Dengan langkah yang cepat dan penuh kecemasan, Elora dan Arman menyelinap keluar dari lorong gelap tempat mereka bersembunyi. Setiap sudut klub terasa semakin memenjara, seolah-olah dindingnya berbisik untuk menyerah pada nasib yang telah dipilihkan untuk mereka. Namun, di dalam hati Elora, ada sesuatu yang berbeda—sesuatu yang lebih kuat dari rasa takut yang selama ini menguasai dirinya. Itu adalah rasa ingin bebas yang mulai menyala, meski lemah dan rapuh.
"Elora," Arman berbisik, memecah keheningan malam yang menyelimuti mereka. "Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Kamu tahu apa yang harus kita lakukan, bukan?"
Elora menatapnya dengan tatapan kosong, berusaha menenangkan dirinya. "Aku tahu," jawabnya pelan. "Tapi... bagaimana kita bisa melawan mereka? Bagaimana kita bisa menghadapinya setelah apa yang aku temukan? Ayahku terlibat, Arman. Ayahku..."
Suara Elora terhenti, tenggelam dalam kebisuan yang mencekam. Ia merasakan dadanya sesak, seperti ada batu besar yang menghalangi setiap napas yang ingin ia ambil. Ia tahu bahwa itu bukan hanya sebuah pengkhianatan terhadap dirinya sendiri, tetapi juga terhadap orang yang telah ia anggap sebagai pelindung—satu-satunya orang yang ia percaya di dunia ini.
Arman berhenti sejenak, menatap Elora dengan tatapan tajam yang penuh perhatian. "Kamu harus berhenti menyalahkan diri sendiri, Elora," katanya dengan suara yang dalam, namun penuh keyakinan. "Apa yang dia lakukan bukan salahmu. Ini bukan tentang ayahmu. Ini tentang hidupmu. Tentang kita. Kita yang harus keluar dari tempat ini, apapun yang terjadi."
Elora menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. “Tapi Arman, bagaimana dengan mereka yang masih di sini? Bagaimana kalau mereka tahu kita tahu terlalu banyak? Apa yang terjadi kalau mereka mencari kita? Aku tidak ingin menjadi musuh bagi mereka.”
Arman mendekat, wajahnya serius namun penuh kehangatan. "Kita sudah terjebak cukup lama, Elora. Mereka sudah tahu bahwa kita mencari cara untuk keluar. Kalau kita tidak bergerak sekarang, kita akan tetap terperangkap di sini. Mereka akan terus mengontrol kita. Dan kamu tahu sendiri, kalau kita hanya berdiam diri, tak ada yang akan berubah. Kamu ingin hidup seperti ini selamanya? Terus dihancurkan perlahan-lahan?"
Elora menggigit bibir bawahnya, matanya mulai berkaca-kaca. Apa yang dikatakan Arman adalah kebenaran yang ia tak ingin hadapi. "Aku tidak tahu jika aku cukup kuat," jawabnya dengan suara tercekat. "Setiap kali aku berpikir akan ada jalan keluar, dunia ini semakin menghimpitku, Arman. Setiap malam aku merasa seperti... seperti aku kehilangan diri sendiri. Aku tidak tahu lagi siapa aku."
Arman menatapnya dengan lembut, namun ada ketegasan dalam sorot matanya. "Kamu masih ada, Elora. Aku tahu kamu merasa hilang sekarang, tapi kamu bukan bagian dari dunia ini. Kamu lebih dari itu. Kamu lebih dari sekadar tubuh yang mereka anggap milik mereka. Kamu punya hak untuk memilih, untuk hidup dengan cara yang kamu inginkan."
Elora terdiam, merenung sejenak. Kata-kata Arman masuk ke dalam hatinya, mengingatkannya pada dirinya yang dulu. Ia yang dulu penuh dengan harapan dan impian, yang ingin kembali ke kampung halamannya dan memberi kebanggaan pada orang tuanya. Namun sekarang, ia merasa begitu jauh dari semua itu, terperangkap dalam kehidupan yang telah dipilihkan oleh takdir yang keras.
"Bagaimana jika kita gagal, Arman?" tanya Elora, suaranya hampir berbisik. "Bagaimana jika kita tidak bisa keluar? Jika kita terperangkap di dalamnya lebih dalam lagi?"
Arman meraih tangannya, menggenggamnya dengan erat. "Kita tidak akan gagal, Elora. Aku janji. Kalau kita harus jatuh, kita jatuh bersama-sama. Tapi kita tidak akan menyerah. Tidak sekarang. Tidak setelah semua yang sudah kita lewati."
Elora menatap tangan Arman yang menggenggamnya dengan kuat. Ada sesuatu dalam genggaman itu—kepercayaan, harapan, dan keteguhan yang perlahan membangkitkan semangatnya. Mungkin, untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasakan sesuatu yang bisa ia pegang. Ia merasakan bahwa ia tidak sendirian dalam perjuangan ini.
"Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, Arman," kata Elora dengan suara pelan namun penuh tekad. "Tapi aku akan ikut denganmu. Apa pun risikonya."
Arman tersenyum sedikit, meski ada kelelahan di balik senyumannya. "Itu yang aku ingin dengar, Elora. Kita akan melawan semuanya. Kita akan keluar dari sini, bersama-sama."
Namun, sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, suara langkah kaki terdengar mendekat dari ujung lorong. Hati Elora berdegup kencang. Mereka harus bergerak cepat, atau semuanya akan berakhir sebelum dimulai.
"Arman, cepat!" bisik Elora, suaranya panik. "Kita harus pergi, sekarang!"
Mereka berlari menyusuri lorong gelap, menuju pintu belakang yang mengarah ke kebebasan yang terasa begitu dekat, namun begitu jauh. Saat mereka hampir mencapai pintu, suara pintu dibuka dengan keras membuat Elora berhenti sejenak, tubuhnya menegang. Seorang pria berdiri di ujung lorong, matanya menatap tajam ke arah mereka.
"Ke mana kalian kira akan pergi?" suara itu terdengar seperti ancaman, penuh dengan kejamnya.
Elora menoleh ke Arman, matanya penuh kecemasan. Tetapi Arman tidak menunjukkan rasa takut. Ia menatap pria itu dengan tatapan yang penuh tantangan.
"Jalan kami sudah ditentukan," jawab Arman dengan suara yang lebih tenang dari yang Elora rasakan. "Kami tidak akan berhenti. Bahkan jika kamu mencoba menghentikan kami."
Pria itu melangkah maju, menghalangi pintu. Elora bisa merasakan udara di sekitarnya semakin tegang. Namun, dalam hatinya, ia tahu bahwa ini adalah saat yang menentukan. Mereka tidak bisa mundur sekarang.
“Jika kalian ingin pergi, kalian harus melalui aku dulu,” pria itu berkata, suaranya dingin, penuh ancaman. “Tapi ingat, tak ada yang bisa lolos dari sini.”
Elora dan Arman saling bertukar pandang. Tak ada pilihan lain. Mereka harus berjuang.
Pria di depan mereka menatap dengan tatapan tajam, matanya penuh dengan kebencian yang jelas. Elora merasakan jantungnya berdetak semakin cepat, seolah-olah setiap detik yang berlalu membawa mereka lebih dekat pada kejatuhan yang tak bisa dihindari. Arman berdiri dengan tegap di sampingnya, namun Elora bisa melihat ketegangan yang tergambar jelas di wajahnya. Mereka berdua tahu, jika mereka tidak bertindak cepat, semuanya akan berakhir dengan cara yang lebih buruk."Jangan bergerak," pria itu berkata lagi, suaranya serak, namun tegas. “Kalian berdua tahu betul, kalau kalian mencoba melarikan diri sekarang, tidak ada yang akan selamat. Kalian sudah terlalu jauh terperangkap dalam permainan ini.”Arman menatap pria itu tanpa ragu. "Kita sudah memutuskan untuk keluar. Tidak ada yang bisa menghentikan kami," jawab Arman dengan suara yang lebih tenang, meski Elora bisa merasakan ketegangan di balik kata-katanya. Elora berusaha untuk tetap tenang, meskipun dadanya terasa sesak. Ia bisa mer
Suasana di ruang itu semakin mencekam, dan setiap kata yang diucapkan semakin mengarah pada konfrontasi yang tidak bisa dihindari. Elora merasa ada beban berat yang mengganjal di dadanya, namun ada satu hal yang membuatnya tetap tegak berdiri—tekad yang baru lahir dalam dirinya. Ia tidak bisa terus terjebak dalam dunia ini, dunia yang sudah lama mengikis jiwanya.Madam memandang mereka dengan senyum yang semakin tipis, seolah-olah ia sedang menilai dua orang yang mencoba menantang dunia yang sudah dikuasainya. “Kalian memang berani,” kata Madam akhirnya, suaranya yang lembut itu terasa penuh dengan sindiran. “Tapi kalian tidak mengerti apa yang kalian hadapi. Kalian ingin keluar? Kalian pikir itu mudah?”Arman tidak menjawab, hanya memandang Madam dengan tatapan penuh tekad. “Kami sudah cukup mendengar ucapan kosongmu, Madam. Kami tidak akan kembali ke tempat ini. Kami sudah memilih jalan kami.”Elora berusaha mengendalikan diri. Setiap kata yang diucapkan terasa semakin berat. Namun,
Elora dan Arman melangkah keluar dari pintu klub dengan perasaan campur aduk. Udara malam yang dingin menyapu wajah mereka, dan meskipun dingin itu terasa menusuk, mereka merasakan sedikit kelegaan. Kelegaan yang datang bukan karena mereka sudah bebas, tetapi karena mereka telah mengambil langkah pertama menuju kebebasan. Namun, kebebasan yang mereka cari bukanlah sesuatu yang datang begitu saja.Mereka berjalan menyusuri jalanan yang sepi, hanya terdengar suara langkah kaki mereka yang bergema di tengah kota yang hampir kosong. Elora merasakan beban yang lebih ringan di pundaknya, namun sekaligus ada ketidakpastian yang menghantui. Dunia luar tidak akan menjadi tempat yang mudah bagi mereka. Di luar sana, mereka tidak punya apa-apa selain satu sama lain. Mereka harus memulai hidup baru dari titik nol.“Jadi, apa langkah kita selanjutnya?” tanya Elora setelah beberapa saat berjalan dalam diam.Arman menatapnya, sedikit berpikir. "Kita butuh tempat berlindung. Kita butuh uang. Ini akan
Setelah kejadian malam itu, Elora dan Arman merasa ada beban baru yang semakin menggelayuti hati mereka. Mereka berdua sudah mengambil keputusan untuk keluar dari dunia yang gelap itu, namun mereka tahu bahwa pilihan itu tidak datang tanpa konsekuensi. Kehidupan mereka sekarang bukanlah sekadar masalah bertahan hidup. Mereka harus menghadapinya dengan cara yang berbeda, lebih berhati-hati, dan lebih siap menghadapi kenyataan pahit yang akan datang.Pagi berikutnya, Elora terbangun lebih awal dari biasanya. Langit masih kelabu, dan udara pagi itu terasa dingin menusuk kulit. Ia duduk di pinggir tempat tidur, merenung tentang apa yang terjadi semalam. Dunia mereka kini terbuka, namun gelap. Tidak ada jalan yang benar-benar aman, tidak ada jaminan bahwa mereka bisa tetap bebas. Dalam pikirannya, ada satu pertanyaan yang terus berputar: Apa yang harus mereka lakukan selanjutnya?Arman sudah lebih dulu bangun. Ia sedang duduk di dekat jendela, menatap keluar dengan ekspresi yang sulit diba
Pagi itu, udara terasa lebih berat dari biasanya. Elora dan Arman, meskipun sudah membuat keputusan untuk menghadapi Madam, tetap merasa ada beban yang tak terungkapkan di antara mereka. Mereka berjalan keluar dari apartemen sederhana mereka, masing-masing dengan pikiran yang dipenuhi kekhawatiran dan ketidakpastian. Jalanan di sekitar mereka tampak sibuk, tetapi bagi keduanya, semua itu terasa begitu jauh. Semua yang ada di sekitar mereka hanya menjadi latar belakang untuk cerita hidup yang mereka coba tulis ulang.Setelah beberapa saat berjalan, mereka akhirnya sampai di alamat yang tertera dalam surat Madam. Sebuah bangunan tua yang tampak terabaikan, dengan cat yang mulai mengelupas dan jendela-jendela yang buram. Pintu depan terkunci, namun sebuah bel besar di samping pintu menunjukkan bahwa ini adalah tempat yang tepat. Elora merasa ada sesuatu yang janggal dalam suasana di sekitar mereka. Ada rasa cemas yang menyelimuti tubuhnya. Meskipun ia berusaha mengabaikannya, nalurinya
Part 14Malam itu terasa panjang, penuh dengan keheningan yang dipenuhi dengan ketegangan. Elora dan Arman berjalan keluar dari rumah Madam setelah percakapan yang penuh tekanan. Di luar, udara malam terasa dingin, tetapi keduanya merasa lebih terperangkap oleh perasaan mereka yang bertabrakan di dalam hati. Mereka tidak mengatakan apa-apa saat berjalan, hanya mendengarkan suara langkah kaki mereka yang bergema di jalan sepi.Suasana di sekitar mereka begitu hampa, seperti mereka berjalan di tengah kekosongan yang tak terucapkan. Elora bisa merasakan ketegangan di udara. Arman tampaknya tidak jauh berbeda. Ia berjalan dengan kepala tertunduk, meski matanya sesekali menatap ke arah Elora.“Kenapa kamu tidak berkata apa-apa?” tanya Elora, suaranya pelan, seperti mencoba memecah keheningan yang menekan.Arman berhenti sejenak, memutar tubuhnya menghadap Elora. “Aku… aku hanya bingung, Elora. Semua ini begitu cepat, dan aku tidak tahu harus bagaimana. Aku ingin melindungimu, tapi aku juga
Part 15Keesokan harinya, Elora terbangun dengan kepala yang berat dan perasaan campur aduk. Cahaya pagi yang masuk melalui jendela kecil ruangan tempat ia tidur terasa begitu asing. Matanya terpejam beberapa saat, mencoba mengingat apa yang telah terjadi. Segera, ingatan itu kembali—momen yang hangat, yang penuh dengan ketegangan dan perasaan yang tak terucapkan. Dan di balik semuanya, ada satu hal yang mengganggu pikirannya: apa arti dari malam itu?Ia bangkit dari tempat tidur, perlahan. Tubuhnya terasa letih, namun pikirannya lebih lelah daripada itu. Ada pertanyaan yang menghinggapi benaknya—apakah ia melakukan hal yang benar? Apa yang sebenarnya ia cari dalam hubungan ini dengan Arman?Sementara itu, di luar, suara kehidupan kota sudah mulai kembali. Orang-orang sibuk dengan rutinitas mereka, dan Elora tahu bahwa hidupnya tidak bisa berhenti begitu saja hanya karena kejadian semalam. Namun, ia merasa seolah-olah ada sesuatu yang telah berubah dalam dirinya. Meskipun ia berusaha
Part 16Hari-hari setelah itu terasa seperti perjalanan yang penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab. Meskipun Elora dan Arman berusaha untuk melanjutkan hidup mereka, setiap langkah yang mereka ambil terasa lebih berat. Mereka berdua tahu bahwa ada banyak hal yang belum mereka pahami tentang satu sama lain, namun di tengah kebingungan itu, ada satu hal yang jelas—hubungan mereka telah berubah. Entah itu menjadi lebih kuat atau lebih rapuh, hanya waktu yang akan menjawabnya.Di siang hari, Elora mencoba untuk fokus pada pekerjaannya, berusaha menenggelamkan diri dalam rutinitas yang biasa ia jalani. Namun, pikirannya selalu kembali pada Arman. Setiap kali ia melihat pria itu, ia merasa seolah ada sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ada rasa nyaman yang aneh setiap kali mereka berbicara, namun juga ada ketegangan yang terus menguar di udara di antara mereka.Sementara itu, Arman juga berjuang dengan perasaannya sendiri. Ia tidak bisa membohongi dirinya bahwa ia me
Malam itu, Elora dan Arman berjalan pulang dengan langkah pelan. Tidak ada kata yang diucapkan di antara mereka. Elora masih memikirkan apa yang baru saja terjadi. Konfrontasi dengan Madam terasa seperti membuka luka lama, tetapi juga seperti langkah pertama menuju kebebasan yang sebenarnya.Sesampainya di apartemen, Elora langsung duduk di sofa, tubuhnya terasa lemas. Arman duduk di sebelahnya, diam-diam memperhatikan wajah Elora yang terlihat lelah.“Kamu baik-baik saja?” tanya Arman akhirnya, suaranya lembut namun penuh perhatian.Elora mengangguk pelan, tetapi matanya tetap kosong. “Aku tidak tahu. Aku lega karena aku akhirnya berbicara langsung dengannya. Tapi aku juga takut, Arman. Kata-katanya… aku tahu dia tidak akan membiarkan ini begitu saja.”Arman meraih tangan Elora, menggenggamnya erat. “Aku ada di sini. Apapun yang dia rencanakan, kita akan hadapi bersama. Kamu tidak perlu merasa sendirian lagi.”Mata Elora mulai berkaca-kaca, tetapi ia menahan air matanya. “Terima kasi
Malam itu berlalu dalam ketegangan yang tidak mudah hilang. Setelah pria itu pergi, Arman membawa Elora masuk ke dalam apartemen, menutup pintu dengan tegas dan memeriksa semua pengunci. Ia tidak mengatakan apa-apa untuk beberapa saat, hanya berdiri diam, punggungnya menghadap Elora, seolah sedang memikirkan sesuatu yang berat.“Elora,” akhirnya ia berkata, suaranya rendah dan tegas, “kita harus mengambil langkah lebih besar. Ini bukan hanya tentang meninggalkan masa lalu; ini tentang memastikan masa depanmu aman.”Elora menatapnya, wajahnya memancarkan kebingungan. “Langkah lebih besar? Apa maksudmu, Arman?”Arman menoleh, mata cokelatnya yang hangat kini dipenuhi kekhawatiran. “Madam bukan orang sembarangan. Dia punya koneksi, orang-orang yang siap melakukan apa saja untuk menuruti perintahnya. Kalau kita terus seperti ini—hanya bertahan dan menunggu mereka pergi—aku takut situasi akan semakin buruk. Kita harus melawan, atau setidaknya memutuskan hubunganmu dengan mereka secara resm
Hari-hari berikutnya penuh dengan gejolak dalam hati Elora. Meskipun ia merasa semakin jauh dari dunia lama yang begitu kelam, bayang-bayangnya terus menghantui setiap langkahnya. Setiap panggilan, setiap pesan yang datang dari masa lalunya, membuatnya terombang-ambing antara harapan dan ketakutan. Tapi Arman, yang selalu hadir di sisi Elora, menjadi satu-satunya alasan ia bisa terus bertahan.Suatu pagi, Elora duduk di meja makan, memandangi secangkir kopi yang sudah dingin. Pekerjaan baru yang ia coba jalani—sebagai kasir di sebuah toko buku kecil—belum cukup menghilangkan rasa kosong yang terkadang menghantui. Keputusannya untuk meninggalkan dunia malam terasa benar, tetapi kenyataan itu sulit diterima sepenuhnya. Ia merasa seperti perempuan yang terlahir kembali, tetapi tidak tahu bagaimana cara hidup dalam dunia yang baru.Arman datang, duduk di sampingnya dengan senyuman lembut, mencoba memberi ketenangan. "Gimana hari pertama di pekerjaan baru? Ada yang sulit?" tanya Arman, mat
Part 19Hari-hari setelah kejadian itu terasa lebih berat bagi Elora. Meski Arman selalu ada untuknya, dunia yang terus berputar di sekitar kehidupannya sebagai pekerja seks komersial tidak bisa begitu saja ia lupakan. Setiap malam, saat ia melangkah ke ruang itu, ia merasa ada beban yang lebih besar yang harus ia pikul—bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk Arman yang kini semakin terlibat dalam hidupnya. Ia merasa terperangkap dalam dua dunia yang saling bertentangan, dan meskipun ia mencoba untuk menolak kenyataan itu, ia tahu ia tidak bisa lari darinya.Suatu malam, setelah bekerja, Elora pulang dengan langkah lesu, merasa kelelahan fisik dan mental. Saat pintu apartemennya terbuka, ia mendapati Arman sudah menunggunya, duduk di sofa dengan ekspresi khawatir. Matanya menatap Elora dengan penuh perhatian, seolah-olah ingin mengetahui apa yang telah terjadi padanya malam ini.Elora melepaskan tasnya dengan terburu-buru, lalu duduk di samping Arman, menggenggam erat tan
Part 18Hari-hari setelah percakapan itu terasa berbeda bagi Elora dan Arman. Meskipun mereka belum sepenuhnya mengerti ke mana arah hubungan mereka, ada perasaan yang semakin kuat dan lebih mendalam di antara mereka. Elora merasa seolah-olah untuk pertama kalinya, ada seseorang yang benar-benar melihat dirinya—selain tubuh yang sering digunakan dan dilihat hanya sebagai objek. Arman, di sisi lain, merasa semakin terikat padanya, meskipun dalam hatinya masih ada keraguan akan masa depan mereka. Mereka berdua tahu bahwa hidup mereka dipenuhi dengan tantangan, tetapi ada sesuatu yang mengikat mereka untuk terus berjalan bersama.Namun, meskipun kedekatan itu semakin nyata, dunia tempat Elora bekerja tidak bisa dihindari begitu saja. Malam-malamnya masih dipenuhi dengan klien yang datang dan pergi, dan meskipun ada Arman di sisinya, Elora tak bisa sepenuhnya melupakan apa yang terjadi setiap malam. Ia merasakan perasaan yang campur aduk—antara rasa bersalah, marah pada dirinya sendiri, n
Part 17Beberapa minggu berlalu, dan kehidupan Elora dan Arman mulai terbentuk dalam pola yang tidak lagi sepenuhnya dipenuhi dengan keraguan. Meskipun mereka belum sepenuhnya mengerti bagaimana hubungan ini akan berkembang, keduanya mulai merasa bahwa mereka saling melengkapi dalam cara yang tak terduga. Tidak ada kepastian tentang masa depan mereka, tetapi ada ketenangan dalam kebersamaan yang tumbuh di antara mereka, meskipun di dunia yang penuh dengan bayang-bayang.Elora kini lebih sering menghabiskan waktu di luar tempat kerjanya, mencoba mencari ruang untuk dirinya sendiri. Keberadaan Arman membuatnya merasa seolah ada harapan, sebuah rasa aman yang sebelumnya tak pernah ia rasakan. Namun, ada saat-saat di mana ia merasa takut, terjebak dalam bayangan masa lalunya yang kelam. Semua keputusan yang ia buat, termasuk menerima hubungan ini, selalu datang dengan rasa takut akan kehilangan kendali atas hidupnya.Arman, di sisi lain, semakin tenggelam dalam perasaan yang tak dapat ia
Part 16Hari-hari setelah itu terasa seperti perjalanan yang penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab. Meskipun Elora dan Arman berusaha untuk melanjutkan hidup mereka, setiap langkah yang mereka ambil terasa lebih berat. Mereka berdua tahu bahwa ada banyak hal yang belum mereka pahami tentang satu sama lain, namun di tengah kebingungan itu, ada satu hal yang jelas—hubungan mereka telah berubah. Entah itu menjadi lebih kuat atau lebih rapuh, hanya waktu yang akan menjawabnya.Di siang hari, Elora mencoba untuk fokus pada pekerjaannya, berusaha menenggelamkan diri dalam rutinitas yang biasa ia jalani. Namun, pikirannya selalu kembali pada Arman. Setiap kali ia melihat pria itu, ia merasa seolah ada sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ada rasa nyaman yang aneh setiap kali mereka berbicara, namun juga ada ketegangan yang terus menguar di udara di antara mereka.Sementara itu, Arman juga berjuang dengan perasaannya sendiri. Ia tidak bisa membohongi dirinya bahwa ia me
Part 15Keesokan harinya, Elora terbangun dengan kepala yang berat dan perasaan campur aduk. Cahaya pagi yang masuk melalui jendela kecil ruangan tempat ia tidur terasa begitu asing. Matanya terpejam beberapa saat, mencoba mengingat apa yang telah terjadi. Segera, ingatan itu kembali—momen yang hangat, yang penuh dengan ketegangan dan perasaan yang tak terucapkan. Dan di balik semuanya, ada satu hal yang mengganggu pikirannya: apa arti dari malam itu?Ia bangkit dari tempat tidur, perlahan. Tubuhnya terasa letih, namun pikirannya lebih lelah daripada itu. Ada pertanyaan yang menghinggapi benaknya—apakah ia melakukan hal yang benar? Apa yang sebenarnya ia cari dalam hubungan ini dengan Arman?Sementara itu, di luar, suara kehidupan kota sudah mulai kembali. Orang-orang sibuk dengan rutinitas mereka, dan Elora tahu bahwa hidupnya tidak bisa berhenti begitu saja hanya karena kejadian semalam. Namun, ia merasa seolah-olah ada sesuatu yang telah berubah dalam dirinya. Meskipun ia berusaha
Part 14Malam itu terasa panjang, penuh dengan keheningan yang dipenuhi dengan ketegangan. Elora dan Arman berjalan keluar dari rumah Madam setelah percakapan yang penuh tekanan. Di luar, udara malam terasa dingin, tetapi keduanya merasa lebih terperangkap oleh perasaan mereka yang bertabrakan di dalam hati. Mereka tidak mengatakan apa-apa saat berjalan, hanya mendengarkan suara langkah kaki mereka yang bergema di jalan sepi.Suasana di sekitar mereka begitu hampa, seperti mereka berjalan di tengah kekosongan yang tak terucapkan. Elora bisa merasakan ketegangan di udara. Arman tampaknya tidak jauh berbeda. Ia berjalan dengan kepala tertunduk, meski matanya sesekali menatap ke arah Elora.“Kenapa kamu tidak berkata apa-apa?” tanya Elora, suaranya pelan, seperti mencoba memecah keheningan yang menekan.Arman berhenti sejenak, memutar tubuhnya menghadap Elora. “Aku… aku hanya bingung, Elora. Semua ini begitu cepat, dan aku tidak tahu harus bagaimana. Aku ingin melindungimu, tapi aku juga