"Ahh..! Keparat Samuel..! Pasti penembak itu suruhan Samuel..! Kami baru saja mengajukan diadakannya RUPS Luar Biasa pada Dewan Direksi 'Kharisma Group' hari ini. Dia pasti panik dan marah pada Cici Vivian..!" seru Elsa bergetar penuh kebencian. Ya, Elsa langsung menyebut nama Samuel, sebagai dalang di balik pembunuhan Vivian dengan nada sangat yakin. "Maaf. Bisakah kami membawa korban sekarang untuk diotopsi? Agar pemeriksaan kami semakin akurat," ucap salah satu petugas ambulan, yang datang menghampiri mereka. "Silahkan," sahut David mempersilahkan. "Tante Elsa. Tolonglah menemani jenazah Mamah selama proses otopsi. Karena David hanya meminta otopsi di sekitar area jantung saja, bukan keseluruhan. Untuk mendapatkan visum yang jelas dari ahli forensik, bahwa Mamah memang tewas ditembak," ucap David lirih. Akhirnya mobil ambulan pun kembali menuju rumah sakit, untuk memeriksa jenazah Vivian oleh ahli forensik. Elsa dan Katrin pun mengikuti ambulan tersebut. Untuk mengetahui ha
"Hihihii. Mas Dimas bisa saja," tak urung wajah Marsha bersemu merah dikatakan cantik oleh Dimas. Ya, hati wanita mana sih yang tak senang dipuji cantik. Sementara sekitar 15 meter di belakang mereka. Nampak sepasang mata Leonard, yang menatap tak senang melihat ke akraban Marsha dan Dimas. Leonard terus mengamati dan mengikuti kemana pun langkah mereka berdua. Dan hatinya bersorak gembira, saat melihat Marsha dan Dimas ternyata menuju ke area parkir. Leonard terus mengawasi dengan berjalan santai, hingga baik Marsha maupun Dimas sama sekali tak merasa, bahwa mereka sedang dikuntit oleh seseorang. Hingga saat Dimas terlihat membuka pintu sebuah mobil. Barulah Leonard bertindak cepat menghapal mobil dan plat kendaraannya. Lalu Leonard bergegas menuju ke arah mobilnya, yang kebetulan satu diparkir tak jauh dari mobil Dimas dan Marsha. Mobil Innova yang dikendarai Dimas meluncur tenang, keluar dari area mall Kota Kasablanka. Jam sudah menunjukkan pukul 21:15 saat mer
"Ahh..! Mas Dimas..!" Marsha berseru memanggil Dimas. Namun terlambat, Dimas sudah melesat masuk ke area pemakaman, untuk memenuhi tantangan Leonard. Taph..! Sosok Dimas mendarat ringan di hadapan Leonard, yang tengah menunggunya di tengah jalan berpaving selebar 2 meteran. Jalan yang membelah area pemakaman itu. "Hahaa..! Akan kupermudah jalanmu menuju kematian di tempat ini, sialan..!" seru Leonard terbahak memaki Dimas. "Biasanya orang yang omongannya besar sepertimu, akan lebih cepat tersumpal tanah mulutnya..!" balas Dimas kesal. "Hahahaa..! Itu tak mungkin terjadi..! Sekarang bersiaplah, sialan..!" seru Leonard terbahak, seraya mempersiapkan jurus 'Tinju Budha Barat'nya. Leonard bergerak agak merenggangkan kakinya, sebagian tenaga dalamnya dikerahkan di kedua kepalan tangannya. Dan seiring pernafasan yang diolahnya, terlihat cahaya kuning terang mulai menyelimuti kedua kepalan tangannya. Ya, 'Tinju Budha Barat' level 3, dari 5 level pamungkas ajaran sang Lokha Lam
"Sial..! Lain kali kita lanjut, sialan..!" Seth.! Leonard berseru seraya melesat, dengan sisa energinya. Ya, Leonard paling malas jika berurusan dengan aparat di negeri orang. Karena perkara menemukan Marsha, dia kini sudah tahu kuncinya. 'Tempel saja Bara. Nanti juga Marsha akan muncul', benaknya menyimpulkan, seraya terus melesat. Walau dengan kecepatan tak maksimal, ternyata gerakkan Leonard masih cukup cepat. Untuk menghindar dari kejaran polisi yang masuk ke area pemakaman. Seth..! Dimas juga ikut melesat keluar dari area pemakaman. Dilihatnya mobil BMW 3 milik si Bule edan itu sudah meluncur jauh di depannya, meninggalkan lokasi pemakaman. Dimas pun berjalan dengan langkah agak berat, menyusuri tepi jalan. Teringat sesuatu, Dimas meraih ponsel di sakunya, bermaksud hendak memesan grab car. Saat... Citt..! Klek..! "Mas Dimas masuklah..! Kau tak apa-apa kan Mas..?!" seru cemas Marsha, seraya cepat membuka pintu mobil Dimas. Ya, rupanya Marsha masih berada di sekitar pema
Ya, nasib David tak jauh berbeda dengan Bara kini. Namun sahabatnya itu masih tegar memperjuangkan kebaikkan bagi semuanya. Baik bagi mendiang kedua orangtuanya, bagi kekasih dan keluarganya, bagi para sahabatnya, dan juga bagi orang-orang yang memerlukan bantuan di sekitarnya. 'Kenapa aku tak bisa seperti dia..?! Aku juga bisa..!' bathin David pun menyentak, melawan keras bisikan-bisikan hati yang melemahkannya selama beberapa hari ini. Lalu ... "Baik Tante Elsa. Sudah sampai mana surat pengajuan RUPS Luar Biasa yang di perjuangkan Mamah dan Tante..?" tanya David dengan suara yang sama sekali berbeda, dengan saat dia menerima panggilan Elsa tadi. "Ahh..! Puji Tuhan..! Ayo David kita bahas hal ini bersama di rumah tante besok. Bagaimana..?" Elsa berkata penuh rasa syukur dan kegembiraan, dia bisa merasakan semangat membara dalam nada David barusan. "Baik Tante. Besok siang David akan ke rumah Tante." Klik.! Usai menutup panggilan tantenya, David bergegas menulis selembar cek
"Ahh..! Ternyata begitu..!" seru Bara. Bara langsung memondong tubuh Dimas, yang terluka dalam itu masuk ke dalam rumahnya. "Hei..! Oh kau, Mas Bara. Lepaskanlah, aku bisa berjalan sendiri," Dimas terbangun dari tidur pulasnya dan terkaget. Saat mendapati dirinya tengah dipondong oleh Bara. "Tenanglah Mas Dimas, biarlah kau istirahat dulu di rumahku malam ini," ucap Bara tersenyum, seraya tetap memondong tubuh Dimas dan merebahkannya di ranjang kamar yang kosong. Melihat wajah Dimas yang nampak agak pucat, Bara langsung menyimpulkan masih ada darah kotor di dalam tubuh Dimas. Bara segera berniat mengeluarkannya saat itu juga, selagi Dimas masih dalam keadaan sadar. Karena memang lebih mudah mengeluarkan darah kotor akibat luka dalam, jika korban dalam keadaan sadar. "Baiklah Mas Dimas, aku akan mencoba mengeluarkan darah kotor dari dalam tubuhmu. Posisi bersila ya Mas Dimas," ucap Bara. "Baik, mas Bara," Dimas berkata lemah, rasa berputar di kepalanya kembali mulai menyerangn
"Ahh..! Kau benar Bara, aku juga masih ingat wajahnya..!" seru David. "Sepertinya ada orang kuat di belakang dirinya, yang mampu memulihkan dengan cepat kondisinya. Padahal aku yakin kondisinya lebih parah saat itu, jika dibandingkan dengan kondisiku David," ujar Bara. "Si Harimau Besi sendirikah orang itu..?!" ungkap David bertanya. "Mungkinkah dia putranya..?" Marsha juga mengungkapkan perkiraannya. Sontak Bara dan David menatap Marsha, perkiraan Marsha benar-benar 'mengena' di benak dan analisa mereka. "Itu sangat mungkin Marsha," sahut Bara. "Kini kita tinggal menunggu kabar dari Brian dan Gatot. Semoga saja misi mereka berdua lancar dan sukses," harap Bara. "Semoga saja Mas Bara. Maaf, sepertinya hari sudah terlalu malam untukku," ucap Marsha. Marsha meraih ponselnya dan melakukan panggilan pada supir pribadinya pak Nala, dia hendak memintanya untuk menjemputnya. Karena Marsha tak ingin merepotkan Bara dan David. Namun Bara segera tanggap, "Sebentar Marsha, j
"Mas Dimas..!!" keempat sahabatnya berseru serentak dalam rasa cemas. Bara segera memegang pundak Dimas, dan mengalirkan kembali energi hawa murninya ke tubuh Dimas. "Tenanglah Mas Dimas, pasti ada kesalah pahaman di sini. Beristirahatlah kembali Mas Dimas," ucap Bara menenangkan sahabatnya, yang nampak terpukul setelah melihat gambar pelatih pasukkan Harimau Besi itu. Bara terus mengalirkan hawa murninya ke tubuh Dimas. Setelah dirasanya cukup, Bara pun menghentikan aliran energinya itu. "Maaf Mas Dimas, Tukh..!" Gatot berkata seraya menotok titik tak sadarkan diri, di sisi leher Dimas. Dan Dimaspun kembali lunglai tak sadarkan diri, pulas. "Benar Gatot," bisik Bara setuju dengan tindakan Gatot. Karena memang Dimas sangat membutuhkan istirahat saat itu. "Sebaiknya kita kembali bicara di ruang tamu saja, biarkan Mas Dimas beristirahat," ujar Bara, seraya menuju ke ruang tamu. "O ya David. Mulai besok kita akan bergantian mengawasi gerak-gerik Freedy dan ayahnya Denta. Menurut
Resti dan Revina kini juga langsung menuju ke vila, jika hendak bertemu dengan kekasih mereka. Bahkan saat ini pun mereka tengah dalam perjalanan menuju ke vila, yang menjadi markas baru Bara cs. Jujur saja mereka kini merasa lebih nyaman, dengan kepindahan markas kekasih mereka. Karena sudah tak ada rasa was-was lagi, akan di datangi oleh pihak Graito cs. Dan tentu saja suasana puncak yang sejuk dan hijau, sangat membuat mereka betah berlama-lama di sana. Mereka berdua mendapat tugas membawakan suplai logistik makanan, dan juga keperluan vila setiap minggunya.Tentu saja Dimas memberi mereka anggaran yang cukup untuk itu. Dengan mengendarai Fortuner milik Resti yang bagian belakangnya penuh dengan logistik, mereka melaju dan hampir sampai di markas. Disamping hal tersebut, Marsha juga telah menghubungi pak Nala dan bi Tarni, untuk menanyakan kesediaan pak Nala dan bi Tarni bekerja menjadi supir dan asisten di markas baru Bara cs. Keduanya langsung menjawab bersedia, mengingat k
Di ruang tamu villa, nampak berkumpul Bara serta para sahabatnya. Sementara Leonard juga di dampingi 2 orang kepercayaannya, Jason dan Tommy. Mereka berbicara akrab dan hangat saat itu. Seperti tak pernah ada permusuhan di antara mereka. "Leonard. Terimakasih atas kesediaanmu mengantar sendiri pesanan kami," ucap Bara tersenyum. "Sama-sama Bara, aku senang bisa bersahabat dengan kalian semua. O ya, Marsha titip salam buat kalian semua. Tadinya dia memaksa ikut, namun dilarang keras sama Ibuku," ujar Leonard menyampaikan. "Ahh. Bagaimana kabar Marsha di sana Leonard..? Kapan kalian menikah..?" tanya Dimas. Dia memang sudah mulai bisa menerima kenyataan pahit itu. Ya, Dimas sudah belajar menghilangkan kebencian di hatinya pada Leonard. Dia sadar, kepentingan bersama para sahabatnya lebih utama, dibanding perasaan pribadinya. Namun tentu saja hal itu masih meninggalkan 'bekas mendalam' di hatinya. Hal yang berdampak pada dinginnya hati Dimas terhadap wanita. Dimas merasa sudah t
"Ahh..! Aku datang untuk mengantarkan dompet tanganmu yang tertinggal di dalam mobilku semalam Dewi," seru Dimas agak terpana melihat kecantikkan Dewi, seraya menyerahkan dompet itu pada Dewi. 'Tak kusangka di pagi hari kau malah semakin nampak cantik Dewi', batin Dimas mengakui. "Wah..! Terimakasih Mas Dimas, pantas Dewi cari-cari di tas semalam tak ketemu. Masuk dulu Mas Dimas ya," seru Dewi senang, dia pun membuka lebar pintu rumahnya mempersilahkan Dimas masuk. "Baiklah Dewi, tapi aku tak bisa lama-lama ya. Para sahabat menanti di rumah Mas Bara," sahut Dimas, seraya duduk di kursi tamu rumah. 'Mas Dimas pasti kurang tidur semalam', bathin Dewi, saat melihat mata Dimas yang terlihat cekung dan lelah."Mas Dimas, Dewi ucapkan terimakasih atas pertolongan Mas semalam, dan juga antaran dompet Dewi ya," ucap Dewi tersenyum. "Bukan apa-apa Dewi. Aku hanya kebetulan saja sedang berada di lokasi kejadian," sahut Dimas. Jujur saja Dimas agak jengah juga, karena Dewi menatapnya den
"Bagaimana hasil pengamatan kalian terhadap rumah Bara cs, Pandu..?" "Bersih di sana Paman Jendral, tak ada helikopter maupun orang-orang kita yang hilang di sana. Kami juga sudah memberi peringatan pada kediaman Bara, yang dijadikan markas oleh mereka itu paman," sahut Pandu apa adanya. "Hmm. Kau beri peringatan apa pada mereka Pandu..?" tanya sang Jendral penasaran. "Pandu melepaskan pukulan level ke 4 aji 'Singa Langit' pada kediaman mereka paman Jendral, namun Bara berhasil menangkis pukulan Pandu itu di udara. Dan dari situ ada kabar mengejutkan buat kita Paman Jendral," sahut Pandu, berhenti sejenak dari ucapannya. "Katakan cepat kabar itu Pandu..! Jangan sepotong-potong memberikan informasi padaku..!" sentak sang Jendral, yang menjadi gemas dan penasaran dengan penuturan Pandu. "Paman Jendral, dari beradunya pukulan Pandu dan pemuda bernama Bara itu, maka Pandu jadi yakin, jika saat ini Paman Drajat si 'Tapak Es' ada bersama mereka. Karena energi yang dilepaskan Bara te
Sementara itu, Dimas telah tiba di garasi kediamannya, Dimas bermaksud hendak langsung masuk ke kamarnya, dan menyendiri di sana. Namun saat dia turun dari mobilnya, dan hendak menutup kembali pintu mobil. "Ahh..!" Dimas berseru kaget, saat mendapati sebuah dompet tangan tergeletak di kursi sebelah kemudi. Dan Dimas langsung saja berpikir, jika dompet itu pasti dompet milik Dewi yang tertinggal. 'Biarlah besok saja kuantarkan ke rumahnya sekalian ke rumah Mas Bara', bathinnya. Dia tak hendak membawa dompet itu masuk ke dalam rumah. Maka disimpannya dompet milik Dewi itu di laci mobil. Lalu Dimas pun bergegas keluar dari garasi, menuju ke dalam kamarnya di lantai atas. Ya, hari itu adalah hari paling kelabu di hati Dimas. Di dalam kamar pun, Dimas tak bisa berhenti berpikir tentang Marsha. Hati dan pikirannya seolah terus 'terparkir' pada sosok wanita, yang memang sangat spesial di hatinya itu. Sungguh hal yang sangat 'menguras' energi Dimas. Sulit baginya saat itu, untuk fok
"Maaf Mas Bara dan semuanya. Sepertinya malam ini aku ingin pulang dulu, sekalian mengantarkan Dewi. Dia baru saja lolos dari aksi kejahatan di jalan. Kebetulan aku ada di dekat situ, usai dari warung bang Madi. Karena tinggalnya di Lenteng Agung, maka aku sekalian akan mengantarkannya pulang," ujar Dimas. Menjelaskan sekaligus menjawab tanda tanya di benak semua sahabatnya, tentang siapa wanita yang bersamanya itu. "Maaf Mas Dimas dan semuanya. Dewi jadi merepotkan dan mengganggu acara kalian," Dewi berkata dengan senyum jengah, dan wajah merasa bersalah. "Tak apa Dewi, namanya juga kejadian tak terduga. Silahkan Mas Dimas, besok main lagi ke sini kan Mas..?" sahut Bara, seraya bertanya pada Dimas. "Semoga Mas Bara, mari semuanya," sahut Dimas tersenyum, seraya beranjak menuju mobilnya. Tinn.. Tiinn..! Dimas membunyikan klakson mobilnya, saat hendak keluar dari rumah Bara. Hal yang disambut lambaian tangan dari para sahabatnya. Akhirnya mobilnya meluncur di atas jalan raya
"Itu bukan urusanmu..! Minggirr..!!" sentak orang itu, seraya menepis kasar tangan Dimas yang menahannya. Dagh..! Namun betapa terkejutnya orang itu. Karena saat menepis tangan Dimas, tangannya bagai menghantam besi baja. "Akhs..!" seru kesakitan lelaki sangar itu, dengan wajah meringis. Spontan tangannya terasa sakit dan kesemutan, sedangkan tangan Dimas masih pada posisinya di depan dadanya. "Bangsat..! Kau mau bermain-main dengan kami rupanya..!" seru orang itu emosi. Dan temannya yang sejak tadi hanya diam, dan mengamati di sebelahnya mulai ikut merangsek maju. Seth..! Seth..! Slaakh..!! Bagai dikomando, kedua orang itu secara serentak dan cepat menghunus pisau lipat mereka."Aduhh..! Awas Mas ..!!" teriak si wanita, yang panik dan ketakutan. Tentu saja dia menjadi cemas, melihat kedua orang yang memburu dirinya itu menghunus pisau, untuk mengeroyok pemuda penolongnya. Pisau di kedua tangan orang itu, dimainkan dengan cepat bergerak ke kiri dan ke kanan. Bagai hendak mem
Tinn.. Tiinn..! Menjelang senja, mobil yang dikendarai David pun tiba di kediaman Bara. Dimas, Sandi, dan David, turun dari mobil dan langsung hendak menuju teras rumah. Di mana Bara dan Gatot telah menanti mereka. Namun setelah turun, langkah Dimas malah langsung menuju ke warung kopi 24 jam milik bang Madi. Yang berada diseberang rumah Bara. "Kalian duluanlah, aku hendak ngopi sejenak di warung seberang," ucap Dimas, pada David dan Sandi. Lalu Dimas kembali balik badan, meneruskan langkahnya ke warung bang Madi. "Mas ... " Sandi urung meneruskan ucapannya."Ssssttt. Sudahlah Sandi, sepertinya dia baru mengalami pukulan berat," bisik David, seraya menepuk dan menggelengkan kepalanya pada Sandi. Sandi pun akhirnya terdiam dengan wajah bingung, menuruti saran dari David. Sementara Bara yang melihat hal itu dari kejauhan, dia pun langsung menangkap makna dari sikap Dimas. Yang langsung berjalan ke warung seberang, tanpa menoleh padanya dan Gatot. Di tatapnya tubuh Dimas yang n
Nampak helikopter itu agak oleng, akibat pengaruh getar energi yang dikeluarkan oleh Pandu. Di saat yang sama, Bara dan Gatot telah berada di luar kediaman Bara. Mereka berdua segera memandang ke arah atas rumah, dan sontak mereka terkejut sekaligus bersiap melepaskan pukulan jarak jauh mereka. Karena mereka melihat sebuah helikopter dengan ketinggian hanya sekitar 25 meter di atas kediaman Bara! Nampak di dalam helikopter itu, sesosok pemuda yang tengah bersiap memukul ke arah kediaman Bara. "Hajar saja kediamannya, Pandu..!" teriak Denta. Saat dia juga melihat Bara dan seorang temannya telah bersiap melepas pukulan jarak jauh dari bawah. Denta berspekulasi, tentunya Bara akan melindungi kediamannya lebih dulu, dari terjangan pukulan jarak jauh yang dilepaskan Pandu. "Hiyaahh.!!" Wuursshk..!! Dengan diiringi teriakkan kerasnya, Pandu melontarkan pukulannya tanpa ragu ke arah kediaman Bara. Seberkas cahaya merah keemasan melesat cepat, menuju ke atap rumah Bara. "Gatot kau p