Baginya, menerima sarapan dari Yepa secara cuma-cuma adalah suatu keajaiban dunia. Bagaimana tidak? Ia terlalu mengenalnya dengan sangat baik. Tidak mungkin pundi itu akan terbuka dengan tiba-tiba kalau tidak ada maksud di baliknya. "Apakah dunia akan segera runtuh?" tanyanya pada diri sendiri. Laiv menggelengkan kepala dengan ngeri. Tidak mungkin. Imajinasinya terlalu tinggi. Bisa-bisa ia menjadi gila sebelum waktunya. Lagi pula, ia sudah memutuskan untuk membantunya. Ia tidak boleh meragukannya apa pun yang terjadi. Dan ia baru menyadari ada sesuatu yang janggal setelah semua hidangan itu memasuki perutnya tanpa halangan. Ini mengenai sosok yang mengantarkan makanan tersebut. Dari sudut pandangnnya, orang itu tampak seperti seorang pengawal kelas elit. Ia pun merasa kalau orang itu bukan milik Deska. Bukannya meremehkan, tetapi ia tahu benar pria itu tidak memiliki rasa dalam hal ini. Yah, sejak kapan pacar dari sahabatnya itu sangat berhati-hati dan suka menggunakan pihak ketiga?
Taveti duduk sembari menyilangkan kaki dengan wajah dingin di ruang pribadi. Tidak ada yang tahu suasana hatinya saat ini. Apalagi mencoba membaca pikirannya. Selain itu, kondisi ruangannya yang bergaya klasik membawa sedikit nuansa kaku dalam setiap napas. Tidak ada yang akan pernah mengira bahwa dirinya memiliki sisi yang satu itu. Sergio yang berseberangan dengan tuannya berdiri dengan tenang. Tidak terpengaruh oleh atmosfer apa pun. Hanya menantikan dengan sabar perintah itu datang maupun memberikan pendapat. Suara desahan itu terdengar halus. Taveti mengubah temperamennya menjadi lebih bersahabat. Ia mengambil gelas wine dan memainkannya dengan santai. Cairan berwarna merah tua tersebut bergerak mengikuti arus sang pengendali. "Aku tidak punya masalah dengan anak dari keluarga Jahan itu," katanya perlahan. "Tapi Nirwasita ini … ah, dia seperti bom waktu yang akan segera meledak." Ia melirik orang kepercayaannya. "Apa cucuku yang satu itu menghubungiku?" "Tuan, Nona Yepa mening
Di kehidupan sebelumnya, satu hari setelah Yepa resmi menjadi kekasih Deska, seorang wanita sekonyong-konyong datang dan mendeklarasikan sebuah pernyataan yang cukup membuatnya tidak bisa tidur di malam hari. Pada saat itu ia tidak terlalu menganggap serius pengakuan dari wanita tersebut. Baginya itu hanyalah kentut belaka dan yakin dengan sepenuh hati bahwa Deska tidak akan pernah berpaling dari dirinya. Namun, kini ia merasa kalau wanita itu mungkin sudi membantu saingan cintanya ini. Ia sudah mendengar beberapa hal mengenai wanita itu dari mulut Deska sendiri. Dan ia tidak tahu harus memberi jawaban apa sebagai tanggapan. Orang ini memiliki hobi yang tidak biasa. Yakni memelihara pria cantik dan menggauli mereka setiap malam dan membuangnya ketika bosan. "Wanita yang ada di atas, eh?" Yepa memijat kening. Sungguh ia sendiri, sebagai wanita tulen, masih tersihir oleh penampilannya yang sangat luar biasa. Saking cantiknya, itu jatuh menjadi tampan. Hampir membuat dirinya bingung k
Raveena terkekeh singkat. "Aku tahu kau akan mencariku." Ia memainkan rambut panjang cokelat ikalnya yang tergerai elok. "Kau tahu? Kau sudah membuatku menunggu selama satu tahun lebih." Yepa terdiam. Jangan katakan kalau wanita ini sengaja menghitungnya demi menantikan hari ini tiba? Seandainya memang demikian, itu sangat luar biasa. Niat untuk mendapatkan Deska benar-benar besar dan kuat. Lantaran wanita ini telah berkata demikian, kesempatan untuk menjalin kerja sama masih ada. Ia mengabaikan penampilan Raveena dan suasana ambigu yang terdapat di sekitar. "Karena kau sudah tahu tujuanku, aku tidak akan bertele-tele lagi," tegasnya, "jawabanku adalah ya." Orang ini bersungguh-sungguh? Hei, ke mana rasa cinta itu pergi? Bukannya Raveena ingin menolak, tetapi ini justru terasa menarik. "Ya, ampun, Yepa. Kau terlalu serius. Jangan terburu-buru, oke?" Ia tidak bisa menahan senyum. Ia mengambil gaun tidur lain yang tersedia di sana dan mengenakannya dengan santai. Bibir Yepa berkedut
"Ya?" Deska menerima panggilan dari Laiv tanpa ragu. "Ada apa?""I-ini." Laiv yang ada di seberang sana tampil agak gugup. "Aku, aku ingin menyampaikan sesuatu padamu."Ada rasa tak berdaya di dalam hatinya. Apakah dirinya sangat menakutkan? "Oke, ucapkan saja dengan perlahan. Aku akan mendengarkan semua perkataanmu.""Terima kasih." Rasa gelisah yang Laiv rasakan sedikit menurun. "Aku, aku ingin pergi bersama Yepa, boleh?" tanyanya hati-hati. "Ini penting untukku."Deska tidak segera menjawab. Jika Yepa ingin membantu orang ini, baginya itu tidak masalah. Ia malah merasa terbantu karenanya. Lantaran …."Deska, itu siapa?"
Senyuman bahagia terpancar dari wajah Yuvika saat ia berhasil mendapatkan manset favorit kakeknya. Ini semua berkat Deska."Terima kasih," katanya tulus. "Kalau bukan karena kau, orang itu pasti tidak akan menyetujui permintaanku."Deska tidak memerhatikan Yuvika. Bahkan mendengarkan rasa terima kasih itu. Akan tetapi, tatapan mata itu hanya fokus pada sepasang manset yang berhiaskan batu safir dengan inisial Tuan Hirawan di dalamnya.Dari tampilannya memang sungguh karya yang sangat luar biasa. Ia juga sudah pernah mendengar tentang Tuan Al yang tersohor dalam hal pembuatan manset secara manual ini. Ia mengaguminya. Begitu pula dengan sang ayah.Mungkin karena sudah terbiasa dengan perangai ini, Yuvika tidak terlal
Sudah terlambat untuk menyesal. Beberapa waktu yang lalu ia sangat yakin akan kemampuannya. Namun, ketika ia menemui kegagalan, ia malah merasa tidak nyaman. Seketika jatuh."Aku …," Deska mendesah. "Aku tidak ingin melakukan apa-apa. Ini sudah tidak bisa diperbaiki."Zalka sudah tidak merasa aneh lagi pada Deska yang terkadang akan memperlihatkan sisi lemah semacam ini padanya."Yah, cukup sadar diri juga," komentarnya enteng. "Ini baik-baik saja."Deska segera mengosongkan segelas minuman itu dan menuangkannya lagi. "Papa tidak kesal padaku?" tanyanya agak heran.Apa putranya sudah mabuk? "Kau sudah besar dan tahu apa tanggung jawabmu sendiri. Apa
Ketika seseorang tengah mencoba menutupi sesuatu dari pasangannya, maka orang tersebut akan bersikap di luar kebiasaan. Yepa sudah menebak hal ini dengan akurat. Mungkin bagi Deska hal tersebut merupakan cara terbaik demi menebus kesalahan tempo lalu, tetapi untuknya itu mubazir.Ia mengabaikan panggilan telepon dari Deska. Membiarkan ponsel itu terus menyala dan bergetar, bergerak-gerak di atas meja. Meski ada segala jenis kudapan manis sebagai penghibur, ia tetap menatap tanpa minat sampai benda itu mati dan hidup lagi berulang kali."Ya, ampun … apa orang ini tidak lelah?" gerutunya. "Senang sekali mengganggu kedamaian orang.""Kau tidak akan mengangkatnya?" tanya Laiv dengan wajah bingung sembari memasukkan makanan ringan ke dalam mulut. "Dia gigih, eh, pacarmu."
"Apa yang ingin kau bicarakan denganku?" Enzi tidak suka berbasa-basi dan tatapannya sangat menusuk. "Kau datang menemuiku, pasti ada sesuatu, 'kan?"Laiv belum menyampaikan maksudnya, tetapi Enzi sudah memotongnya terlebih dahulu. "Apa aku tidak boleh mengobrol denganmu?" Sebenarnya ia bisa langsung saja ke inti tujuan, tetapi ia tidak melakukannya karena berpikir mungkin ia bisa mengorek satu-dua hal darinya sekaligus mengenang masa lalu.Melihat Laiv bersikeras, Enzi tidak menolak. "Baiklah." Ia bukan tipe orang yang suka merobek topeng lawannya. Juga bukan individu yang sok sibuk. Lagi pula dirinya punya waktu senggang saat ia menginginkannya. Ia pun mengeluarkan sebungkus rokok. "Kau keberatan?"Laiv menggeleng, tetapi tidak menolak. "Aku bisa menemanimu," katanya. Lagi pula ia sudah lama tidak merokok."Bagus."Enzi membuat isyarat agar Laiv mengikutinya dan pergi ke sebuah area yang tidak jauh dari tempat semula. Lokasi tersebut adalah sebuah area terbuka yang pernah menjadi la
"Apa ada yang kau inginkan?"Deska menggeleng lemah saat ayahnya bertanya. Ia pun menjawab dengan samar-samar, "Tidak ada." Ia merasa cukup dan tidak menginginkan apa pun.Zalka menghela napas. Sejak putranya bangun, perilakunya sudah seperti itu. Entah apa yang salah, tetapi ia merasa ada yang berubah."Kalau begitu istirahatlah. Dokter akan segera datang untuk memeriksamu lagi," katanya mengingatkan."Aku tahu." Deska mengangguk. Ia memaksakan sebuah senyum. "Papa juga sebaiknya beristirahat." Ia tahu ayahnya tidak terlihat santai setelah dirinya bangun tadi malam.Di depan putranya sendiri, ia tidak boleh memperlihatkan kelemahannya. Bagaimanapun juga, ia masih merasa cemas akan kondisi Deska yang belum pulih benar."Jangan khawatirkan aku," katanya dengan alami. "Aku baik-baik saja."Karena ayahnya berkata seperti demikian, Deska tidak akan repot-repot lagi memperingatkannya. Ia pun menutup mata sambil menunggu dokter datang.Ruangan itu menjadi hening. Kemudian setelah beberapa s
Sebenarnya Yepa sudah mampu berinteraksi secara normal dengan Laiv. Hanya saja ia tetap merasa aneh dengan perubahan ini. Ia lebih nyaman dengan wajah bodoh itu.Sementara itu, Laiv masih sedikit takut jika Yepa tidak bisa menerima kondisinya saat ini. Belum lagi mengenai perasaannya yang terus tertunda hingga sekarang.Keduanya bertemu kembali, tetapi di lokasi yang berbeda dari sebelumnya. Bukan lagi gudang tua usang yang tak terpakai, tetapi sebuah pondok.Yepa menguap lebar. "Jangan lihat aku seperti itu," katanya dengan nada bosan. "Aku tidak menerima berita apa pun dari kakek.""Bukankah seharusnya dia tahu kalau kau diculik?" Laiv mulai berpikiran buruk. "Kenapa dia tidak mencemaskanmu? Apakah orang-orangnya lalai?"Otak pria ini benar-benar sudah tersandung. Yepa memutar mata. "Kenapa tidak? Yang menculikku tidak lain kakakku sendiri. Masalah?""Tapi itu bukan kehendaknya," bantah Laiv. "Itu pekerjaan orang-orangnya. Ini kecelakaan.""Ya, kecelakaan yang membawa berkah," timpa
Jarno memasuki ruangan tempat Enzi kini berada dengan beberapa laporan di tangan. Di belakangnya Mirko menyusul, menutup pintu dan berdiri di sana. Saat ketiga pasang mata mereka bertemu, topeng kepura-puraan pun terlepas."Ada beberapa kabar," kata Jarno memulai. Ia melihat isi laporan dan membacakannya dengan jelas. Mulai dari kelompok mereka sendiri, keluarga Danapati, dan urusan Hirawan.Enzi fokus mendengarkan. Sementara Mirko menjaga pintu dengan patuh. Dan Jarno terus membacakan laporan. Setelah usai, ketiganya terdiam."Oke, kita tuntaskan dulu urusan internal," kata Enzi yang akhirnya bersuara.Jarno mengangguk. "Apa yang ingin kau lakukan?""Biarkan Dario dan kedua kawannya sibuk. Jangan beri mereka celah untuk mengorek kabar apa pun tentangku saat ini." Ia menoleh pada Mirko. "Karena orang-orang ini sangat peduli padaku, kirimkan beberapa wanita untuk mengganggu fokus mereka."Mirko mengangguk."Kali ini ambil umpan dengan jatah pekerjaan untuk jangka panjang," tambah Enzi.
Hingga detik ini, Yepa masih belum terbiasa dengan penampilan Laiv yang normal. Seharusnya itu baik-baik saja, tetapi ini justru sulit. Terasa aneh dan tidak pada tempatnya.Di ruangan yang sunyi itu Yepa dan Laiv saling menatap tanpa hendak mengutarakan apa pun. Keduanya diam seribu bahasa. Sibuk memikirkan ini dan itu tanpa kejelasan. Yang satu tidak tahu mesti berkata apa, sementara yang lain takut mengungkapkannya.Namun, pada akhirnya mereka tahu apa itu jenuh dan membuang-buang waktu. Lagi pula tidak ada artinya jika terus seperti itu. Kapan hal ini akan selesai?"Kau duluan."Mereka mengatakan hal serupa di saat yang bersamaan, keduanya terkejut.Laiv cepat-cepat mengibaskan tangan dengan panik. "Tidak, tidak, kau duluan!"Yepa memasang wajah cemberut, emosinya sedang tidak bagus. "Apa tidak terbalik?" tukasnya. "Seharusnya ini kau!""Benarkah?" Laiv meragukannya. Ia melirik ke arah lain, tidak berani menatap Yepa secara langsung seraya bergumam, "Kupikir itu kau."Sikap malu-m
Sepasang iris serigala itu menatap bosan ke arah luar jendela dari sebuah motel. Ribuan keping salju terus berjatuhan dari atas langit dan tampak tidak akan pernah berhenti turun untuk memenuhi seisi kota tersebut. Enzi menghela napas."Bos, apa kau menginginkan sesuatu?" tanya Marco dengan penuh pengertian. "Kalau ya, apa ada yang bisa kulakukan untukmu?""Tidak perlu," sahutnya singkat tanpa mengalihkan perhatian.Mendengar jawaban itu, Marco tidak terus mendesak sang bos. Tidak berarti tidak. Ia pun memilih duduk dengan tenang dan kembali menyeka pisau lipat yang masih ada di tangan.Keheningan kembali menyelimuti tempat tersebut. Satu orang duduk di dekat jendela dan sisa lainnya menempati sudut ruangan."Dia tidak memberi kabar?"Pertanyaan dadakan dalam kesunyian itu seketika menghentikan gerakan tangan Marco. Ia tahu siapa orang yang tengah sang bos singgung, Raveena Radeska."Ada," balasnya cepat. "Dia mengatakan bahwa tugasnya sudah selesai. Tapi masih ada beberapa hal yang b
Mendengar bahwa keduanya adalah teman sejak kecil, membuat Yepa percaya bahwa dunia itu sempit. Ternyata selama ini mereka saling terkait satu sama lain."Jadi, sebenarnya kalian sudah saling mengenal sejak lama?" Ia jatuh terduduk di tepi tempat tidur dengan pandangan jatuh ke bawah seolah tak bertenaga. "Lalu, ada apa dengannya?" Ia merasa kakaknya akan menyampaikan sesuatu yang buruk.Belum apa-apa reaksi adiknya sudah seperti ini. Tampaknya hal ini akan memberi pengaruh besar pada masa depan mereka. Namun, ia tidak ada hubungannya.Enzi tidak bertele-tele. "Karena suatu hal, dia harus mengkonsumsi obat-obatan yang bisa merubah wajahnya demi keselamatan. Tapi efek sampingnya pun sangat setimpal. Umurnya menjadi lebih pendek dari kebanyakan orang normal."Kabar itu memberinya pukulan. Yepa ingin mengatakan sesuatu. Hanya saja tidak ada suara apa pun yang keluar karena seketika itu juga pikirannya menjadi kosong, tetapi jelas dalam satu hal. Itu berarti waktunya tidak akan lama lagi?
Ruangan itu menjadi hening seketika. Atmosfer di sekitarnya pun turut berubah. Beberapa anggapan pun mulai bermunculan di antara para pendengar.Enzi bertanya-tanya, apa yang Yepa makan sehingga membuat penglihatannya menjadi seperti itu? Jelas usia mereka terpaut tidak jauh. Dengan senyum kebapakan, ia pun berkata, "Nak, apa kepalamu terbentur?"Mendengar jawaban seperti itu, telinga Yepa memerah. Belum lagi ada tawa yang muncul setelahnya. Membuat wajahnya memanas karena terbakar marah. Dan tanpa malu-malu ia pun membalas, "Mungkin temanmu memberiku obat yang salah."Seketika protes pun melayang. Jarno menampakkan diri sambil menunjuk Yepa. "Sialan! Otakmu pasti rusak!"Emosi Yepa tersulut. "Itu salahmu!" balasnya dengan garang.Di sisi lain Mirko masih tidak bisa berhenti tertawa. Ia melangkah dan berdiri di samping Jarno. "Bos, apa kau menghamili seorang wanita di usia dini?" candanya.Enzi tersenyum tanpa merasa tersinggung sedikit pun. "Kalau aku berani melakukannya, maka seseor
Dengan napas terengah dan tubuh berkeringat, akhirnya Laiv tiba di tempat tujuan. Ia melihat daerah pinggiran itu dengan wajah rumit. Merasa terlalu kebetulan dan aneh. Kenapa orang itu bisa berada di kota yang sama dengannya saat ini?Memasuki kawasan padat penduduk, ia menelusuri lorong-lorong panjang yang sempit dan saling terhubung satu sama lain. Begitu menginjak penghujung jalan, ia melihat sesosok remaja tengah berdiri. Ia menghampirinya tanpa banyak berpikir.Namun, belum ia mengucapkan sepatah kata pun, remaja itu, Ivan, mendongak dan terkejut saat melihat penampilannya."Hei, sudah lama sekali," sapanya ringan.Laiv mengangguk. Tanpa sadar ia menyentuh wajahnya dan mendesah. Oh, ia lupa minum obat hari ini saking cemasnya tadi."Antar aku ke sana," pintanya tanpa basa-basi."Oke!" Ivan mengacungkan jempol dan segera memandu Laiv ke tempat pertemuan.Tidak ada obrolan di antara keduanya. Hanya ada suara-suara ketukan sepatu dari langkah kaki mereka yang terdengar. Sementara d