Elora berjalan pelan di sepanjang lorong sempit yang dipenuhi dengan bau asap rokok dan desahan musik keras yang terdengar menggema dari dalam klub. Malam itu, udara di luar terasa dingin, namun tubuhnya berkeringat. Hatinya berdetak cepat, lebih karena kegugupan daripada rasa dingin. Langkahnya yang gemetar tidak bisa ia sembunyikan, meskipun ia berusaha keras untuk terlihat tenang.
Kehidupan yang ia jalani sekarang bukanlah kehidupan yang ia impikan. Dulu, ia bermimpi menjadi seseorang yang berguna bagi orang tuanya, untuk suatu hari nanti kembali ke desa dengan kebanggaan di wajahnya. Tapi sekarang, semuanya telah berubah. Di hadapannya terbentang jalan yang gelap, dan Elora tahu bahwa sekali ia melangkah ke dalam dunia ini, tak ada jalan kembali.
Pintu yang ada di depan matanya terbuka dengan suara berderit. Di dalam, beberapa orang tampak sedang berbicara dengan pelan, sementara sebagian yang lain asyik dengan percakapan di meja bar. Keheningan yang ada membuat Elora merasa semakin terasing. Suara tawa dan obrolan yang tidak jelas hanya semakin membuatnya merasa seperti orang luar.
Di depan sebuah pintu besar, seorang wanita menunggunya. Wajahnya tampak serius, namun ada senyum tipis di bibirnya yang membuat Elora merasa lebih cemas. Wanita itu mengenakan gaun hitam ketat yang memamerkan tubuh langsingnya. Rambutnya tergerai dengan rapi, dan riasannya sempurna.
"Elora," kata wanita itu, suaranya dalam namun lembut, "Ayo masuk. Saatnya kamu mulai bekerja."
Elora menelan ludah, mencoba mengendalikan napasnya yang semakin berat. Di dalam hatinya, ia bertanya-tanya apakah ia sudah benar-benar siap untuk melangkah lebih jauh ke dunia ini. Namun, saat ia melihat wanita itu melangkah masuk, ia tahu bahwa tak ada pilihan lain. Ia harus mengikuti, meskipun hatinya merasa sangat berat.
Di dalam, ada beberapa orang yang duduk di meja besar, sebagian tampak sibuk berbicara, sebagian lainnya hanya diam. Elora merasa seolah-olah menjadi pusat perhatian, meskipun hanya sebentar. Ia tahu betul bahwa wajahnya—dengan kulit halusnya yang bercahaya dan tubuhnya yang ramping—terlihat sangat berbeda dibandingkan dengan perempuan-perempuan lain yang ada di sana.
"Ini adalah tempatmu," kata wanita itu, menunjuk ke sebuah sudut ruangan yang lebih sepi. "Kamu akan bekerja di sini malam ini. Tidak perlu khawatir, aku akan membimbingmu."
Elora hanya mengangguk, meskipun seluruh tubuhnya terasa gemetar. Wanita itu membawanya ke sebuah kursi, tempat Elora duduk dengan hati yang berdebar-debar. Keheningan itu semakin lama semakin berat, dan meskipun Elora berusaha untuk menghilangkan rasa gugupnya, kenyataannya adalah bahwa ia merasa lebih terjebak daripada sebelumnya.
Beberapa pria mulai mendekat, dan pandangan mereka membuat Elora semakin merasa cemas. Ia tahu apa yang akan terjadi malam ini. Ia tahu apa yang dimaksud dengan pekerjaan yang akan dilakoninya, meskipun baru kali pertama ia benar-benar berada di tengah-tengahnya. Sebuah suara memanggilnya, dan wanita itu mengisyaratkan agar ia berdiri.
"Ini adalah langkah pertama," kata wanita itu, "Jangan khawatir. Kamu akan terbiasa."
Dengan penuh ketegangan, Elora berjalan mengikuti wanita itu, yang tampaknya lebih tenang dari dirinya. Mereka menuju ke ruang belakang, tempat di mana klien-klien menunggu. Wanita itu membukakan pintu, dan di dalam, ada beberapa pria yang sudah menunggu. Mereka tidak terlalu muda, namun sikap mereka menunjukkan bahwa mereka sudah terbiasa berada di tempat seperti ini.
“Mulai malam ini, kamu akan melayani mereka,” kata wanita itu, berbicara dengan tenang namun jelas. "Tapi ingat, jangan biarkan mereka mengendalikanmu. Ini adalah pekerjaan, Elora, bukan tentang emosi. Jangan terjebak."
Wanita itu kemudian meninggalkan Elora, memberi kesempatan untuk berbicara dengan para pria itu. Saat pertama kali seorang pria duduk di depan Elora, pandangannya tidak bisa Elora hindari. Ada semacam kegelisahan dalam dirinya, namun di saat yang sama, ia tahu bahwa ia tidak bisa mundur. Pekerjaan ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan uang yang cukup untuk ayahnya.
Pria pertama itu tersenyum lebar, dan Elora merasakan matanya mengamati tubuhnya dengan tajam. Di dalam hati, ia berusaha untuk tidak merasa terganggu, berusaha untuk menjaga kendali. Tubuhnya, yang dulu hanya digunakan untuk bekerja keras di sawah, kini harus belajar untuk memberikan lebih dari itu. Ia tahu ini adalah bagian dari proses. Tidak ada jalan lain.
Begitu pria itu mendekat, Elora menutup matanya sejenak. Rasa takut dan cemas itu semakin menguat, tetapi ia memaksakan dirinya untuk tetap tenang. Dalam sekejap, ia merasa tangannya diraih, dan tubuhnya ditarik ke dalam dekapan pria tersebut. Bau alkohol menyengat dari napasnya.
Elora menundukkan kepala, mencoba mengalihkan perhatian. Ia tahu ia harus melakukan ini agar tetap bertahan, agar bisa mengumpulkan uang dan mengirimkan pengobatan yang dibutuhkan ayahnya. Seiring pria itu mulai meraba tubuhnya, Elora merasakan ketegangan yang tidak bisa dihindari. Meskipun ia mencoba menenangkan diri, pikirannya terus berputar pada satu hal—apakah ini adalah takdirnya? Apakah ia akan terus seperti ini?
Seiring waktu, Elora mulai terbiasa. Hari demi hari, klien datang silih berganti. Beberapa dari mereka kasar, beberapa lebih lembut, namun semuanya memiliki satu tujuan yang sama—memuaskan hasrat mereka. Pada awalnya, ia merasa hampa, namun semakin ia terlibat, semakin ia menyadari bahwa dunia ini adalah dunia yang memanfaatkan tubuh untuk mendapatkan apa yang diinginkan.
Namun, setiap malamnya, Elora terus merenung. Apakah ia bisa terus menjalani hidup ini? Apakah ia akan terperangkap dalam rutinitas yang terus mengubah dirinya, yang perlahan mengikis bagian dari jiwanya yang dulu kuat? Tapi, sekali lagi, ia tahu bahwa ia tidak punya pilihan lain.
Satu-satunya yang ia miliki saat ini adalah tubuhnya, dan dunia ini, yang penuh dengan kegelapan dan godaan, tampaknya adalah satu-satunya tempat yang memberinya kesempatan.
Part 2Kehidupan Elora semakin memasuki ritme yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Setiap malam, ia kembali ke ruang sempit itu, menghadapi para pria yang tak tahu siapa dirinya selain seorang wanita yang bisa memenuhi hasrat mereka. Pada awalnya, ia berusaha menutup matanya, membiarkan tubuhnya bergerak otomatis, seperti robot yang hanya menjalankan perintah. Tetapi lama kelamaan, meskipun ia berusaha keras untuk tidak terlibat, perasaan itu tak bisa ia hindari.Kadang, saat pria-pria itu meninggalkan ruangan setelah selesai, Elora merasa seolah-olah ada bagian dari dirinya yang ikut pergi bersama mereka. Tidak ada kata terima kasih, tidak ada perhatian yang lebih dari sekadar kepuasan sesaat. Mereka pergi begitu saja, meninggalkannya dalam kesepian yang semakin menyiksa.Namun, di tengah keputusasaan itu, Madam—wanita yang pertama kali membawanya masuk ke dunia ini—terus berada di sisinya. Terkadang, Madam terlihat dingin dan tak peduli, namun di saat lain, ia seolah-olah memaha
Part 3Elora terjaga lebih awal pagi itu. Langit masih gelap, dan suasana di sekitar klub yang hingar-bingar itu terasa sepi. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Semalam, setelah ia selesai bekerja, perasaan yang datang padanya bukan lagi rasa kosong atau perasaan terperangkap. Ada kekuatan yang tumbuh, meskipun ia tak sepenuhnya tahu darimana datangnya. Ia menatap bayangan dirinya di kaca, wajahnya tampak letih dan hampa, namun ada sorot baru di matanya. Seperti ada secercah harapan yang perlahan muncul.Namun, realitasnya segera datang menghampiri. Pagi yang sepi itu tak lebih dari waktu yang singkat. Elora tahu bahwa malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, ia harus kembali ke tempat itu, ke dunia yang tak memberinya banyak pilihan. Ke dunia yang menjadikannya sekadar komoditas. Sebelum kembali ke sana, ia memutuskan untuk menyendiri sejenak, duduk di balkon kecil yang menghadap ke jalanan kota. Udara pagi terasa dingin, membawa bau aspal dan debu yang menyengat. Di sa
Elora menatap tangan Arman yang terulur, perasaan bingung dan ragu berkelindan dalam dirinya. Ingin sekali ia mempercayai kesempatan ini, tetapi keraguan selalu menghalanginya. Seberapa banyak lagi ia harus berjuang? Seberapa banyak lagi ia harus merasakan hampa sebelum bisa keluar dari kegelapan yang selama ini mengurungnya?Namun, di balik semua itu, ada secercah harapan yang perlahan muncul, dan Elora tahu bahwa ini mungkin kesempatan yang sudah lama ia tunggu-tunggu. Dengan hati berdebar, ia akhirnya meraih tangan Arman, memutuskan untuk memberi kesempatan pada dirinya sendiri."Apakah ini benar-benar mungkin?" tanya Elora dengan suara pelan, matanya masih penuh keraguan. "Apakah saya bisa benar-benar keluar dari sini?"Arman menggenggam tangan Elora dengan erat, matanya penuh keyakinan. “Kamu bisa. Tapi untuk itu, kamu harus berhenti melarikan diri dari kenyataan dan mulai menghadapi dunia ini dengan cara yang berbeda. Tidak ada jalan keluar yang mudah, dan kamu harus siap untuk
Part 5Hari-hari setelah keputusan itu terasa seperti beban yang semakin berat bagi Elora. Meskipun ia merasa ada secercah harapan di depan, kenyataannya dunia ini tak mudah untuk dilepaskan. Setiap malam, saat ia melangkah kembali ke dalam klub itu, ia merasa semakin terperangkap dalam permainan yang lebih besar dari dirinya. Meskipun Arman memberi janji akan ada jalan keluar, Elora tahu bahwa ia harus bertindak dengan hati-hati.Semakin ia mendalami peranannya di dunia ini, semakin ia menyadari betapa kelamnya dunia yang telah mengurungnya. Madam, yang dulu tampaknya menjadi sosok yang memberi arahan, kini tampak lebih terisolasi dari Elora. Seiring berjalannya waktu, hubungan mereka semakin retak. Madam lebih banyak menghabiskan waktu di balik layar, mengatur segala sesuatunya tanpa memberikan banyak perhatian pada Elora. Ia seperti tak ingin Elora terlalu dekat dengannya, atau bahkan mengetahui lebih banyak.Namun, Elora tak bisa lagi terjebak dalam ketidakpastian. Ia tahu bahwa i
Setiap langkah Elora terasa semakin berat, namun setiap malam yang berlalu semakin menguatkan tekadnya. Di balik keramaian klub yang tak pernah berhenti, dia merasakan kebingungannya mulai mereda. Arman, meski tak selalu dekat, memberikan dukungan yang terus mengalir. Ia seperti satu-satunya orang yang benar-benar memahami keadaan Elora, dan mungkin satu-satunya yang bisa membantunya keluar dari kegelapan ini.Malam itu, Elora kembali berada di ruang belakang, tempat di mana semuanya dimulai. Tubuhnya sudah terbiasa dengan rutinitas, tetapi pikirannya tak pernah berhenti bertanya. Apakah ini benar-benar jalan yang dia pilih? Apa yang akan terjadi jika ia mengungkapkan kebenaran yang tersembunyi di balik dunia yang ia jalani?Pekerjaan yang ia lakukan setiap malam, yang dulu terasa seperti sebuah kewajiban, kini mulai terasa seperti jebakan. Setiap kali ia melihat wajah klien-kliennya, ia merasa semakin kosong. Mereka hanya datang untuk memenuhi hasrat mereka, meninggalkan dirinya dala
Elora menahan napasnya, tubuhnya bergetar hebat saat ia berbalik dan meninggalkan ruangan itu dengan hati yang penuh ketegangan. Kakinya melangkah dengan terburu-buru, namun ia berusaha keras agar tak ada yang mencurigai tindakannya. Amplop yang ia sembunyikan di balik pakaian dalamnya terasa seperti beban berat yang siap menghancurkan dunia yang telah lama ia kenal.Setiap langkah yang ia ambil terasa seperti langkah menuju kehancuran atau kebebasan. Bagaimana jika ia tertangkap? Bagaimana jika dokumen itu menjadi awal dari petaka yang lebih besar? Suara detak jantungnya bergema di telinga, namun ia tahu bahwa ini adalah satu-satunya kesempatan untuk keluar dari dunia yang sudah lama mengurungnya. Jika ia tidak melangkah sekarang, maka tidak ada lagi harapan untuk melarikan diri.Sebelum kembali ke kamar sempitnya, Elora bersembunyi di balik pintu gudang kecil yang terletak di sudut klub. Di sana, di dalam kegelapan yang hampir total, ia membuka amplop itu. Tangannya gemetar, hampir
Dengan langkah yang cepat dan penuh kecemasan, Elora dan Arman menyelinap keluar dari lorong gelap tempat mereka bersembunyi. Setiap sudut klub terasa semakin memenjara, seolah-olah dindingnya berbisik untuk menyerah pada nasib yang telah dipilihkan untuk mereka. Namun, di dalam hati Elora, ada sesuatu yang berbeda—sesuatu yang lebih kuat dari rasa takut yang selama ini menguasai dirinya. Itu adalah rasa ingin bebas yang mulai menyala, meski lemah dan rapuh."Elora," Arman berbisik, memecah keheningan malam yang menyelimuti mereka. "Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Kamu tahu apa yang harus kita lakukan, bukan?"Elora menatapnya dengan tatapan kosong, berusaha menenangkan dirinya. "Aku tahu," jawabnya pelan. "Tapi... bagaimana kita bisa melawan mereka? Bagaimana kita bisa menghadapinya setelah apa yang aku temukan? Ayahku terlibat, Arman. Ayahku..."Suara Elora terhenti, tenggelam dalam kebisuan yang mencekam. Ia merasakan dadanya sesak, seperti ada batu besar yang menghalangi
Pria di depan mereka menatap dengan tatapan tajam, matanya penuh dengan kebencian yang jelas. Elora merasakan jantungnya berdetak semakin cepat, seolah-olah setiap detik yang berlalu membawa mereka lebih dekat pada kejatuhan yang tak bisa dihindari. Arman berdiri dengan tegap di sampingnya, namun Elora bisa melihat ketegangan yang tergambar jelas di wajahnya. Mereka berdua tahu, jika mereka tidak bertindak cepat, semuanya akan berakhir dengan cara yang lebih buruk."Jangan bergerak," pria itu berkata lagi, suaranya serak, namun tegas. “Kalian berdua tahu betul, kalau kalian mencoba melarikan diri sekarang, tidak ada yang akan selamat. Kalian sudah terlalu jauh terperangkap dalam permainan ini.”Arman menatap pria itu tanpa ragu. "Kita sudah memutuskan untuk keluar. Tidak ada yang bisa menghentikan kami," jawab Arman dengan suara yang lebih tenang, meski Elora bisa merasakan ketegangan di balik kata-katanya. Elora berusaha untuk tetap tenang, meskipun dadanya terasa sesak. Ia bisa mer
Malam itu, Elora dan Arman berjalan pulang dengan langkah pelan. Tidak ada kata yang diucapkan di antara mereka. Elora masih memikirkan apa yang baru saja terjadi. Konfrontasi dengan Madam terasa seperti membuka luka lama, tetapi juga seperti langkah pertama menuju kebebasan yang sebenarnya.Sesampainya di apartemen, Elora langsung duduk di sofa, tubuhnya terasa lemas. Arman duduk di sebelahnya, diam-diam memperhatikan wajah Elora yang terlihat lelah.“Kamu baik-baik saja?” tanya Arman akhirnya, suaranya lembut namun penuh perhatian.Elora mengangguk pelan, tetapi matanya tetap kosong. “Aku tidak tahu. Aku lega karena aku akhirnya berbicara langsung dengannya. Tapi aku juga takut, Arman. Kata-katanya… aku tahu dia tidak akan membiarkan ini begitu saja.”Arman meraih tangan Elora, menggenggamnya erat. “Aku ada di sini. Apapun yang dia rencanakan, kita akan hadapi bersama. Kamu tidak perlu merasa sendirian lagi.”Mata Elora mulai berkaca-kaca, tetapi ia menahan air matanya. “Terima kasi
Malam itu berlalu dalam ketegangan yang tidak mudah hilang. Setelah pria itu pergi, Arman membawa Elora masuk ke dalam apartemen, menutup pintu dengan tegas dan memeriksa semua pengunci. Ia tidak mengatakan apa-apa untuk beberapa saat, hanya berdiri diam, punggungnya menghadap Elora, seolah sedang memikirkan sesuatu yang berat.“Elora,” akhirnya ia berkata, suaranya rendah dan tegas, “kita harus mengambil langkah lebih besar. Ini bukan hanya tentang meninggalkan masa lalu; ini tentang memastikan masa depanmu aman.”Elora menatapnya, wajahnya memancarkan kebingungan. “Langkah lebih besar? Apa maksudmu, Arman?”Arman menoleh, mata cokelatnya yang hangat kini dipenuhi kekhawatiran. “Madam bukan orang sembarangan. Dia punya koneksi, orang-orang yang siap melakukan apa saja untuk menuruti perintahnya. Kalau kita terus seperti ini—hanya bertahan dan menunggu mereka pergi—aku takut situasi akan semakin buruk. Kita harus melawan, atau setidaknya memutuskan hubunganmu dengan mereka secara resm
Hari-hari berikutnya penuh dengan gejolak dalam hati Elora. Meskipun ia merasa semakin jauh dari dunia lama yang begitu kelam, bayang-bayangnya terus menghantui setiap langkahnya. Setiap panggilan, setiap pesan yang datang dari masa lalunya, membuatnya terombang-ambing antara harapan dan ketakutan. Tapi Arman, yang selalu hadir di sisi Elora, menjadi satu-satunya alasan ia bisa terus bertahan.Suatu pagi, Elora duduk di meja makan, memandangi secangkir kopi yang sudah dingin. Pekerjaan baru yang ia coba jalani—sebagai kasir di sebuah toko buku kecil—belum cukup menghilangkan rasa kosong yang terkadang menghantui. Keputusannya untuk meninggalkan dunia malam terasa benar, tetapi kenyataan itu sulit diterima sepenuhnya. Ia merasa seperti perempuan yang terlahir kembali, tetapi tidak tahu bagaimana cara hidup dalam dunia yang baru.Arman datang, duduk di sampingnya dengan senyuman lembut, mencoba memberi ketenangan. "Gimana hari pertama di pekerjaan baru? Ada yang sulit?" tanya Arman, mat
Part 19Hari-hari setelah kejadian itu terasa lebih berat bagi Elora. Meski Arman selalu ada untuknya, dunia yang terus berputar di sekitar kehidupannya sebagai pekerja seks komersial tidak bisa begitu saja ia lupakan. Setiap malam, saat ia melangkah ke ruang itu, ia merasa ada beban yang lebih besar yang harus ia pikul—bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk Arman yang kini semakin terlibat dalam hidupnya. Ia merasa terperangkap dalam dua dunia yang saling bertentangan, dan meskipun ia mencoba untuk menolak kenyataan itu, ia tahu ia tidak bisa lari darinya.Suatu malam, setelah bekerja, Elora pulang dengan langkah lesu, merasa kelelahan fisik dan mental. Saat pintu apartemennya terbuka, ia mendapati Arman sudah menunggunya, duduk di sofa dengan ekspresi khawatir. Matanya menatap Elora dengan penuh perhatian, seolah-olah ingin mengetahui apa yang telah terjadi padanya malam ini.Elora melepaskan tasnya dengan terburu-buru, lalu duduk di samping Arman, menggenggam erat tan
Part 18Hari-hari setelah percakapan itu terasa berbeda bagi Elora dan Arman. Meskipun mereka belum sepenuhnya mengerti ke mana arah hubungan mereka, ada perasaan yang semakin kuat dan lebih mendalam di antara mereka. Elora merasa seolah-olah untuk pertama kalinya, ada seseorang yang benar-benar melihat dirinya—selain tubuh yang sering digunakan dan dilihat hanya sebagai objek. Arman, di sisi lain, merasa semakin terikat padanya, meskipun dalam hatinya masih ada keraguan akan masa depan mereka. Mereka berdua tahu bahwa hidup mereka dipenuhi dengan tantangan, tetapi ada sesuatu yang mengikat mereka untuk terus berjalan bersama.Namun, meskipun kedekatan itu semakin nyata, dunia tempat Elora bekerja tidak bisa dihindari begitu saja. Malam-malamnya masih dipenuhi dengan klien yang datang dan pergi, dan meskipun ada Arman di sisinya, Elora tak bisa sepenuhnya melupakan apa yang terjadi setiap malam. Ia merasakan perasaan yang campur aduk—antara rasa bersalah, marah pada dirinya sendiri, n
Part 17Beberapa minggu berlalu, dan kehidupan Elora dan Arman mulai terbentuk dalam pola yang tidak lagi sepenuhnya dipenuhi dengan keraguan. Meskipun mereka belum sepenuhnya mengerti bagaimana hubungan ini akan berkembang, keduanya mulai merasa bahwa mereka saling melengkapi dalam cara yang tak terduga. Tidak ada kepastian tentang masa depan mereka, tetapi ada ketenangan dalam kebersamaan yang tumbuh di antara mereka, meskipun di dunia yang penuh dengan bayang-bayang.Elora kini lebih sering menghabiskan waktu di luar tempat kerjanya, mencoba mencari ruang untuk dirinya sendiri. Keberadaan Arman membuatnya merasa seolah ada harapan, sebuah rasa aman yang sebelumnya tak pernah ia rasakan. Namun, ada saat-saat di mana ia merasa takut, terjebak dalam bayangan masa lalunya yang kelam. Semua keputusan yang ia buat, termasuk menerima hubungan ini, selalu datang dengan rasa takut akan kehilangan kendali atas hidupnya.Arman, di sisi lain, semakin tenggelam dalam perasaan yang tak dapat ia
Part 16Hari-hari setelah itu terasa seperti perjalanan yang penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab. Meskipun Elora dan Arman berusaha untuk melanjutkan hidup mereka, setiap langkah yang mereka ambil terasa lebih berat. Mereka berdua tahu bahwa ada banyak hal yang belum mereka pahami tentang satu sama lain, namun di tengah kebingungan itu, ada satu hal yang jelas—hubungan mereka telah berubah. Entah itu menjadi lebih kuat atau lebih rapuh, hanya waktu yang akan menjawabnya.Di siang hari, Elora mencoba untuk fokus pada pekerjaannya, berusaha menenggelamkan diri dalam rutinitas yang biasa ia jalani. Namun, pikirannya selalu kembali pada Arman. Setiap kali ia melihat pria itu, ia merasa seolah ada sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ada rasa nyaman yang aneh setiap kali mereka berbicara, namun juga ada ketegangan yang terus menguar di udara di antara mereka.Sementara itu, Arman juga berjuang dengan perasaannya sendiri. Ia tidak bisa membohongi dirinya bahwa ia me
Part 15Keesokan harinya, Elora terbangun dengan kepala yang berat dan perasaan campur aduk. Cahaya pagi yang masuk melalui jendela kecil ruangan tempat ia tidur terasa begitu asing. Matanya terpejam beberapa saat, mencoba mengingat apa yang telah terjadi. Segera, ingatan itu kembali—momen yang hangat, yang penuh dengan ketegangan dan perasaan yang tak terucapkan. Dan di balik semuanya, ada satu hal yang mengganggu pikirannya: apa arti dari malam itu?Ia bangkit dari tempat tidur, perlahan. Tubuhnya terasa letih, namun pikirannya lebih lelah daripada itu. Ada pertanyaan yang menghinggapi benaknya—apakah ia melakukan hal yang benar? Apa yang sebenarnya ia cari dalam hubungan ini dengan Arman?Sementara itu, di luar, suara kehidupan kota sudah mulai kembali. Orang-orang sibuk dengan rutinitas mereka, dan Elora tahu bahwa hidupnya tidak bisa berhenti begitu saja hanya karena kejadian semalam. Namun, ia merasa seolah-olah ada sesuatu yang telah berubah dalam dirinya. Meskipun ia berusaha
Part 14Malam itu terasa panjang, penuh dengan keheningan yang dipenuhi dengan ketegangan. Elora dan Arman berjalan keluar dari rumah Madam setelah percakapan yang penuh tekanan. Di luar, udara malam terasa dingin, tetapi keduanya merasa lebih terperangkap oleh perasaan mereka yang bertabrakan di dalam hati. Mereka tidak mengatakan apa-apa saat berjalan, hanya mendengarkan suara langkah kaki mereka yang bergema di jalan sepi.Suasana di sekitar mereka begitu hampa, seperti mereka berjalan di tengah kekosongan yang tak terucapkan. Elora bisa merasakan ketegangan di udara. Arman tampaknya tidak jauh berbeda. Ia berjalan dengan kepala tertunduk, meski matanya sesekali menatap ke arah Elora.“Kenapa kamu tidak berkata apa-apa?” tanya Elora, suaranya pelan, seperti mencoba memecah keheningan yang menekan.Arman berhenti sejenak, memutar tubuhnya menghadap Elora. “Aku… aku hanya bingung, Elora. Semua ini begitu cepat, dan aku tidak tahu harus bagaimana. Aku ingin melindungimu, tapi aku juga