"Biadab..! Klaangkh..!!"Dua jeruji besi sel patah terkena hantaman sisi telapak tangan Bara. Dia marah mendengar aturan pertarungan 'biadab' dalam kompetisi antar penguasa blok penjara kota itu."Hahhh..!!" kembali seruan ngeri terdengar kali ini tidak hanya rekan satu selnya saja, bahkan Paul dan empat rekan satu selnya yang melihat ikut pula berseru kaget.Dua buah jeruji berbahan dasar besi baja berdiameter 24 mm patah hanya dengan sekali hantam, hati siapa yang tak jerih.Beruntunglah saat itu tak ada sipir yang berjaga dan masuk ke Gang 5. Paul pun segera ikut masuk ke dalam sel mereka,"Ada apa bos..?" tanyanya pada Bara."Sekarang aku mau tanya! Apa yang di dapatkan pemenang pertarungan itu Jarot, Paul..?!" seru Bara pada Jarot dan Paul, yang di anggapnya paling mengetahui mengenai 'kompetisi gelap' itu."Pemenang di kompetisi antar penguasa gang sel menjadi penguasa blok D mendapatkan sel dengan fasilitas khusus Bos. Kamar mandi dalam dan makanan enak diantar 3 kali sehari, T
Plakk..!"Jangan pernah menangis di depanku 'Tinju Neraka'..!" seru Damarjati tegas."Siap! Panglima..!" seru Tedjo.Panglima Naga Emas berbalik hendak berlalu, meninggalkan kenangan manis dan pahitnya selama menjadi komandan Pasukan Luar Biasa. Surat pengunduran dirinya secara rahasia telah tertulis dan dikirimkan pada atasannya dan telah disetujui. Dan hanya pada bawahan kesayangannya saja dia berpamit, pada Tedjo!Baru dua langkah Damarjati melangkah, saat pelukkan dari belakang datang begitu erat."Selamat jalan Panglimaku! Bawalah rasa hormatku seumur hidupmu," seru Tedjo lirih. Dia merasa sedih sekali, karena dia belum lagi membayar 'hutang nyawanya' pada Damarjati.Damarjati perlahan melepas pelukkan tangan anak buah kepercayaannya itu tanpa menoleh,"Jaga saja keturunanku nanti jika mereka sudah di sini Tedjo," ucap Damarjati, lalu kembali melangkah tegap meninggalkan markas rahasia Pasukan Luar Biasa untuk selamanya. Entah Tedjo mengetahui atau tidak, betapa mata sang Panglim
'Aneh, semoga saja ini pertanda putriku sudah bisa move on dari pemuda brengsek itu', bathin Sofia berharap. "Baguslah kalau begitu Resti sayang," ucap Sofia tersenyum senang. Resti sarapan dengan lahap, seolah ingin menebus sikap susah makannya akhir-akhir ini. Harapan akan kembalinya dia menjalin kasih kembali dengan Bara, membuat semangat hidupnya kembali berdenyut normal. Wajahnya pun berangsur telah kembali cerah ceria, hal yang menambah menguarnya kecantikkan gadis itu. "Resti, syukurlah kau sudah kembali ceria. Semoga kau sudah sadar, tak ada gunanya lagi memikirkan pemuda masa depan suram seperti Bara," ucap sang ayah, yang muncul di meja makan hendak sarapan. 'Degh!' hati Resti tersentil pernya, mendengar ucapan ayahnya.Namun dia menahan dirinya agar tak meledak, karena dia tahu hal itu bisa memperburuk keadaan dan keleluasaannya keluar dari rumah nantinya. Hanya saja ekspresi ketidaksukaan nampak jelas di wajahnya. Resti hanya diam dan mempercepat sarapannya. 'Biarla
"Hai Bang Nero, kemarilah," panggil si pria perlente itu seraya tersenyum ramah.Nero tak merasa kenal dengan pria perlente setengah baya itu, namun dia beranjak mendekatinya dan langsung duduk semeja dengannya."Siapa kau..?" tanya Nero dingin."Aku Donny, Nero. Kau memang tak mengenalku, namun aku sangat mengenalmu dan keluargamu," sahut Donny tersenyum."Nero. Apakah kau tak ingin memberikan kebahagiaan pada putramu yang kini diasuh oleh orangtuamu..?" tanya Donny berbisik."K-kau.. ! Dari mana kau tahu soal anakku?!" seru Nero berbisik mengancam Donny.Ya, pasca perceraiannya dengan istrinya, anaknya memang memilih tinggal bersama kedua orangtuanya. Namun kedua orangtuanya menganggap Nero sudah mati. Mereka bersedia dan senang hati mengurus cucunya itu. Tapi tidak dengan Nero..!Karena kasus Nero adalah 'membunuh' semua keluarga pamannya sendiri yang berjumlah 5 orang, tanpa berkedip dan rasa penyesalan sedikitpun di hatinya. Demi memperoleh bagian dari warisan tanah dan rumah alm
"Kau tak apa-apa David..?!" seru Didin yang kebetulan sedang berada di sekitar tempat itu, dia pun sempat melihat duel satu babak antara David dan Nero.Mata Didin terbelalak kaget dan kagum, saat melihat David bisa mengimbangi duel dengan Nero penguasa Gang Kakap.'Ahh..! Gang Teri sepertinya sekarang sudah berubah jadi Gang Hiu..!' seru bathinnya bersorak gembira."Aku tak apa-apa Din, ikut aku ke taman yuk. Bara dan Jarot di sana," sahut David sambil mengajak Didin ikut serta.Akhirnya mereka pun berjalan bersama menuju taman, diiringi pandangan beberapa napi yang kini nampak jerih pada David.Ya, mulai tertanam sudah di benak para napi di Gang Tengah maupun Gang Kakap, bahwa mereka kini sudah 'tak bisa' lagi semena-mena pada para napi dari Gang Teri. Pamor Gang Teri pun mulai menanjak tinggi di mata mereka,'Baru napi biasa saja sudah bisa mengimbangi Nero. Bagaimana dengan penguasa Gang Terinya..? Mengerikkan..!' bathin mereka gentar.Sesampainya mereka di taman, nampak Bara dan
Tuttt ... tuttt ... tuttt!Klikh!"Pagi Resti." "Kau sudah siap Vina..?" tanya Resti, hatinya sedikit berdebar karena ini adalah hari pergerakkan mereka berdua minggat dari rumah."Ok Resti, aku siap. Siapkan saja semua yang perlu kaubawa Resti.""Beres Vin. Kita akan langsung ke Bank menarik tunai 40% dari limit kartu kredit kita, mengucapkan pesan pada orangtua via chat, lalu langsung reset ponsel dan ganti nomor."Resti mengatakan kembali detail rencana mereka berdua."Ok. Selanjutnya kita akan mengontrak sebuah apartemen di daerah Bintaro saja Resti."Ujar Revina menambahkan."Baik Vina, kita bertemu di Bank satu jam lagi ya.""Ok Resti. Klik."Revina memandang ranselnya yang cukup penuh kali ini. Semua berkas penting, perhiasannya, dan beberapa stel pakaian telah termuat rapih di dalamnya.Mereka sepakat meninggalkan mobil mereka, dan menggunakan grab menuju bank tempat pertemuan mereka. Karena kebetulan kartu kredit precious mereka dari bank yang sama.'Maafkan Vina Mah, Pah. K
"SalaM Paman Tedjo. Lama tak bertemu," sapa Marini tersenyum haru. Dia mengenal orang kepercayaan mendiang ayahnya ini dengan sangat baik.Marini sendiri juga bisa merasakan ketulusan dan kesetiaanTedjo pada ayahnya sejak dulu, saat dia masih tinggal di rumah ini."Baik Marini. Silahkan masuklah dulu ke dalam. Pastinya kau lelah," ucap Tedjo tersenyum sambil mempersilahkan Marini berjalan ke arah pintu rumah. Di ambil alihnya tas agak besar Marini untuk dibawakannya.Sesampainya mereka di depan pintu, Tedjo segera mengeluarkan sebuah gantungan kunci dengan beberapa anak kunci di dalamnya."Marini. Terimalah hakmu ini. Sudah lama Paman menunggumu dan anakmu kembali ke rumah ini. Masuklah, Paman ada di rumah depan itu ya," ucap Tedjo sambil menyerahkan kunci itu."Terimakasih Paman Tedjo," Marini berkata dengan penuh rasa terimakasih.Klek..! Marini membuka pintu rumah itu. Beribu kenangan pun berlintasan di benaknya, saat dia mulai masuk ke dalamnya, sambil memandangi sudut demi sudut
"Baik," sahut Bara sambil beranjak berdiri, lalu melangkah menuju ke ruang kunjungan mengikuti sang petugas."Silahkan itu tamunya," ucap sang petugas, sambil menunjuk seorang pria paruh baya perlente yang berada di dalam ruang kunjungan.'Degh..!''Pak Rudi! ada apa dia mengunjungiku..?' bathin Bara terkejut dan bertanya-tanya."Siang pak Rudi," ucap Bara sopan.Rudi Handoko tak menjawab sapaan Bara, matanya tajam menatap sinis bercampur jijik pada Bara."Bara..! Aku tak banyak waktu untuk bicara denganmu. Katakan saja apa kau mengetahui keberadaan Resti..?!" seru Rudi ketus dan langsung ke point maksud kedatangannya."Lho..! Memangnya ada apa dengan Resti Pak..?" seru Bara kaget.Dia sama sekali tak mengerti kenapa ayah Resti bertanya seperti itu padanya. Namun hatinya menyimpulkan bahwa Resti telah minggat dari rumahnya.Rudi menatap tajam menyelidik pada ekspresi Bara,'Huhh..! Sepertinya pemuda brengsek ini juga tak tahu', sungut bathinnya kesal, namun dia juga diliputi kebingung