Bagas tak kuasa menahan tawa. Ia buru-buru menutup mulut dengan tangan yang mengepal. "Maaf. Aku nggak tahu kalau suami juga bisa dicuri."Roman muka Bagas berubah seketika. Ia terperangah sembari menunjuk Rena dan Dhani bergantian. "Jangan-jangan..." Rena mengangguk.Wajah Sarah merah padam. "Hati orang itu bukan barang. Mana ada dicuri! Yang ada, hati orang akan berubah karena hidup bersama dengan perempuan membosankan."Dhani memijat pelipisnya, "Sudah, Sayang. Dan kamu Rena, aku pernah bilang jangan seenaknya ngatain orang, bukan!""Siapa yang ngatain? Memang benar suamiku dulu dicuri cewek binal. Ya mana betah denganku yang biasa-biasa saja. Aku mana mau lihatin milikku ke lelaki beristri," cibir Rena."Kamu..."Dua sekuriti datang menghentikan pertengkaran mereka. "Nah, Bapak ini juga melihat rekaman tadi!" Sarah murka."Benar, saya juga melihatnya.""Panggil polisi saja, Pak! Tadi saya kasihan dengan cewek ini. Tapi dia malah menghina saya!"
Gara-gara sopir baru keluarga Volker, Rena harus memutar jauh untuk memasuki jalan yang menuju gedung pesta. Padahal sudah jelas dalam penunjuk arah, salah satu jalan menuju gedung utama, sedangkan jalan yang sekarang dilalui Rena menuju halaman depan.Untuk memutar jalan searah itu, mereka harus kembali dari semula. Dan itu akan memakan waktu cukup lama. Si sopir memohon untuk memutar tapi polisi yang mengamankan area tak mengizinkan."Aduh, bagaimana ini? Tuan Muda pasti akan langsung memecat saya!""Aku turun di sini saja. Kamu telepon Billy kalau aku yang salah mengarahkan jalan. Dia nggak akan memecatmu. Tenang lah.""Baik, Nona. Sungguh tidak apa-apa kalau saya bilang seperti itu?""Iya... Iya..."Dan sampai juga Rena di situasi yang tak menyenangkan. Rupanya para karyawan biasa yang diundang menggunakan pakaian berbeda dengan tamu di dalam."Siapa sih? Ngaco banget pakai gaun!" cibir seorang wanita.Bahkan pria yang sempat mengagumi Rena p
Rena menahan nafas mendengar lamaran Billy. Di depan orang-orang ia tak mungkin mempermalukan Tuan Muda yang dihormati itu dengan menolaknya. Akan tetapi, Rena tak bisa menerima begitu saja.Rena melirik Aurora untuk meminta pertolongan. Tapi ibu Billy itu hanya memalingkan muka. Sementara sang ayah hanya tersenyum sambil mengangguk-angguk.Dalam hati Rena berseru, "Angguk-angguk maksudnya aku harus jawab 'iya', begitu?! Yang benar saja! Menikah itu bukan permainan!"Suasana dalam dan luar ruangan hening menanti jawaban Rena. Ia bahkan bisa mendengar suara degub jantungnya sendiri. Sementara Billy terlihat penuh kemenangan.Pria itu sengaja mengambil kesempatan agar Rena tak bisa menolaknya. Ia sadar bahwa dirinya egois tapi mendapatkan Rena merupakan tujuan sejak lama."Aku... Ak-" Nafas Rena tercekat dalam tenggorokan."Kamu ini! Tunangan dulu barang seminggu atau dua minggu. Kalau mau melamar, kita harus membuat pesta yang lebih meriah dari ini!" Thom
Rambut coklat muda dengan gaya comma hair. Warna mata hijau zamrud dan sedikit lesung di pipi. Pria blasteran tinggi itu memamerkan senyum menawan di ambang pintu.Tiga wanita yang sedang asik berbincang tiba-tiba terdiam. Mereka mempunyai pikiran yang hampir sama saat pria itu hadir. "Apa dia seorang aktor? Tampan sekali...""Oh, ada tamu. Kita keluar dulu, Sis." Rena menarik Ambar yang masih terpukau. Jarang-jarang Ambar bereaksi seperti itu."Apa saya mengganggu?""Tidak, tidak. Ren, kamu tinggal di sini dulu. Beliau akan membuat kontrak dengan kita. Silakan masuk, Pak."Siska berbisik pada Rena, "Aku pernah bertemu dengannya tapi tetap nggak terbiasa dengan wajahnya. Kamu yang mengurus semua ya. Aku pergi dulu."Siska kabur setelah berpamitan singkat. Rena hanya bisa pasrah dan berusaha melakukan tugasnya dengan benar. Walaupun agak sulit karena ketampanan pria itu memecah konsentrasinya."Saya Joshua Gavin. Rena bisa panggil saya Joshua atau Josh. Jangan panggil saya Pak karena k
Setiap kali Billy memukul Joshua, sosok itu terbayang dalam benaknya. Wanita yang pernah mengisi hari-harinya dengan cinta yang tak pernah bisa ia balas."Cukup!" suara Rena menyadarkan Billy.Kepalan tangan Billy otomatis berhenti ketika Rena meringkuk di atas kepala Joshua dengan posisi terbalik. Hal gila yang pernah Rena lakukan sepanjang hidupnya.Ia berdebar kencang. Entah karena takut Billy tetap akan melayangkan pukulan. Atau karena wajah Joshua yang hanya berjarak satu senti darinya.Dan ia bahkan bisa merasakan nafas panas pria itu. Mencium aroma mint bercampur darah dari hembusan nafasnya."Minggir." Billy menarik bagian belakang kemeja Rena. Namun Rena berusaha tetap diam di tempat. "Kamu mau membelanya?"Rena mendongak ke arah Billy sembari masih melindungi Joshua. "Kamu... Kalau nggak mau berhenti, aku juga nggak akan minggir dari sini!"Kali ini Billy bangkit lalu menyeret Rena menjauh dari Joshua. Sementara Joshua masih tertegun oleh kejadi
Rasa takut Rena menghilang biarpun hanya ada cahaya senter dari ponselnya di gedung kosong itu. Rena berlari menaiki anak tangga satu demi satu.Nafasnya tersengal-sengal ketika ia berhasil sampai di lantai ke tiga. Ia memutar berulang kali untuk mencari Billy. Namun ia tak berhasil menemukannya."Apa dia sedang mengerjaiku? Jangan-jangan dia cuma mau balas dendam padaku!"Karena tahu ia sendirian di tempat itu, rasa takut kembali menjalar. Ia buru-buru berbalik tapi kehilangan arah jalan kembali. Rena semakin panik melihat baterai ponselnya hanya tinggal sepuluh persen.Ia menekan nomor Billy dengan kalap namun tak ada sahutan. Sementara itu, ia mendengar getaran ponsel di suatu tempat yang tak jauh dari posisinya sekarang.Rena mencari arah suara itu sambil masih menghubungi nomor Billy. Dan benar saja, pria itu tengah meringkuk di bangku dekat palang pembatas."Kenapa kamu sampai seperti ini?"Tak ada sahutan, Rena mendekat dan menggoyang-goyangka
"Sabar Ren. Kata Jefri dia cuma teman Billy." Ambar menenangkan sambil menepuk punggung tangan Rena yang mengeras.Tanpa sadar Rena meremas kertas polos di atas mejanya sampai kusut. Ia pura-pura seolah tak memedulikan kegiatan wanita dan pria dalam satu ruangan tertutup itu."Apa sih? Ini sudah nggak dipakai."Ambar terkekeh, "Itu kertas baru, Ren.""Ini tadi kotor banyak debunya!" Rena membuang kertas itu."Ya, ya. Terserah." Ambar masih tertawa.Beberapa saat kemudian ponselnya bergetar. Ia meremas ponselnya setelah membaca pesan dari Aurora.[Nanti akan ada perempuan yang datang bertemu dengan Billy. Namanya Gladis Wijaya. Tolong perlakukan dia dengan baik, sebab dia perempuan yang aku pilih untuk menikah dengan Billy. Dia sudah aku beri tahu hubungan palsu kalian. Aku harap kamu nggak membuatnya cemburu karena dekat-dekat dengan Billy.]Hati Rena memanas. "Terserah... Bodo amat!""Kenapa lagi, Ren? Kalau penasaran masuk saja," ujar Ambar samb
"Perutku sakit sekali," keluh Rena."Salah sendiri minum alkohol! Kamu nggak ingat lambungmu sakit beberapa waktu yang lalu?" Felix menyodorkan air putih dan obat lambung."Aku lupa. Habisnya Joshua dan teman-temannya baik sekali, sih. Mereka mau mendengarkan keluh kesahku sepanjang malam."Felix menghela nafas. "Kamu kan bisa cerita sama aku, Ren. Sudah dibilang, kamu harus hati-hati sama Joshua. Dia itu baik di depan saja.""Ya mungkin sama kamu atau Billy saja dia seperti itu. Buktinya waktu aku nggak sengaja dengar obrolan teman-teman perempuan Billy, mereka sama sekali nggak menjelek-jelekkanku. Malahan mereka senang berkenalan denganku."Rena menambahkan, "Kamu nggak tahu, orang-orang biasanya menghinaku dari belakang. Tapi mereka beda! Mereka benar-benar baik padaku.""Kalau mereka memang baik, mereka nggak akan membiarkanmu minum sebanyak itu!""Oh, sebenarnya mereka sudah berusaha menghentikanku. Tapi aku yang mau karena baru pertama kali mencici