Sudah terlambat untuk menyesal. Beberapa waktu yang lalu ia sangat yakin akan kemampuannya. Namun, ketika ia menemui kegagalan, ia malah merasa tidak nyaman. Seketika jatuh.
"Aku …," Deska mendesah. "Aku tidak ingin melakukan apa-apa. Ini sudah tidak bisa diperbaiki."
Zalka sudah tidak merasa aneh lagi pada Deska yang terkadang akan memperlihatkan sisi lemah semacam ini padanya.
"Yah, cukup sadar diri juga," komentarnya enteng. "Ini baik-baik saja."
Deska segera mengosongkan segelas minuman itu dan menuangkannya lagi. "Papa tidak kesal padaku?" tanyanya agak heran.
Apa putranya sudah mabuk? "Kau sudah besar dan tahu apa tanggung jawabmu sendiri. Apa
Ketika seseorang tengah mencoba menutupi sesuatu dari pasangannya, maka orang tersebut akan bersikap di luar kebiasaan. Yepa sudah menebak hal ini dengan akurat. Mungkin bagi Deska hal tersebut merupakan cara terbaik demi menebus kesalahan tempo lalu, tetapi untuknya itu mubazir.Ia mengabaikan panggilan telepon dari Deska. Membiarkan ponsel itu terus menyala dan bergetar, bergerak-gerak di atas meja. Meski ada segala jenis kudapan manis sebagai penghibur, ia tetap menatap tanpa minat sampai benda itu mati dan hidup lagi berulang kali."Ya, ampun … apa orang ini tidak lelah?" gerutunya. "Senang sekali mengganggu kedamaian orang.""Kau tidak akan mengangkatnya?" tanya Laiv dengan wajah bingung sembari memasukkan makanan ringan ke dalam mulut. "Dia gigih, eh, pacarmu."
Matahari sudah terbenam. Tanda aktivitas malam mulai tiba. Banyak individu melakukan berbagai hal di setiap sudut kota. Pernak-pernik natal pun tampak menghias gedung-gedung yang ada.Deska membawa Yepa menyusuri jalanan yang ramai. Keduanya melangkah maju saling berdampingan dan berpegangan tangan. Mereka terlihat serasi hingga membuat beberapa pasang mata terkagum-kagum dan iri."Kalau saja ini kemarin, kita bisa pergi ke restoran pizza dulu," keluhnya. "Setelah itu, kita akan bersenang-senang dan mengunjungi banyak tempat."Lalu apa? Yepa tak acuh sama sekali. Itu bukan urusannya. Mereka berkencan atau tidak, hasilnya tetap sama saja. Bahkan saat ini ia tidak peduli dengan penampilan De
Sejak Yuvika hadir di antara mereka, tidak ada lagi hal-hal yang menyenangkan terjadi. Kencan manis berubah menjadi hambar dan membosankan. Ini seperti acara jalan-jalan biasa antar teman pada umumnya.Entah sudah berapa ribu kata umpatan yang terus mengalir di dalam hatinya. Deska ingin mengutuk. Bahkan ingin merobek wajah itu saking najisnya."Deska?""Ah, ya?" Deska menoleh ke arah sang kekasih yang duduk di sampingnya. "Ada apa?"Yepa tersenyum. Ia meremas tangan Deska yang ada di bawah meja. "Apa kau masih punya tempat yang ingin dikunjungi?""Aku tidak punya," katanya berbohong. Jika mereka pergi, ia apa bisa menyingkirkan dua orang yang tersisa? "Bag
Yepa melihat pemandangan yang ada di sekitarnya mulai berubah. Awalnya itu dekat dengan tanah. Lalu lambat laun meninggalkan daratan hingga perlahan-lahan gondola yang ia tumpangi bergerak ke atas dan kemudian berhenti di ketinggian tertentu. Hampir sejajar dengan langit hitam yang berbintang. Panorama kota di malam hari memang yang paling menarik. Membuatnya tak pernah bosan mencicipi keindahan tersebut. Sejenak ia berpikir bahwa ini cukup bagus. Sampai seseorang meremas tangannya. Ia pun kembali tersadar. Masih ada orang lain di sampingnya. "Apa kau menyukainya?" Entah sengaja atau tidak, bisikan hangat itu agak menggelitiknya. Ia pun menyahut tanpa menoleh seraya berpura-pura tidak terjadi apa-apa, "Ya."
Suara pintu tertutup keras terdengar sangat nyaring. Sebuah tas selempang wanita berharga ribuan euro terlempar ke sembarang tempat. Sepasang sepatu tanpa hak terlepas dari kaki sang pemilik. Tergeletak tak berdaya di atas lantai berpermadani merah."Benar-benar sial," gerutunya. Yuvika duduk di tepi ranjang dengan tangan dan kaki terlipat erat. Wajahnya beraroma masam dengan kening berkerut dalam. Ia mendengkus dengan perasaan kecut. "Apa Dewi Keberuntungan sedang tidak berpihak kepadaku?"Sejak ia memutuskan untuk mengacaukan kencan di antara Deska dan Yuvika, nasib baik itu sepertinya pergi ke antah-berantah. Kemunculan pria tua idiot itu menjadi pertandanya. Lalu setelahnya ada wanita yang membuatnya merasakan krisis di berbagai tempat. Hingga
Ketika Laiv menginjak kediaman Hirawan, tidak ada jejak arogan yang tercium walaupun tempat itu memajang berbagai benda berharga di sekelilingnya secara terang-terangan. Sebaliknya, justru terdapat kehangatan yang memancar dan seolah-olah berkata, "Ini adalah rumahmu"."Tempat tinggal kakekmu sangat nyaman," komentarnya ringan."Aku juga merasa seperti itu," tanggap Yepa tanpa menoleh. Jelas ia sangat menyukainya."Ngomong-ngomong, kau beruntung masih bisa bertemu dengan kerabatmu," lanjutnya. "Yang lain belum tentu." Apalagi dengan status sosial seperti ini. Pasti sangat sulit, pikir Laiv.Yepa tidak balik bertanya, tetapi ia tersenyum tipis dan malah berkata dengan enteng, "Di kehidupan ini aku memang agak mujur."
Saat kediaman Jahan tidak menerima tamu, tempat itu akan menjadi sunyi seolah tidak ada kehidupan di dalamnya. Sang kepala keluarga yang telah pensiun dini pun tidak lebih dari memanjakan diri tanpa niat terselubung lantaran sang putra satu-satunya tengah sibuk mengejar ambisi.Zalka tidak pernah berkomentar lebih akan keputusan putranya sendiri. Ia pun tidak ikut campur selama itu masih berada dalam batas wajar. Namun, akhir-akhir ini ia selalu berpikir. Apakah dirinya memang menginginkan hal ini?Naik kelas merupakan impian semua kalangan. Tak terkecuali dengan mereka yang sudah berada di atas sekalipun. Status sosial tertinggi menjadi tujuan yang paling menggiurkan. Dan demi mendapatkannya, tentu saja harus mengorbankan banyak hal dengan ukuran yang setimpal."Papa."
Kebanyakan wanita akan berdandan habis-habisan demi menarik perhatian si kekasih saat berkencan. Akan tetapi, Yepa meninggalkan hal-hal feminin itu dan merubah penampilannya menjadi lebih kelaki-lakian.Pada hari itu ia mengenakan celana jins standar serta kaos oblong jingga polos yang berpadu dengan jaket semi parka dan sneakers berwarna hijau tua. Ia pun mengikat rambut auburn panjangnya dengan bentuk ekor kuda."Bagaimana?" Yepa berkacak pinggang di hadapan Laiv dengan dagu terangkat tinggi.Laiv bertepuk tangan dan mengacungkan dua jempolnya seraya memuji, "Kau sangat keren, Yeye!"&nbs
"Apa yang ingin kau bicarakan denganku?" Enzi tidak suka berbasa-basi dan tatapannya sangat menusuk. "Kau datang menemuiku, pasti ada sesuatu, 'kan?"Laiv belum menyampaikan maksudnya, tetapi Enzi sudah memotongnya terlebih dahulu. "Apa aku tidak boleh mengobrol denganmu?" Sebenarnya ia bisa langsung saja ke inti tujuan, tetapi ia tidak melakukannya karena berpikir mungkin ia bisa mengorek satu-dua hal darinya sekaligus mengenang masa lalu.Melihat Laiv bersikeras, Enzi tidak menolak. "Baiklah." Ia bukan tipe orang yang suka merobek topeng lawannya. Juga bukan individu yang sok sibuk. Lagi pula dirinya punya waktu senggang saat ia menginginkannya. Ia pun mengeluarkan sebungkus rokok. "Kau keberatan?"Laiv menggeleng, tetapi tidak menolak. "Aku bisa menemanimu," katanya. Lagi pula ia sudah lama tidak merokok."Bagus."Enzi membuat isyarat agar Laiv mengikutinya dan pergi ke sebuah area yang tidak jauh dari tempat semula. Lokasi tersebut adalah sebuah area terbuka yang pernah menjadi la
"Apa ada yang kau inginkan?"Deska menggeleng lemah saat ayahnya bertanya. Ia pun menjawab dengan samar-samar, "Tidak ada." Ia merasa cukup dan tidak menginginkan apa pun.Zalka menghela napas. Sejak putranya bangun, perilakunya sudah seperti itu. Entah apa yang salah, tetapi ia merasa ada yang berubah."Kalau begitu istirahatlah. Dokter akan segera datang untuk memeriksamu lagi," katanya mengingatkan."Aku tahu." Deska mengangguk. Ia memaksakan sebuah senyum. "Papa juga sebaiknya beristirahat." Ia tahu ayahnya tidak terlihat santai setelah dirinya bangun tadi malam.Di depan putranya sendiri, ia tidak boleh memperlihatkan kelemahannya. Bagaimanapun juga, ia masih merasa cemas akan kondisi Deska yang belum pulih benar."Jangan khawatirkan aku," katanya dengan alami. "Aku baik-baik saja."Karena ayahnya berkata seperti demikian, Deska tidak akan repot-repot lagi memperingatkannya. Ia pun menutup mata sambil menunggu dokter datang.Ruangan itu menjadi hening. Kemudian setelah beberapa s
Sebenarnya Yepa sudah mampu berinteraksi secara normal dengan Laiv. Hanya saja ia tetap merasa aneh dengan perubahan ini. Ia lebih nyaman dengan wajah bodoh itu.Sementara itu, Laiv masih sedikit takut jika Yepa tidak bisa menerima kondisinya saat ini. Belum lagi mengenai perasaannya yang terus tertunda hingga sekarang.Keduanya bertemu kembali, tetapi di lokasi yang berbeda dari sebelumnya. Bukan lagi gudang tua usang yang tak terpakai, tetapi sebuah pondok.Yepa menguap lebar. "Jangan lihat aku seperti itu," katanya dengan nada bosan. "Aku tidak menerima berita apa pun dari kakek.""Bukankah seharusnya dia tahu kalau kau diculik?" Laiv mulai berpikiran buruk. "Kenapa dia tidak mencemaskanmu? Apakah orang-orangnya lalai?"Otak pria ini benar-benar sudah tersandung. Yepa memutar mata. "Kenapa tidak? Yang menculikku tidak lain kakakku sendiri. Masalah?""Tapi itu bukan kehendaknya," bantah Laiv. "Itu pekerjaan orang-orangnya. Ini kecelakaan.""Ya, kecelakaan yang membawa berkah," timpa
Jarno memasuki ruangan tempat Enzi kini berada dengan beberapa laporan di tangan. Di belakangnya Mirko menyusul, menutup pintu dan berdiri di sana. Saat ketiga pasang mata mereka bertemu, topeng kepura-puraan pun terlepas."Ada beberapa kabar," kata Jarno memulai. Ia melihat isi laporan dan membacakannya dengan jelas. Mulai dari kelompok mereka sendiri, keluarga Danapati, dan urusan Hirawan.Enzi fokus mendengarkan. Sementara Mirko menjaga pintu dengan patuh. Dan Jarno terus membacakan laporan. Setelah usai, ketiganya terdiam."Oke, kita tuntaskan dulu urusan internal," kata Enzi yang akhirnya bersuara.Jarno mengangguk. "Apa yang ingin kau lakukan?""Biarkan Dario dan kedua kawannya sibuk. Jangan beri mereka celah untuk mengorek kabar apa pun tentangku saat ini." Ia menoleh pada Mirko. "Karena orang-orang ini sangat peduli padaku, kirimkan beberapa wanita untuk mengganggu fokus mereka."Mirko mengangguk."Kali ini ambil umpan dengan jatah pekerjaan untuk jangka panjang," tambah Enzi.
Hingga detik ini, Yepa masih belum terbiasa dengan penampilan Laiv yang normal. Seharusnya itu baik-baik saja, tetapi ini justru sulit. Terasa aneh dan tidak pada tempatnya.Di ruangan yang sunyi itu Yepa dan Laiv saling menatap tanpa hendak mengutarakan apa pun. Keduanya diam seribu bahasa. Sibuk memikirkan ini dan itu tanpa kejelasan. Yang satu tidak tahu mesti berkata apa, sementara yang lain takut mengungkapkannya.Namun, pada akhirnya mereka tahu apa itu jenuh dan membuang-buang waktu. Lagi pula tidak ada artinya jika terus seperti itu. Kapan hal ini akan selesai?"Kau duluan."Mereka mengatakan hal serupa di saat yang bersamaan, keduanya terkejut.Laiv cepat-cepat mengibaskan tangan dengan panik. "Tidak, tidak, kau duluan!"Yepa memasang wajah cemberut, emosinya sedang tidak bagus. "Apa tidak terbalik?" tukasnya. "Seharusnya ini kau!""Benarkah?" Laiv meragukannya. Ia melirik ke arah lain, tidak berani menatap Yepa secara langsung seraya bergumam, "Kupikir itu kau."Sikap malu-m
Sepasang iris serigala itu menatap bosan ke arah luar jendela dari sebuah motel. Ribuan keping salju terus berjatuhan dari atas langit dan tampak tidak akan pernah berhenti turun untuk memenuhi seisi kota tersebut. Enzi menghela napas."Bos, apa kau menginginkan sesuatu?" tanya Marco dengan penuh pengertian. "Kalau ya, apa ada yang bisa kulakukan untukmu?""Tidak perlu," sahutnya singkat tanpa mengalihkan perhatian.Mendengar jawaban itu, Marco tidak terus mendesak sang bos. Tidak berarti tidak. Ia pun memilih duduk dengan tenang dan kembali menyeka pisau lipat yang masih ada di tangan.Keheningan kembali menyelimuti tempat tersebut. Satu orang duduk di dekat jendela dan sisa lainnya menempati sudut ruangan."Dia tidak memberi kabar?"Pertanyaan dadakan dalam kesunyian itu seketika menghentikan gerakan tangan Marco. Ia tahu siapa orang yang tengah sang bos singgung, Raveena Radeska."Ada," balasnya cepat. "Dia mengatakan bahwa tugasnya sudah selesai. Tapi masih ada beberapa hal yang b
Mendengar bahwa keduanya adalah teman sejak kecil, membuat Yepa percaya bahwa dunia itu sempit. Ternyata selama ini mereka saling terkait satu sama lain."Jadi, sebenarnya kalian sudah saling mengenal sejak lama?" Ia jatuh terduduk di tepi tempat tidur dengan pandangan jatuh ke bawah seolah tak bertenaga. "Lalu, ada apa dengannya?" Ia merasa kakaknya akan menyampaikan sesuatu yang buruk.Belum apa-apa reaksi adiknya sudah seperti ini. Tampaknya hal ini akan memberi pengaruh besar pada masa depan mereka. Namun, ia tidak ada hubungannya.Enzi tidak bertele-tele. "Karena suatu hal, dia harus mengkonsumsi obat-obatan yang bisa merubah wajahnya demi keselamatan. Tapi efek sampingnya pun sangat setimpal. Umurnya menjadi lebih pendek dari kebanyakan orang normal."Kabar itu memberinya pukulan. Yepa ingin mengatakan sesuatu. Hanya saja tidak ada suara apa pun yang keluar karena seketika itu juga pikirannya menjadi kosong, tetapi jelas dalam satu hal. Itu berarti waktunya tidak akan lama lagi?
Ruangan itu menjadi hening seketika. Atmosfer di sekitarnya pun turut berubah. Beberapa anggapan pun mulai bermunculan di antara para pendengar.Enzi bertanya-tanya, apa yang Yepa makan sehingga membuat penglihatannya menjadi seperti itu? Jelas usia mereka terpaut tidak jauh. Dengan senyum kebapakan, ia pun berkata, "Nak, apa kepalamu terbentur?"Mendengar jawaban seperti itu, telinga Yepa memerah. Belum lagi ada tawa yang muncul setelahnya. Membuat wajahnya memanas karena terbakar marah. Dan tanpa malu-malu ia pun membalas, "Mungkin temanmu memberiku obat yang salah."Seketika protes pun melayang. Jarno menampakkan diri sambil menunjuk Yepa. "Sialan! Otakmu pasti rusak!"Emosi Yepa tersulut. "Itu salahmu!" balasnya dengan garang.Di sisi lain Mirko masih tidak bisa berhenti tertawa. Ia melangkah dan berdiri di samping Jarno. "Bos, apa kau menghamili seorang wanita di usia dini?" candanya.Enzi tersenyum tanpa merasa tersinggung sedikit pun. "Kalau aku berani melakukannya, maka seseor
Dengan napas terengah dan tubuh berkeringat, akhirnya Laiv tiba di tempat tujuan. Ia melihat daerah pinggiran itu dengan wajah rumit. Merasa terlalu kebetulan dan aneh. Kenapa orang itu bisa berada di kota yang sama dengannya saat ini?Memasuki kawasan padat penduduk, ia menelusuri lorong-lorong panjang yang sempit dan saling terhubung satu sama lain. Begitu menginjak penghujung jalan, ia melihat sesosok remaja tengah berdiri. Ia menghampirinya tanpa banyak berpikir.Namun, belum ia mengucapkan sepatah kata pun, remaja itu, Ivan, mendongak dan terkejut saat melihat penampilannya."Hei, sudah lama sekali," sapanya ringan.Laiv mengangguk. Tanpa sadar ia menyentuh wajahnya dan mendesah. Oh, ia lupa minum obat hari ini saking cemasnya tadi."Antar aku ke sana," pintanya tanpa basa-basi."Oke!" Ivan mengacungkan jempol dan segera memandu Laiv ke tempat pertemuan.Tidak ada obrolan di antara keduanya. Hanya ada suara-suara ketukan sepatu dari langkah kaki mereka yang terdengar. Sementara d