Setiap kali Billy memukul Joshua, sosok itu terbayang dalam benaknya. Wanita yang pernah mengisi hari-harinya dengan cinta yang tak pernah bisa ia balas.
"Cukup!" suara Rena menyadarkan Billy.Kepalan tangan Billy otomatis berhenti ketika Rena meringkuk di atas kepala Joshua dengan posisi terbalik. Hal gila yang pernah Rena lakukan sepanjang hidupnya.Ia berdebar kencang. Entah karena takut Billy tetap akan melayangkan pukulan. Atau karena wajah Joshua yang hanya berjarak satu senti darinya.Dan ia bahkan bisa merasakan nafas panas pria itu. Mencium aroma mint bercampur darah dari hembusan nafasnya."Minggir." Billy menarik bagian belakang kemeja Rena. Namun Rena berusaha tetap diam di tempat. "Kamu mau membelanya?"Rena mendongak ke arah Billy sembari masih melindungi Joshua. "Kamu... Kalau nggak mau berhenti, aku juga nggak akan minggir dari sini!"Kali ini Billy bangkit lalu menyeret Rena menjauh dari Joshua. Sementara Joshua masih tertegun oleh kejadiRasa takut Rena menghilang biarpun hanya ada cahaya senter dari ponselnya di gedung kosong itu. Rena berlari menaiki anak tangga satu demi satu.Nafasnya tersengal-sengal ketika ia berhasil sampai di lantai ke tiga. Ia memutar berulang kali untuk mencari Billy. Namun ia tak berhasil menemukannya."Apa dia sedang mengerjaiku? Jangan-jangan dia cuma mau balas dendam padaku!"Karena tahu ia sendirian di tempat itu, rasa takut kembali menjalar. Ia buru-buru berbalik tapi kehilangan arah jalan kembali. Rena semakin panik melihat baterai ponselnya hanya tinggal sepuluh persen.Ia menekan nomor Billy dengan kalap namun tak ada sahutan. Sementara itu, ia mendengar getaran ponsel di suatu tempat yang tak jauh dari posisinya sekarang.Rena mencari arah suara itu sambil masih menghubungi nomor Billy. Dan benar saja, pria itu tengah meringkuk di bangku dekat palang pembatas."Kenapa kamu sampai seperti ini?"Tak ada sahutan, Rena mendekat dan menggoyang-goyangka
"Sabar Ren. Kata Jefri dia cuma teman Billy." Ambar menenangkan sambil menepuk punggung tangan Rena yang mengeras.Tanpa sadar Rena meremas kertas polos di atas mejanya sampai kusut. Ia pura-pura seolah tak memedulikan kegiatan wanita dan pria dalam satu ruangan tertutup itu."Apa sih? Ini sudah nggak dipakai."Ambar terkekeh, "Itu kertas baru, Ren.""Ini tadi kotor banyak debunya!" Rena membuang kertas itu."Ya, ya. Terserah." Ambar masih tertawa.Beberapa saat kemudian ponselnya bergetar. Ia meremas ponselnya setelah membaca pesan dari Aurora.[Nanti akan ada perempuan yang datang bertemu dengan Billy. Namanya Gladis Wijaya. Tolong perlakukan dia dengan baik, sebab dia perempuan yang aku pilih untuk menikah dengan Billy. Dia sudah aku beri tahu hubungan palsu kalian. Aku harap kamu nggak membuatnya cemburu karena dekat-dekat dengan Billy.]Hati Rena memanas. "Terserah... Bodo amat!""Kenapa lagi, Ren? Kalau penasaran masuk saja," ujar Ambar samb
"Perutku sakit sekali," keluh Rena."Salah sendiri minum alkohol! Kamu nggak ingat lambungmu sakit beberapa waktu yang lalu?" Felix menyodorkan air putih dan obat lambung."Aku lupa. Habisnya Joshua dan teman-temannya baik sekali, sih. Mereka mau mendengarkan keluh kesahku sepanjang malam."Felix menghela nafas. "Kamu kan bisa cerita sama aku, Ren. Sudah dibilang, kamu harus hati-hati sama Joshua. Dia itu baik di depan saja.""Ya mungkin sama kamu atau Billy saja dia seperti itu. Buktinya waktu aku nggak sengaja dengar obrolan teman-teman perempuan Billy, mereka sama sekali nggak menjelek-jelekkanku. Malahan mereka senang berkenalan denganku."Rena menambahkan, "Kamu nggak tahu, orang-orang biasanya menghinaku dari belakang. Tapi mereka beda! Mereka benar-benar baik padaku.""Kalau mereka memang baik, mereka nggak akan membiarkanmu minum sebanyak itu!""Oh, sebenarnya mereka sudah berusaha menghentikanku. Tapi aku yang mau karena baru pertama kali mencici
Joshua menepuk punggung Rena. "Sudah, semua sudah berakhir. Hapus air matamu.""Aku nggak tahu apa yang akan terjadi kalau kamu nggak ada di sini." Rena menghapus air mata lalu kembali terisak.Siska menerobos masuk dan memeluk Rena. "Kamu nggak kenapa-napa, bukan?"Rena mengangguk."Aku sudah memanggil polisi. Kalau kamu nggak siap bersaksi, aku dan Josh yang akan mewakilimu.""Nggak, aku akan ke sana."Di koridor lantai itu orang-orang datang melihat dua polisi menyeret Dhani yang meronta sambil memaki. Sarah yang telah mendengar berita percobaan pemerkosaan ikut naik ke lantai atas tanpa tahu kekasihnya yang tengah diperbincangkan orang-orang.Kaki Sarah melemah ketika tahu Dhani orang yang dikabarkan akan memperkosa seorang wanita. Ketika Rena keluar dari kamar, ia roboh ke lantai."Nggak mungkin!" gumamnya.Sarah berlari melepaskan Dhani dari para polisi. "Ini pasti ada kesalah pahaman! Pasti janda itu yang menggoda mantan suaminya!"Poli
Di malam hari, mereka membuat api unggun di halaman belakang. Orang-orang tampak senang kecuali Rena. Ia hanya duduk di sudut kebun sendirian. Menyaksikan tunangan palsunya bercengkrama mesra dengan Gladis.Sudut mulutnya tertarik ke bawah lalu ia membenamkan wajahnya di antara ke dua lutut. "Kenapa denganku? Rasanya menyakitkan melihatnya tertawa dengan perempuan lain."Sesuatu yang dingin menyentuh kepalanya. Rena mendongak dan melihat Bagas duduk di sampingnya."Kamu kenapa menyendiri, Ren?" Bagas menyodorkan minuman kaleng dingin."Mas Bagas baru datang?""Iya, aku menyusul pakai mobil sendiri. Tadinya aku nggak mau ikut.""Kenapa berubah pikiran?""Hmm, karena aku tahu kamu akan sendirian. Aku datang untuk menemanimu.""Mas Bagas bisa saja!"Mereka berdua bercerita panjang lebar. Dari Bagas, Rena tahu jika benar Billy yang membeli rumahnya dulu. Dan karena tahu sang bos mendekatinya, Bagas tak berani lagi berada di sekitar Rena."Oh,
Cahaya terang menyambut Rena. Ia mengerjapkan mata untuk menyesuaikan indra penglihatannya.Suara asing seorang wanita menggelitik telinga, "Kakak, bangun! Kak Rena sudah siuman."Rena terkesiap mendapati Gladis berada satu ruangan bersamanya. Untuk apa Gladis menungguinya, tanyanya dalam hati.Rasa nyeri di luka tusukan itu menjalar ke hati. Tentu saja, Gladis pasti membuntuti Billy ke mana pun pria itu pergi. Karena Gladis lah sang tunangan asli, pikir Rena sedih.Gladis mengguncang punggung Billy yang tidur di pinggiran ranjang Rena. Mata Billy tampak kemerahan karena ia baru bisa terlelap sejak sejam yang lalu."Panggil dokter," perintah Billy tanpa melihat Gladis. Billy menggenggam erat tangan Rena. Memijat-mijat jari-jari lentik sang janda. Kemudiam mencium punggung telapak tangannya."Aku takut sekali kalau kamu nggak akan bangun lagi." Mata Billy berkaca-kaca."Aku nggak apa-apa. Kenapa kamu harus sekhawatir ini," kata Rena lemah."Gimana
Ujung mulut Billy melengkung ke atas. Lalu ia mulai terbahak-bahak."Apa ini semua lucu buatmu? Apa aku terlihat menggelikan jadi seperti boneka yang bisa kamu mainkan seenaknya?"Billy masih tak bisa berhenti tertawa. Bahkan sampai terbatuk-batuk saking gelinya."Pergi sana! Kita sudah sama-sama tahu. Kamu nggak perlu berakting lagi.""Rena Cahyani..." Billy mengeluarkan sesuatu dari saku. "Ini yang dulu belum sempat kamu terima." Ia menyodorkan kotak perhiasan kecil dengan cincin berlian di dalamnya."Lebih baik kamu menukarnya dengan uang tunai. Dengan senang hati aku akan menerima sebagai kompensasi. Orang-orang akan menghinaku karena dibuang oleh Billy Volker kelak." Rena melirik sinis.Belum sempat Billy berujar, Gladis sudah kembali ke ruangan. Wanita itu tampak berbinar-binar setelah bicara dengan Felix."Kak, bisakah aku pulang sekarang? Aku ada janji dengan seseorang.""Hmm? Oke." Billy menjawab tanpa menoleh ke belakang. Pandangannya tetap
"Kok sudah pulang? Billy masih di sana?" Aurora mengerutkan dahi.Gladis mengangguk kecil sambil menyuap es krim dalam porsi besar. Mulutnya terlalu penuh untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ibu angkatnya itu."Aku nggak mau jadi obat nyamuk di sana, Ma.""Kamu nggak bisa membiarkan mereka berduaan, Sayang." Aurora tampak cemas. Takut Billy semakin menyukai Rena."Aneh banget sih Mama. Kak Billy yang pacaran, ngapain Gladis disuruh ikut campur," sahut Bella, "Mama dari dulu nggak pernah berubah. Selalu membuat keputusan tanpa memedulikan perasaan orang lain."Bella menyerobot mangkuk es krim milik Gladis. Ia tak jadi menyuap es krim itu ketika sadar wajah ibunya menegang. Sifat dan temperamen ibu dan kakak laki-lakinya hampir sama, dan ia tak mau terus beradu mulut dengan kedua orang itu."Selamat diomelin," bisik Bella pada Gladis lalu meninggalkan mereka berdua di meja makan. Bella buru-buru kabur sebelum Aurora memarahinya.Seperti ucapan Bella, Auror
"Nggak... Itu nggak mungkin.""Apanya yang nggak mungkin? Kenapa kamu ke sini?""Aku pikir ada masalah karena Billy meliburkan semua orang. Ternyata bukan hanya masalah. Tetapi masalah besar!" Kilatan di mata Aurora berubah. Ia bukan orang bodoh yang tak tahu situasi."Mama? Kenapa Mama ada di sini?" Billy muncul dari pintu."Kamu juga ada di sini? Jangan bilang... Kamu nggak mengejar Rena lagi karena...." Aurora kehilangan kata-kata."Apa yang mau Mama katakan?""Nggak, itu nggak mungkin." Aurora menggeleng-geleng tak percaya.Ingatan Aurora kembali ke malam itu. Ketika ia menemui Widya untuk mengatakan jika ia telah memenangkan David.Widya tengah menunggu di seberang jalan stasiun yang saat itu belum begitu ramai. Wanita itu terkejut melihatnya alih-alih David yang telah lama dinanti."Mau apa kamu ke sini, Aurora?""Untuk membayar kesalahan suamiku padamu.""Apa maksudmu?""David nggak akan pernah kembali padamu, Widya. Dia nggak akan mau meninggalkan semua fasilitas yang ia milik
Rena gemetaran dalam dekapan Joshua di sampingnya. Ia takut menunggu reaksi ayah kandungnya.David hanya membuka mulut tak begitu percaya kata-kata Billy. Kemudian Billy menyodorkan hasil tes DNA yang diberikan Oliver saat di pulau waktu itu.Semua orang bisa tahu, Billy lah yang meremas-remas kertas itu sampai kusut dan sobek di beberapa bagian. Untungnya, hasil tes DNA masih bisa terbaca.Probabilitas David Ethan sebagai ayah biologis dari Renata Cahyani adalah 99,999%."A-apakah ini nyata?" David berdiri sambil memandangi Rena."Si tua Oliver itu yang melakukan tes DNA diam-diam. Nggak tahu dapat sampel dari mana."Air mata David kembali meleleh. "Kamu... Rena... Kamu anakku dan Widya? Oh Tuhan, ini pasti keajaiban!" David bersimpuh seperti orang yang sedang berdoa.Reaksi David membuat hati Rena bergejolak. Ia menyembunyikan wajah ke dalam jaket suaminya. Ada rasa senang sekaligus malu."Jadi... Bayi ini cucuku?""Iya, Pa. Tadinya dia akan menjadi anak tiriku, ternyata malah jadi
"Papa menyesal selama ini hanya diam saja, sedangkan papa tahu semua perbuatan burukmu." Mata David berkaca-kaca. "Papa merasa gagal sebagai seorang ayah. Maafkan papa, Bill."Mulut Billy sedikit terbuka, hampir mengucap sesuatu. Tapi David lebih cepat memotongnya."Papa tahu perbuatanmu dan Aurora demi untuk mendapatkan keinginan kalian. Tapi ini nggak benar, Billy. Belum ada sejarahnya seorang pria di keluarga kita menjadi suami kedua."Billy terkekeh-kekeh. "Aku hampir tergoda dengan usulmu, Pa.""Maaf, mengecewakan, Om. Tapi saya nggak akan pernah rela membagi istri saya dengan lelaki lain," tegas Joshua."Lalu..."Rena segera memotongnya, "Mari kita selesaikan makanannya dulu. Setelah ini baru bicara."Tiga puluh menit kemudian, di atas meja makan hanya tersisa minuman. Tak ada salah satu dari mereka yang memulai pembicaraan.Suara khas bayi milik Ethan dari dalam kereta dorong bayi memecah keheningan. Joshua menirukan suara anaknya. Lagi-lagi sibuk memeriksa gigi Ethan dan tak m
Joshua mencengkeram kemudi dengan erat ketika melihat istrinya memeluk pria lain. Meskipun tahu siapa Billy bagi istrinya."Ah, bikin nggak tenang."Joshua membanting pintu mobil dengan kencang. Ia pun berjalan menghampiri mereka berdua yang tak sadar oleh kehadirannya.Setelah mendengar pengakuan Billy dan Rena, Joshua mundur teratur agar tak ketahuan mencuri dengar. Ia menyesal sudah marah-marah dan curiga berlebihan."Mereka lagi shooting sinetron? Mantan pacarku tercinta ternyata anak kandung Papaku?" Joshua terkekeh oleh leluconnya sendiri."Itu sama sekali nggak lucu, Josh! Istrimu sedang sedih!" Ia membentak dirinya sendiri.Sementara itu, Rena tengah menyeka air mata Billy. "Sudah, jangan menangis lagi.""Apa yang kamu inginkan sekarang, Rena?""Maksudmu? Tentang apa?""Mamaku. Dia yang sudah...""Aku nggak tahu, Bill. Aku marah sekali waktu tahu ibuku meninggal karena mamamu. Aku bahkan belum pernah bertemu dengannya dan memanggilnya ibu." Rena kembali terisak."Katanya janga
Tangan Rena bergetar hebat dan hampir menjatuhkan satu ikat kertas di tangannya. Joshua sigap menggenggam kedua tangan istrinya."I- ini... I -ini pasti salah. Nggak mungkin mereka orang tuaku, Josh!""Shhh, shhh... Mau dibaca dulu keterangan di belakangnya? Haruskah aku yang membacakannya untukmu?"Rena mengangguk.Joshua mengambil kertas itu dengan posisi duduk yang masih sama. Membalik foto pernikahan Aurora dan David, lalu mulai membaca isi dalam dokumen itu."Nama ayah kandungmu David Ethan dan nama ibumu Widya Cahyani."Rena membungkam mulut dengan kedua tangannya sendiri. "Apa ibuku...." Rena terisak."25 tahun yang lalu, David melayangkan gugatan perceraian kepada Aurora. Karena David mengetahui perselingkuhan Aurora dengan..." Joshua tiba-tiba mengumpat."Dengan siapa, Josh?""Aditya Wijaya, ayah Gladis."Rena menatap sang suami tak percaya."Sejak itu, David sering tak pulang. Dia bahkan membeli rumah sendiri. Dan selama satu tahun, David diam-diam berhubungan dengan Widya,
Di ruang keluarga Gavin, para anggota keluarga masih berbincang-bincang. Kemudian mereka dikejutkan oleh kedatangan seseorang yang tak terduga."Aurora Volker! Bagaimana dia bisa masuk ke sini?!" Teriak James."Aku nggak pernah mengundangmu ke rumahku, Nyonya Volker," kata Peter."Aku yang menyuruhnya datang!" Seruan Oliver membuat semua orang terdiam. "Ikut aku, Nyonya Volker."Aurora membuntuti Oliver ke arah ruang kerja Peter. Wanita itu sama sekali tak memandang satu pun anggota keluarga Gavin yang lain. Jika bukan karena Oliver memiliki kartunya, mana sudi ia menginjakkan kaki di tempat ini."Langsung saja, katakan apa yang ingin Anda sampaikan," kata Aurora dengan sikap menantang."Kamu memang Volker sejati. Nggak terlihat gentar walaupun dalam hati ketakutan." Oliver terkekeh-kekeh."Aku sibuk, Tuan Besar Gavin. Kalau hanya mau basa basi, bilang saja ke sekretarisku.""Baik, baik." Oliver duduk berhadapan dengan Aurora. "Aku sudah memberi tahu Billy Volker tentang rahasiamu.""
Meskipun hari mulai gelap, para tamu masih memenuhi hotel. Tempat acara diperluas sampai ke dalam karena semakin banyak tamu yang datang. Sebab beberapa orang mendapat undangan di jam yang berbeda.Di sebuah layar di dalam hotel, rekaman Joshua dan Rena tadi diputar berulang-ulang. Orang yang baru datang pun bisa tahu acara yang sesungguhnya bukan hanya ulang tahun perusahaan.Rena dan Joshua duduk di sofa paling depan. Memberi salam dan berjabat tangan dengan para tamu silih berganti. Seperti pengantin baru pada umumnya.Kelompok yang pernah bertemu Rena di bar dulu ikut bergabung. Berfoto-foto lalu mengobrol seru."Ya ampun, aku nggak pernah menyangka kamu mau sama dia, Ren!""Iya, astaga! Kasihan sekali hidupmu!""Kalian mau dipecat, hah?!" Sentak Joshua.Para pria dan wanita itu cukup dekat dan terbiasa bersikap kurang ajar pada atasannya di luar kantor. Tapi mereka cukup sopan dan tahu posisi masing-masing saat bekerja.Mereka terus saja menggoda Joshua sampai wajah suami Rena it
Seminggu berlalu, pesta pun tiba. Hari ini tepat satu tahun ulang tahun pernikahan Rena dan Joshua. Sekaligus merayakan kelahiran Ethan meskipun telah 3 bulan berlalu.Acara diselenggarakan di halaman belakang Hotel Gavin sore ini. Para tamu undangan telah memenuhi area hotel.Oliver dan para tetua Gavin yang memasuki area diiringi tepuk tangan para undangan. Banyak karyawan yang belum tahu sosok Oliver Gavin itu. Sebab Oliver jarang sekali keluar pulau."Wah, kakeknya Pak Josh tampan sekali," ujar Cynthia."Betul... betul... Aku mau tuh jadi istri kedua," tukas wanita lainnya."Itu Alexa ada di belakang mereka. Dengar-dengar acara ini juga untuk merayakan pesta cucunya. Jangan-jangan beneran tuh Pak Josh mau menikah dengan Alexa."Sabrina mengerutkan kening tak suka. "Aku nggak pernah dengar tuh. Lagi pula di undangan cuma merayakan hari jadi Gavin Corp saja. Jangan banyak gosip kalian!""Eciee, yang tiap hari masakin calon suami," goda Ririn, teman Sabrina.Karyawati di Gavin Corp t
"Kamu mau bilang dia istrimu?""Siapa lagi kalau bukan dia?""Jangan gila, Josh! Tadi bilang kalau kamu tahu aku mau ke sini, bukan?""Aku bilang, mungkin tahu tujuanmu ke sini. Mana aku tahu kamu mau datang.""Nggak, nggak. Aku yakin kamu tahu. Lalu kamu mau membuatku cemburu dengan pura-pura tidur dengan perempuan ini, bukan?"Joshua menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Ia sudah berusaha menjelaskan sebaik mungkin tapi lawan bicaranya tak juga mengerti."Jawab, Josh!""Kamu tunggu di luar saja. Aku mau pakai baju dulu."Alexa menangis tapi Ethan menangis lebih keras. "B- bayi siapa itu?""Itu anakku, Lexa."Rena membuai tempat tidur Ethan tapi ia terus menangis keras. Disusui pun tak mau.Rena bisa melihat Alexa terus menangis sambil menatap dirinya. Ia pun menuju ke arahnya. Memamerkan muka Ethan agar Alexa tahu bahwa Joshua tak bohong. Alexa menyumpal mulutnya ketika menatap Ethan."Gendong dia, Josh. Aku pusing," perintah Rena."Sebentar, Mamah. Aku pakai baju dulu." Joshua