Bellagio yang biasanya damai kini terasa berbeda.
Perampokan toko perhiasan dua hari lalu masih menjadi perbincangan. Namun, yang lebih mengkhawatirkan bagi Elena bukanlah perampokan itu sendiri melainkan simbol Phantom yang ditinggalkan di TKP.
Simbol itu bukan sembarang tanda. Itu adalah pesan.
Tapi untuk siapa?
Elena berdiri di depan papan investigasinya, menatap dua nama yang kini menjadi pusat dugaannya: Adrian Morello dan Daniel Ferrara.
Jika Adrian benar-benar ada di Bellagio, mengapa ia meninggalkan jejak yang begitu mencolok?
Dan jika bukan dia, lalu siapa?
Ia harus mencari tahu.
Dan untuk itu, ia perlu menguji seseorang.
Malam itu, Adrian duduk di balkon rumahnya, menyesap anggur merah sambil memikirkan langkah berikutnya.
Ia tahu Elena semakin curiga. Tapi yang lebih mengkhawatirkan adalah fakta bahwa seseorang telah menggunakan tanda Phantom.
Siapa pun itu, mereka ingin menarik perhatiannya.
Dan Adrian tidak suka dipancing keluar dari bayangannya.
Pikirannya terganggu ketika ponselnya berbunyi.
Sebuah pesan masuk dari Elena:
"Makan malam bersamaku? Aku ingin mendengar lebih banyak tentang novel barumu."
Adrian menatap layar ponselnya, lalu tersenyum tipis.
Elena sedang memainkan permainannya sendiri.
Baiklah. Jika itu yang dia inginkan, maka ia akan bermain.
Restoran tempat mereka bertemu adalah salah satu yang terbaik di Bellagio. Cahaya lilin menerangi meja-meja dengan lembut, menciptakan suasana yang intim dan penuh rahasia.
Elena sudah duduk lebih dulu, mengenakan gaun hitam sederhana yang membuatnya terlihat elegan sekaligus berbahaya.
Adrian mendekatinya dengan senyum ramah. "Malam yang indah untuk sebuah makan malam."
Elena mengangkat alis. "Dan juga untuk sebuah percakapan yang menarik."
Mereka memesan makanan, dan percakapan pun dimulai.
"Jadi" kata Elena, "bagaimana kelanjutan novelmu?"
Adrian menyesap anggurnya sebelum menjawab. "Tokoh utama detektifnya mulai menyadari bahwa kriminal yang ia buru selama ini lebih dekat dari yang ia kira."
Elena menatapnya dalam-dalam. "Dan apakah dia akan menangkapnya?"
Adrian tersenyum tipis. "Itu tergantung pada seberapa baik dia membaca petunjuk yang ada."
Mata mereka bertemu, penuh makna yang tersembunyi.
Elena memutuskan untuk menekan lebih jauh. "Kau dengar tentang perampokan kemarin?"
Adrian mengangguk. "Sulit untuk tidak mendengarnya. Simbol yang ditinggalkan pelaku cukup menarik."
Elena berpura-pura santai. "Menurutmu, apa itu?"
Adrian menatapnya sejenak, lalu berkata, "Mungkin peringatan. Mungkin jebakan. Atau mungkin hanya seseorang yang ingin bermain denganmu."
Elena tersenyum kecil. "Kau terdengar seperti seseorang yang mengerti cara berpikir kriminal."
Adrian tertawa pelan. "Seperti yang kubilang, aku menulis misteri. Aku harus memahami kedua sisi permainan."
Elena tahu ia tidak bisa mendapatkan jawaban pasti malam ini.
Tapi satu hal jelas Adrian tidak terkejut dengan simbol Phantom.
Seolah-olah ia sudah menduganya.
Dan itu berarti ia tahu lebih banyak dari yang ia akui.
Setelah makan malam, Elena kembali ke apartemennya dan segera membuka laptopnya.
Jika Adrian benar-benar Phantom, maka ia pasti memiliki jaringan yang luas.
Elena mulai mencari transaksi mencurigakan di Bellagio dalam beberapa bulan terakhir.
Setelah beberapa jam menggali, ia menemukannya.
Sebuah pembelian properti atas nama Daniel Ferrara, dilakukan secara tunai.
Jumlahnya besar terlalu besar untuk seseorang yang hanya seorang penulis.
Elena mengerutkan kening.
Jika ia bisa menemukan rumah ini, mungkin ia bisa mendapatkan sesuatu.
Tapi sebelum ia bisa menggali lebih dalam, ponselnya bergetar.
Sebuah pesan tanpa nama masuk.
"Berhenti mencari atau kau akan menyesal."
Jantung Elena berdetak lebih cepat.
Seseorang tahu bahwa ia sedang menyelidiki.
Tapi siapa?
Dan seberapa dekat ia dengan kebenaran?
Di tempat lain, Adrian menutup ponselnya dengan ekspresi dingin.
Elena semakin berbahaya.
Ia harus mengambil keputusan segera.
Tapi sebelum itu, ada sesuatu yang harus ia lakukan.
Ia harus mencari tahu siapa yang telah meninggalkan simbol Phantom di perampokan itu.
Dan untuk itu, ia harus kembali ke dunia yang telah lama ia tinggalkan.
Malam berikutnya, Adrian berjalan menyusuri lorong gelap di salah satu bagian tersembunyi Bellagio.
Di depannya, seorang pria berkacamata hitam menunggunya.
"Kukira kau sudah pensiun," kata pria itu dengan nada mengejek.
Adrian menatapnya dingin. "Seseorang menggunakan tanda Phantom dalam perampokan. Aku ingin tahu siapa yang melakukannya."
Pria itu tersenyum kecil. "Banyak orang ingin menjadi sepertimu, Adrian. Mungkin seseorang ingin mengambil alih namamu."
Adrian mendekat, suaranya rendah dan berbahaya. "Aku tidak peduli siapa mereka. Aku hanya ingin tahu satu hal siapa yang memerintahkan perampokan itu?"
Pria itu terdiam sesaat, lalu akhirnya berkata, "Ada seseorang baru di Milan. Mereka bilang dia ingin menarik perhatianmu."
Adrian mengepalkan tangannya.
Ini bukan kebetulan.
Seseorang sedang mencoba memancingnya keluar.
Dan itu berarti, bahaya lebih besar sedang menunggu.
Keesokan harinya, Elena menerima laporan forensik dari TKP perampokan.
Sidik jari yang ditemukan di tempat kejadian menunjukkan sesuatu yang mengejutkan.
Bukan hanya sidik jari penjahat biasa.
Tapi sidik jari yang cocok dengan seseorang yang seharusnya sudah mati lima tahun lalu.
Seorang mantan anggota mafia yang dikenal sebagai Marco Santoro.
Elena membeku.
Santoro adalah salah satu orang kepercayaan Adrian Morello.
Jika dia masih hidup…
Maka ini bukan hanya permainan biasa.
Ini adalah perang.
Dan ia berada tepat di tengah-tengahnya.
Elena duduk di kantornya, menatap laporan sidik jari yang masih terbuka di laptopnya. Marco Santoro. Lima tahun lalu, dunia kriminal percaya bahwa pria ini telah mati dalam sebuah penyergapan besar di Roma. Tapi kini, sidik jarinya muncul di tempat perampokan di Bellagio. Ini tidak masuk akal. Jika Santoro masih hidup, maka ada dua kemungkinan: 1. Adrian Morello tahu dan merahasiakannya. 2. Ada pihak lain yang mencoba menggunakan nama Phantom untuk sesuatu yang lebih besar. Elena menarik napas dalam. Jika Adrian benar-benar Phantom, maka ia pasti memiliki jawaban atas ini. Dan hanya ada satu cara untuk mengetahuinya yaitu membuatnya berbicara. Malam itu, Elena menunggu Adrian di tepi Danau Como, di tempat mereka biasa bertemu. Ketika pria itu akhirnya datang, ia memperhatikan sesuatu yang berbeda. Ada ketegangan di wajahnya, seolah pikirannya terbebani sesuatu yang besar. Elena memutuskan untuk langsung ke intinya. "Kau dengar tentang sidik jari yang ditemuk
Elena tidak pernah merasa lebih dekat dengan kebenaran seperti sekarang. Ancaman yang ia terima membuktikan satu hal seseorang di kepolisian tidak ingin ia menggali lebih dalam. Tapi ia tidak akan berhenti. Di depannya, berkas-berkas laporan lama berserakan di meja. Ia menghubungkan benang merah dari semua kasus terkait Phantom dan Marco Santoro. Dan kini, ada satu nama yang menarik perhatiannya. Letnan Federico Rossi.Salah satu petugas yang menangani penyergapan Marco lima tahun lalu. Dan sekarang, ia adalah kepala unit investigasi khusus di kepolisian Milan. Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya menemui Rossi secara langsung. Adrian duduk di balkon apartemennya, memperhatikan langit malam yang gelap. Ia tahu waktu semakin sempit. Jika benar ada pengkhianat di kepolisian, maka satu-satunya yang bisa ia percayai hanyalah Elena. Ironis. Wanita yang paling ingin menangkapnya, kini adalah sekutu terbaiknya. Ponselnya bergetar. Pesan dari nomor tak dikenal.
Adrian berdiri di atap gedung tua, memandang ke arah pabrik terbengkalai di seberang jalan. Ia sudah memastikan lokasi dari jejak digital yang ditinggalkan si penculik. Di dalam sana, Elena mungkin sedang dikelilingi oleh orang-orang yang menginginkan nyawanya. Ini bukan pertama kalinya ia harus menyusup ke sarang musuh. Tapi kali ini berbeda. Bukan hanya nyawanya yang dipertaruhkan tapi juga wanita yang tanpa sadar telah mengubah dunianya. Adrian menyelipkan pistol di balik jasnya. Lalu ia melompat turun. Waktunya bertindak. Elena membuka matanya perlahan. Kepalanya pening. Tangan dan kakinya terikat erat di kursi kayu yang sudah lapuk. Ruangan ini gelap, hanya diterangi satu lampu redup yang berayun di langit-langit. Ia mencoba mengingat bagaimana ia sampai di sini. Penyusup. Serangan mendadak. Dan sekarang… ia dalam bahaya. Langkah kaki terdengar mendekat. Elena menahan napas, bersiap menghadapi siapapun yang masuk. Pintu terbuka. Seorang pria
Rossi duduk di kursi interogasi dengan ekspresi datar. Di hadapannya, Elena menyilangkan tangan. "Dengan semua bukti yang kita miliki, kau tak akan bisa lolos" katanya dingin. Rossi tersenyum tipis. "Kau pikir aku peduli?" Elena menekan kedua tangannya ke meja. "Kalau begitu, beri tahu aku satu hal di mana Marco Santoro?" Rossi menatapnya lama, lalu mendekat sedikit. "Kau sudah terlalu dekat dengan sesuatu yang seharusnya tetap tersembunyi." Elena menahan napas. "Dan itu akan membunuhmu." Tiba-tiba, lampu di ruang interogasi berkedip. Suara ledakan kecil terdengar dari luar. Alarm berbunyi. Elena langsung menarik pistolnya. Tapi Rossi hanya tersenyum lebih lebar. "Kau pikir mereka akan membiarkanku berbicara?" Dan sebelum Elena bisa bertindak, sebuah suara menggema di ruangan. DOR! Rossi tersentak. Darah mengalir dari dahinya. Ia terjatuh ke meja. Mati. Elena berbalik cepat, tapi koridor di luar ruangan sudah kosong. Pembunuhnya menghilang da
Pelabuhan larut malam terasa sunyi. Tapi Adrian dan Elena tahu itu hanya ilusi. Bahaya mengintai di setiap sudut. Mereka sudah ketahuan. Dan Marco pasti telah mengirim anak buahnya untuk menghabisi mereka. Adrian menghela napas, lalu menatap Elena. "Kita tidak bisa lari sekarang," katanya pelan. Elena menggenggam pistolnya erat. "Aku tidak pernah berencana untuk lari." Adrian tersenyum miring. "Bagus. Kita buat mereka menyesal telah mengejar kita." Mereka berpisah, bergerak di antara kontainer besar di pelabuhan. Elena merayap ke arah salah satu gudang tua, mengamati sekitar dengan hati-hati. Lalu ia melihatnya dua pria bersenjata patroli di dekat pintu masuk. Mereka sedang berbicara melalui radio. "Mereka masih di sekitar sini. Perintah dari Marco: tembak untuk membunuh." Elena menahan napas. Jika mereka berhasil menghubungi Marco, dia bisa membawa lebih banyak orang. Ia harus bertindak cepat. Dalam satu gerakan cepat, ia keluar dari bayangan, menemb
Adrian duduk di tepi dermaga, menatap matahari pagi yang perlahan muncul dari balik cakrawala. Angin laut menerpa wajahnya, membawa aroma asin yang menenangkan. Elena berdiri di belakangnya, menyandarkan tubuhnya pada pagar besi. "Kau yakin ini sudah berakhir?" tanyanya pelan. Adrian tidak langsung menjawab. Ia masih merasakan darah di tangannya, meski secara fisik sudah bersih. Kematian Marco Santoro seharusnya mengakhiri segalanya. Tapi dunia kriminal tidak sesederhana itu. "Aku ingin percaya begitu," jawabnya akhirnya. Elena duduk di sampingnya. "Tapi?" "Tapi Marco benar. Dunia ini tidak akan berhenti hanya karena dia mati." Elena menggenggam tangannya. "Itu berarti kita harus tetap waspada." Adrian tersenyum tipis. "Kita?" Elena menatapnya dengan tegas. "Aku tidak akan membiarkanmu menghadapi ini sendirian." Adrian menatapnya lama, lalu mengangguk pelan. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia merasa tidak benar-benar sendirian. Tapi kebersamaan mereka akan
1. Persiapan Perang Adrian berdiri di depan meja dapur apartemen Elena, menatap peta yang terbentang di atasnya. Berbagai foto, catatan, dan skema terpampang jelas—semuanya berpusat pada satu nama: Keluarga DeLuca. Elena duduk di sofa, mengamati ekspresi serius Adrian. "Apa langkah pertamamu?" tanyanya. Adrian menghela napas. "Aku perlu tahu seberapa besar kekuatan mereka di kota ini. Jika Lorenzo datang menemuimu sendiri, berarti mereka punya pengaruh yang cukup kuat di sini." Elena mengangguk. "Aku bisa mencoba mencari informasi dari dalam kepolisian. Mungkin ada catatan transaksi mencurigakan yang mengarah ke mereka." "Tidak cukup." Adrian menatapnya. "Aku butuh seseorang yang bisa memberikan informasi langsung. Seseorang dari dunia mereka." Elena berpikir sejenak. "Ada satu orang yang mungkin bisa membantu." "Siapa?" "Mantan informan Marco. Namanya Silvio Romano. Dia dulu bekerja untuk Santoro, tapi setelah kematiannya, dia menghilang. Jika dia masih hidup, dia pa
1. Balas Dendam Dimulai Dua jam setelah penculikan Giovanni DeLuca, Adrian dan Elena tetap siaga di gudang tua yang mereka jadikan markas sementara. Giovanni duduk di kursi dengan tangan terikat di belakangnya. Mulutnya berdarah akibat perlawanan sebelumnya. Elena menatapnya tajam. “Ayahmu pasti sudah menggerakkan seluruh pasukannya sekarang.” Adrian berdiri di sampingnya, mengamati layar ponsel. Dia telah memasang beberapa pemantau frekuensi radio untuk mengawasi komunikasi DeLuca. “Lorenzo tidak akan tinggal diam,” gumam Adrian. “Tapi kita juga tidak akan.” Tiba-tiba, suara alarm dari pemantau frekuensi berbunyi. Adrian segera melihatnya. “…Pasukan mereka sudah di jalan,” katanya pelan. “Mereka mengirim empat SUV bersenjata penuh. Lima belas orang. Mereka tidak main-main.” Elena menggertakkan gigi. “Mereka tidak akan datang untuk negosiasi.” Adrian menatap Giovanni. “Ini adalah kesempatanmu untuk tetap hidup. Katakan di mana kelemahan mereka.” Giovanni menyeringai
Lokasi: Kota Solace, Tahun 2099Elena membuka matanya. Matahari bersinar lembut di langit biru yang tak ternoda. Udara terasa bersih, tanpa debu, tanpa suara mesin berat atau sirene. Tidak ada perang. Tidak ada Nyx. Tidak ada Anima.Ia mengenakan pakaian putih sederhana, duduk di atas ranjang modern dalam sebuah apartemen yang terlalu... sunyi.“Rico?” bisiknya.Pintu terbuka otomatis. Rico muncul, mengenakan pakaian serupa, wajahnya santai tapi matanya... bingung.“Gue... inget semuanya,” katanya pelan.Elena mengangguk. “Aku juga.”Mereka berjalan ke balkon. Di kejauhan, terlihat taman-taman terapung, kendaraan melayang tanpa suara, dan anak-anak bermain sambil mengenakan helm AR. Tidak ada tentara. Tidak ada sistem pengawasan mencolok. Dunia ini… damai. Tapi...Di balik damai itu, ada kehampaan.
Lokasi: Pulau Sentinel, Samudra Hindia — 3 Bulan Setelah Nyx DimatikanAdrian menatap langit yang kelabu dari atas mercusuar tua. Angin asin menerpa wajahnya, dan burung camar berseru keras. Elena berdiri di dekatnya, membawa amplop coklat lusuh.“Ini dikirim tanpa nama. Cap pos dari tempat yang bahkan nggak ada di peta,” ujarnya sambil menyerahkan amplop itu.Adrian membuka perlahan. Di dalamnya hanya ada satu benda: sebuah foto buram dari dirinya sendiri... berdiri di sebuah ruangan asing, mengenakan pakaian yang tidak pernah ia kenakan.Rico masuk dengan tatapan bingung. “Apa-apaan itu?”Adrian menatap lebih dekat. Ada tulisan samar di bagian belakang foto:"KITA BELUM SELESAI. — A"Elena mengernyit. “Siapa ‘A’?”Adrian menggeleng perlahan. “Entah siapa… atau apa.”DI TEMPAT LAIN — SISTEM PENYIMPANAN TERSEMBUNYI, ANTARKTIKA
Lokasi: Zurich, Swiss - Markas Finansial Rahasia "Nyx"Adrian, Elena, dan Rico berada di dalam jet hitam yang meluncur mulus di atas Pegunungan Alpen. Luka-luka mereka dari misi Kazakhstan belum sepenuhnya sembuh, tapi waktu tidak memberi mereka pilihan.Di layar jet, Dr. Kael menunjukkan rekaman CCTV dari markas finansial bawah tanah di Zurich. Di antara para eksekutif dan pengawal, muncul satu siluet pria tinggi, berjas hitam, dengan rambut perak dan sorot mata dingin.Ezekiel.Elena terdiam lama. Jantungnya berdetak lebih cepat.Rico menatap Adrian. "Dia mirip banget sama Elena, ya?"Adrian mengangguk pelan. "Tapi dari caranya jalan… tatapannya... dia bukan orang biasa."Kael memutar rekaman suara.Ezekiel (di rekaman): "Dunia tidak butuh sistem yang rusak. Dunia butuh desain ulang. Aku hanya arsiteknya."Adrian mengepalkan tangan. "Berapa lama sebelum dia meng
Adrian, Elena, dan Rico duduk di ruangan bawah tanah rahasia, jauh dari keramaian kota. Tempat itu tersembunyi di balik fasilitas parkir lama, dikamuflase dengan sistem keamanan biometrik dan pengawasan tingkat militer.Dr. Kael berdiri di depan layar besar, menampilkan hologram peta dunia dengan titik-titik merah menyala."Viktor hanyalah satu dari delapan kandidat proyek 'PHOENIX' eksperimen rahasia yang bertujuan menciptakan pemimpin-pemimpin perang yang sempurna. Pemikir strategis, petarung, pemimpin... dan pembunuh."Elena mengernyit. "Kandidat? Maksudmu...ada yang lainnya?"Dr Kael mengangguk. "Tujuh lagi. Dan tidak semuanya gagal seperti Viktor."
Waktu seolah melambat saat peluru pertama meluncur dari senapan Viktor. Adrian berguling ke samping, menghindar dengan kecepatan naluriah yang terasah oleh puluhan pertempuran sebelumnya. Peluru menghantam dinding beton di belakangnya, memercikkan debu dan serpihan.DOR! DOR!Adrian membalas, dua peluru cepat menghantam meja Viktor, memaksa pria itu berlindung. Elena masuk dari sisi kanan, bergerak cepat ke posisi tembak. Ia mengayunkan senapan ke arah penjaga terakhir yang berlari ke dalam ruangan dan menjatuhkannya dengan satu tembakan presisi.DOR!Rico menyelinap masuk melalui sisi berlawanan, tubuhnya bergerak rendah, menyusuri bayangan. Ia tahu pertempuran ini bukan soal jumlah ini soal ketepatan, waktu, dan kehendak untuk hidup.“Naik!” seru Adrian.Viktor bangkit dari balik mejanya, melepaskan rentetan tembakan liar. Salah satu peluru nyaris menghantam Elena, tapi dia berbalik dan membalas cepat.DOR!Peluru menghantam bahu Viktor, membuat pria itu berteriak marah."Aku tidak
Suara sirene polisi menggema di kejauhan, tapi Adrian tetap memacu SUV mereka ke luar kota. Langit malam gelap, hanya diterangi lampu-lampu jalanan yang berkedip redup. Di kursi belakang, Rico masih mengatur napas setelah pertarungan brutal tadi. Elena sibuk memeriksa amunisi mereka, memastikan semuanya siap untuk pertarungan berikutnya.Mereka baru saja menghancurkan salah satu markas Viktor, tapi ini belum selesai. Masih ada sisa pasukannya yang bisa menyerang kapan saja."Kita tidak bisa terus melarikan diri," kata Elena akhirnya.Adrian menatapnya sekilas di kaca spion. "Kita tidak melarikan diri. Kita hanya mencari tempat yang lebih strategis untuk menyerang balik."Elena menyeringai tipis. "Kau benar-benar gila."Rico terkekeh lemah. "Dan kita semua masih hidup karena kegilaannya itu."SUV mereka akhirnya berhenti di sebuah gudang tua di pinggiran kota. Tempat ini adal
Adrian membuka matanya perlahan. Kepalanya berdenyut keras, dan tubuhnya terasa berat. Rasa besi dari darah memenuhi mulutnya. Dia berusaha menggerakkan tangan, tapi pergelangannya dibelenggu rantai baja.Saat kesadarannya kembali, dia menyadari situasi mereka.Elena terikat di kursi di sudut ruangan, wajahnya penuh luka lebam. Rico ada di seberangnya, napasnya tersengal, darah menetes dari dahinya.Dan di depan mereka, Viktor Mikhailov duduk dengan santai di kursi, tersenyum dingin."Selamat pagi, Adrian," katanya, suaranya tenang namun berbahaya. "Aku harap perjalananmu nyaman."Adrian menggeram. "Apa yang kau inginkan?"Viktor tertawa kecil. "Aku ingin mengobrol. Tapi pertama-tama…"Dia menoleh ke anak buahnya. "Buat mereka nyaman."Tanpa peringatan, seorang pria berjas hitam menghantam wajah Adrian dengan tinju keras.BUK!Rasa sakit menghantam tengkoraknya, tapi Adrian tetap diam.
Mereka tiba di sebuah gudang tua di pinggiran kota, tempat persembunyian sementara yang telah disiapkan Rico. Dinding beton retak dan lampu berkedip-kedip, memberikan kesan suram pada tempat itu.Adrian berjalan mondar-mandir dengan wajah tegang. Dia tahu Matteo tak akan berhenti sampai mereka mati.“Kita harus serang duluan,” katanya.Elena duduk di atas peti kayu, membersihkan senjatanya. “Dan ke mana kita akan menyerang?”Rico mengangkat kepala dari laptopnya. “Markas Matteo ada di bawah tanah, tepatnya di bunker tua peninggalan Perang Dunia II. Sistem keamanannya canggih, tapi ada celah.”Adrian mendekat. “Celah apa?”Rico mengetik cepat. “Terowongan pembuangan di bagian barat. Itu jalur keluar darurat mereka, tapi kita bisa masuk dari sana.”Elena menyeringai. “Jadi kita menyelinap seperti hantu?”Adrian menggertakkan gigi. “Tidak. Kita masuk sep
Tembakan terus berdentum di luar gudang. Peluru menghantam dinding kayu dan logam, membuat serpihan beterbangan ke segala arah. Adrian mengintip dari balik meja dan melihat beberapa pria bersenjata lengkap mendekat dengan taktik militer.“Mereka membawa tim profesional,” gumamnya.Rico sibuk mengetik sesuatu di laptopnya. “Aku butuh waktu lima menit untuk mengakses kamera di sekitar sini. Kita harus tahu jalan keluar.”“Elena, kau ke sisi kanan. Aku akan menahan mereka dari kiri,” perintah Adrian sambil mengisi ulang magazinnya.Elena mengangguk dan berlari ke posisi. Saat dua orang mendekat ke pintu gudang, Adrian melompat keluar dari perlindungan dan melepaskan dua tembakan cepat.DOR! DOR!Dua musuh tumbang.Namun, lebih banyak yang datang. Mereka menyebar, mencoba mengepung.“Elena, lempar granat asap!” teriak Adrian.Elena meraih granat asap dari sabuk