Happy Reading*****"Bukan seperti itu, Nak," kata Puspa, "Jelita trauma jika harus berhubungan dengan orang kaya seperti Nak Mahesa. Bukan nggak mau buka hati. Benar begitu kan, Nduk?""Ibu salah menafsirkan. Lita memang nggak ingin membuka hati untuk lelaki mana pun selain dia." Mata gadis itu memerah.Mahesa menatap, Jelita geram. "Lelaki yang sudah menghinamu yang akan kamu tunggu seumur hidup? Ayolah, Lit. Berpikir realistis, bukankah dia sudah menikah?" "Mas datang ke sini bukan untuk membicarakan kisahku, kan?" Jelita seolah menutup celah untuk membahas masalah pribadinya."Oke. Mas pulang saja kalau gitu. Besok Mas jemput." Mahesa pamit, tak berjabat tangan pada Puspa atau Jelita. Perasaan cemburu masih membakar jiwanya.Puspa menatap putrinya dengan sedih. "Sudah waktunya kamu membuka hati, Nduk. Jangan biarkan pikiranmu berpusat pada Wandra. Mungkin, dia sudah melupakanmu dan bahagia dengan perempuan lain. Buktinya dia nggak pernah pulang kampung.""Bukan mungkin, Bu. Mas W
Happy Reading*****"Maaf, Bu. Bukannya saya berani, tapi ini kantor dan masih pagi untuk bertindak arogan seperti ini. Lagian kenapa mesti marah jika apa yang dituduhkan nggak bener," jawab Jelita masih dengan suara normal dan menghormati Ajeng. "Siapa yang arogan?" Ajeng berlalu meninggalkan semua orang. Keributan pagi hari itu membuat Jelita makin dibenci oleh Ajeng. Dia merasa kalah dengan anak bau kencur macam dirinya. Namun, semua itu tidak diungkapkan, hanya disimpan dan suatu saat kelak, dia akan bertindak memberi sedikit pelajaran pada Jelita. "Jelas-jelas dia itu orang yang sombong, masih aja ngelak. Anggota dewan kok kayak gitu," kata rekan kerja Ajeng lainnya. "Saya, sih, dari dulu emang nggak begitu suka sama Bu Ajeng. Mulutnya itu, lho. Ngenyek aja kerjaannya. Belum pernah ngerasaain susah dalam hidupnya, sih," kata yang lain. Walau tak tahu apa yang membuat kemarahan Ajeng tadi. Namun, perempuan itu yakin pasti karena mulut lemes istri Camat."Sampun, Bu. Nggak perl
Happy Reading*****"Mahesa?" kata Ajeng. Matanya membulat sempurna apalagi ketika sahabat putranya itu meletakkan segelas jus jeruk dan sepiring rainbow cake di hadapan Jelita. "Tante ada di acara ini juga?" Mahesa duduk di sebelah Jelita, sedangkan Ajeng masih berdiri. Rekan-rekan kerjanya tadi sudah membubarkan diri dan kembali ke meja masing-masing. "Iya, kebetulan ini acara ultah pernikahan seorang rekan. Kamu sendiri, kenapa di sini?"Mahesa melirik Jelita. Entah mengapa gadis yang dilirik malah memalingkan muka. "Lagi nemenin dia, Tan."Deg, jantung Ajeng rasanya berhenti berdetak saat itu juga. Mengapa harus Jelita? Mengapa bukan orang lain, Rista mungkin, atau gadis lain yang sepadan dengan keluarga Mahesa. "Oh," jawab Ajeng cuek, "Tante mau nemui ommu dulu, ya." Baru berbalik, suaminya itu sudah tersenyum di sampingnya."Aku sudah di sini, Ma," kata Pambudi, "lho, Sa. Kamu kenal sama Pak Kabag juga?"Mahesa menggelengkan kepala. "Esa cuma nganterin gadis cantik di sebelah
Happy Reading*****Ajeng menutup sambungan teleponnya secara sepihak. Raut wajahnya seketika berubah menakutkan, dia menatap suaminya galak. "Ayo pulang, Pa. Nyesel aku telpon Candini. Status sosial seseorang emang nggak pernah bisa berubah. Sekaya apa pun Candini sekarang, nggak merubah masa lalunya. Tetap rendahan bahkan selera calon menantu saja nyaris sama seperti dirinya."Pambudi melihat sang istri yang mengomel, penuh pertanyaan. "Acara belum selesai, Ma. Tidak enak kalau ditinggal pulang.""Sudah biarin saja, Pa. Mama yang akan pamit. Kali ini, Mama akan tegas sama Rista, masak dia kalah sama Jelita yang anak orang miskin. Rista kudu lebih agresif sama Mahesa. Mama nggak mau dia kalah dengan gadis kampungan itu."Terpaksa menuruti ajakan sang istri, Pambudi mengikuti langkah perempuan itu meninggalkan acara ulang tahun pernikahan rekan kerjanya. *****Candini diam mematung saat Ajeng memutuskan panggilan sepihaknya. Namun, dia tak mau tinggal diam. Dihubunginya si sulung."M
Happy Reading*****"Sa, lagi sibuk, nggak?" tanya Wandra melalui chat sekitar pukul sebelas. Dia yakin sahabatnya itu tengah santai di jam-jam mendekati istirahat makan siang. Benar saja, detik berikutnya, Mahesa sudah membalas chat-nya. "Agak senggang, Ndra. Kenapa, sih? Tumben banget pakek tanya-tanya gitu." "Aku telpon, ya. Ada yang mau aku omongin.""Oke." Setelah membaca balasan sahabatnya, Wandra segera melakukan panggilan. Begitu terangkat, suara Mahesa terdengar ceria. "Penting beneran kayaknya. Ono opo?" tanya Mahesa dengan logat jawanya. "Sa, cewek yang kamu taksir belum ngasih kepastian sampai saat ini? Boleh kalau aku ngasih saran?" Walau di depan Pambudi dan Ajeng, Wandra mengatakan tak ingin membujuk sahabatnya untuk membuka hati pada Rista. Nyatanya, Wandra cemas juga tentang masa depan saudara satu-satunya yang dia punya."Tumben bahas masalah pribadi. Kena angin apa, nih?""Sa, serius, nih. Aku cuma nyaranin agar kamu bisa buka hati buat perempuan lain. Misal a
Happy Reading*****Jelita menaikkan garis bibirnya. Walau perempuan paruh baya itu tak membalas bahkan dia melengos pergi saat tahu MUA acara itu adalah dirinya. Si gadis juga terpaksa taj melanjutkan untuk menyapa karena takut akan memperburuk keadaan. "Mbak, bisa kita mulai, ya," ucap Jelita pada gadis yang sebentar lagi akan dilamar oleh kekasihnya.Tangan terampil Jelita mulai membubuhkan tahap demi tahap urutan make up sebelum membubuhkan bedak dan menghiasi wajah cantik si putri kepala desa. Kulit yang memang bersih dan terawat memudahkan Jelita merias.Sapuan lipstik warna nude pada bibir si gadis menjadi penanda bahwa riasannya sudah sempurna. Jelita meminta sang pemilik hajat untuk mengoreksi riasannya jika ada yang tidak sesuai keinginan. "Masya Allah. Ini beneran aku, Mbak?" tanyanya pada pantulan cermin di depan. "Iya, dong. Masak orang lain, sih," goda Jelita."Kok, aku bisa secantik ini, Mbak? Bener-bener jemari Mbak Lita memiliki keajaiban. Aku bisa secantik ini, lh
Happy Reading*****"Tumben, Mbak. Ada masalah penting apa sampai nyariin saya ke sini?" kata Jelita, ramah pada gadis di depannya. Dia mulai menggeser dongkrak motor untuk melajukan kendaraan itu. "Aku jelaskan di tempat yang nyaman. Ikuti mobilku!" perintah Rista tanpa mau dibantah lagi. Jelita mengangguk, walau bagaimanapun gadis itu adalah kakak kelasnya. Artinya, Jelita harus tetap menghormati, meskipun tahu watak serta perangainya tak jauh berbeda dengan Ajeng. Suka menghina orang lain yang tak sederajat dengan keluarga mereka. Di sebuah restoran yang terbilang cukup mewah di kota itu, keduanya berhenti. Rista meminta pelayan untuk menunjukkan meja yang sedikit tertutup bagi mereka. Setelah itu, Rista memesan menu tanpa bertanya pada perempuan di depannya. Setelah selesai, dia menyuruh pelayan restoran untuk segera mengantar pesanannya. "Aku malas sebenarnya ngobrolin ini, nggak level banget bersaing sama gadis macam dirimu." Rista memulai perkataannya dengan sinis setelah t
Happy Reading*****Mahesa melajukan kendaraannya dengan kecepatan di atas rata-rata. Sebelum ke arah rumah Pambudi, dia sudah menghubungi Rista untuk menunggunya di rumah. Tak bisa ditoleransi lagi, perbuatan gadis itu sungguh di luar batas. Sepuluh menit berlalu dan Mahesa sudah di depan gerbang sebuah rumah minimalis dengan cat berwarna kuning gading. Membunyikan klakson dengan keras seolah meluapkan segala kemarahannya, Mahesa sudah tak peduli dengan tata krama bertamu. Seorang lelaki seumuran dirinya dengan pakaian putih hitam, terlihat membukakan pintu. Mahesa membuka setengah kaca mobilnya. "Rista dan Om Pambudi ada di rumah?" tanya Mahesa dengan wajah menahan amarah. "Sepertinya, Bapak belum pulang, Mas. Kalau Mbak Rista baru saja masuk," kata satpam yang sudah mengenal Mahesa."Terima kasih, Mas." Mahesa segera memarkirkan mobil di tempatnya. Sebelah kanan dari halaman rumah sang Camat. Rista yang baru saja menapaki tangga menuju kamarnya, berbalik arah mendengar suara k
Happy Reading*****Sinar mentari pagi mengenai jendela kaca di ruang perawatan Jelita. Bentuk paviliun memudahkan akses sinar masuk dengan sangat baik. Perempuan itu menggerak-gerakkan bola mata dan perlahan membuka. Terlihat genggaman tangan sang suami yang tidur terduduk di sebelah ranjangnya.Jelita teringat kejadian tadi malam. Semua orang terpaksa bangun karena sikap keras kepalanya. Merasa ada yang menculik sang anak padahal dia sedang dalam pengaruh obat. Setelah mendengar penjelasan perawat mengenai efek obat bius yang diberikan. Barulah Jelita percaya bahwa anaknya ada di dalam ruang perawatan dan esok baru bisa dibawa untuk menemuinya.Merasakan pergerakan tangan sang istri yang berada dalam genggamannya, Wandra terbangun. "Pagi, Sayang. Gimana keadaanmu?" tanyanya. Bangkit dari posisi duduk dan mencium kening Jelita."Alhamdulillah, Mas. Rasanya aku sudah jauh lebih baik.""Sudah kentut belum?" Malu-malu, Jelita menganggukkan kepala. Sewaktu belum ada yang terbangun, per
Happy Reading*****Bersamaan dengan teriakan Wandra, Jelita memejamkan mata membuat lelaki itu semakin panik luar biasa. "Tolong istri saya, Dok. Dia baru saja jatuh terduduk, tapi kok malah begini?" kata Wandra dengan suara bergetar hebat. Antara takut dan ingin menangis melihat darah pada bagian kaki sang istri."Kami akan tangani dengan baik, Pak. Silakan tunggu di luar," perintah sang dokter setelah membaringkan Jelita dan memasukkannya di ruang gawat darurat."Tenanglah, Ndra. Kita semua juga khawatir pada kesehatan Jelita, tapi kalau kita panik. Maka, dia juga akan ikut panik dan anak dalam kandungannya akan bereaksi juga," nasihat Ajeng. Perempuan itu mengajak Wandra duduk. Ada sebuah bangku di depan ruangan tersebut.Puspa berjalan mondar-mandir. Dia tidak bisa duduk tenang seperti Ajeng dan sang menantu. Sementara itu, Mahesa baru saja menghampiri mereka bersama dengan keluarga yang lain setelah hampir sepuluh menit Jelita masuk ruangan."Bagaimana keadaan Lita, Pus?" tanya
Happy Reading*****Hari-hari yang dijalani Jelita dan Wandra cukup membahagiakan. Kandungan semakin besar dan keponakannya yang tumbuh sehat. Usaha melejit bahkan nama besar Pambudi kembali bersinar dengan segala usaha yang didukung oleh seluruh keluarga.Sanggar milik Sularso yang kini sudah dibeli oleh Jelita juga semakin berkembang. Masyarakat tak lagi memandang remeh pada profesi penari Gandrung berkat kegigihan Jelita. Tarian itu bukan lagi menjadi momok bagi siapa saja yang mempelajarinya. Walau tidak lagi berada di atas panggung secara langsung, tetapi Jelita masih berperan dalam setiap pementasan. Kembali bekerja pada dinas pariwisata dengan perut membuncit. Bukan yang wanita itu cari saat ini, tetapi bagaimana membesarkan serta mengenalkan budaya-budaya kabupaten kelahirannya kepada dunia luar.Wandra tidak membatasi pergerakan sang istri. Demikian juga kedua orang tua serta Puspa. Mereka semua mendukung apa yang dilakukan oleh Jelita dengan syarat tidak mengabaikan keluarg
Happy Reading*****Sudah hampir sebulan putra Rista dan Mahesa lahir ke dunia. Pangeran kecil itu mendapatkan segala limpahan kasih sayang serta cinta dari seluruh keluarga tak terkecuali keluarga Jelita. Kini, sang pangeran kecil bernama Ezaz Prawira Sasongko itu sudah berumur satu bulan lebih. Tiga hari lagi akan diadakan selapanan sesuai adat.Acara besar yang akan digelar di kediaman keluarga Mahesa sebagai pemilik pabrik pengalengan ikan. Seluruh karyawan diundang bahkan masyarakat sekitar dan karyawan sang mertua juga pegawai Jelita diundang juga. Acara tasyakuran yang sudah seperti ngunduh mantu saja.Wandra dan Jelita cuma bisa tersenyum, membayangkan bagaimana hebohnya ketika mereka yang memiliki anak. Perut Jelita pun mulai sedikit membuncit walau tidak terlihat dari luar karena baju yang dikenakan selalu longgar.Pagi ini, sudah terlihat beberapa orang memasang tenda. Keluarga Mahesa juga sudah datang. Mereka tak henti-hentinya memperebutkan Ezaz. Silih berganti menggendon
Happy Reading*****Setengah berlari memanggil sopir, Ajeng menghubungi menantunya dan mengatakan bahwa Rista sedang kontraksi saat ini. Setelahnya, barulah dia menghubungi sang suami. Di dalam sana, kakek tengah memapah sang ibu hamil bersama dengan Puspa.Jelita juga menghubungi Wandra, memberikan kabar bahwa adiknya akan segera melahirkan."Aduh," keluh Rista menahan rasa sakit. "Sabar, Nak," ucap Puspa sambil memegangi Rista."Sudah dekat HPL, harusnya kamu diam di rumah saja. Ini malah makan rujak pedas." Si kakek mulai tampak kesal. Pasalnya Rista tak membawa persiapan persalinan sama sekali padahal sudah sering diingatkan."Maaf, Kek," kata Rista sambil menahan rasa sakit.Mereka sudah berada di depan mobil Ajeng. Sang mama segera membawa putrinya duduk di bagian tengah, sedangkan kakek duduk di samping kemudi."Nak, kamu nyusul sama Mas Wandra saja, ya. Jangan terlalu khawatir supaya janinmu nggak ikut resah," ujar Puspa. Setelah mendapat anggukan dari Jelita, wanita itu masu
Happy Reading*****"Dok, apa artinya istri saya positif hamil?" tanya Wandra sedikit penasaran dengan hasil test urine yang dilakukan tadi."Insya Allah seperti itu, Pak. Walau garis dua pada test pack masih samar, tapi sudah bisa dikatakan positif hamil. Bisa dicek sebentar lagi."Jelita menatap suaminya tak percaya. Secepat itu mereka diberikan karunia berupa anak. "Mari, Dok. Saya sudah tidak sabar ingin melihat seperti apa prosesnya di dalam perut."Senyum semringah tampak menghiasi wajah pasangan muda tersebut. Melihat ada segumpal bulatan yang menempel pada dinding rahim Jelita. Walau sangat kecil, tetapi hal tersebut sudah membuktikan bahwa dalam perut perempuan itu akan hadir seseorang yang akan membahagiakan seluruh keluarga. Wandra bahkan tak kuasa menahan air matanya yang mulai jatuh. Dia begitu terharu melihat bulatan kecil yang masih belum terbentuk itu. Penantiannya selama ini terbayarkan sudah. "Tolong dijaga baik-baik, ya, Pak, Bu. Ini masih sangat rentan sekali. Ja
Happy Reading*****Mengejar sang istri yang berlari ke arah kamar mandi. Wandra mulai membantu Jelita, memijat tengkuk supaya apa yang dirasakan sang istri segera berkurang.Beberapa menit kemudian, keadaan Jelita sudah jauh lebih baik. "Apa yang kamu rasakan, Yang?" tanya Wandra."Entahlah, Mas. Mencium bau masakan tadi, tiba-tiba saja perutku bergejolak."Seperti ada yang dipikirkan, Wandra melirik sekitarnya. Lalu, terbitlah senyuman. "Jangan-jangan adonan kita mulai mengembang, Sayang.""Hust, kalau ngomong yang baik kenapa. Masak adonan?" Jelita mendelik pada sang suami. "Lagian nggak mungkin juga secepat itu, Mas. Baru juga dua minggu kemarin kita melakukannya.""Siapa tahu, Yang. Allah berbaik hati pada kita, jadi menitipkan amanah itu dengan cepat. Gimana kalau nanti kita periksa ke dokter?" kata Wandra sambil menuntun sang istri kembali ke ruang tamu bersama tamu yang lain."Kenapa, Nduk? Apa yang kamu rasakan?" bisik Puspa ketika sang putri sudah berada di sampingnya."Belu
Happy Reading*****Masih tak mengerti dengan kemarahan sang kakek, Wandra pun bertanya dan jawaban lelaki sepuh itu sungguh mengejutkan kedua pasangan muda yang sedang menikmati bulan madu."Kenapa nggak ngasih kabar kalau sudah sampai rumah. Kakek khawatir banget tahu. Pasti kamu ngerjai Jelita sampai lupa ngasih kabar. Dasar kalian berdua ini," omel sang Kakek."Maafkan kami, Kek. Lita memang jarang pegang HP semenjak sakit. Kayaknya Mas Wandra lupa begitu sampai, kami langsung istirahat soalnya." Pada akhirnya, Jelita yang memberikan alibi pada lelaki sepuh itu. Jika sang suami yang menjawab pasti si kakek tetap akan mengomel nantinya. Namun, jika Jelita tentu pria sepuh itu tidak akan berkomentar lagi dan terbukti."Baiklah kalau begitu, Nak. Kalian istirahatlah dan bersenang-senang di sana. Nggak perlu masak atau memikirkan kebutuhan yang lain. Salim dan istrinya pasti akan membantu kalian. Kakek tutup dulu telponnya, ya. Maaf kalau kakek tadi marah.""Nggak papa, Kek. Harusnya
Happy Reading*****Bersiap untuk menyalami sang suami, Jelita mengenakan pakaian dinas yang biasa digunakan oleh perempuan-perempuan lainnya. Baju itu sengaja dia beli secara online karena tidak mungkin mengajak Wandra ke mall atau toko. Jelita sendiri pastinya sangat malu jika membeli baju kurang bahan itu.Hampir satu jam di kamar mandi, si perempuan membuka pintu. Namun, belum berani keluar karena malu dengan pakaian yang dikenakan. Jelita Hany melongokkan kepala melihat keadaan kamar."Kenapa mesti intip-intip, sih, Yang. Mas, sudah lama nunggu sampai kelaparan juga."Jelita mengumpat dalam hati. Mengapa suaminya malah menatapnya dengan wajah sendu seperti itu, padahal tadi lelaki itu tengah fokus pada ponselnya. "Sayang cepet keluar," suruh Wandra, "Mas juga mau mandi. Lengket juga badannya karena keringat setelah itu kita makan. Sudah sangat lapar."Akan berkata kalimat selanjutnya, mata Wandra membulat sempurna melihat pakaian yang istrinya kenakan. Jakunnya naik turun tak ka