Sampai Kapanpun, Aku Tetap Milik Ibuku
Bab : 38. Mulai Ngutang
Kulaju motor ini dengan sangat kencang. Entahlah, kemana angin akan membawa hati yang sudah hancur ini. Aku hanya mengikutinya.
Aku tak pernah melihat Salma tersenyum manis seperti itu padaku. Tapi tadi jelas kulihat dia dengan pria asing saling melempar tawa. Benar-benar tak habis pikir, disaat keluargaku menderita Salma malah bahagia dan tertawa dengan orang lain.
Dan lebih pedihnya, dengan seorang cowok yang melihatnya dengan pandangan tak biasa. Aku tahu tatapan itu adalah tatapan cinta. Pengacara tapi sok ganteng. Walaupun dia masih muda, tapi tetap saja masih kalah jauh denganku. Jelaslah masih gantengan aku kemana-man
Bab : 39. Kehilangan Pekerjaan.Akhirnya sampai juga setelah membawa motor dengan ngebut. Setelah motor terparkir dengan manis, lantas aku berjalan menuju kantor dengan hati yang berdetak tak karuan. Mau bertemu dengan Pak Hendi aja rasanya seperti mau perang dalam pertempuran besar. Entahlah, rasa takut dan firasat buruk selalu menghantui sejak tadi.Tok tok tok ….Kuketuk pintu ruangan yang bertuliskan ruang direktur ini dengan hati yang berdebar-debar."Masuk!"Terdengar suara dari dalam ruangan, yang sepertinya itu suara Pak Hendi. Lantas kuputar handle pintu dan masuk menemui Pak Hendi.
Bab : 40. Selalu Bikin UlahAku menatap tajam ke arah Ibu yang nampak gelagapan karena ketakutan. Sedangkan Mak Warsih nampak melotot dengan berkacak pinggang di depanku."Duh, Bu, kenapa selalu bikin ulah sih," ucapku yang pusing dengan kelakuan Ibu yang sepertinya tak ada habisnya. Namun Ibu cuek saja mendengar perkataanku."Mak, tolong sabar dulu. Nanti pasti kubayar, tapi nanti ya, Mak. Untuk saat ini saya belum ada uang," ucapku berusaha meredam emosi Mak Warsih. Rasanya sungguh malu membahas hutang Ibu yang belum mampu kubayar ini. Apalagi mulai jadi tontonan Ibu-ibu disini."Nah, gitu kan enak, jadi jelas ini hutang arahnya kemana. Iya meman
Bab : 41. Beradu Mulut.Aku masuk ke tengah-tengah kerumunan, lantas menarik tangan Ibu yang sedang beradu mulut dengan Bu Siti. Namun sebelum pulang aku harus meminta kejelasan pada Bu Siti. Dan ingin meminta maaf dengan Bu Siti jika Ibu yang salah. Tapi feelingku mengatakan Ibu lah yang salah. Kalau bertanya sama Ibu, jelas banyak gak nyambungnya. Dan jelas akan selalu membela diri dan selalu merasa benar."Maaf, Bu Siti, sebenarnya ada masalah apa?" tanyaku setelah semua terdiam. Ya, Ibu langsung diam ketika aku datang, dan otomatis Bu Siti juga diam hingga tak ada lagi suara beradu mulut."Bagus deh kamu segera datang. Aku kasih tau ya, Ibumu kesini ngomongnya mau belanja, giliran barang udah dihitung semua katanya
Bab : 42. Menerima Kenyataan.Sudah berhari-hari aku mencari pekerjaan tapi tak satupun yang membuka lowongan. Rasanya sudah mulai lelah, apa aku menyerah saja? Matahari sudah mulai meninggi hingga keningku basah terkena keringat. Lebih baik istirahat disini aja dulu.Ya, disinilah aku sekarang. Duduk dibawah pohon untuk menghilangkan penat hari ini. Aku tak boleh terus mengeluh, karena akan mengingatkan rasa sesal. Bukankah percuma untuk disesali? Sedangkan hidup akan terus berjalan."Kak, Dedek laper, beli makan dulu, yuk!" ucap anak kecil sekitar tiga tahunan itu menyita perhatianku."Sabar ya, Dek. Kita ngamen aja dulu biar dapat uang.
Bab : 43. Kegalauan SalmaPOV Salma"Eh, ketemu dengan Mbak Salma disini," ucap seseorang yang aku tak begitu mengenalnya hingga mataku menyipit melihatnya."Aku Mak Warsih, Ih masa lupa sih," ucapnya dengan nada mendayu. Ya, aku baru ingat, Mak Warsih adalah penjual sembako yang rumahnya dekat dengan rumah Pak RT."Sini, Mbak, aku mau ngomong sebentar," ucap Mak Warsih menarik tanganku, mau tak mau aku dan Rani mengikutinya.Ya, saat ini aku dan Rani sedang membeli soto di desa sebelah. Sotonya yang terkenal enak dan segar sehingga membuat Rani penasaran ingin mencicipinya juga. Tapi dari sikap Mak Warsih yang seperti ini jadi membuatku penasaran. Ad
Bab : 44. Mengunjungi Ibu MertuaPOV SALMA"Udahlah, Sal, sama Daffa aja. Jalanan rame lo, udah ntar motor biar aku aja yang ngurusin," ucap Rani yang membuatku menatap tajam ke arahnya."Gak bisa, Ran, apa kata orang nanti jika melihatku hanya berdua dengan Daffa. Kalau ada yang bilang aneh-aneh gimana," ucapku pada Rani.Rani hanya nyengir. Sedangkan Daffa melihatku dengan tatapan yang entah, aku tak mengerti.Aku menuju tempat dimana motor diparkir, dan meninggalkan mereka yang masih berdiam diri di tempat. Biarlah, saat ini tujuanku hanya ingin ke rumah Ibu mertua. Saat pertama pindah, aku belum pernah
Bab : 45. Sidang PertamaHari ini aku tengah bersandar di warung Mbak Lela, tempat favoritku. Hanya menghilangkan lelah saja setelah menerima orderan di siang yang terik. Rasanya baru merasakan kerja di lapangan yang panas seperti ini. Tak apa, tetap ku syukuri. Yang penting masih bisa menyambung hidup dan mengumpulkan uang sedikit-demi sedikit untuk membayar hutang.Kata Ibu kemarin Salma ke rumah mengantar sembako. Mungkin karena rasa kasihan. Tak mungkin juga ingin melihatku dan aku juga sudah tak berharap lagi. Karena besok adalah panggilan sidang pertamaku. Bismillah, semoga aku bisa ikhlas melepasnya. Walaupun sebenarnya hati ini masih tak rela, tapi Salma juga berhak bahagia diluar sana."Gimana, bro, dapet orderan ga
Bab : 46. Kedatangan Bang Herman."Bro, kemarin gue ketemu, Santi," ucap Arman setelah aku duduk di sebelahnya."Terus,""Ya, dia nanyain lo. Nanyain rumah lo dimana, makanan favorit lo apa, lo suka tipe cewek yang kayak gimana, tinggi badan lo berapa, terus ukuran ko,--""Stop, ngawur lo lama-lama!" ucapku sewot. Santi adalah salah satu pelanggan tetap yang suka order offline padaku. Tapi memang aku sedikit ilfil dengan sikapnya. Terlebih ketika dia mengetahui aku akan bercerai, agresif dan senang sekali mendekatiku."Lah, emang bener kok. Kemarin lo gak ngojek, dia kayak cacing kepanasan. Udah