Intinya, aku hanya perlu bersikap senatural mungkin seolah tidak ada kamera yang menyorotiku. Itu yang aku dapatkan ketika Marvin menjelaskan singkat apa yang harus aku lakukan setelah keluar dari mobil yang disopiri oleh Will ini. Eric ikut keluar bersamaku, tetapi dia mengawasiku dari jarak tertentu. Mungkin sekalian mengarahkan anak buahnya dalam mengambil gambar pula.Will menurunkanku tepat di halte K yang paling dekat dengan gedung fakultas MIPA. Dengan alasan shooting, penjaga universitas memperbolehkan mobil pribadi memasuki jalanan kawasan gedung-gedung fakultas yang seharusnya hanya boleh dilewati oleh bus listrik fasilitas kampus. Aku tidak perlu menunggu bus dan menaiki bus menuju halte K lagi.Aku memperhatikan gedung MIPA itu sejenak. Tetapi fokusku sempat beralih ke seorang pria yang sedang membawa kamera besar di pundaknya yang kini berdiri di dekat pintu. Juga seorang wanita yang berdiri di sebelahnya, mengajaknya mengobrol. Aku curiga jangan-jangan mereka tim shootin
Meski hanya mengambil gambar beberapa menit saja selama kelas berlangsung, aku dapat melihat dan menyimpulkan bahwa sebagian besar teman-teman sekelasku ini tidak nyaman juga beberapa di antaranya tampak tegang ketika kamera menyorot pada wajah mereka. Mungkin hanya Miss Yuli sendiri—wanita berkacamata yang tampil sederhana dengan sweter polos dan rok panjangnya—yang tampak biasa saja saat mengajarkan materi penelitian kualitatif menggunakan papan tulis sentuh. Dia mengajar penuh semangat, tanpa peduli ada tiga kamera di sudut kelasnya. Setelah kelas selesai, aku dimintai komentar lagi oleh wanita yang sama di depan pintu masuk fakultas. Kali ini aku membaca label nama di pakaian seragamnya. Ariel Ostrich . “Bagaimana kelas hari ini?” “Cukup baik, Ostrich. Aku paham materi yang disampaikan Miss Yuli,” jawabku singkat. Aku melihat satu per satu mahasiswa di kelas ini pergi keluar dari kelas. Ada yang melambaikan tangan padaku, dan aku lambai balik sambil tersenyum. Ada juga yang aku
Matahari berada hampir di atas kepala. Awan-awan berarak dengan lembut seperti gumpalan kapas yang terbentang luas. Mereka tampak tidak setebal musim panas atau seputih musim dingin. Awan-awan gugur lebih tenang, terhuyung-huyung mengikuti irama angin musim gugur yang sejuk.Warna langit siang pun mengalami transisi yang memukau. Biru langit yang mendominasi masih menampilkan kehangatan musim panas, tetapi juga menyelipkan nuansa jingga yang khas musim gugur. Sinar matahari yang merambat melalui awan-awan, memberikan sentuhan emas pada pemandangan yang mengagumkan.Fasad kafe Mocha Matcha terbuat dari kaca besar yang memungkinkan cahaya alami masuk ke dalam ruangan. Filter agak gelap terpasang yang memiliki sensor otomatis untuk mengatur intensitas cahaya yang masuk, sehingga tidak ada kata silau ketika memilih tempat duduk di dekat jendela.Banyak tempat duduk di kafe ini yang menurutku nyaman untuk ditempati—seperti dekat jendela, pelataran lantai dua, atau dekat kasir. Akan tetapi,
“Aku ingin memberdayakan semua kelebihanmu.” Begitu yang aku ucapkan pada Simon ketika aku kembali duduk di seberangnya. “Artinya adalah, ‘Aku ingin memanfaatkanmu’,” lanjut Mariana. “Seperti yang dikatakan kakak sepupumu.” Simon berhenti mengunyah sejenak dan keningnya berkerut. Ketika mulutnya sempat terbuka untuk membalas, Mariana sudah menyela. “Telan dulu makananmu, Simon.” Dia langsung menelan makanannya dalam sekali dorong, lalu segera berkata padaku, “Bukankah aku sudah bilang beri aku waktu istirahat sampai besok?” “Iya. Tetapi, aku membutuhkanmu sekarang. Terutama Marvin.” “Bukankah—“ “Mariana bersedia menceritakan tentang Rose agar aku bisa tahu di mana Ethan dan Ryan. Ya, aku tahu. Aku tahu itu,” potongku dengan ucapan cepat. “Meski begitu, untuk saat ini, aku butuh sekali... Bantuanmu, Simon. Karena ini menyangkut tentang teknologi dan sabotase.” Iris biru langit Simon menatapku dalam-dalam. Meneliti dari mata ke mata apakah aku sedang berkilah atau berkata apa a
Rencana sudah tersusun dengan matang. Simon tahu apa yang akan dia kerjakan, Mariana tahu apa yang perlu dia bantu untuk sepupunya. Sekarang, tinggal giliranku yang menanggung konsekuensi sekaligus memastikan mereka berdua terjauh dari sorotan kamera.Sejujurnya aku ingin sekali menghubungi Laura untuk memastikan aku ‘aman’ selama berada di sekitar kampus ini. Statusnya sebagai artis di media sosial yang bernama instagram, aku yakin kru TFF ataupun Lucy dan dua putrinya mempertimbangkan aksi jahat mereka ketika aku bersama Laura. Ditambah, aku juga bisa meminta Laura untuk mengaktifkan tayangan langsung di media sosialnya yang segera ditonton oleh ratusan orang itu, supaya ‘mereka’ dapat menjaga sikap di tengah emosi yang menggelora karena aku mengacak-acak jadwal shooting acara ini. Meski hanya sementara, itu lebih dari cukup.Akan tetapi, aku tidak ingin Marvin lebih murka dari yang sudah aku perbuat sebelumnya. Aku berjanji pada Marvin untuk tidak melibatkan Laura pada masalah-masa
“Tuan Muda, kita sudah sampai.”Kesadaranku meningkat ketika ada yang menepuk pundakku. Kelopak mata terangkat perlahan. Sosok yang membangunkanku, awalnya tampak sangat buram, kini perlahan sedikit jelas.“Pak Sutradara sudah di luar mengatur stafnya. Sebaiknya Tuan Muda segera bangun.”Dari suaranya saja, aku mengenalnya sebagai William, sopir pribadi keluarga Alexander. Aku menerima julur tangannya yang sedang memegang kacamataku, lalu mengenakannya. Kini wujud Will tampak lebih jelas. “Kita sudah sampai mana?”“Genesis Pineval Hospital. Rumah sakit tempat Tuan Alexander dirawat.”Jawaban dari Will membuatku sadar sepenuhnya. Aku menoleh ke jendela, namun hanya ada deretan mobil-mobil lain di sebuah lapangan parkir yang luas. Langit yang awalnya berwarna biru tenang, kini berubah menjadi jingga, cukup untuk meyakinkanku bahwa perjalanan yang dituju dari universitas ke rumah sakit ini sangat lah jauh.Seperti sebelumnya di kampus, staf acara The Family Fame memastikan Rumah Sakit Ge
“Maaf, kami sedang proses shooting.” Ostrich bicara baik-baik. “Tolong jangan buat interaksi dulu dengan Marvin.”Hanya gara-gara Dominic menyapaku, kami harus ketinggalan lift yang berangkat naik.“Shooting apa?” tanya Dominic yang juga terdengar masih baik-baik.“The Family Fame.”Dominic mengusap dagu dengan pandangan ke atas. Setelah dia ingat, dia berkata dengan tampang polosnya, “Oh, acara sampah itu.”Aku spontan menunduk dalam sambil mengunci mulutku rapat-rapat agar tidak ada suara tawa yang keluar.“Acara sampah kau bilang?!”“Sabar, Ostrich. Sabarlah. Kita di rumah sakit.”Sepertinya pria kameramen yang sering di sampingnya berhasil menahannya. Aku tidak tahu namanya siapa. Tidak berminat untuk melihat wajah temperamen wanita bernama Ostrich itu. Jika aku melihatnya, bisa jadi akan memperburuk suasana. Sehingga, aku hanya mendengar suara gerutu wanita itu akibat terprovokasi oleh Dominic.“Hey! Ada apa ini?” Eric yang baru tiba akhirnya turun tangan.“Dia mengganggu shooti
Ding.Pintu lift terbuka di lantai empat bangunan ini. Aku dan Will tidak dapat melanjutkan obrolan karena kami tiba di lantai yang dituju. Ternyata di lantai tersebut sudah ditunggu oleh beberapa staf yang mengambil gambar kami keluar dari pintu lift.Aku menapaki koridor yang tenang di lantai tiga bangunan VIP rumah sakit, di mana aroma hangat dari kayu cedar menyambut setiap langkah. Kehangatan aroma kayu tersebut seolah menyelimuti dengan lembut, menciptakan suasana yang nyaman dan menenangkan di sekitar.Koridor ini terang benderang dengan pencahayaan yang masih terbilang lembut, memancarkan suasana yang hangat dan ramah. Di dinding sepanjang koridor, lukisan-lukisan seni yang elegan menghiasi ruangan, menambah sentuhan artistik dan keindahan. Cahaya yang terpantul dari lantai yang bersih dan berkilauan menambah kesan kemewahan dan kebersihan ruangan.Aku melihat pintu-pintu yang terletak di sisi kanan dan kiri koridor, menuju ke ruang rawat inap khusus pasien VIP. Pintu-pintu in
Alat navigasi mengarahkanku pada sebuah rumah bercat kuning terang dan berlantai satu. Di depan rumah, terdapat area berumput yang rapi dan terawat dengan baik. Beberapa tanaman hias berwarna-warni diletakkan di sekitar area ini, menambah keindahan dan keceriaan taman. Sebuah jalur setapak kecil yang tersusun dari batu mengarah menuju pintu masuk utama rumah yang diapit oleh dua jendela. Di sekitar pintu masuk, terdapat beberapa pot tanaman yang dipajang dengan apik, memberikan kesan ramah dan menyambut bagi tamu yang datang. Cahaya lampu kecil yang terpasang di dinding atau tiang penyangga atap memberikan penerangan yang cukup pada malam hari.Aku mengirim pesan pada Mariana bahwa aku sudah sampai. Tidak berselang lama, aku melihat sosok wanita dengan pakaian tertutup berupa gaun panjang polos berwarna biru gelap keluar dari pintu. Dia juga tidak menunjukkan wajahnya ketika keluar dari rumah. Dia membuka pintu bagasi yang terletak tepat di samping rumah itu. Aku pun melajukan mobil u
“Tuan dan Nyonya Ray.”Aku melangkah ke keluarga kecil itu. Meskipun sebagian diriku berteriak untuk menghampiri Simon dulu, tidak bisa aku mungkiri bahwa keinginan terbesarku dalam menemui Ethan jauh lebih besar mengambil alih tubuhku.“Iya?” Ethan menoleh padaku. Seketika aku terpaku dengan manik biru lautnya dan matanya yang tampak begitu mengingatkanku akan mata Lindsey. Juga tahi lalat di dekat mata kiri yang menjadi tanda lahirnya. Ini benar Ethan, anak sulungku.“Oh, ya, sayang. Dia juniormu. Mau mewawancaraiku untuk tugas dia,” ucap Beatrice, yang membantuku tersadar dari lamunan singkat.“Benarkah?” Ethan menyunggingkan senyum. “Siapa namamu? Masuk angkatan tahun berapa?”“Marvin Alexander.” Aku ikut tersenyum, sambil mengingat-ingat tahun berapa Marvin baru masuk kuliah. “Saya angkatan tahun 2022.”“Oh, berarti sudah mau tingkat akhir ya,” kata Ethan dengan senyum sedikit memudar. “Silakan, wawancara istri saya,” lanjutnya sambil menggendong putri kecilnya dari pangkuan ibun
Sangat sulit bagiku untuk menyembunyikan senyum di wajah ketika mendengar dari mulut wanita ini bahwa suaminya bernama Ethan Ray, juga mengira bahwa aku adalah junior dari jurusan yang sama dengannya. Meskipun sama-sama dari bidang pendidikan, tetapi materi yang kami ajari pastinya berbeda. Kimia dan Keolahragaan, jauh berbeda.“Oh, Ethan Ray? Saya pernah mendengar namanya,” ujarku seolah aku mengenalnya—meski aku memang mengenalnya, tetapi aku tidak tahu sosoknya ketika lulus dari universitas dan memiliki keluarga kecil.“Benarkah? Ah, ternyata ucapannya kalau dia terkenal selama di kampus bukanlah bualan,” kata Beatrice sambil tertawa pelan.Aku coba menanggapinya lagi, dengan sedikit kebohongan, “Ya. Namanya pernah saya baca di majalah dinding. Dia pernah berpartisipasi dalam lomba olahraga nasional, kalau tidak salah?”Beatrice mengangguk. “Iya. Dia pernah mewakili universitas di bidang panahan. Tetapi ya ... dia kalah saing dengan Nova of Arts University. Setidaknya dia dapat jua
Sebuah gedung satu lantai bercat putih. Kaca besar terpasang di sepanjang dinding sehingga dapat melihat aktivitas di dalamnya. Sebuah papan reklame bergambar kacamata yang di bawahnya terdapat tulisan ‘The Visionary’. Nama yang bagiku unik untuk sebuah toko kacamata.Ini kali kedua aku berkunjung, sedangkan Simon baru pertama kali, sehingga dia berkomentar, “Oh, toko kacamata biasa. Aku kira kau akan diarahkan ke toko kacamata eksklusif khusus keluarga orang kaya.” Begitu katanya ketika kami bertemu di depan pintu masuk setelah memarkirkan mobil masing-masing.“Ini rekomendasi dari Will,” jawabku sambil mengangkat bahu.Simon sedikit memiringkan kepala, untuk melihat ke mobil sedan hitam terparkir tak jauh di belakangku. “Will tidak ikut?”Aku menggeleng sambil melangkah masuk melewati pintu. “Sepertinya dia masih kesal. Selama di perjalanan tadi, kami diam saja. Dia juga menjawab singkat pertanyaanku. Seperti masih segan untuk mengobrol denganku.”Simon yang berjalan di sampingku cu
Aku mendapat izin untuk menginap di ruangan Philip. Dalam keheningan malam yang terhampar di ruang rawat inap VIP ini, sentuhan musim gugur menyelimuti udara dengan kelembutan yang menenangkan. Cahaya bulan temaram memancar masuk melalui jendela besar, memperlihatkan bayangan lembut yang menari-nari di dinding kamar. Udara dingin musim gugur memeluk setiap sudut ruangan, menciptakan suasana yang cocok untuk merenung atau bersantai.Di pojok ruangan, lampu meja yang redup memancarkan cahaya keemasan, menyoroti kertas-kertas yang tersebar di atas meja kayu yang elegan. Aroma wangi dari lilin aroma terapi bergaung di udara, menciptakan suasana relaksasi yang sempurna. Di sofa panjang yang empuk, aku bergumam sendiri, membiarkan pikiranku melayang-layang ke tempat-tempat yang disebutkan oleh Philip dalam ceritanya. Dengan mata yang terpejam, aku merenungkan betapa jauh perjalanan hidupku telah membawaku, sambil menikmati kedamaian malam yang penuh inspirasi.Sekali lagi aku menjabarkan ru
“Habis dari mana, Nak? Kok lama sekali?” Philip langsung bertanya padaku ketika aku baru saja membuka pintu ruangan tempatnya dirawat. Aku menutup pintu dulu sambil berpikir cepat alasan yang tepat dan logis untuk menjawabnya. Jawaban ke toilet tidak mungkin—meski memang itu kenyataannya—karena akan membuatnya semakin heran. Ada toilet di ruangan itu, tetapi aku memilih toilet umum di luar untuk apa? “Bertemu teman.” Hanya itu jawaban yang aku lontarkan ketika aku duduk di kursi sebelah tempat tidurnya. Philip menyunggingkan senyum. “Teman? Siapa? Simon? Avery? Khari? Laura? Oh bukan. Laura ‘kan calon istri masa depanmu.” Dia tertawa pelan di akhir. “Betapa inginnya Papa melihatmu menikahi perempuan idamanmu itu sebelum waktu Papa habis.” Pernyataan tersebut cukup buatku tertawa miris, mengingat aku bukanlah Marvin yang menyimpan rasa pada Laura. Sejujurnya, aku sendiri juga belum tahu akan menikah lagi atau tidak di kehidupan kedua ini. Pasalnya, belum ada yang aku suka—ralat. Ad
Aku harus berada di sisi Philip lebih lama. Sekali lagi aku katakan, Philip seperti harta karun segala informasi yang aku butuhkan. Aku hanya perlu mencatat tempat-tempat penting yang akan menjadi petunjuk besar dalam mencari keberadaan keluargaku. Minimal keberadaan Victor, mengingat ayahnya Philip pernah bekerja sama dengan kakakku. Aku sampai memohon-mohon pada Marvin untuk membiarkanku menginap di tempat dirawatnya Philip. Karena aku tidak mungkin bicara dengannya di depan Philip atau orang lain, aku sampai menggunakan toilet umum yang sepi di bangunan yang sama untuk bicara pada Marvin. “Kau bilang kau mau mengikuti semua yang aku perintahkan. Ternyata kau memang sulit diatur.” Marvin tidak menunjukkan tatapan ramahnya lagi, melainkan tatapan tajam dengan alis bertaut ke bawah, sambil meletakkan dua tangan di pinggang. “Maaf, Marvin. Aku mohon untuk hari ini saja aku menginap di ruangan Papamu. Aku ingin mengobrol banyak. Minimal, aku perlu tahu di mana Victor sekarang,” jawab
Akhirnya Eva Holland dipecat dari pekerjaannya sebagai pelayan pribadi yang sudah dijalaninya selama bertahun-tahun. Marvin bilang padaku bahwa dia melihat ekspresi terkejut Lucy, Vina, dan Viona ketika aku memeluk Eva. Mereka bertiga—terutama Lucy—tampak menahan atas tindakanku itu.Kalau bukan di hadapan kamera yang terus merekam semua kejadian, sudah pasti dia akan menunjukkan warna aslinya.Saat Eva keluar dari ruangan tersebut, pengambilan gambar untuk hari ini berakhir.Aku melihat Lucy mengajak Eric keluar dari ruangan tersebut. Aku ingin mendengar apa yang mereka perbincangkan, namun akan terlihat mencurigakan jika aku tiba-tiba menimbrung.“Biar aku saja yang mengikuti mereka,” tawar Marvin.Baiklah. Aku mengandalkanmu, balasku dalam pikiran. Lalu, arwah itu menembus pintu dan menghilang seketika dari pandangan. Tinggallah beberapa staf yang sedang membereskan peralatan shooting, dua kakak kembarnya Marvin yang sibuk dengan gawai masing-masing, juga aku dan Philip.Setelah be
Ruangan VIP ini terbilang luas, sehingga dapat memuat tiga kameramen beserta perangkat-perangkat lainnya yang tidak aku mengerti. Seperti sebuah pengeras suara yang memiliki tongkat panjang dan ada orang yang mengangkatnya. Marvin sendiri juga sepertinya ogah untuk menjelaskanku lebih detail tentang perlengkapan itu.Intinya, ruang VIP yang tampak luas, kini sedikit terlihat sesak oleh kehadiran beberapa staf termasuk Eric beserta perangkat-perangkat pengambilan gambar The Family Fame.Sambil menunggu kehadiran Eva di ruangan ini, aku memperhatikan sekitar dulu. Vina dan Viona membaca naskah—Ya, naskah untuk sebuah acara reality show yang secara logika harus menampilkan realitasnya tanpa naskah. Lucy sibuk merias diri, memastikan bubuhan bedaknya yang tebal itu menutupi keriputnya dan mungkin sekaligus aibnya. Eric memberi arahan pada bawahannya untuk mengambil gambar-gambar yang bagus.Hanya aku yang duduk di samping tempat Philip berbaring. Aku menatapi wajah pria tua itu dengan nan