"Benarkah Mah..?! Jika begitu kita tunggu saja, hendak sampai kapan dia mengawasi rumah kita. Tenanglah Mah, David akan menjaga rumah ini, jika sampai sore dia masih berada di sana maka David akan menyelidikinya secara langsung," ujar David mengatakan rencananya."Baiklah David, Mamah ikut rencanamu itu," ucap Vivian seraya beranjak kembali ke teras rumahnya menemui Elsa kembali."Revi, kau tunggu sebentar di sini ya. Koko akan coba melihat orang itu dari lantai atas," ucap David."Baik Dave Ko," sahut Revina mengerti.David pun bergegas naik ke lantai dua rumahnya, dia membuka sedikit korden jendela kamar atasnya yang memang kebetulan menghadap ke arah depan rumahnya. Dan memang benar, di depan sana sebelum prapatan blok, nampak sebuah Innova silver parkir di pinggir jalan.Seorang lelaki perlente paruh baya tengah mengawasi ke arah rumahnya dengan diam-diam. Sesekali nampak pria perlente itu mencuri pandang ke arah rumahnya. Dan terkadang dia masuk ke dalam mobilnya, seraya mengatur
Tinn..! Tiinn..!Sebuah Innova hitam nampak membunyikan klaksonnya dan berhenti di depan gerbang rumah Bara.Lalu sebuah wajah tersenyum hangat nampak muncul melalui jendela depan mobil itu, sambil melambaikan tangannya ke arah Bara yang tengah duduk di teras rumahnya."Wah..! Mas Dimas. Tunggu sebentar..!" seru Bara seraya bergegas beranjak dari kursi teras, menuju ke arah gerbang pagar, yang baru saja selesai diperbaiki oleh beberapa tukang hari ini.Klang..!"Silahkan masuk Mas Dimas," ucap Bara tersenyum, setelah membuka pagar gerbang.Innova hitam milik Dimas itu pun masuk dan langsung parkir di halaman dekat teras rumah."Wah..! Masih banyak yang harus diperbaiki rupanya Mas Bara," ucap Dimas, seraya mengamati sekitar teras rumah Bara. Dan tak sengaja matanya pun tertumbuk pada Jeep Cherokee putih milik mendiang ayahnya.Jeep itu terparkir di halaman samping kanan rumah Bara, berjajar dengan Mazda 2 black milik Marco. Tampak banyak lubang-lubang dan lecet bekas peluru di body ke
"Kompetisi gelap..?! Tolong jelaskan soal ini Mas Bara, aku benar-benar tak mengerti," Dimas berkata dengan wajah bingung.Akhirnya Bara pun menceritakan soal kompetisi gelap, dan latar belakang dia tak sengaja masuk dalam kompetisi maut itu. Kompetisi yang masih berjalan hingga sampai saat itu."Wahh..! Ini benar-benar mengejutkanku Mas Bara..! Aku tak menyangka ada sebuah kompetisi yang bisa 'menembus' batas-batas hukum di negara ini. Bagaimana pun juga, para napi itu masih menjadi tanggungan negara! Bagaimana mungkin ada pihak yang mampu 'memotong' jalur hukum negara tersebut Mas Bara..?!" seru Dimas terkejut bukan kepalang, mendengar ada penyelenggaraan kompetisi semacam itu."Yah, namanya juga 'oknum' Mas Dimas. Selalu saja ada 'oknum' dimana pun suatu institusi berdiri, dan akan selalu ada di seluruh dunia hingga akhir jaman," ucap Bara memaklumi keterkejutan Dimas. Karena dulu pun dia juga kaget dan terkejut, seperti Dimas sekarang."Ediann..!" seru Dimas lagi, melepaskan kekes
"Pak Nala, Bi Tarni. Besok kita akan pindah ke apartemen di daerah Jakarta selatan. Untuk sementara jangan kabarkan kepindahan kita besok pada siapapun, termasuk pada pelayan lain dan satpam di depan. Kalian ikut saya ke tempat baru. Sementara pelayan lainnya tetap saja bekerja seperti biasa di rumah ini," pesan Marsha pada kedua orang kepercayaannya itu."Baik Non Marsha, saya mengerti," sahut dua orang kepercayaan Marsha itu bersamaan.Dan hari itu juga, Marsha pun berangkat ke kantor marketing Darmawangsa Residence. Untuk menyelesaikan administrasi pembayaran dan serah kunci, atas sebuah unit apartement bernilai 25 miliar rupiah.*** Hari menjelang malam, saat mobil Porsche 718 putih milik Vivian meluncur keluar dari kediamannya mengarah ke jalan raya.Nampak Elsa dan Katrin juga berada di dalam mobil Vivian itu. Dan seperti yang telah diduga oleh David, mobil Innova milik sang pengintai pun langsung bergegas membuntuti di belakang mobil Vivian itu.Setelah memberi jarak beberapa
Tuk..! "Ahhsk..! Ouuhhhsss...! Panasss..!! Dimana aku..?!!" sejenak setelah membuka matanya, si Donny pun berteriak merasa kepanasan di bagian bawah hidungnya yang tak berkumis itu.Tentu saja dia merasa kaget, karena berada di tempat yang tak dikenalnya."Namamu Donny Wiliyanto, usia 39 tahun, tinggal di Gandaria, Jakarta Selatan benar begitu..?!" seru Bara dingin, sementara David sengaja berada di belakang kursi Donny agar tak dikenali olehnya."Ba-bagaimana kau bisa tahu..?! Uhhks...panassh..!" seru kaget Donny, seraya mengeluh panas. Pastinya dia merasa kepanasn di bagian bawah hidungnya itu, karena David memang tak kira-kira mengoleskan 'Hot Krim' di bagian itu.David memang menjadi sangat benci pada Donny, setelah dia mendengar ucapan Donny yang akan menikmati tante Elsa dan Katrin lebih dulu, sebelum menghabisi mereka.Hati David, bagai dibakar timah panas saat mendengar pembicaraan terakhir Donny di ponselnya."Sekarang jawab pertanyaan saya..! Di suruh siapa kamu menguntit E
"Angga. Apakah Marsha itu benar-benar masih sendiri..?" tanya Leonard pada Angga, saat mereka berdua berada di teras atas rumah sang Jendral.Mereka berdua memang baru saja saling berbicara di sana, setelah makan malam bersama usai. Tampak dua kaleng bir dan makanan ringan tersanding di meja teras."Hmm. Menurut info dari Freedy, Marsha memang masih 'single' Leonard," sahut Angga."Lalu bagaimana menurutmu wanita bernama Marsha itu Angga..? Apakah dia cukup cantik untuk kujadikan istriku..?" tanya Leonard meminta pendapat Angga."Itu relatif menurut selera kita masing-masing Leonard. Tapi secara umum, wanita bernama Marsha itu memang istimewa Leonard," sahut Angga.Ya, Angga sendiri memang berpenampilan acuh dan dingin terhadap wanita. Namun jangan salah, Angga juga bisa sangat agresif, jika dia sudah menemukan wanita yang sesuai dengan seleranya."Lalu bagaimana dengan tipe wanita idamanmu Angga..?" tanya Leonard, penasaran dengan teman bicaranya yang berwajah dingin itu."Hahaaa..!
"Haishh..! Enak saja.aku dibilang galak, Resti nggak galak kan ya Mah, Ayah..? Hihh..!" Resti langsung meradang dan wajahnya pun merona merah, tak terima dia dikatakan galak oleh Bara di depan kedua orangtuanya. Lalu dicubitnya pinggang Bara yang duduk disebelahnya."Hahahaaa...! Kau memang ga... gadis baik Resti. Hahaa..!" spontan Rudi langsung terbahak, dan hampir saja lidahnya 'terceplos' membenarkan Bara."Ayahh.. ihhh..!" Resti akhirnya juga mencubit lengan ayahnya, dengan wajah cemberut. Kesal, karena sang ayah seperti membenarkan Bara."Hihihiii. Sudah .. sudah, pokoknya kalau nggak ada Resti nggak ramai ya Pah..? Hihihii..!" Sofia terkikik geli, melihat tingkah putrinya yang lagi keki itu."Ini gara-gara kamu Mas Bara..! Hihh..!" kembali Resti menyalahkan Bara dan mencubit pinggangnya sekali lagi."Aduhh! Ampunn Resti. Hehehee,.!" Bara mengaduh seraya terkekeh senang. Baginya memang suasana seperti ini yang ingin dirasakannya, hangat, kekeluargaan dan tidak kaku."Silahkan Mas
"Wahh..! Non Vina datang Bu..! Pak..!" seru bi Wati seraya berlari ke dalam rumah, menyerukan hal itu pada majikannya.Bi Wati kebetulan tadi sedang membersihkan kaca jendela rumah, saat melihat kehadiran nona majikannya di depan gerbang pagar. "A-apa Bi..?! Vina sudah datang..?! Pah, ayo kita ke depan Pah..! Putri kita sudah pulang..!" seru Lidya sangat gembira, dia segera mengajak suaminya segera keluar menyambut putri mereka. "Iya Mahh..!" seru Felix cepat. Dia yang hendak menyeruput tehnya langsung urung dan meletakkan kembali gelas tehnya. Lalu dia segera bergegas menyusul sang istri berjalan cepat ke depan rumahnya. "Papah..! Mamahh..!" seru Revina yang telah berada di teras dengan nada serak, saat dilihatnya mamah dan papahnya muncul dari dalam rumah. "Vina..! Anakku sayang..!! Tsk, tsk," langsung saja Lidya berseru terisak, seraya memeluk putri tersayangnya itu. Yang langsung disambut pelukan erat oleh Revina. Keduanya pun saling bertangisan dalam pelukkan mereka. "Revina
Di ruang tamu villa, nampak berkumpul Bara serta para sahabatnya. Sementara Leonard juga di dampingi 2 orang kepercayaannya, Jason dan Tommy. Mereka berbicara akrab dan hangat saat itu. Seperti tak pernah ada permusuhan di antara mereka. "Leonard. Terimakasih atas kesediaanmu mengantar sendiri pesanan kami," ucap Bara tersenyum. "Sama-sama Bara, aku senang bisa bersahabat dengan kalian semua. O ya, Marsha titip salam buat kalian semua. Tadinya dia memaksa ikut, namun dilarang keras sama Ibuku," ujar Leonard menyampaikan. "Ahh. Bagaimana kabar Marsha di sana Leonard..? Kapan kalian menikah..?" tanya Dimas. Dia memang sudah mulai bisa menerima kenyataan pahit itu. Ya, Dimas sudah belajar menghilangkan kebencian di hatinya pada Leonard. Dia sadar, kepentingan bersama para sahabatnya lebih utama, dibanding perasaan pribadinya. Namun tentu saja hal itu masih meninggalkan 'bekas mendalam' di hatinya. Hal yang berdampak pada dinginnya hati Dimas terhadap wanita. Dimas merasa sudah t
"Ahh..! Aku datang untuk mengantarkan dompet tanganmu yang tertinggal di dalam mobilku semalam Dewi," seru Dimas agak terpana melihat kecantikkan Dewi, seraya menyerahkan dompet itu pada Dewi. 'Tak kusangka di pagi hari kau malah semakin nampak cantik Dewi', batin Dimas mengakui. "Wah..! Terimakasih Mas Dimas, pantas Dewi cari-cari di tas semalam tak ketemu. Masuk dulu Mas Dimas ya," seru Dewi senang, dia pun membuka lebar pintu rumahnya mempersilahkan Dimas masuk. "Baiklah Dewi, tapi aku tak bisa lama-lama ya. Para sahabat menanti di rumah Mas Bara," sahut Dimas, seraya duduk di kursi tamu rumah. 'Mas Dimas pasti kurang tidur semalam', bathin Dewi, saat melihat mata Dimas yang terlihat cekung dan lelah."Mas Dimas, Dewi ucapkan terimakasih atas pertolongan Mas semalam, dan juga antaran dompet Dewi ya," ucap Dewi tersenyum. "Bukan apa-apa Dewi. Aku hanya kebetulan saja sedang berada di lokasi kejadian," sahut Dimas. Jujur saja Dimas agak jengah juga, karena Dewi menatapnya den
"Bagaimana hasil pengamatan kalian terhadap rumah Bara cs, Pandu..?" "Bersih di sana Paman Jendral, tak ada helikopter maupun orang-orang kita yang hilang di sana. Kami juga sudah memberi peringatan pada kediaman Bara, yang dijadikan markas oleh mereka itu paman," sahut Pandu apa adanya. "Hmm. Kau beri peringatan apa pada mereka Pandu..?" tanya sang Jendral penasaran. "Pandu melepaskan pukulan level ke 4 aji 'Singa Langit' pada kediaman mereka paman Jendral, namun Bara berhasil menangkis pukulan Pandu itu di udara. Dan dari situ ada kabar mengejutkan buat kita Paman Jendral," sahut Pandu, berhenti sejenak dari ucapannya. "Katakan cepat kabar itu Pandu..! Jangan sepotong-potong memberikan informasi padaku..!" sentak sang Jendral, yang menjadi gemas dan penasaran dengan penuturan Pandu. "Paman Jendral, dari beradunya pukulan Pandu dan pemuda bernama Bara itu, maka Pandu jadi yakin, jika saat ini Paman Drajat si 'Tapak Es' ada bersama mereka. Karena energi yang dilepaskan Bara te
Sementara itu, Dimas telah tiba di garasi kediamannya, Dimas bermaksud hendak langsung masuk ke kamarnya, dan menyendiri di sana. Namun saat dia turun dari mobilnya, dan hendak menutup kembali pintu mobil. "Ahh..!" Dimas berseru kaget, saat mendapati sebuah dompet tangan tergeletak di kursi sebelah kemudi. Dan Dimas langsung saja berpikir, jika dompet itu pasti dompet milik Dewi yang tertinggal. 'Biarlah besok saja kuantarkan ke rumahnya sekalian ke rumah Mas Bara', bathinnya. Dia tak hendak membawa dompet itu masuk ke dalam rumah. Maka disimpannya dompet milik Dewi itu di laci mobil. Lalu Dimas pun bergegas keluar dari garasi, menuju ke dalam kamarnya di lantai atas. Ya, hari itu adalah hari paling kelabu di hati Dimas. Di dalam kamar pun, Dimas tak bisa berhenti berpikir tentang Marsha. Hati dan pikirannya seolah terus 'terparkir' pada sosok wanita, yang memang sangat spesial di hatinya itu. Sungguh hal yang sangat 'menguras' energi Dimas. Sulit baginya saat itu, untuk fok
"Maaf Mas Bara dan semuanya. Sepertinya malam ini aku ingin pulang dulu, sekalian mengantarkan Dewi. Dia baru saja lolos dari aksi kejahatan di jalan. Kebetulan aku ada di dekat situ, usai dari warung bang Madi. Karena tinggalnya di Lenteng Agung, maka aku sekalian akan mengantarkannya pulang," ujar Dimas. Menjelaskan sekaligus menjawab tanda tanya di benak semua sahabatnya, tentang siapa wanita yang bersamanya itu. "Maaf Mas Dimas dan semuanya. Dewi jadi merepotkan dan mengganggu acara kalian," Dewi berkata dengan senyum jengah, dan wajah merasa bersalah. "Tak apa Dewi, namanya juga kejadian tak terduga. Silahkan Mas Dimas, besok main lagi ke sini kan Mas..?" sahut Bara, seraya bertanya pada Dimas. "Semoga Mas Bara, mari semuanya," sahut Dimas tersenyum, seraya beranjak menuju mobilnya. Tinn.. Tiinn..! Dimas membunyikan klakson mobilnya, saat hendak keluar dari rumah Bara. Hal yang disambut lambaian tangan dari para sahabatnya. Akhirnya mobilnya meluncur di atas jalan raya
"Itu bukan urusanmu..! Minggirr..!!" sentak orang itu, seraya menepis kasar tangan Dimas yang menahannya. Dagh..! Namun betapa terkejutnya orang itu. Karena saat menepis tangan Dimas, tangannya bagai menghantam besi baja. "Akhs..!" seru kesakitan lelaki sangar itu, dengan wajah meringis. Spontan tangannya terasa sakit dan kesemutan, sedangkan tangan Dimas masih pada posisinya di depan dadanya. "Bangsat..! Kau mau bermain-main dengan kami rupanya..!" seru orang itu emosi. Dan temannya yang sejak tadi hanya diam, dan mengamati di sebelahnya mulai ikut merangsek maju. Seth..! Seth..! Slaakh..!! Bagai dikomando, kedua orang itu secara serentak dan cepat menghunus pisau lipat mereka."Aduhh..! Awas Mas ..!!" teriak si wanita, yang panik dan ketakutan. Tentu saja dia menjadi cemas, melihat kedua orang yang memburu dirinya itu menghunus pisau, untuk mengeroyok pemuda penolongnya. Pisau di kedua tangan orang itu, dimainkan dengan cepat bergerak ke kiri dan ke kanan. Bagai hendak mem
Tinn.. Tiinn..! Menjelang senja, mobil yang dikendarai David pun tiba di kediaman Bara. Dimas, Sandi, dan David, turun dari mobil dan langsung hendak menuju teras rumah. Di mana Bara dan Gatot telah menanti mereka. Namun setelah turun, langkah Dimas malah langsung menuju ke warung kopi 24 jam milik bang Madi. Yang berada diseberang rumah Bara. "Kalian duluanlah, aku hendak ngopi sejenak di warung seberang," ucap Dimas, pada David dan Sandi. Lalu Dimas kembali balik badan, meneruskan langkahnya ke warung bang Madi. "Mas ... " Sandi urung meneruskan ucapannya."Ssssttt. Sudahlah Sandi, sepertinya dia baru mengalami pukulan berat," bisik David, seraya menepuk dan menggelengkan kepalanya pada Sandi. Sandi pun akhirnya terdiam dengan wajah bingung, menuruti saran dari David. Sementara Bara yang melihat hal itu dari kejauhan, dia pun langsung menangkap makna dari sikap Dimas. Yang langsung berjalan ke warung seberang, tanpa menoleh padanya dan Gatot. Di tatapnya tubuh Dimas yang n
Nampak helikopter itu agak oleng, akibat pengaruh getar energi yang dikeluarkan oleh Pandu. Di saat yang sama, Bara dan Gatot telah berada di luar kediaman Bara. Mereka berdua segera memandang ke arah atas rumah, dan sontak mereka terkejut sekaligus bersiap melepaskan pukulan jarak jauh mereka. Karena mereka melihat sebuah helikopter dengan ketinggian hanya sekitar 25 meter di atas kediaman Bara! Nampak di dalam helikopter itu, sesosok pemuda yang tengah bersiap memukul ke arah kediaman Bara. "Hajar saja kediamannya, Pandu..!" teriak Denta. Saat dia juga melihat Bara dan seorang temannya telah bersiap melepas pukulan jarak jauh dari bawah. Denta berspekulasi, tentunya Bara akan melindungi kediamannya lebih dulu, dari terjangan pukulan jarak jauh yang dilepaskan Pandu. "Hiyaahh.!!" Wuursshk..!! Dengan diiringi teriakkan kerasnya, Pandu melontarkan pukulannya tanpa ragu ke arah kediaman Bara. Seberkas cahaya merah keemasan melesat cepat, menuju ke atap rumah Bara. "Gatot kau p
Tuttt ... Tuttt ... Tuttt.!"Hahh..! Marsha..?!" seru Dimas terkejut bukan main, saat dilihatnya nomor Marsha tertera di layar ponselnya. Saat itu dia masih berada di halaman vila markas yang baru saja dibelinya. Klik.! "Ya Marsha ...?! " sahut Dimas, penuh rasa rindu dan kecemasan. "Mas Dimas, Marsha saat ini berada di kediaman Leonard di Washington. Marsha baik-baik saja disini Mas Dimas," ucap Marsha serak. Dia tahu Dimas sangat mencemaskan dirinya. "Syukurlah Marsha. Tenanglah, sesegera mungkin aku akan menjemputmu pulang ke Indonesia. Aku sedang mempersiapkan visa untuk ke sana bersama Mas Bara," ucap Dimas, ingin menenangkan Marsha disana. "Maaf Mas Dimas, sepertinya itu tak perlu Mas lakukan. Karena Marsha disini sudah berkomitmen dengan Leonard. Hal ini benar-benar diluar dugaan Marsha Mas Dimas," ucap Marsha penuh rasa sesal. Karena mau tak mau, dia harus mengatakan hal yang pasti menyakitkan hati Dimas. "Apa maksudmu Marsha..?! Komitmen dengan Leonard..?" Dimas ber