Aku memandang pantulan bayangan setengah badanku di cermin toilet dekat tempat parkir mobil Universitas Lexicon. Piama cokelat terang yang dipenuhi oleh gambar bola basket, rambut berantakan, wajah pucat dan masih ada sedikit memar di dekat rahang, sekarang ditambah ada tiga garis biru kemerahan mengitari leher akibat perbuatan Rebeca yang tiba-tiba menyerangku.“Ugh... Benar-benar hari sial.”Aku melepas kacamata dan menyalakan kran air wastafel. Air aku tampung di tangan dulu, sebelum aku basuh ke wajah. Di sekitar memar sudah tidak terasa sakit, namun warna khasnya ini sungguh mengganggu.Marvin, kalau kamu masih mendengarku, aku harap kamu membawakanku syal dan jaket, ucapku dalam hati. Namun, kalau kamu tidak bisa ... Ya... Tidak apa-apa. Setidaknya dengan kalimat terakhir itu membuatku tidak merasa begitu bersalah setelah mendapat label egois dari orang lain.Entah mengapa aku jadi mudah terpikir sebutan dari orang lain padaku. Padahal sebelumnya, aku selalu cuek.Dari pantulan
Sebastian membuka sebuah laporan di sebuah gawai seukuran tablet, namun tampaknya bukan seperti tablet pada umumnya. Bentuknya berkilau dan tembus pandang layaknya dia sedang mengoperasikan sebuah kaca. Jarinya lincah di atas tablet kaca itu, sebelum muncul sebuah sinar dari permukaan tablet dan memunculkan layar yang menampilkan foto ketiga pemuda yang tidak aku sangka memiliki wajah yang sama persis. Selain foto, ada pula tulisan-tulisan lain di bawahnya yang tidak bisa aku lihat dari jarak aku bersembunyi di dalam mobil.Simon bilang, layar yang muncul keluar dari tablet tersebut adalah hologram. “Sebastian Bennet. Dia senior 2 tingkat di atasku di jurusan yang sama denganku. Tablet hologram itu adalah proyek yang sedang dikembangkannya sebagai tugas akhir untuk kelulusannya,” tambah Simon.“Hm ... begitu.” Aku kembali melihat ke balik jendela mobil, sambil berusaha lebih fokus pada mereka bertiga dibanding hal lainnya. Memikirkan rencana, penyelamatan, jalan keluar, serta risiko s
“Aku akan mengarahkanmu. Tendang pisau lipat itu sejauh mungkin saat aba-abaku.” Begitu kata Rebeca, beberapa detik sebelum dia melanjutkan, “Ada satu laki-laki di belakang, berjalan diam-diam mendekatimu. Ada balok kayu di tangannya. Hitungan ke tiga, kau tendang pisau lipat itu, lalu segera menangkis laki-laki itu.” Aku bersiap diri. “Benarkah? Kau akan memberitahuku jika kau berhasil ditangkap?” Dominic tersenyum menantangku, meski posisinya masih terduduk di bawah juluran kepala kunci pas. “Dia ingin mengalihkan perhatianmu. Tetap fokus. Dia akan mengayunkan balok kayu dari arah atas,” ucap Rebeca. Ya, aku harus fokus pada suara Rebeca. “Hitungan ketiga dimulai. Satu ... Dua ... Tiga. Tendang sekarang!” Pisau lipat itu berseluncur di lantai beton dan berhenti di kolong mobil setelah aku tendang sembarang. Tanganku bergerak cepat menangkis ayunan balok kayu dari arah atas. Tugh! Suaranya tidak senyaring antara sesama logam, tapi cukup untuk menimbulkan sedikit gema di lanta
Ketika kami tiba di klinik dan dua pemuda Evanderson itu mendapat perawatan, aku mengajak bicara adik mereka yang bernama Luca Evanderson. Bertanya apa masalahnya? Bagaimana mereka bisa berurusan dengan Dominic? Aku mendapat jawaban jelas dan padat dari Luca. Dia berkata bahwa mereka adalah mahasiswa baru yang sedang butuh uang untuk pengobatan ibu mereka. Marco dapat informasi dari senior di jurusannya tentang sekelompok mahasiswa yang menyediakan jasa peminjaman uang. Kelompok tersebut bernama Dominators. Cukup menandatangani surat perjanjian, memberikan salinan kartu identitas, dan foto, mereka sudah dapat uang yang mereka butuhkan. Luca sudah membaca teliti surat perjanjian tersebut dan tergiur dengan jangka waktu panjang dalam pengembalian hutang yang diberikan mereka. Dia dan dua saudaranya menandatangani begitu saja tanpa menelaah lebih lanjut lampiran berlembar-lembar dari surat perjanjian tersebut. “Jika di surat yang kalian tanda tangani itu ada perjanjian tentang jual g
Ini tidak masuk akal.Bagaimana bisa Viona menuduh Eva sengaja mengunciku di dalam ruang kerja Philip? Eva yang sangat perhatian dan tidak pernah buat masalah, dituduh yang tidak-tidak. Padahal, jelas-jelas Viona yang mengunciku. Meski informasi itu aku dengar dari Marvin yang melihatnya sendiri, setidaknya ucapan Marvin lebih aku percaya dibanding Viona.Pijakan pada pedal gas, aku tekan semakin dalam seiring dengan isi pikiranku yang hampir kalap oleh rencana jahat yang dijalankan Viona pada wanita tak bersalah itu.“Jangan ngebut, Jovian!”Tepukan di pundak kiri menyadarkanku akan batas kecepatan yang hampir aku lewati. Aku menginjak rem dan perlahan menurunkan kecepatan ketika hampir tiba di lampu lalu lintas yang menyala merah.“Aku meminjamkanmu mobil bukan untuk dibawa balap-balapan!” seru Simon.“Tapi aku lagi buru-buru,” balasku.“Aku tidak peduli. Keselamatan nomor satu,” timpalnya. “Kalau aku tahu kau orangnya tidak penyabar saat mengemudi seperti ini, aku pasti tidak akan
Aku mengira, setelah Eva mendapat perlakuan yang menyudutkannya dari Viona dan Lucy, wanita paruh baya itu akan bermuram durja. Kantung mata menebal. Tidak ada senyum terukir di wajahnya yang keriput. Tidak tampak lagi suasana hangat, menenangkan, dan keibuan yang terpancar dari senyum manis khasnya yang menunjukkan dua lesung pipi.Aku mengira Eva akan jadi sosok wanita yang lemah—yang hilang akan harapan.Aku mengira seperti itu.Nyatanya, ketika aku baru melewati ruang tamu, aku mendapati Eva sedang membersihkan pajangan-pajangan rumah menggunakan kemoceng. Dia bekerja sambil menyenandungkan sebuah lagu yang sedang diputar dari radio kecil yang tampak antik oleh lapisan kayu menyelimuti benda itu. Kepalanya sedikit mengayun mengikuti irama lembut dari lagu yang diputar.Senyumku sedikit merekah saat mendengar lagu apa yang sedang dimainkan oleh penyiar. Aku mengenal lagu itu. Lagu jazz yang memukau dengan melodi yang lembut namun memikat, dibawakan oleh vokalis berbakat yang merupa
Aku masih ada cukup waktu untuk sekedar bersih-bersih dan makan siang yang disajikan oleh pelayan. Santap siang yang sedang aku makan ini bernama Beef Wellington, terdiri dari lapisan daging sapi panggang yang lembut dan beraroma, dibalut dengan kulit puff pastry yang garing.Sepotong Beef Wellington yang sempurna, kulitnya yang renyah dilapisi daging sapi panggang yang lembut, dihiasi dengan baluran selai jamur yang kaya rasa. Aku memotong potongan kecil makanan dengan hati-hati, menghayati setiap gigitannya dengan ekspresi kenikmatan. Aromanya yang menggugah selera memenuhi ruang makan, mengundang decak kagum dariku. Dikelilingi oleh atmosfer yang nyaman dan hidangan yang lezat, aku merasa puas dan bersyukur atas pengalaman makan siang yang istimewa ini.Seolah makanan yang pertama kali aku coba ini menjadi bahan bakar untuk menghadapi kehidupan keduaku.“Memangnya seenak itu? Di restoran mewah, aku pernah beberapa kali makan itu, Beef Wellington. Rasanya biasa saja.”Komentar Marvi
“Akhir tahun 2025, jadwal maju seminar proposal. Awal tahun 2026 mulai penelitian dan pertengahannya nanti adalah maju sidang Tugas Akhir. Semester ganjil ini aku ambil 10 SKS dan 3 SKS pengulangan mata kuliah Kimia Dasar karena semester awal aku kuliah, nilaiku tidak tuntas.”“Apa itu SKS?”“Satuan Kredit Semester. Beban studi yang harus kau ambil dalam satu semester.”Marvin kembali menjelaskan istilah-istilah lainnya yang ada di kuliah. Terutama materi mata kuliah dasar yang perlu aku mengerti. Aku berusaha untuk fokus menyimak penyampaian Marvin mengenai kehidupan kuliahnya.Dari mentari masih terlihat dari jendela kamar, sampai hanya hitam yang tampak di luar jendela kamar. Aku tidak peduli kondisi di luar kamar yang aku kunci ini. Hanya Eva yang aku perbolehkan masuk untuk mengantar makan dan minum.Materi dasar Kimia dan beberapa turunannya seperti Kimia Organik, Kimia Fisik, dan Kimia Anorganik sudah aku pahami sedikit. Ketika masuk ke penelitian untuk seminar proposal, kelopa
Alat navigasi mengarahkanku pada sebuah rumah bercat kuning terang dan berlantai satu. Di depan rumah, terdapat area berumput yang rapi dan terawat dengan baik. Beberapa tanaman hias berwarna-warni diletakkan di sekitar area ini, menambah keindahan dan keceriaan taman. Sebuah jalur setapak kecil yang tersusun dari batu mengarah menuju pintu masuk utama rumah yang diapit oleh dua jendela. Di sekitar pintu masuk, terdapat beberapa pot tanaman yang dipajang dengan apik, memberikan kesan ramah dan menyambut bagi tamu yang datang. Cahaya lampu kecil yang terpasang di dinding atau tiang penyangga atap memberikan penerangan yang cukup pada malam hari.Aku mengirim pesan pada Mariana bahwa aku sudah sampai. Tidak berselang lama, aku melihat sosok wanita dengan pakaian tertutup berupa gaun panjang polos berwarna biru gelap keluar dari pintu. Dia juga tidak menunjukkan wajahnya ketika keluar dari rumah. Dia membuka pintu bagasi yang terletak tepat di samping rumah itu. Aku pun melajukan mobil u
“Tuan dan Nyonya Ray.”Aku melangkah ke keluarga kecil itu. Meskipun sebagian diriku berteriak untuk menghampiri Simon dulu, tidak bisa aku mungkiri bahwa keinginan terbesarku dalam menemui Ethan jauh lebih besar mengambil alih tubuhku.“Iya?” Ethan menoleh padaku. Seketika aku terpaku dengan manik biru lautnya dan matanya yang tampak begitu mengingatkanku akan mata Lindsey. Juga tahi lalat di dekat mata kiri yang menjadi tanda lahirnya. Ini benar Ethan, anak sulungku.“Oh, ya, sayang. Dia juniormu. Mau mewawancaraiku untuk tugas dia,” ucap Beatrice, yang membantuku tersadar dari lamunan singkat.“Benarkah?” Ethan menyunggingkan senyum. “Siapa namamu? Masuk angkatan tahun berapa?”“Marvin Alexander.” Aku ikut tersenyum, sambil mengingat-ingat tahun berapa Marvin baru masuk kuliah. “Saya angkatan tahun 2022.”“Oh, berarti sudah mau tingkat akhir ya,” kata Ethan dengan senyum sedikit memudar. “Silakan, wawancara istri saya,” lanjutnya sambil menggendong putri kecilnya dari pangkuan ibun
Sangat sulit bagiku untuk menyembunyikan senyum di wajah ketika mendengar dari mulut wanita ini bahwa suaminya bernama Ethan Ray, juga mengira bahwa aku adalah junior dari jurusan yang sama dengannya. Meskipun sama-sama dari bidang pendidikan, tetapi materi yang kami ajari pastinya berbeda. Kimia dan Keolahragaan, jauh berbeda.“Oh, Ethan Ray? Saya pernah mendengar namanya,” ujarku seolah aku mengenalnya—meski aku memang mengenalnya, tetapi aku tidak tahu sosoknya ketika lulus dari universitas dan memiliki keluarga kecil.“Benarkah? Ah, ternyata ucapannya kalau dia terkenal selama di kampus bukanlah bualan,” kata Beatrice sambil tertawa pelan.Aku coba menanggapinya lagi, dengan sedikit kebohongan, “Ya. Namanya pernah saya baca di majalah dinding. Dia pernah berpartisipasi dalam lomba olahraga nasional, kalau tidak salah?”Beatrice mengangguk. “Iya. Dia pernah mewakili universitas di bidang panahan. Tetapi ya ... dia kalah saing dengan Nova of Arts University. Setidaknya dia dapat jua
Sebuah gedung satu lantai bercat putih. Kaca besar terpasang di sepanjang dinding sehingga dapat melihat aktivitas di dalamnya. Sebuah papan reklame bergambar kacamata yang di bawahnya terdapat tulisan ‘The Visionary’. Nama yang bagiku unik untuk sebuah toko kacamata.Ini kali kedua aku berkunjung, sedangkan Simon baru pertama kali, sehingga dia berkomentar, “Oh, toko kacamata biasa. Aku kira kau akan diarahkan ke toko kacamata eksklusif khusus keluarga orang kaya.” Begitu katanya ketika kami bertemu di depan pintu masuk setelah memarkirkan mobil masing-masing.“Ini rekomendasi dari Will,” jawabku sambil mengangkat bahu.Simon sedikit memiringkan kepala, untuk melihat ke mobil sedan hitam terparkir tak jauh di belakangku. “Will tidak ikut?”Aku menggeleng sambil melangkah masuk melewati pintu. “Sepertinya dia masih kesal. Selama di perjalanan tadi, kami diam saja. Dia juga menjawab singkat pertanyaanku. Seperti masih segan untuk mengobrol denganku.”Simon yang berjalan di sampingku cu
Aku mendapat izin untuk menginap di ruangan Philip. Dalam keheningan malam yang terhampar di ruang rawat inap VIP ini, sentuhan musim gugur menyelimuti udara dengan kelembutan yang menenangkan. Cahaya bulan temaram memancar masuk melalui jendela besar, memperlihatkan bayangan lembut yang menari-nari di dinding kamar. Udara dingin musim gugur memeluk setiap sudut ruangan, menciptakan suasana yang cocok untuk merenung atau bersantai.Di pojok ruangan, lampu meja yang redup memancarkan cahaya keemasan, menyoroti kertas-kertas yang tersebar di atas meja kayu yang elegan. Aroma wangi dari lilin aroma terapi bergaung di udara, menciptakan suasana relaksasi yang sempurna. Di sofa panjang yang empuk, aku bergumam sendiri, membiarkan pikiranku melayang-layang ke tempat-tempat yang disebutkan oleh Philip dalam ceritanya. Dengan mata yang terpejam, aku merenungkan betapa jauh perjalanan hidupku telah membawaku, sambil menikmati kedamaian malam yang penuh inspirasi.Sekali lagi aku menjabarkan ru
“Habis dari mana, Nak? Kok lama sekali?” Philip langsung bertanya padaku ketika aku baru saja membuka pintu ruangan tempatnya dirawat. Aku menutup pintu dulu sambil berpikir cepat alasan yang tepat dan logis untuk menjawabnya. Jawaban ke toilet tidak mungkin—meski memang itu kenyataannya—karena akan membuatnya semakin heran. Ada toilet di ruangan itu, tetapi aku memilih toilet umum di luar untuk apa? “Bertemu teman.” Hanya itu jawaban yang aku lontarkan ketika aku duduk di kursi sebelah tempat tidurnya. Philip menyunggingkan senyum. “Teman? Siapa? Simon? Avery? Khari? Laura? Oh bukan. Laura ‘kan calon istri masa depanmu.” Dia tertawa pelan di akhir. “Betapa inginnya Papa melihatmu menikahi perempuan idamanmu itu sebelum waktu Papa habis.” Pernyataan tersebut cukup buatku tertawa miris, mengingat aku bukanlah Marvin yang menyimpan rasa pada Laura. Sejujurnya, aku sendiri juga belum tahu akan menikah lagi atau tidak di kehidupan kedua ini. Pasalnya, belum ada yang aku suka—ralat. Ad
Aku harus berada di sisi Philip lebih lama. Sekali lagi aku katakan, Philip seperti harta karun segala informasi yang aku butuhkan. Aku hanya perlu mencatat tempat-tempat penting yang akan menjadi petunjuk besar dalam mencari keberadaan keluargaku. Minimal keberadaan Victor, mengingat ayahnya Philip pernah bekerja sama dengan kakakku. Aku sampai memohon-mohon pada Marvin untuk membiarkanku menginap di tempat dirawatnya Philip. Karena aku tidak mungkin bicara dengannya di depan Philip atau orang lain, aku sampai menggunakan toilet umum yang sepi di bangunan yang sama untuk bicara pada Marvin. “Kau bilang kau mau mengikuti semua yang aku perintahkan. Ternyata kau memang sulit diatur.” Marvin tidak menunjukkan tatapan ramahnya lagi, melainkan tatapan tajam dengan alis bertaut ke bawah, sambil meletakkan dua tangan di pinggang. “Maaf, Marvin. Aku mohon untuk hari ini saja aku menginap di ruangan Papamu. Aku ingin mengobrol banyak. Minimal, aku perlu tahu di mana Victor sekarang,” jawab
Akhirnya Eva Holland dipecat dari pekerjaannya sebagai pelayan pribadi yang sudah dijalaninya selama bertahun-tahun. Marvin bilang padaku bahwa dia melihat ekspresi terkejut Lucy, Vina, dan Viona ketika aku memeluk Eva. Mereka bertiga—terutama Lucy—tampak menahan atas tindakanku itu.Kalau bukan di hadapan kamera yang terus merekam semua kejadian, sudah pasti dia akan menunjukkan warna aslinya.Saat Eva keluar dari ruangan tersebut, pengambilan gambar untuk hari ini berakhir.Aku melihat Lucy mengajak Eric keluar dari ruangan tersebut. Aku ingin mendengar apa yang mereka perbincangkan, namun akan terlihat mencurigakan jika aku tiba-tiba menimbrung.“Biar aku saja yang mengikuti mereka,” tawar Marvin.Baiklah. Aku mengandalkanmu, balasku dalam pikiran. Lalu, arwah itu menembus pintu dan menghilang seketika dari pandangan. Tinggallah beberapa staf yang sedang membereskan peralatan shooting, dua kakak kembarnya Marvin yang sibuk dengan gawai masing-masing, juga aku dan Philip.Setelah be
Ruangan VIP ini terbilang luas, sehingga dapat memuat tiga kameramen beserta perangkat-perangkat lainnya yang tidak aku mengerti. Seperti sebuah pengeras suara yang memiliki tongkat panjang dan ada orang yang mengangkatnya. Marvin sendiri juga sepertinya ogah untuk menjelaskanku lebih detail tentang perlengkapan itu.Intinya, ruang VIP yang tampak luas, kini sedikit terlihat sesak oleh kehadiran beberapa staf termasuk Eric beserta perangkat-perangkat pengambilan gambar The Family Fame.Sambil menunggu kehadiran Eva di ruangan ini, aku memperhatikan sekitar dulu. Vina dan Viona membaca naskah—Ya, naskah untuk sebuah acara reality show yang secara logika harus menampilkan realitasnya tanpa naskah. Lucy sibuk merias diri, memastikan bubuhan bedaknya yang tebal itu menutupi keriputnya dan mungkin sekaligus aibnya. Eric memberi arahan pada bawahannya untuk mengambil gambar-gambar yang bagus.Hanya aku yang duduk di samping tempat Philip berbaring. Aku menatapi wajah pria tua itu dengan nan