota dewan kok kayak gitu," kata rekan kerja Ajeng lainnya. "Saya, sih, dari dulu emang nggak begitu suka sama Bu Ajeng. Mulutnya itu, lho. Ngenyek aja kerjaannya. Belum pernah ngerasaain susah dalam hidupnya, sih," kata yang lain. Walau tak tahu apa yang membuat kemarahan Ajeng tadi. Namun, perempuan itu yakin pasti karena mulut lemes istri Camat."Sampun, Bu. Nggak perl
Happy Reading*****Sinar mentari pagi mengenai jendela kaca di ruang perawatan Jelita. Bentuk paviliun memudahkan akses sinar masuk dengan sangat baik. Perempuan itu menggerak-gerakkan bola mata dan perlahan membuka. Terlihat genggaman tangan sang suami yang tidur terduduk di sebelah ranjangnya.Jelita teringat kejadian tadi malam. Semua orang terpaksa bangun karena sikap keras kepalanya. Merasa ada yang menculik sang anak padahal dia sedang dalam pengaruh obat. Setelah mendengar penjelasan perawat mengenai efek obat bius yang diberikan. Barulah Jelita percaya bahwa anaknya ada di dalam ruang perawatan dan esok baru bisa dibawa untuk menemuinya.Merasakan pergerakan tangan sang istri yang berada dalam genggamannya, Wandra terbangun. "Pagi, Sayang. Gimana keadaanmu?" tanyanya. Bangkit dari posisi duduk dan mencium kening Jelita."Alhamdulillah, Mas. Rasanya aku sudah jauh lebih baik.""Sudah kentut belum?" Malu-malu, Jelita menganggukkan kepala. Sewaktu belum ada yang terbangun, per
Happy Reading*****Bersamaan dengan teriakan Wandra, Jelita memejamkan mata membuat lelaki itu semakin panik luar biasa. "Tolong istri saya, Dok. Dia baru saja jatuh terduduk, tapi kok malah begini?" kata Wandra dengan suara bergetar hebat. Antara takut dan ingin menangis melihat darah pada bagian kaki sang istri."Kami akan tangani dengan baik, Pak. Silakan tunggu di luar," perintah sang dokter setelah membaringkan Jelita dan memasukkannya di ruang gawat darurat."Tenanglah, Ndra. Kita semua juga khawatir pada kesehatan Jelita, tapi kalau kita panik. Maka, dia juga akan ikut panik dan anak dalam kandungannya akan bereaksi juga," nasihat Ajeng. Perempuan itu mengajak Wandra duduk. Ada sebuah bangku di depan ruangan tersebut.Puspa berjalan mondar-mandir. Dia tidak bisa duduk tenang seperti Ajeng dan sang menantu. Sementara itu, Mahesa baru saja menghampiri mereka bersama dengan keluarga yang lain setelah hampir sepuluh menit Jelita masuk ruangan."Bagaimana keadaan Lita, Pus?" tanya
Happy Reading*****Hari-hari yang dijalani Jelita dan Wandra cukup membahagiakan. Kandungan semakin besar dan keponakannya yang tumbuh sehat. Usaha melejit bahkan nama besar Pambudi kembali bersinar dengan segala usaha yang didukung oleh seluruh keluarga.Sanggar milik Sularso yang kini sudah dibeli oleh Jelita juga semakin berkembang. Masyarakat tak lagi memandang remeh pada profesi penari Gandrung berkat kegigihan Jelita. Tarian itu bukan lagi menjadi momok bagi siapa saja yang mempelajarinya. Walau tidak lagi berada di atas panggung secara langsung, tetapi Jelita masih berperan dalam setiap pementasan. Kembali bekerja pada dinas pariwisata dengan perut membuncit. Bukan yang wanita itu cari saat ini, tetapi bagaimana membesarkan serta mengenalkan budaya-budaya kabupaten kelahirannya kepada dunia luar.Wandra tidak membatasi pergerakan sang istri. Demikian juga kedua orang tua serta Puspa. Mereka semua mendukung apa yang dilakukan oleh Jelita dengan syarat tidak mengabaikan keluarg
Happy Reading*****Sudah hampir sebulan putra Rista dan Mahesa lahir ke dunia. Pangeran kecil itu mendapatkan segala limpahan kasih sayang serta cinta dari seluruh keluarga tak terkecuali keluarga Jelita. Kini, sang pangeran kecil bernama Ezaz Prawira Sasongko itu sudah berumur satu bulan lebih. Tiga hari lagi akan diadakan selapanan sesuai adat.Acara besar yang akan digelar di kediaman keluarga Mahesa sebagai pemilik pabrik pengalengan ikan. Seluruh karyawan diundang bahkan masyarakat sekitar dan karyawan sang mertua juga pegawai Jelita diundang juga. Acara tasyakuran yang sudah seperti ngunduh mantu saja.Wandra dan Jelita cuma bisa tersenyum, membayangkan bagaimana hebohnya ketika mereka yang memiliki anak. Perut Jelita pun mulai sedikit membuncit walau tidak terlihat dari luar karena baju yang dikenakan selalu longgar.Pagi ini, sudah terlihat beberapa orang memasang tenda. Keluarga Mahesa juga sudah datang. Mereka tak henti-hentinya memperebutkan Ezaz. Silih berganti menggendon
Happy Reading*****Setengah berlari memanggil sopir, Ajeng menghubungi menantunya dan mengatakan bahwa Rista sedang kontraksi saat ini. Setelahnya, barulah dia menghubungi sang suami. Di dalam sana, kakek tengah memapah sang ibu hamil bersama dengan Puspa.Jelita juga menghubungi Wandra, memberikan kabar bahwa adiknya akan segera melahirkan."Aduh," keluh Rista menahan rasa sakit. "Sabar, Nak," ucap Puspa sambil memegangi Rista."Sudah dekat HPL, harusnya kamu diam di rumah saja. Ini malah makan rujak pedas." Si kakek mulai tampak kesal. Pasalnya Rista tak membawa persiapan persalinan sama sekali padahal sudah sering diingatkan."Maaf, Kek," kata Rista sambil menahan rasa sakit.Mereka sudah berada di depan mobil Ajeng. Sang mama segera membawa putrinya duduk di bagian tengah, sedangkan kakek duduk di samping kemudi."Nak, kamu nyusul sama Mas Wandra saja, ya. Jangan terlalu khawatir supaya janinmu nggak ikut resah," ujar Puspa. Setelah mendapat anggukan dari Jelita, wanita itu masu
Happy Reading*****"Dok, apa artinya istri saya positif hamil?" tanya Wandra sedikit penasaran dengan hasil test urine yang dilakukan tadi."Insya Allah seperti itu, Pak. Walau garis dua pada test pack masih samar, tapi sudah bisa dikatakan positif hamil. Bisa dicek sebentar lagi."Jelita menatap suaminya tak percaya. Secepat itu mereka diberikan karunia berupa anak. "Mari, Dok. Saya sudah tidak sabar ingin melihat seperti apa prosesnya di dalam perut."Senyum semringah tampak menghiasi wajah pasangan muda tersebut. Melihat ada segumpal bulatan yang menempel pada dinding rahim Jelita. Walau sangat kecil, tetapi hal tersebut sudah membuktikan bahwa dalam perut perempuan itu akan hadir seseorang yang akan membahagiakan seluruh keluarga. Wandra bahkan tak kuasa menahan air matanya yang mulai jatuh. Dia begitu terharu melihat bulatan kecil yang masih belum terbentuk itu. Penantiannya selama ini terbayarkan sudah. "Tolong dijaga baik-baik, ya, Pak, Bu. Ini masih sangat rentan sekali. Ja
Happy Reading*****Mengejar sang istri yang berlari ke arah kamar mandi. Wandra mulai membantu Jelita, memijat tengkuk supaya apa yang dirasakan sang istri segera berkurang.Beberapa menit kemudian, keadaan Jelita sudah jauh lebih baik. "Apa yang kamu rasakan, Yang?" tanya Wandra."Entahlah, Mas. Mencium bau masakan tadi, tiba-tiba saja perutku bergejolak."Seperti ada yang dipikirkan, Wandra melirik sekitarnya. Lalu, terbitlah senyuman. "Jangan-jangan adonan kita mulai mengembang, Sayang.""Hust, kalau ngomong yang baik kenapa. Masak adonan?" Jelita mendelik pada sang suami. "Lagian nggak mungkin juga secepat itu, Mas. Baru juga dua minggu kemarin kita melakukannya.""Siapa tahu, Yang. Allah berbaik hati pada kita, jadi menitipkan amanah itu dengan cepat. Gimana kalau nanti kita periksa ke dokter?" kata Wandra sambil menuntun sang istri kembali ke ruang tamu bersama tamu yang lain."Kenapa, Nduk? Apa yang kamu rasakan?" bisik Puspa ketika sang putri sudah berada di sampingnya."Belu
Happy Reading*****Masih tak mengerti dengan kemarahan sang kakek, Wandra pun bertanya dan jawaban lelaki sepuh itu sungguh mengejutkan kedua pasangan muda yang sedang menikmati bulan madu."Kenapa nggak ngasih kabar kalau sudah sampai rumah. Kakek khawatir banget tahu. Pasti kamu ngerjai Jelita sampai lupa ngasih kabar. Dasar kalian berdua ini," omel sang Kakek."Maafkan kami, Kek. Lita memang jarang pegang HP semenjak sakit. Kayaknya Mas Wandra lupa begitu sampai, kami langsung istirahat soalnya." Pada akhirnya, Jelita yang memberikan alibi pada lelaki sepuh itu. Jika sang suami yang menjawab pasti si kakek tetap akan mengomel nantinya. Namun, jika Jelita tentu pria sepuh itu tidak akan berkomentar lagi dan terbukti."Baiklah kalau begitu, Nak. Kalian istirahatlah dan bersenang-senang di sana. Nggak perlu masak atau memikirkan kebutuhan yang lain. Salim dan istrinya pasti akan membantu kalian. Kakek tutup dulu telponnya, ya. Maaf kalau kakek tadi marah.""Nggak papa, Kek. Harusnya
Happy Reading*****Bersiap untuk menyalami sang suami, Jelita mengenakan pakaian dinas yang biasa digunakan oleh perempuan-perempuan lainnya. Baju itu sengaja dia beli secara online karena tidak mungkin mengajak Wandra ke mall atau toko. Jelita sendiri pastinya sangat malu jika membeli baju kurang bahan itu.Hampir satu jam di kamar mandi, si perempuan membuka pintu. Namun, belum berani keluar karena malu dengan pakaian yang dikenakan. Jelita Hany melongokkan kepala melihat keadaan kamar."Kenapa mesti intip-intip, sih, Yang. Mas, sudah lama nunggu sampai kelaparan juga."Jelita mengumpat dalam hati. Mengapa suaminya malah menatapnya dengan wajah sendu seperti itu, padahal tadi lelaki itu tengah fokus pada ponselnya. "Sayang cepet keluar," suruh Wandra, "Mas juga mau mandi. Lengket juga badannya karena keringat setelah itu kita makan. Sudah sangat lapar."Akan berkata kalimat selanjutnya, mata Wandra membulat sempurna melihat pakaian yang istrinya kenakan. Jakunnya naik turun tak ka