"Maaf, malam-malam mengganggu waktu istirahatmu."
"Sama sekali nggak ganggu. Aku malah senang kamu menghubungiku lebih dulu dari orang lain.""Masuk dulu, yuk."Mereka meninggalkan lantai basement menuju apartemen Rena. Pintu lift terbuka ketika layar menunjuk lantai dua puluh lima.Sepasang kekasih yang tampak mesra masuk ke dalam ruang kecil lift itu. Rena terkejut melihat sosok yang akrab di matanya."Mas... Dhani?"Dhani yang tengah merangkul mesra seorang wanita buru-buru melepas tangan. Seolah ia baru saja kedapatan selingkuh di depan istrinya. Sejenak lupa ia telah bercerai dengan Rena."Siapa, Ren?" tanya Felix penasaran."Rena... Ngapain kamu di sini?" Dhani kembali memeluk kekasihnya dengan bangga saat tersadar."Aku tinggal di sini," jawab Rena singkat dan acuh.Rena membuang muka lalu kembali bercakap-cakap dengan Felix. Ia memasang mimik ceria ketika Felix melontarkan lelucon-leluconnya. Meskipun perasaannya campur aduk melihat maSudah beberapa minggu Rena tak berjumpa dengan Bagas. Hari saat Rena kecelakaan, Ambar menggantikan pekerjaan Rena. Setelah itu, Bagas kembali ditugaskan ke luar kota. Pria itu hanya mengirim pesan singkat yang benar-benar singkat.Cepat sembuh. Hanya itu saja.Rena berulang kali menyapa dan bertanya kabar lewat pesan tapi Bagas tak menanggapi. Sang pengacara pun tak pernah mengangkat teleponnya.Rena merasa Bagas menghindarinya. Entah apa sebabnya, Rena tak bisa menemukan jawaban pasti.Dan hari ini, ia akan bertemu lagi dengan Bagas untuk urusan pekerjaan. Rena merasa sedikit gugup sekaligus canggung. "Tapi kenapa Mas Bagas bisa ikut perwakilan Volker Corp? Masa perusahaan sebesar itu nggak punya ahli hukum sendiri?""Ha? Aku kira kamu dekat dengan Bagas, Ren. Dia kan memang kerja di perusahaan inti Volker Corp, bukan anak cabang. Dia itu juga tangan kanan si breng- si Billy.""Serius? Kok kamu nggak pernah bilang, Sis?""Aku pikir kamu sudah
Bagas tak kuasa menahan tawa. Ia buru-buru menutup mulut dengan tangan yang mengepal. "Maaf. Aku nggak tahu kalau suami juga bisa dicuri."Roman muka Bagas berubah seketika. Ia terperangah sembari menunjuk Rena dan Dhani bergantian. "Jangan-jangan..." Rena mengangguk.Wajah Sarah merah padam. "Hati orang itu bukan barang. Mana ada dicuri! Yang ada, hati orang akan berubah karena hidup bersama dengan perempuan membosankan."Dhani memijat pelipisnya, "Sudah, Sayang. Dan kamu Rena, aku pernah bilang jangan seenaknya ngatain orang, bukan!""Siapa yang ngatain? Memang benar suamiku dulu dicuri cewek binal. Ya mana betah denganku yang biasa-biasa saja. Aku mana mau lihatin milikku ke lelaki beristri," cibir Rena."Kamu..."Dua sekuriti datang menghentikan pertengkaran mereka. "Nah, Bapak ini juga melihat rekaman tadi!" Sarah murka."Benar, saya juga melihatnya.""Panggil polisi saja, Pak! Tadi saya kasihan dengan cewek ini. Tapi dia malah menghina saya!"
Gara-gara sopir baru keluarga Volker, Rena harus memutar jauh untuk memasuki jalan yang menuju gedung pesta. Padahal sudah jelas dalam penunjuk arah, salah satu jalan menuju gedung utama, sedangkan jalan yang sekarang dilalui Rena menuju halaman depan.Untuk memutar jalan searah itu, mereka harus kembali dari semula. Dan itu akan memakan waktu cukup lama. Si sopir memohon untuk memutar tapi polisi yang mengamankan area tak mengizinkan."Aduh, bagaimana ini? Tuan Muda pasti akan langsung memecat saya!""Aku turun di sini saja. Kamu telepon Billy kalau aku yang salah mengarahkan jalan. Dia nggak akan memecatmu. Tenang lah.""Baik, Nona. Sungguh tidak apa-apa kalau saya bilang seperti itu?""Iya... Iya..."Dan sampai juga Rena di situasi yang tak menyenangkan. Rupanya para karyawan biasa yang diundang menggunakan pakaian berbeda dengan tamu di dalam."Siapa sih? Ngaco banget pakai gaun!" cibir seorang wanita.Bahkan pria yang sempat mengagumi Rena p
Rena menahan nafas mendengar lamaran Billy. Di depan orang-orang ia tak mungkin mempermalukan Tuan Muda yang dihormati itu dengan menolaknya. Akan tetapi, Rena tak bisa menerima begitu saja.Rena melirik Aurora untuk meminta pertolongan. Tapi ibu Billy itu hanya memalingkan muka. Sementara sang ayah hanya tersenyum sambil mengangguk-angguk.Dalam hati Rena berseru, "Angguk-angguk maksudnya aku harus jawab 'iya', begitu?! Yang benar saja! Menikah itu bukan permainan!"Suasana dalam dan luar ruangan hening menanti jawaban Rena. Ia bahkan bisa mendengar suara degub jantungnya sendiri. Sementara Billy terlihat penuh kemenangan.Pria itu sengaja mengambil kesempatan agar Rena tak bisa menolaknya. Ia sadar bahwa dirinya egois tapi mendapatkan Rena merupakan tujuan sejak lama."Aku... Ak-" Nafas Rena tercekat dalam tenggorokan."Kamu ini! Tunangan dulu barang seminggu atau dua minggu. Kalau mau melamar, kita harus membuat pesta yang lebih meriah dari ini!" Thom
Rambut coklat muda dengan gaya comma hair. Warna mata hijau zamrud dan sedikit lesung di pipi. Pria blasteran tinggi itu memamerkan senyum menawan di ambang pintu.Tiga wanita yang sedang asik berbincang tiba-tiba terdiam. Mereka mempunyai pikiran yang hampir sama saat pria itu hadir. "Apa dia seorang aktor? Tampan sekali...""Oh, ada tamu. Kita keluar dulu, Sis." Rena menarik Ambar yang masih terpukau. Jarang-jarang Ambar bereaksi seperti itu."Apa saya mengganggu?""Tidak, tidak. Ren, kamu tinggal di sini dulu. Beliau akan membuat kontrak dengan kita. Silakan masuk, Pak."Siska berbisik pada Rena, "Aku pernah bertemu dengannya tapi tetap nggak terbiasa dengan wajahnya. Kamu yang mengurus semua ya. Aku pergi dulu."Siska kabur setelah berpamitan singkat. Rena hanya bisa pasrah dan berusaha melakukan tugasnya dengan benar. Walaupun agak sulit karena ketampanan pria itu memecah konsentrasinya."Saya Joshua Gavin. Rena bisa panggil saya Joshua atau Josh. Jangan panggil saya Pak karena k
Setiap kali Billy memukul Joshua, sosok itu terbayang dalam benaknya. Wanita yang pernah mengisi hari-harinya dengan cinta yang tak pernah bisa ia balas."Cukup!" suara Rena menyadarkan Billy.Kepalan tangan Billy otomatis berhenti ketika Rena meringkuk di atas kepala Joshua dengan posisi terbalik. Hal gila yang pernah Rena lakukan sepanjang hidupnya.Ia berdebar kencang. Entah karena takut Billy tetap akan melayangkan pukulan. Atau karena wajah Joshua yang hanya berjarak satu senti darinya.Dan ia bahkan bisa merasakan nafas panas pria itu. Mencium aroma mint bercampur darah dari hembusan nafasnya."Minggir." Billy menarik bagian belakang kemeja Rena. Namun Rena berusaha tetap diam di tempat. "Kamu mau membelanya?"Rena mendongak ke arah Billy sembari masih melindungi Joshua. "Kamu... Kalau nggak mau berhenti, aku juga nggak akan minggir dari sini!"Kali ini Billy bangkit lalu menyeret Rena menjauh dari Joshua. Sementara Joshua masih tertegun oleh kejadi
Rasa takut Rena menghilang biarpun hanya ada cahaya senter dari ponselnya di gedung kosong itu. Rena berlari menaiki anak tangga satu demi satu.Nafasnya tersengal-sengal ketika ia berhasil sampai di lantai ke tiga. Ia memutar berulang kali untuk mencari Billy. Namun ia tak berhasil menemukannya."Apa dia sedang mengerjaiku? Jangan-jangan dia cuma mau balas dendam padaku!"Karena tahu ia sendirian di tempat itu, rasa takut kembali menjalar. Ia buru-buru berbalik tapi kehilangan arah jalan kembali. Rena semakin panik melihat baterai ponselnya hanya tinggal sepuluh persen.Ia menekan nomor Billy dengan kalap namun tak ada sahutan. Sementara itu, ia mendengar getaran ponsel di suatu tempat yang tak jauh dari posisinya sekarang.Rena mencari arah suara itu sambil masih menghubungi nomor Billy. Dan benar saja, pria itu tengah meringkuk di bangku dekat palang pembatas."Kenapa kamu sampai seperti ini?"Tak ada sahutan, Rena mendekat dan menggoyang-goyangka
"Sabar Ren. Kata Jefri dia cuma teman Billy." Ambar menenangkan sambil menepuk punggung tangan Rena yang mengeras.Tanpa sadar Rena meremas kertas polos di atas mejanya sampai kusut. Ia pura-pura seolah tak memedulikan kegiatan wanita dan pria dalam satu ruangan tertutup itu."Apa sih? Ini sudah nggak dipakai."Ambar terkekeh, "Itu kertas baru, Ren.""Ini tadi kotor banyak debunya!" Rena membuang kertas itu."Ya, ya. Terserah." Ambar masih tertawa.Beberapa saat kemudian ponselnya bergetar. Ia meremas ponselnya setelah membaca pesan dari Aurora.[Nanti akan ada perempuan yang datang bertemu dengan Billy. Namanya Gladis Wijaya. Tolong perlakukan dia dengan baik, sebab dia perempuan yang aku pilih untuk menikah dengan Billy. Dia sudah aku beri tahu hubungan palsu kalian. Aku harap kamu nggak membuatnya cemburu karena dekat-dekat dengan Billy.]Hati Rena memanas. "Terserah... Bodo amat!""Kenapa lagi, Ren? Kalau penasaran masuk saja," ujar Ambar samb
"Nggak... Itu nggak mungkin.""Apanya yang nggak mungkin? Kenapa kamu ke sini?""Aku pikir ada masalah karena Billy meliburkan semua orang. Ternyata bukan hanya masalah. Tetapi masalah besar!" Kilatan di mata Aurora berubah. Ia bukan orang bodoh yang tak tahu situasi."Mama? Kenapa Mama ada di sini?" Billy muncul dari pintu."Kamu juga ada di sini? Jangan bilang... Kamu nggak mengejar Rena lagi karena...." Aurora kehilangan kata-kata."Apa yang mau Mama katakan?""Nggak, itu nggak mungkin." Aurora menggeleng-geleng tak percaya.Ingatan Aurora kembali ke malam itu. Ketika ia menemui Widya untuk mengatakan jika ia telah memenangkan David.Widya tengah menunggu di seberang jalan stasiun yang saat itu belum begitu ramai. Wanita itu terkejut melihatnya alih-alih David yang telah lama dinanti."Mau apa kamu ke sini, Aurora?""Untuk membayar kesalahan suamiku padamu.""Apa maksudmu?""David nggak akan pernah kembali padamu, Widya. Dia nggak akan mau meninggalkan semua fasilitas yang ia milik
Rena gemetaran dalam dekapan Joshua di sampingnya. Ia takut menunggu reaksi ayah kandungnya.David hanya membuka mulut tak begitu percaya kata-kata Billy. Kemudian Billy menyodorkan hasil tes DNA yang diberikan Oliver saat di pulau waktu itu.Semua orang bisa tahu, Billy lah yang meremas-remas kertas itu sampai kusut dan sobek di beberapa bagian. Untungnya, hasil tes DNA masih bisa terbaca.Probabilitas David Ethan sebagai ayah biologis dari Renata Cahyani adalah 99,999%."A-apakah ini nyata?" David berdiri sambil memandangi Rena."Si tua Oliver itu yang melakukan tes DNA diam-diam. Nggak tahu dapat sampel dari mana."Air mata David kembali meleleh. "Kamu... Rena... Kamu anakku dan Widya? Oh Tuhan, ini pasti keajaiban!" David bersimpuh seperti orang yang sedang berdoa.Reaksi David membuat hati Rena bergejolak. Ia menyembunyikan wajah ke dalam jaket suaminya. Ada rasa senang sekaligus malu."Jadi... Bayi ini cucuku?""Iya, Pa. Tadinya dia akan menjadi anak tiriku, ternyata malah jadi
"Papa menyesal selama ini hanya diam saja, sedangkan papa tahu semua perbuatan burukmu." Mata David berkaca-kaca. "Papa merasa gagal sebagai seorang ayah. Maafkan papa, Bill."Mulut Billy sedikit terbuka, hampir mengucap sesuatu. Tapi David lebih cepat memotongnya."Papa tahu perbuatanmu dan Aurora demi untuk mendapatkan keinginan kalian. Tapi ini nggak benar, Billy. Belum ada sejarahnya seorang pria di keluarga kita menjadi suami kedua."Billy terkekeh-kekeh. "Aku hampir tergoda dengan usulmu, Pa.""Maaf, mengecewakan, Om. Tapi saya nggak akan pernah rela membagi istri saya dengan lelaki lain," tegas Joshua."Lalu..."Rena segera memotongnya, "Mari kita selesaikan makanannya dulu. Setelah ini baru bicara."Tiga puluh menit kemudian, di atas meja makan hanya tersisa minuman. Tak ada salah satu dari mereka yang memulai pembicaraan.Suara khas bayi milik Ethan dari dalam kereta dorong bayi memecah keheningan. Joshua menirukan suara anaknya. Lagi-lagi sibuk memeriksa gigi Ethan dan tak m
Joshua mencengkeram kemudi dengan erat ketika melihat istrinya memeluk pria lain. Meskipun tahu siapa Billy bagi istrinya."Ah, bikin nggak tenang."Joshua membanting pintu mobil dengan kencang. Ia pun berjalan menghampiri mereka berdua yang tak sadar oleh kehadirannya.Setelah mendengar pengakuan Billy dan Rena, Joshua mundur teratur agar tak ketahuan mencuri dengar. Ia menyesal sudah marah-marah dan curiga berlebihan."Mereka lagi shooting sinetron? Mantan pacarku tercinta ternyata anak kandung Papaku?" Joshua terkekeh oleh leluconnya sendiri."Itu sama sekali nggak lucu, Josh! Istrimu sedang sedih!" Ia membentak dirinya sendiri.Sementara itu, Rena tengah menyeka air mata Billy. "Sudah, jangan menangis lagi.""Apa yang kamu inginkan sekarang, Rena?""Maksudmu? Tentang apa?""Mamaku. Dia yang sudah...""Aku nggak tahu, Bill. Aku marah sekali waktu tahu ibuku meninggal karena mamamu. Aku bahkan belum pernah bertemu dengannya dan memanggilnya ibu." Rena kembali terisak."Katanya janga
Tangan Rena bergetar hebat dan hampir menjatuhkan satu ikat kertas di tangannya. Joshua sigap menggenggam kedua tangan istrinya."I- ini... I -ini pasti salah. Nggak mungkin mereka orang tuaku, Josh!""Shhh, shhh... Mau dibaca dulu keterangan di belakangnya? Haruskah aku yang membacakannya untukmu?"Rena mengangguk.Joshua mengambil kertas itu dengan posisi duduk yang masih sama. Membalik foto pernikahan Aurora dan David, lalu mulai membaca isi dalam dokumen itu."Nama ayah kandungmu David Ethan dan nama ibumu Widya Cahyani."Rena membungkam mulut dengan kedua tangannya sendiri. "Apa ibuku...." Rena terisak."25 tahun yang lalu, David melayangkan gugatan perceraian kepada Aurora. Karena David mengetahui perselingkuhan Aurora dengan..." Joshua tiba-tiba mengumpat."Dengan siapa, Josh?""Aditya Wijaya, ayah Gladis."Rena menatap sang suami tak percaya."Sejak itu, David sering tak pulang. Dia bahkan membeli rumah sendiri. Dan selama satu tahun, David diam-diam berhubungan dengan Widya,
Di ruang keluarga Gavin, para anggota keluarga masih berbincang-bincang. Kemudian mereka dikejutkan oleh kedatangan seseorang yang tak terduga."Aurora Volker! Bagaimana dia bisa masuk ke sini?!" Teriak James."Aku nggak pernah mengundangmu ke rumahku, Nyonya Volker," kata Peter."Aku yang menyuruhnya datang!" Seruan Oliver membuat semua orang terdiam. "Ikut aku, Nyonya Volker."Aurora membuntuti Oliver ke arah ruang kerja Peter. Wanita itu sama sekali tak memandang satu pun anggota keluarga Gavin yang lain. Jika bukan karena Oliver memiliki kartunya, mana sudi ia menginjakkan kaki di tempat ini."Langsung saja, katakan apa yang ingin Anda sampaikan," kata Aurora dengan sikap menantang."Kamu memang Volker sejati. Nggak terlihat gentar walaupun dalam hati ketakutan." Oliver terkekeh-kekeh."Aku sibuk, Tuan Besar Gavin. Kalau hanya mau basa basi, bilang saja ke sekretarisku.""Baik, baik." Oliver duduk berhadapan dengan Aurora. "Aku sudah memberi tahu Billy Volker tentang rahasiamu.""
Meskipun hari mulai gelap, para tamu masih memenuhi hotel. Tempat acara diperluas sampai ke dalam karena semakin banyak tamu yang datang. Sebab beberapa orang mendapat undangan di jam yang berbeda.Di sebuah layar di dalam hotel, rekaman Joshua dan Rena tadi diputar berulang-ulang. Orang yang baru datang pun bisa tahu acara yang sesungguhnya bukan hanya ulang tahun perusahaan.Rena dan Joshua duduk di sofa paling depan. Memberi salam dan berjabat tangan dengan para tamu silih berganti. Seperti pengantin baru pada umumnya.Kelompok yang pernah bertemu Rena di bar dulu ikut bergabung. Berfoto-foto lalu mengobrol seru."Ya ampun, aku nggak pernah menyangka kamu mau sama dia, Ren!""Iya, astaga! Kasihan sekali hidupmu!""Kalian mau dipecat, hah?!" Sentak Joshua.Para pria dan wanita itu cukup dekat dan terbiasa bersikap kurang ajar pada atasannya di luar kantor. Tapi mereka cukup sopan dan tahu posisi masing-masing saat bekerja.Mereka terus saja menggoda Joshua sampai wajah suami Rena it
Seminggu berlalu, pesta pun tiba. Hari ini tepat satu tahun ulang tahun pernikahan Rena dan Joshua. Sekaligus merayakan kelahiran Ethan meskipun telah 3 bulan berlalu.Acara diselenggarakan di halaman belakang Hotel Gavin sore ini. Para tamu undangan telah memenuhi area hotel.Oliver dan para tetua Gavin yang memasuki area diiringi tepuk tangan para undangan. Banyak karyawan yang belum tahu sosok Oliver Gavin itu. Sebab Oliver jarang sekali keluar pulau."Wah, kakeknya Pak Josh tampan sekali," ujar Cynthia."Betul... betul... Aku mau tuh jadi istri kedua," tukas wanita lainnya."Itu Alexa ada di belakang mereka. Dengar-dengar acara ini juga untuk merayakan pesta cucunya. Jangan-jangan beneran tuh Pak Josh mau menikah dengan Alexa."Sabrina mengerutkan kening tak suka. "Aku nggak pernah dengar tuh. Lagi pula di undangan cuma merayakan hari jadi Gavin Corp saja. Jangan banyak gosip kalian!""Eciee, yang tiap hari masakin calon suami," goda Ririn, teman Sabrina.Karyawati di Gavin Corp t
"Kamu mau bilang dia istrimu?""Siapa lagi kalau bukan dia?""Jangan gila, Josh! Tadi bilang kalau kamu tahu aku mau ke sini, bukan?""Aku bilang, mungkin tahu tujuanmu ke sini. Mana aku tahu kamu mau datang.""Nggak, nggak. Aku yakin kamu tahu. Lalu kamu mau membuatku cemburu dengan pura-pura tidur dengan perempuan ini, bukan?"Joshua menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Ia sudah berusaha menjelaskan sebaik mungkin tapi lawan bicaranya tak juga mengerti."Jawab, Josh!""Kamu tunggu di luar saja. Aku mau pakai baju dulu."Alexa menangis tapi Ethan menangis lebih keras. "B- bayi siapa itu?""Itu anakku, Lexa."Rena membuai tempat tidur Ethan tapi ia terus menangis keras. Disusui pun tak mau.Rena bisa melihat Alexa terus menangis sambil menatap dirinya. Ia pun menuju ke arahnya. Memamerkan muka Ethan agar Alexa tahu bahwa Joshua tak bohong. Alexa menyumpal mulutnya ketika menatap Ethan."Gendong dia, Josh. Aku pusing," perintah Rena."Sebentar, Mamah. Aku pakai baju dulu." Joshua