Kembali Elang terpana, melihat tubuh polos Nadya yang sedang membelakangi dirinya. Nampak tonjolan bokong Nadya yang sedang, mulus, dan kencang tengah bergoyang. Dengan bertumpu pada tangan kirinya menempel di dinding kamar mandi, sementara tangan kanannya sibuk di bagian bawah tubuhnya. Timbul rasa kasihan Elang pada Nadya, dia tak ingin Nadya mati lemas, karena mendaki hasratnya yang tak kunjung datang. Karena jika bukan oleh dirinya, Nadya tak akan pernah merasa tercukupkan hasratnya. ‘Ini semua gara-gara kutukan keparat itu!’ maki bathin Elang geram. Perlahan Elang mendatangi Nadya dari arah belakang. "Nadya, biar kubantu ya," bisik Elang lembut di dekat telinga Nadya. Dipeluknya lembut tubuh Nadya, sambil dikecupnya pundak mulus Nadya. "Aihhh..! M-mas Elanggsh..! Tsk, tsk..!" Nadya tersentak kaget bukan kepalang. Namun saat di rasakannya pelukkan Elang mendatangkan rasa damai dan nyaman baginya. Maka perlahan tubuh Nadya kembali relaks dan terisak. Ya, isakkan Nadya ad
Hari sudah menjelang malam, suara adzan magribh pun baru saja usai berkumandang. Saat mereka berdua keluar dari penginapan itu. 'Hmm. Ternyata Kutukkan Naga Asmara tak harus dipenuhi, dengan persetubuhan secara sempurna. Asalkan si wanita mendapatkan klimaksnya dariku, maka itu sudah memenuhi kutukan itu', bathin Elang senang, dan mulai memahami. Elang memacu motornya dengan kecepatan sedang saja. Tak lama kemudian merekapun sampai di pintu gerbang rumah Nadya. Pak Moko bergegas membukakan pintu gerbang, begitu melihat Elang dan non putrinya berada di depan gerbang. “Malam Pak Moko,” sapa Elang ramah. “Malam Mas Elang, Non Nadya,” balas pak Moko sopan, sambil menutup kembali pintu gerbang setelah keduanya melintas masuk. Elang dan Nadya langsung menemui Bambang, yang tengah asyik minum teh bersama istrinya di teras rumah. “Wah, cantiknya ayah baru pulang shoping di Malioboro ya,” ucap Bambang sambil tersenyum lebar, melihat putrinya yang baru pulang bersama E
“Syukurlah.! Terimakasih sekali Elang!” seru Bambang merasa sangat gembira. Bahkan dia sampai hendak mencium tangan Elang. Namun Elang segera menarik tangannya dari genggaman tangan Bambang dengan rikuh. “Tak perlu sampai seperti ini Pak Bambang,” ucap Elang, sambil tersenyum. “Ahh, bagaimana tidak Elang. Kini kau adalah guruku Elang. Terimakasih atas kesediaanmu mengajarkan ilmu ‘Wisik Sukma’ pada bapak. Bapak akan mempelajarinya setekun mungkin Elang,” ucap Bambang dengan wajah berbinar bahagia. Ya, ilmu 'Wisik Sukma' adalah ilmu yang sangat penting baginya di dunia bisnis. Maka malam itu juga, Elang pun langsung membangkitkan dan mengisi tenaga bathinnya pada Bambang, di ruang kerjanya. Dan Bimo juga bisa merasakan, pada dasarnya sudah ada sedikit daya bathin dalam diri Bambang. Namun memang masih kurang terarah. Setelah itu, Elang lalu menuliskan teori dari ilmu ‘Wisik Sukma’, yang di berikannya pada Bambang. Teori itu berisi tentang cara melatih, menerapkan, serta menari
Tentu saja para pedagang kuliner di blok itu, banyak yang merasa kaget dan heran. Sebab selama ini mereka telah membayarkannya, pada pengelola pasar yang resmi. Namun karena mereka tak mau terjadi keributan, maka terpaksa mereka memberikan uang yang diminta oleh ketiga preman tersebut. Hingga sampailah ketiga preman sangar itu, di lapak sang nenek dan cucunya itu, “Nek..! Untuk lapak Nenek kena 30 ribu perhari. Mana uangnya..?!” seru salah seorang dari mereka, yang berambut cepak dan bertato ‘jangkar’ di bagian lengannya. “Waduhh Masse. Dagangan saya belum banyak lakunya, baru ada 15 ribu yang masuk,” sahut sang nenek, merasa keberatan membayar uang yang diminta ketiga preman itu. “Haahh! Masa sih 30 ribu saja nggak ada..! Apa kau nggak bawa uang dari rumah?!” bentak si Tato jangkar lagi. “Belum ada Mas. Atau nanti siangan mas ke sini lagi, mudah-mudahan sudah ada,” sahut sang nenek tetap berusaha tenang, walau hatinya berdebar panik. Braghh.! Brakk ! Prangg..!!Kedua teman si
“Arrgghkksskh..!!” Terdengar suara teriakkan narsis kesakitan 11 oktav, yang dilantunkan oleh duo preman itu bersamaan. “Hahh..!!” seru para pedagang dan pengunjung, yang menyaksikan hal itu. Ya, tadinya mereka semua menyangka tubuh Elang akan terluka parah. Akibat sabetan dan tusukkan dua preman illegal itu. Namun yang mereka lihat ternyata berkebalikkan, dari apa yang mereka bayangkan. Justru kedua preman itulah, yang kini berkelojotan menahan sakit. Nampak ketiga preman nyasar itu kini memegangi pergelangan tangan kanan mereka masing-masing, yang terjuntai bagai tanpa otot itu.Seolah sepakat, para pedagang lelaki maju serentak, mengeroyok ketiga preman pasar ilegal tersebut. "Hajaarrr..!!" seru para pedagang serentak.Bakk..! Bukk..! ... Deziggh..! Dughh! Prang..!Segala jenis pukulan, tendangan, maupun gaplokkan benda apa saja di sekitar pasar pun, menghujani tubuh ketiga preman dadakkan itu. “Adduuhhhh..!! Ammpyuuunnn biyung..!” teriakkan minta ampun ketiganya pun tak d
“Duh Gusti..! Maturnembahnuwun ..! Nama lengkapmu pasti Elang Prayoga cucuku..! Tsk, tsk..! Huhuhuu..” tak terbendung lagi sang nenek mempererat pelukannya pada Elang, sambil mengucapkan terimakasihnya pada Sang Pencipta. Air mata membanjiri pipi keriputnya tanpa henti. Sudah hampir habis rasanya upaya sang Nenek. Dalam mencari Wulandari, Putri kesayangannya selama puluhan tahun. Hampir seluruh waktu, harta benda, bahkan status dia korbankan. Demi untuk menemukan putrinya, yang hilang tak tentu rimba itu. Wulandari adalah anak pertama dari ke 3 anaknya. Putri yang merupakan tumpuan dan harapan, serta kebanggaan bagi keluarga mereka. Kehidupan keluarga sang nenek dulu sangatlah berkecukupan. Baroto suaminya adalah seorang pemborong yang cukup ternama di kota Jogja. Namun setelah hilangnya kabar tentang putri mereka Wulandari. Maka gonjang ganjing dalam keluarganya pun dimulai. Setiap telepon mereka tak pernah diangkat oleh putrinya. Menantunya Sukanta pun tak pernah lagi datang k
"Tidak Nenek. Kalian sudah cukup lama menderita, karena mencari kami. Kini saatnya Elang atas nama Ayah dan Ibu, membalas perhatian dan kasih sayang kalian. Mohon jangan menolak ya Nenek sayang,” ucap Elang penuh haru, sambil mencium kedua pipi sang nenek. Pipi keriput sang Nenek yang kembali merembeskan air mata. Melihat keberuntungan putrinya Wulandari, memiliki anak yang berbudi seperti Elang. Sang Nenek demikian bahagia. Walau di satu sisi dia bersedih, mendengar kabar kematian putri dan menantunya. Namun dia memang sudah lama bersiap mendengar kabar terburuk sekalipun, soal putrinya itu. Yang penting baginya saat ini, adalah kejelasan soal keadaan putrinya telah terjawab. Hal ini sangat melegakan tanda tanya bathinnya selama ini. Dan hal yang terpenting saat ini, dia kini mempunyai seorang cucu yang bisa di banggakan. Untuk menggantikan putrinya yang telah tiada. Kemarau selama belasan tahun dalam pencarian Setyowati. Kini bagai hilang tersapu musim semi yang menghangatkan
Sebuah mobil sedan yang membawa sepasang suami istri, dan seorang anak lelaki berusia 3 tahun nampak meluncur tak terkendali. Di depan mobil itu, terpampang sebuah kelokkan tajam lembah Cipanas yang curam dan dalam. Ya, akibat menghindari pengemudi motor yang ugal-ugalan di jalan. Rupanya Sukanta tak bisa melihat, bahwa di depannya terdapat tikungan tajam,“Awas Pahhh..!!” teriak panik dan ketakutan Wulandari sang istri. Sang suami berusaha mengendalikan mobilnya yang oleng. Dan tak sengaja dalam kepanikkannya melihat lembah curam di depannya, Sukanta malah menginjak gas dan rem bersamaan. Brrrmm...!! Ciitttt..!!“Huhuhuuu..! Elang takut Mahh, Pahh,” tangis sang anak, yang menyadari sesuatu yang buruk akan terjadi.“Pahh..! Innalillahi ...!!” teriak sang istri, wajahnya pucat pasi.“Astaghfirullahaladzim ....!!” seru sang suami keras. Dan tak ayal mobilnya menabrak pagar besi di bibir lembah. Braagghhh !! Pagar besi pun roboh. Sadar akan jatuh ke lembah curam yang tinggi, Wuland
"Tidak Nenek. Kalian sudah cukup lama menderita, karena mencari kami. Kini saatnya Elang atas nama Ayah dan Ibu, membalas perhatian dan kasih sayang kalian. Mohon jangan menolak ya Nenek sayang,” ucap Elang penuh haru, sambil mencium kedua pipi sang nenek. Pipi keriput sang Nenek yang kembali merembeskan air mata. Melihat keberuntungan putrinya Wulandari, memiliki anak yang berbudi seperti Elang. Sang Nenek demikian bahagia. Walau di satu sisi dia bersedih, mendengar kabar kematian putri dan menantunya. Namun dia memang sudah lama bersiap mendengar kabar terburuk sekalipun, soal putrinya itu. Yang penting baginya saat ini, adalah kejelasan soal keadaan putrinya telah terjawab. Hal ini sangat melegakan tanda tanya bathinnya selama ini. Dan hal yang terpenting saat ini, dia kini mempunyai seorang cucu yang bisa di banggakan. Untuk menggantikan putrinya yang telah tiada. Kemarau selama belasan tahun dalam pencarian Setyowati. Kini bagai hilang tersapu musim semi yang menghangatkan
“Duh Gusti..! Maturnembahnuwun ..! Nama lengkapmu pasti Elang Prayoga cucuku..! Tsk, tsk..! Huhuhuu..” tak terbendung lagi sang nenek mempererat pelukannya pada Elang, sambil mengucapkan terimakasihnya pada Sang Pencipta. Air mata membanjiri pipi keriputnya tanpa henti. Sudah hampir habis rasanya upaya sang Nenek. Dalam mencari Wulandari, Putri kesayangannya selama puluhan tahun. Hampir seluruh waktu, harta benda, bahkan status dia korbankan. Demi untuk menemukan putrinya, yang hilang tak tentu rimba itu. Wulandari adalah anak pertama dari ke 3 anaknya. Putri yang merupakan tumpuan dan harapan, serta kebanggaan bagi keluarga mereka. Kehidupan keluarga sang nenek dulu sangatlah berkecukupan. Baroto suaminya adalah seorang pemborong yang cukup ternama di kota Jogja. Namun setelah hilangnya kabar tentang putri mereka Wulandari. Maka gonjang ganjing dalam keluarganya pun dimulai. Setiap telepon mereka tak pernah diangkat oleh putrinya. Menantunya Sukanta pun tak pernah lagi datang k
“Arrgghkksskh..!!” Terdengar suara teriakkan narsis kesakitan 11 oktav, yang dilantunkan oleh duo preman itu bersamaan. “Hahh..!!” seru para pedagang dan pengunjung, yang menyaksikan hal itu. Ya, tadinya mereka semua menyangka tubuh Elang akan terluka parah. Akibat sabetan dan tusukkan dua preman illegal itu. Namun yang mereka lihat ternyata berkebalikkan, dari apa yang mereka bayangkan. Justru kedua preman itulah, yang kini berkelojotan menahan sakit. Nampak ketiga preman nyasar itu kini memegangi pergelangan tangan kanan mereka masing-masing, yang terjuntai bagai tanpa otot itu.Seolah sepakat, para pedagang lelaki maju serentak, mengeroyok ketiga preman pasar ilegal tersebut. "Hajaarrr..!!" seru para pedagang serentak.Bakk..! Bukk..! ... Deziggh..! Dughh! Prang..!Segala jenis pukulan, tendangan, maupun gaplokkan benda apa saja di sekitar pasar pun, menghujani tubuh ketiga preman dadakkan itu. “Adduuhhhh..!! Ammpyuuunnn biyung..!” teriakkan minta ampun ketiganya pun tak d
Tentu saja para pedagang kuliner di blok itu, banyak yang merasa kaget dan heran. Sebab selama ini mereka telah membayarkannya, pada pengelola pasar yang resmi. Namun karena mereka tak mau terjadi keributan, maka terpaksa mereka memberikan uang yang diminta oleh ketiga preman tersebut. Hingga sampailah ketiga preman sangar itu, di lapak sang nenek dan cucunya itu, “Nek..! Untuk lapak Nenek kena 30 ribu perhari. Mana uangnya..?!” seru salah seorang dari mereka, yang berambut cepak dan bertato ‘jangkar’ di bagian lengannya. “Waduhh Masse. Dagangan saya belum banyak lakunya, baru ada 15 ribu yang masuk,” sahut sang nenek, merasa keberatan membayar uang yang diminta ketiga preman itu. “Haahh! Masa sih 30 ribu saja nggak ada..! Apa kau nggak bawa uang dari rumah?!” bentak si Tato jangkar lagi. “Belum ada Mas. Atau nanti siangan mas ke sini lagi, mudah-mudahan sudah ada,” sahut sang nenek tetap berusaha tenang, walau hatinya berdebar panik. Braghh.! Brakk ! Prangg..!!Kedua teman si
“Syukurlah.! Terimakasih sekali Elang!” seru Bambang merasa sangat gembira. Bahkan dia sampai hendak mencium tangan Elang. Namun Elang segera menarik tangannya dari genggaman tangan Bambang dengan rikuh. “Tak perlu sampai seperti ini Pak Bambang,” ucap Elang, sambil tersenyum. “Ahh, bagaimana tidak Elang. Kini kau adalah guruku Elang. Terimakasih atas kesediaanmu mengajarkan ilmu ‘Wisik Sukma’ pada bapak. Bapak akan mempelajarinya setekun mungkin Elang,” ucap Bambang dengan wajah berbinar bahagia. Ya, ilmu 'Wisik Sukma' adalah ilmu yang sangat penting baginya di dunia bisnis. Maka malam itu juga, Elang pun langsung membangkitkan dan mengisi tenaga bathinnya pada Bambang, di ruang kerjanya. Dan Bimo juga bisa merasakan, pada dasarnya sudah ada sedikit daya bathin dalam diri Bambang. Namun memang masih kurang terarah. Setelah itu, Elang lalu menuliskan teori dari ilmu ‘Wisik Sukma’, yang di berikannya pada Bambang. Teori itu berisi tentang cara melatih, menerapkan, serta menari
Hari sudah menjelang malam, suara adzan magribh pun baru saja usai berkumandang. Saat mereka berdua keluar dari penginapan itu. 'Hmm. Ternyata Kutukkan Naga Asmara tak harus dipenuhi, dengan persetubuhan secara sempurna. Asalkan si wanita mendapatkan klimaksnya dariku, maka itu sudah memenuhi kutukan itu', bathin Elang senang, dan mulai memahami. Elang memacu motornya dengan kecepatan sedang saja. Tak lama kemudian merekapun sampai di pintu gerbang rumah Nadya. Pak Moko bergegas membukakan pintu gerbang, begitu melihat Elang dan non putrinya berada di depan gerbang. “Malam Pak Moko,” sapa Elang ramah. “Malam Mas Elang, Non Nadya,” balas pak Moko sopan, sambil menutup kembali pintu gerbang setelah keduanya melintas masuk. Elang dan Nadya langsung menemui Bambang, yang tengah asyik minum teh bersama istrinya di teras rumah. “Wah, cantiknya ayah baru pulang shoping di Malioboro ya,” ucap Bambang sambil tersenyum lebar, melihat putrinya yang baru pulang bersama E
Kembali Elang terpana, melihat tubuh polos Nadya yang sedang membelakangi dirinya. Nampak tonjolan bokong Nadya yang sedang, mulus, dan kencang tengah bergoyang. Dengan bertumpu pada tangan kirinya menempel di dinding kamar mandi, sementara tangan kanannya sibuk di bagian bawah tubuhnya. Timbul rasa kasihan Elang pada Nadya, dia tak ingin Nadya mati lemas, karena mendaki hasratnya yang tak kunjung datang. Karena jika bukan oleh dirinya, Nadya tak akan pernah merasa tercukupkan hasratnya. ‘Ini semua gara-gara kutukan keparat itu!’ maki bathin Elang geram. Perlahan Elang mendatangi Nadya dari arah belakang. "Nadya, biar kubantu ya," bisik Elang lembut di dekat telinga Nadya. Dipeluknya lembut tubuh Nadya, sambil dikecupnya pundak mulus Nadya. "Aihhh..! M-mas Elanggsh..! Tsk, tsk..!" Nadya tersentak kaget bukan kepalang. Namun saat di rasakannya pelukkan Elang mendatangkan rasa damai dan nyaman baginya. Maka perlahan tubuh Nadya kembali relaks dan terisak. Ya, isakkan Nadya ad
Slakh. ! Seseorang meluncur cepat dari belakang. Srethhk..! Sosok itu melesat cepat sambil menarik tas vagabond Nadya. Hingga lepas dari pundaknya. Ya, rupanya pelaku jambret itu mengenakan sepatu roda. “Awhh..!” tubuh Nadya pun ikut terhuyung ke depan. Beruntunglah Elang langsung merangkul Nadya, hingga dia tak terjerembab jatuh. Slaph..! Elang langsung melesat cepat, dan tiba-tiba saja dia sudah berada di depan pencuri bersepatu roda itu. ‘Hmm. Masih muda sudah mencuri’, bathin Elang kesal, sambil menarik kembali vagabond bag milik Nadya. Namun tak disangkanya, si pemuda itu balas menarik tas vagabond bag Nadya dengan kedua tangannya. Sraghh..! Gussragh..!! Pemuda itu pun jatuh terguling di atas trotoar, dan menjadi tontonan orang, yang berada di sekitar lokasi itu. Kejadian yang begitu cepat, sehingga orang-orang menganggap itu hanya kecelakaan kecil biasa. Elang tak mempedulikan orang itu, dia pun kembali ke tempat Nadya. “Ini Nadya,” ucap Elang mengangsurkan vagabon
Slaph..!Elang melesat dan lenyap, untuk kembali ke rumah Bambang. Hatinya merasa senang, karena tak ada korban nyawa dalam duelnya dengan Mbah Kromo. Bahkan Mbah Kromo mengakui, jika mantu cucunya lah yang bersalah dalam masalah ini. Taph.! Sosok Elang menjejak dengan ringan, di teras rumah Bambang. Terlihat keluarga Bambang masih berada di ruang tamu, menunggu kedatangannya kembali. “Mas Elang..! Kau tak apa-apa kan Mas?” seru Nadya, orang yang pertama kali menyadari kehadiran kembali Elang. Dilihatnya pakaian Elang, yang terlihat berbintik-bintik bolong seukuran beras dengan cemas. “Saya baik-baik saja Mbak Nadya,” ucap Elang tersenyum. “Elang! Bagaimana dengan Mbah Kromo?” tanya Bambang penasaran. Jujur saja Bambang merasa cemas, jika Mbah Kromo datang lagi dan memperpanjang urusan dengannya. “Dia titip salam buat Bapak dan keluarga. Dan beliau juga meminta maaf, karena telah berlaku kasar pada keluarga Bapak. Mbah Kromo telah mengakui kesalahan mantu cucunya si Setyono