"Baik Paman, kupercayakan Ibuku pada Paman sekalian," bisik Bara sambil menyerahkan tubuh sang ibu di pondongan Tedjo."Seth..! Sethh..! ... Sethh..!"Keempat serangkai langsung melesat cepat menuju pintu yang masih terbuka lebar, lalu sosok mereka langsung melesat lenyap melewati tembok penjara kota."Ahhh..!!" seluruh penonton tak terkecuali Freedy berseru terkejut, melihat atraksi ilmu meringankan tubuh keempat serangkai tersebut.Ya, sungguh lesatan yang sangat cepat dan hampir tak terlihat oleh mata semua yang hadir di arena itu. Keempat sosok berikut sosok Marini tiba-tiba telah lenyap dari pandangan mereka semua. Badas..! Sementara Bara juga masih berdiri terdiam di tengah arena, matanya masih beriak basah menatap ke arah pintu keluar itu. Pintu tempat terakhir dia melihat sosok ibunya di bawa pergi, oleh keempat pengawal sang kakek.Bara sendiri pernah mendengar cerita dari sang kakek disela-sela latihan mereka dulu. Bahwa sang kakek memang memiliki banyak sahabat yang 'berke
"Aku baik saja David. Wahh, mantap David..! Sebaiknya mari kita bicara di dalam sel saja," seru Bara gembira, seraya mengajak sahabatnya itu kembali ke sel mereka.Suasana di ruang arena kini telah berangsur sepi, rupanya para penonton sudah beranjak keluar meninggalkan ruang itu.Tak lama kemudian Bara dan David tiba di depan Gang 5. Nampak Barjo, Paul, dan Jarot, seolah tengah menanti mereka di depan pintu gerbang sel Gang 5. Pintu gerbang sel Gang 5 juga telah terbuka lebar saat itu."Selamat Bara..!" seru Barjo, sambil bergegas menyambut Bara dengan pelukkan dan rangkulan akrab. Hal yang tak pernah dilakukan Barjo pada napi lainnya.Dirinya begitu gembira mendengar kabar kemenangan Bara, yang berarti uang taruhannya yang 5 juta kini telah menjadi 15 juta. Karena bandar berani membayar 3 kali lipat dari pasangan taruhan global, pada pertarungan malam itu.Sesungguhnya pihak Bandar sendiri pun 'terpeleset' dalam prediksi mereka. Mereka sesungguhnya memprediksikan kemenangan Cakar Te
Tuttt ... Tuuttt ... Tuttt.!"Klik. Ya Tuan Freedy," sahut Clara yang saat itu masih berada di Villanya, tempat dia kemarin bertugas melayani Seto. Rupanya Clara belum meninggalkan villa itu, karrena masih menunggu perintah Freedy. "Clara, kau tetaplah di sana, dan mulai hari ini kau layanilah Bara Satria seperti kau melayani Seto. Soal bayaran tetap akan kubayarkan sesuai kesepakatan kita Clara.""Baik Tuan Freedy. Akan saya lakukan pekerjaan itu sebaik mungkin.""Ok Clara." Klikh! Freedy mengakhiri panggilannya. *** Sementara itu di dalam 'Maestro Kitchen' terjadi kehebohan yang luar biasa pagi itu.Revina dan Resti baru saja tiba di restoran pagi itu,"Vina, kau duluan saja ke ruang ganti ya. Aku ke toilet dulu sebentar," ucap Resti, yang langsung berlari kecil ke arah toilet untuk buang air kecil.Revina pun meneruskan langkahnya menuju ke ruang ganti pakaian khusus karyawan wanita. Revina melihat semua karyawan wanita sudah hadir dan berganti pakaian, hanya dia dan Resti yan
Keesokkan harinya di kediaman Marini."Paman Tedjo, hari ini Marini akan mengunjungi Bara di penjara. Apakah paman mau ikut serta..?" tanya Marini.Marini memang langsung sakit demam, saat kemarin malam di bawa oleh ke empat bekas anak buah ayahnya itu pulang kerumahnya. Seharian kemarin dia terbaring lemas di kamarnya, beruntunglah Tedjo telah mencarikan pembantu di rumah itu untuk Marini.Dengan adanya Tono yang bertugas menjadi supir, dan bi Ijah yang membantu memasak dan membereskan rumah. Maka Marini bisa menjalani hidup dengan agak lebih santai di rumah itu.Dan bi Ijahlah yang menemani dan menunggui Marini selama dia sakit sejak kemarin. Hingga akhirnya pagi ini kondisi Marini berangsur mulai pulih kembali.Sementara ke tiga sahabat Tedjo yang lain saat ini sedang berkunjung ke kediaman Marko di daerah Bintaro, Jakarta Selatan."Maaf Marini, hari ini Paman ada acara di rumah. Tapi apakah kau yakin sudah pulih dan kuat bepergian ke penjara kota hari ini Marini..? Kalau bisa ditu
"Baik, terimakasih," ucap Marini, agak merasa tenang dengan pemberitahuan itu.Selama ini dia menganggap ponsel dan nomor putranya itu sudah hilang dan tak di pakai lagi. Ternyata ponsel Bara disita dan di simpan oleh pihak lapas."O ya pak. Bolehkah saya bertanya sekali lagi..? Saya hendak bertanya soal tahanan bernama David. Apakah dia masih berada di lapas ini..?" Resti juga turut senang, mendengar ponsel Bara telah dikembalikan. Namun dia teringat soal kekasih sahabatnya, maka segera dia bertanya tentang David pada sang petugas itu."David..? Sebentar ya mbak," sang petugas kembali menyusuri data terbaru, yang ada di layar komputernya."Mbak Resti, ternyata David Tandinata juga telah keluar dari penjara kota bersama tuan Bara Satria. Dan ponselnya juga sudah dikembalikan kemarin bersamaan dengan tuan Bara," sang petugas memberitahu Resti."Baik. terimakasih pak," ucap Resti."Mari bu, kita bicara di luar saja yuk," Resti berkata sambil tersenyum pada Marini."Benar Resti. Baru saj
'Huhh..! Awas kau Bara..! Akan kubuat kau bertekuk lutut dalam seminggu ini..!' ancam bathin Clara kesal.Clara merasa tak di anggap dan 'dikacangin' oleh keangkuhan Bara. Tingkat kepercayaan diri atas kecantikkan dan kemenarikkan tubuhnya serasa 'down' ke titik terendah. Hal itu membuat dirinya bertanya-tanya pada dirinya sendiri,'Apakah daya tarikku sudah anjlok dan berkurang saat ini..?' tanya batin Clara cemas, seraya memandangi detail lekuk tubuhnya di cermin besar lemari.'Ahh, tidak kok. Tubuhku masih kencang, mulus, dan terjaga. Dasar Bara saja yang matanya nggak beres itu..!' sungut bathin Clara pada akhirnya, seraya memaki Bara."Upss.! Kamu sedang apa Clara..?" kejut Bara yang masuk ke kamar, dia hendak mengembalikan bantal dan guling yang semalam dibawanya keluar kamar. Saat melihat Clara sedang mematut-matut tubuh polosnya di depan kaca lemari kamar.Bara pun bertanya sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain dan terus berjalan ke arah ranjang.Sedemikian cepatnya Clar
"Kompetisi gelap..? Kompetisi apakah itu ibu..?" tanya Resti bingung. Dia sungguh tak mengerti, soal apa yang tadi di bicarakan Bara dan ibunya itu."Ahh..! Kau belum mengetahuinya Resti..?" tanya Marini seolah tak percaya."Belum ibu. Mas Bara tak pernah berbicara soal itu pada Resti," sahut Resti jujur. Marini pun terdiam menimbang sejenak. Dan akhirnya dia memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya pada Resti. "Kompetisi gelap adalah pertarungan sampai ada yang mati Resti. Entah pihak mana yang menyelenggarakan kompetisi biadab itu di dalam penjara. Dan Bara ikut serta di dalamnya Resti," jelas Marini pada Resti."Aihh..! Kejam sekali Bu. Bagaimana Mas Bara bisa ikut di dalamnya..?! Kenapa dia tak menolaknya Ibu..? Aduh, Mas Bara..!" sontak Resti terkejut bukan main, mendengar ada kompetisi semacam itu di dalam penjara. Kini hatinya berdebar cemas dan panik, memikirkan nasib kekasihnya Bara."Ibu juga sangat cemas Resti, tapi ibu percaya dengan kemampuan Bara. Tenanglah Resti, b
"Senang berjumpa lagi denganmu Mas Bara," sapa Marsha tersenyum cerah."Sama-sama Marsha, duduklah," sahut Bara tersenyum ramah, dan mempersilahkan Marsha duduk.Sementara sang sopir yang mengantarkan Marsha juga ikut turun dari mobilnya, dia membawakan tas koper roda milik Marsha lalu meletakkannya di lantai teras."Baik Nona Marsha, Tuan Bara. Saya permisi dulu," ucap sang supir ramah, pada keduanya."Baik Pak Amat. Terimakasih ya," ucap Marsha tersenyum pada sang supir."Baik Pak, terimakasih," ucap Bara merasa agak heran, saat melihat koper roda milik Marsha. Namun di tekannya dulu rasa herannya saat itu.Mobil itu pun melaju keluar dari vila melalui pagar gerbang yang dibukakan oleh security di pos gerbang vila."Mas Bara, aku tahu kau pasti heran dengan kedatanganku ke vila ini," ucap Marsha, yang melihat ekspresi bingung di wajah Bara."Ya Marsha, terus terang saja aku tak mengerti dengan maksud semua ini," sahut Bara jujur."Aku kesini atas permintaanku sendiri pada Freedy, Ma
Di ruang tamu villa, nampak berkumpul Bara serta para sahabatnya. Sementara Leonard juga di dampingi 2 orang kepercayaannya, Jason dan Tommy. Mereka berbicara akrab dan hangat saat itu. Seperti tak pernah ada permusuhan di antara mereka. "Leonard. Terimakasih atas kesediaanmu mengantar sendiri pesanan kami," ucap Bara tersenyum. "Sama-sama Bara, aku senang bisa bersahabat dengan kalian semua. O ya, Marsha titip salam buat kalian semua. Tadinya dia memaksa ikut, namun dilarang keras sama Ibuku," ujar Leonard menyampaikan. "Ahh. Bagaimana kabar Marsha di sana Leonard..? Kapan kalian menikah..?" tanya Dimas. Dia memang sudah mulai bisa menerima kenyataan pahit itu. Ya, Dimas sudah belajar menghilangkan kebencian di hatinya pada Leonard. Dia sadar, kepentingan bersama para sahabatnya lebih utama, dibanding perasaan pribadinya. Namun tentu saja hal itu masih meninggalkan 'bekas mendalam' di hatinya. Hal yang berdampak pada dinginnya hati Dimas terhadap wanita. Dimas merasa sudah t
"Ahh..! Aku datang untuk mengantarkan dompet tanganmu yang tertinggal di dalam mobilku semalam Dewi," seru Dimas agak terpana melihat kecantikkan Dewi, seraya menyerahkan dompet itu pada Dewi. 'Tak kusangka di pagi hari kau malah semakin nampak cantik Dewi', batin Dimas mengakui. "Wah..! Terimakasih Mas Dimas, pantas Dewi cari-cari di tas semalam tak ketemu. Masuk dulu Mas Dimas ya," seru Dewi senang, dia pun membuka lebar pintu rumahnya mempersilahkan Dimas masuk. "Baiklah Dewi, tapi aku tak bisa lama-lama ya. Para sahabat menanti di rumah Mas Bara," sahut Dimas, seraya duduk di kursi tamu rumah. 'Mas Dimas pasti kurang tidur semalam', bathin Dewi, saat melihat mata Dimas yang terlihat cekung dan lelah."Mas Dimas, Dewi ucapkan terimakasih atas pertolongan Mas semalam, dan juga antaran dompet Dewi ya," ucap Dewi tersenyum. "Bukan apa-apa Dewi. Aku hanya kebetulan saja sedang berada di lokasi kejadian," sahut Dimas. Jujur saja Dimas agak jengah juga, karena Dewi menatapnya den
"Bagaimana hasil pengamatan kalian terhadap rumah Bara cs, Pandu..?" "Bersih di sana Paman Jendral, tak ada helikopter maupun orang-orang kita yang hilang di sana. Kami juga sudah memberi peringatan pada kediaman Bara, yang dijadikan markas oleh mereka itu paman," sahut Pandu apa adanya. "Hmm. Kau beri peringatan apa pada mereka Pandu..?" tanya sang Jendral penasaran. "Pandu melepaskan pukulan level ke 4 aji 'Singa Langit' pada kediaman mereka paman Jendral, namun Bara berhasil menangkis pukulan Pandu itu di udara. Dan dari situ ada kabar mengejutkan buat kita Paman Jendral," sahut Pandu, berhenti sejenak dari ucapannya. "Katakan cepat kabar itu Pandu..! Jangan sepotong-potong memberikan informasi padaku..!" sentak sang Jendral, yang menjadi gemas dan penasaran dengan penuturan Pandu. "Paman Jendral, dari beradunya pukulan Pandu dan pemuda bernama Bara itu, maka Pandu jadi yakin, jika saat ini Paman Drajat si 'Tapak Es' ada bersama mereka. Karena energi yang dilepaskan Bara te
Sementara itu, Dimas telah tiba di garasi kediamannya, Dimas bermaksud hendak langsung masuk ke kamarnya, dan menyendiri di sana. Namun saat dia turun dari mobilnya, dan hendak menutup kembali pintu mobil. "Ahh..!" Dimas berseru kaget, saat mendapati sebuah dompet tangan tergeletak di kursi sebelah kemudi. Dan Dimas langsung saja berpikir, jika dompet itu pasti dompet milik Dewi yang tertinggal. 'Biarlah besok saja kuantarkan ke rumahnya sekalian ke rumah Mas Bara', bathinnya. Dia tak hendak membawa dompet itu masuk ke dalam rumah. Maka disimpannya dompet milik Dewi itu di laci mobil. Lalu Dimas pun bergegas keluar dari garasi, menuju ke dalam kamarnya di lantai atas. Ya, hari itu adalah hari paling kelabu di hati Dimas. Di dalam kamar pun, Dimas tak bisa berhenti berpikir tentang Marsha. Hati dan pikirannya seolah terus 'terparkir' pada sosok wanita, yang memang sangat spesial di hatinya itu. Sungguh hal yang sangat 'menguras' energi Dimas. Sulit baginya saat itu, untuk fok
"Maaf Mas Bara dan semuanya. Sepertinya malam ini aku ingin pulang dulu, sekalian mengantarkan Dewi. Dia baru saja lolos dari aksi kejahatan di jalan. Kebetulan aku ada di dekat situ, usai dari warung bang Madi. Karena tinggalnya di Lenteng Agung, maka aku sekalian akan mengantarkannya pulang," ujar Dimas. Menjelaskan sekaligus menjawab tanda tanya di benak semua sahabatnya, tentang siapa wanita yang bersamanya itu. "Maaf Mas Dimas dan semuanya. Dewi jadi merepotkan dan mengganggu acara kalian," Dewi berkata dengan senyum jengah, dan wajah merasa bersalah. "Tak apa Dewi, namanya juga kejadian tak terduga. Silahkan Mas Dimas, besok main lagi ke sini kan Mas..?" sahut Bara, seraya bertanya pada Dimas. "Semoga Mas Bara, mari semuanya," sahut Dimas tersenyum, seraya beranjak menuju mobilnya. Tinn.. Tiinn..! Dimas membunyikan klakson mobilnya, saat hendak keluar dari rumah Bara. Hal yang disambut lambaian tangan dari para sahabatnya. Akhirnya mobilnya meluncur di atas jalan raya
"Itu bukan urusanmu..! Minggirr..!!" sentak orang itu, seraya menepis kasar tangan Dimas yang menahannya. Dagh..! Namun betapa terkejutnya orang itu. Karena saat menepis tangan Dimas, tangannya bagai menghantam besi baja. "Akhs..!" seru kesakitan lelaki sangar itu, dengan wajah meringis. Spontan tangannya terasa sakit dan kesemutan, sedangkan tangan Dimas masih pada posisinya di depan dadanya. "Bangsat..! Kau mau bermain-main dengan kami rupanya..!" seru orang itu emosi. Dan temannya yang sejak tadi hanya diam, dan mengamati di sebelahnya mulai ikut merangsek maju. Seth..! Seth..! Slaakh..!! Bagai dikomando, kedua orang itu secara serentak dan cepat menghunus pisau lipat mereka."Aduhh..! Awas Mas ..!!" teriak si wanita, yang panik dan ketakutan. Tentu saja dia menjadi cemas, melihat kedua orang yang memburu dirinya itu menghunus pisau, untuk mengeroyok pemuda penolongnya. Pisau di kedua tangan orang itu, dimainkan dengan cepat bergerak ke kiri dan ke kanan. Bagai hendak mem
Tinn.. Tiinn..! Menjelang senja, mobil yang dikendarai David pun tiba di kediaman Bara. Dimas, Sandi, dan David, turun dari mobil dan langsung hendak menuju teras rumah. Di mana Bara dan Gatot telah menanti mereka. Namun setelah turun, langkah Dimas malah langsung menuju ke warung kopi 24 jam milik bang Madi. Yang berada diseberang rumah Bara. "Kalian duluanlah, aku hendak ngopi sejenak di warung seberang," ucap Dimas, pada David dan Sandi. Lalu Dimas kembali balik badan, meneruskan langkahnya ke warung bang Madi. "Mas ... " Sandi urung meneruskan ucapannya."Ssssttt. Sudahlah Sandi, sepertinya dia baru mengalami pukulan berat," bisik David, seraya menepuk dan menggelengkan kepalanya pada Sandi. Sandi pun akhirnya terdiam dengan wajah bingung, menuruti saran dari David. Sementara Bara yang melihat hal itu dari kejauhan, dia pun langsung menangkap makna dari sikap Dimas. Yang langsung berjalan ke warung seberang, tanpa menoleh padanya dan Gatot. Di tatapnya tubuh Dimas yang n
Nampak helikopter itu agak oleng, akibat pengaruh getar energi yang dikeluarkan oleh Pandu. Di saat yang sama, Bara dan Gatot telah berada di luar kediaman Bara. Mereka berdua segera memandang ke arah atas rumah, dan sontak mereka terkejut sekaligus bersiap melepaskan pukulan jarak jauh mereka. Karena mereka melihat sebuah helikopter dengan ketinggian hanya sekitar 25 meter di atas kediaman Bara! Nampak di dalam helikopter itu, sesosok pemuda yang tengah bersiap memukul ke arah kediaman Bara. "Hajar saja kediamannya, Pandu..!" teriak Denta. Saat dia juga melihat Bara dan seorang temannya telah bersiap melepas pukulan jarak jauh dari bawah. Denta berspekulasi, tentunya Bara akan melindungi kediamannya lebih dulu, dari terjangan pukulan jarak jauh yang dilepaskan Pandu. "Hiyaahh.!!" Wuursshk..!! Dengan diiringi teriakkan kerasnya, Pandu melontarkan pukulannya tanpa ragu ke arah kediaman Bara. Seberkas cahaya merah keemasan melesat cepat, menuju ke atap rumah Bara. "Gatot kau p
Tuttt ... Tuttt ... Tuttt.!"Hahh..! Marsha..?!" seru Dimas terkejut bukan main, saat dilihatnya nomor Marsha tertera di layar ponselnya. Saat itu dia masih berada di halaman vila markas yang baru saja dibelinya. Klik.! "Ya Marsha ...?! " sahut Dimas, penuh rasa rindu dan kecemasan. "Mas Dimas, Marsha saat ini berada di kediaman Leonard di Washington. Marsha baik-baik saja disini Mas Dimas," ucap Marsha serak. Dia tahu Dimas sangat mencemaskan dirinya. "Syukurlah Marsha. Tenanglah, sesegera mungkin aku akan menjemputmu pulang ke Indonesia. Aku sedang mempersiapkan visa untuk ke sana bersama Mas Bara," ucap Dimas, ingin menenangkan Marsha disana. "Maaf Mas Dimas, sepertinya itu tak perlu Mas lakukan. Karena Marsha disini sudah berkomitmen dengan Leonard. Hal ini benar-benar diluar dugaan Marsha Mas Dimas," ucap Marsha penuh rasa sesal. Karena mau tak mau, dia harus mengatakan hal yang pasti menyakitkan hati Dimas. "Apa maksudmu Marsha..?! Komitmen dengan Leonard..?" Dimas ber