Beranda / Romansa / Salju Hitam di Venesia / Pasangan Babi Betina dan Babi Jantan

Share

Pasangan Babi Betina dan Babi Jantan

Penulis: Zhio Sansone
last update Terakhir Diperbarui: 2021-10-22 07:33:27

"Ya, Pa?"

"Apa yang masih kau lakukan di sana?"

Kening Deska berkerut samar. Kenapa nada bicara ayahnya terdengar sangat tidak sabar?

"Apa masih lama?" lanjut Zalka agak jengkel. "Pacarmu sudah pergi."

"Papa bilang apa?" Ia merasa tidak percaya. Ia mengalihkan teleponnya ke telinga kiri. "Kenapa Papa tidak mencegahnya? Aku sudah mengatakannya pada Papa untuk menjaganya agar tidak pergi ke mana-mana."

"Apa urusannya denganku?" Zalka mendengkus. "Aku bukan kekasihnya dan aku tidak mau terlibat dengan bisnis romantikamu yang konyol itu."

"Pa." Ia mendesah. "Papa sendiri tahu. Yepa adalah satu-satunya wanita yang paling kucintai. Dan Yuvika hanyalah alat untuk memajukan perusahaanmu. Kalau bukan karena latar belakangnya, siapa yang bersedia membungkuk untuk hal ini?"

"Aku tahu ini. Aku senang kau mau berkompromi, tapi kau tidak bisa lengah dalam urusan wanita. Hati mereka sangatlah tajam." Zalka menghela napas. "Aku bisa menutup mata untuk hal ini. Namun, ketika hal itu pecah, kau harus punya jalan sendiri untuk memperbaikinya. Ingat? Aku pernah memberimu pilihan dan inilah jawabanmu."

Deska terdiam sejenak. " … Aku tahu, Pa. Aku tahu risikonya."

"Oke, lupakan." Zalka yakin sang putra sudah memahaminya. Ia pun melanjutkan, "Dia bilang ingin membantu temannya."

Teman? Sejak kapan kekasihnya peduli pada orang lain? Deska merasa janggal.

"Baik, aku hanya ingin menyampaikan hal itu saja," kata Zalka. "Segera kembali, tampaknya cuaca sedang buruk."

"Aku mengerti, Pa." Deska menutup telepon. Aneh. Ia mengenal Yepa dengan sangat baik. Gadis itu tidak akan pernah repot-repot berurusan dengan orang lain selain dirinya. Mungkinkah ... ia menarik napas dalam-dalam. Ia harus bisa menenangkannya sesegera mungkin.

Ketika ia berbalik, ia menemukan sesosok gadis sedang duduk di tepi tempat tidur. Tengah menantinya untuk menyelesaikan panggilan telepon.

"Des, sebenarnya kau tidak perlu seperti ini." Yuvika memandangnya dengan jujur. "Aku bukan satu-satunya cucu dari Tuan Hirawan."

"Aku tahu itu." Deska menatapnya tanpa emosi. "Tapi kau dibesarkan olehnya dan kau yang paling diakui. Semua orang bisa melihatnya."

Yuvika memaksakan senyum. "Aku sendiri sedang mencari saudaraku yang lain. Mungkin dia bisa menjadi orang yang kau kenal."

"Apa peduliku? Itu masalahmu," balas Deska ketus. "Aku sendiri tidak ingin melakukan hal ini kalau saja tidak ada perjanjian itu."

"Des, aku menyukaimu." Yuvika menatap ke dalam matanya dengan sungguh-sungguh. "Maukah kau mencobanya?"

"Aku hanya mencintai Yepa," balasnya tanpa berpikir.

"Tidak bisakah kau memberiku kesempatan?" Ia menunduk. "Aku memang tidak sebaik Yepa, tapi perasaanku ini tulus. Aku pasti mampu membahagiakanmu."

"Aku bisa melihatnya."

Deska sendiri tidak buta. Ia tahu gadis ini memendam rasa suka padanya selama bertahun-tahun. Lalu apa? Ia tidak tertarik pada gadis ini.

Yuvika mengangkat wajahnya dengan penuh harap.

"Tapi kau tidak bisa memasuki hatiku," lanjutnya dengan jelas.

"Des …." Air mata Yuvika menggenang.

Deska mengernyit. "Jangan menangis," katanya dingin.

Yuvika menggigit bibir bawahnya dengan wajah memerah. Menahan air matanya agar tidak jatuh.

"Ingat ini. Kau sudah beruntung bisa menikah denganku meski hanya di atas kertas."

"Ya." Yuvika mengangguk dengan enggan dan tetap bertahan di posisi yang sama dengan patuh.

Deska berbalik. Meraih gagang telepon dan menekan beberapa nomor yang familier dengan tenang.

"Halo?"

Seketika roman wajah Deska berubah menjadi lebih hangat setelah mendengar suara dari seberang sana. "Ini aku," katanya lembut.

Tubuh Yepa bergidik. Ia menjauhkan ponselnya dengan bulu kuduk meremang.

Ini Deska!

Ia menatap lekat-lekat rangkaian nomor asing yang tertera di atas layar ponselnya. Dari mana orang ini menelepon?

"O-oh, ini kau," balasnya dengan nada senatural mungkin. "Kenapa memanggilku dengan nomor lain?"

Deska tidak segera menjawab. Kenapa ia merasa suara Yepa terdengar kaku dan berjarak? Apakah ini hanya perasaannya saja? Atau … rasa krisis itu mendadak muncul dengan sendirinya. Mungkin ayahnya benar. Hati wanita itu sangatlah tajam.

"Aku menelepon dari hotel," jelasnya ringan. "Aku sedang menjemput temanku dan dia masih bersiap. Bukankah Papa sudah mengatakannya?"

Teman pantatku!

"Ah, ayahmu tadi menyebutkannya," katanya seraya memutar mata tanpa ingin mengkonfirmasinya lebih dalam.

Deska terdiam. Hanya ini tanggapannya? Sekarang ia yakin memang ada sesuatu yang tidak beres dengan kekasihnya.

"Kudengar kau pulang," lanjutnya mengubah topik. "Apa kau sudah merasa lebih baik? Kenapa terburu-buru? Ada apa? Apa sesuatu terjadi?"

Yepa meremas ponselnya dengan dengan tidak sabar. Rasanya ia ingin sekali melempar benda ini ke laut dan membiarkannya jatuh tenggelam ke dasar bumi.

"Ah, ini temanku yang sangat baik mendapat masalah dan dia sangat membutuhkan bantuanku," balasnya berlebihan. "Aku tidak bisa menolaknya. Kasihan."

Deska memikirkannya sejenak. Lingkaran pertemanan kekasihnya sangatlah sempit. Tiba-tiba ia mengingat sesosok pria yang menyedihkan dan jujur. Dan ia memilih untuk tidak mengungkitnya.

"Apa itu akan lama?"

"Yah, sepertinya."

"Kalau sempat, bisakah kau kembali? Kau sudah berjanji padaku, 'kan?"

Aku bukan pembantumu!

"Nah, aku tidak tahu," katanya dengan enggan. "Coba lihat cuaca di luar. Sangat tidak bersahabat. Kalau aku sakit bagaimana? Maaf, gajiku tidak boleh mengalir ke kantong rumah sakit mana pun." Dan ia tidak mau bertemu dengan dokter!

"Begitu." Deska merasa agak kecewa sekaligus lucu. Kekasihnya ini tetap perhitungan. "Eh, tapi kalau kau bebas nanti malam dan cuaca baik-baik saja, bolehkah aku menjemputmu?"

Wajah Yepa sontak berubah menjadi lebih serius.

Sialan!

Kenapa ia baru menyadari kalau pria ini sangatlah lengket? Untuk apa dirinya pergi kalau pada akhirnya ia akan tetap kembali ke lintasannya?

"Uh, aku tidak tahu … oh, bagaimana kalau nanti kuhubungi lagi jika urusannya sudah selesai, oke?" balasnya dengan nada setengah memohon.

Deska tersenyum puas. "Baiklah. Aku akan menjemputmu. Sampai jumpa, Sayang."

"Sampai jumpa!"

Tubuh Yepa menggigil. Cepat-cepat ia mematikan ponselnya. Kebencian di dalam matanya timbul kembali.

Ini pasti Zalka!

Kenapa pria tua itu menghubungi putranya? Ia mendecakkan lidahnya kesal. Kalau ia memikirkannya lagi, rasanya memang aneh. Bukankah seharusnya pria tua itu membencinya? Ia menatap pintu tempat tinggalnya dalam keheningan. Tidak bisakah ia menghindari pria itu agar tidak terlalu menderita banyak kerugian?

Dari awal hingga akhir Deska tidak mendengar Yepa menyebut namanya. Apa kekasihnya kesal karena ia pergi tanpa berpamitan? Ya. Pasti itu. Ia melirik Yuvika yang masih duduk dalam posisinya.

"Cepat bersiap. Malam ini aku harus menjemput Yepa," katanya tidak sabar. "Kalian akan bertemu. Jaga sikapmu di hadapannya."

Yuvika mengepalkan kedua tangannya. "Aku mengerti," gumamnya seraya bergerak mengemasi barang-barangnya dengan patuh.

Ia menyadari nilainya sendiri. Di hadapan pasangan ayah dan anak Jahan ini, dirinya hanyalah sebuah alat. Batu loncatan untuk meraih keagungan dari keluarga Hirawan. Belum lagi sikap Zalka yang tak pernah terprediksi padanya. Ia hanya punya latar belakang yang bisa dirinya perjuangkan. Benar. Setidaknya ada kesempatan untuk berdiri di sisi Deska meski hanya sekadar nama.

Yepa. Ia sudah melihat rupa wanita itu meski hanya lewat sebuah foto. Penampilannya sangat luar biasa. Pantas Deska mengejarnya tanpa melihat status. Namun, peluang untuk meluluhkan hati pria itu tetap selalu ada. Ia pasti bisa menggantikan posisi wanita itu. Ia hanya perlu bersabar.

"Selesai?"

Yuvika mengangguk. "Sudah."

Deska memandang sekilas penampilannya yang patuh. Ia tidak mengatakan apa-apa lagi dan berbalik. Membiarkan Yuvika mengikutinya dari belakang, meninggalkan hotel dengan emosi yang terkontrol rapi.

"Apa hujan akan turun?" tanya Yuvika tanpa sadar saat ia melihat langit yang mendung.

Entah kenapa Deska teringat akan obrolannya dengan Yepa yang mengatakan bahwa "cuaca tidak bersahabat". Begitu pula dengan ayahnya yang berkata demikian.

"Mungkin."

Bab terkait

  • Salju Hitam di Venesia   Kecelakaan

    "Yepa?" "A-ah, ya?" Yepa mengerjap dan memandang Deska dengan gugup. "Apa yang sedang kau pikirkan?" Deska menatapnya dalam-dalam. "Apa wajahku sangat menarik atau ada sesuatu yang mengganggumu?" "Kau tidak perlu khawatir." Yepa menurunkan matanya dengan suara serius. "Aku hanya mendapat mimpi buruk." "Benarkah?" Tangan Deska bergerak. Jari jemarinya mengelus pipi Yepa yang halus dengan penuh kasih sayang. "Apa kau mau membaginya denganku agar tidak menjadi beban pikiran?" "Tidak perlu." Yepa menggeleng pelan. Ia mengangkat wajahnya dengan senyuman kuat. "Aku baik-baik saja." "Begitu." Deska menghela napas lega. "Kalau kau tidak apa-apa, itu bagus." Jika ini sebelumnya, Yepa pasti tidak akan menyembunyikan apa-apa dari Deska. Bahkan untuk hal yang sepele sekalipun. Namun, sekarang …. "Des, kau tenang saja." Yepa melingkarkan kedua tangannya di pinggang Deska yang sempit. "Jangan terlalu banyak berpikir, oke?" "Aku tahu." Deska merengkuhnya dengan hangat. Perasaan tidak

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-22
  • Salju Hitam di Venesia   Jelmaan Iblis

    Gerakan kaki Laiv yang terburu-buru seketika melambat. Perlahan ia berhenti berjalan dan menoleh dengan penuh keraguan. Hanya ada jalanan lurus dan kosong yang memasuki bidang netranya. Pemandangan di sekitarnya pun sangat tidak menyenangkan. Sepi dan temaram. Untuk sesaat, pikirannya hampa. Ia cemas dan tidak bisa membuat keputusan. Pulang atau kembali menemui Yepa. Meski sosok itu sudah tidak lagi tertangkap oleh jangkauan penglihatan, ia bisa membayangkan seperti apa suasana hati gadis itu saat ini. Bimbang. Sebagai sahabat, bukankah seharusnya ia berdiri di sampingnya? Memberinya kata-kata penghiburan. Membuatnya tertawa. Membiarkannya bangkit dengan keteguhan hati yang baru. Begitulah keinginan sejatinya. Sayang, semua itu hanyalah pemikirannya yang tidak mungkin terwujud. Jangankan membantu orang lain, menyokong dirinya saja … bahkan ia hampir tidak mampu melakukannya sendiri. Memang tidak berguna. "Yeye tidak akan dendam padaku, 'kan?" gumamnya takut-takut. Dalam kesunyian i

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-01
  • Salju Hitam di Venesia   Salju Dingin yang Luput Kini Telah Kembali

    Sekali saja Yepa ingin memuaskan hasrat bermalas-malasannya di setiap hari Minggu. Sebelumnya hati dan pikirannya sudah terkuras. Bahkan ia sudah tidak memiliki air mata lagi. Itu kering dan membosankan. Ia membuka kedua matanya dengan sikap ogah-ogahan ketika telinganya mendengar suara ketukan pintu. Pukul berapa sekarang? Ia mengutuk dengan bersih sambil beranjak dari atas tempat tidur. Ketika ia membuka pintu, ia melihat sosok Laiv yang terlihat lebih bersinar dari biasanya. Ia mengerjap dan menatap dengan bodoh. "Halo, eh, pagi, Yeye," sapanya gugup. "Apa aku mengganggu tidurmu?" Bukankah itu sudah jelas? Namun, Yepa tetap tidak tahu harus bersikap seperti apa pada orang yang ada di hadapannya saat ini. Samar-samar ia memang mengingat bahwa pria ini akan menemuinya dan sebenarnya tidak terlalu menganggapnya serius. Ia melirik tangan Laiv yang kosong. Bukannya ia mengharapkan sesuatu dari pria ini, tetapi ada rasa tidak puas yang bergelayut kecut di dalam hatinya. "Hanya teguran

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-01
  • Salju Hitam di Venesia   Perubahan

    Deska memberhentikan kendaraannya di sebuah lahan parkir dari suatu gedung. Ia mematikan mesin dan melepas sabuk pengaman. Ia bergerak tanpa berpikir. Keluar dari dalam mobil dan membukakan pintu untuk sang kekasih. "Terima kasih," kata Yepa ketika ia turun dari dalam kendaraan tersebut. "Ya." Deska tersenyum seraya menarik tubuh sang kekasih ke sisinya. "Di sini tempatnya." Begitu Yepa mendongak, ia mendapati sebuah bangunan berlantai dua dengan plang kayu bergantung yang bertuliskan "Bar Lussuria" di atasnya. Ia mengerjap. Dari luar penampilan tempat ini sangatlah biasa-biasa saja. Seluruh gedung bercat putih tanpa dekorasi yang berlebih. Hampir tidak membocorkan esensi yang berkenaan dengan "nafsu" dari arti tertentu. "Bagaimana?" Deska memegangi kedua bahu sang kekasih dengan sikap yang sangat alami. "Nama tempat ini sangat menarik, bukan?" Yepa mengangguk dengan kosong. "Sangat unik," akunya. Bar macam apa ini? Tidakkah sebutan ini terlalu ambigu? Deska terkekeh pelan. Ia me

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-02
  • Salju Hitam di Venesia   Si Petualang Sejati

    "Maaf, Anda siapa?" Orang itu tidak segera menyahut. Sikapnya justru tidak kalah bimbangnya dengan penampilan Yepa yang bermandikan keraguan. "Maaf." Ia meneguk ludahnya sendiri. Ada harapan di dalam sorot matanya. "Apa Eden adalah ibumu?" Pelukan Yepa pada kedua kantong kertas itu kian mengerat. Tidak khawatir mereka akan rusak. Pikirannya teralihkan. Dugaannya tidak keliru. Mendadak ia merasa wajahnya memanas. "Tuan … Anda, Anda kakekku?" tanyanya dengan suara yang bergetar. Taveti Hirawan tidak perlu merisaukan perasaannya lagi. Tanpa pertimbangan apa pun, ia menarik Yepa ke dalam dekapannya. Membungkusnya dengan kerinduan yang kentara. "Ya, cucuku," katanya parau, "ini Kakek." Air mata pun menitik. Yepa membiarkan tubuhnya tenggelam ke dalam rengkuhan pria paruh baya itu dengan seluruh perasaannya. "Kakek, aku bertemu denganmu," bisiknya. "Ya, ya, cucuku, akhirnya kita bertemu," balasnya menegaskan. Ia pun tak kuasa menahan rasa haru yang membayangi wajahnya. "Kakek menemukan

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-02
  • Salju Hitam di Venesia   Keakraban

    Taveti menyesap teh dan menghela napas. Ia menyimpan kembali cangkir itu ke atas meja dengan gerakan alami yang sangat tenang dan elegan. "Karena kau bersedia, apa kau punya cara untuk membantu Kakek?" "Nah, ini dia." Yepa mendesah, tetapi tetap mengutarakan pendapatnya. "Karena kakak dilahirkan di luar nikah, pemerintah sudah pasti mengecapnya sebagai anak yatim piatu. Otomatis setiap hal yang berhubungan dengannya, mereka akan segera menyegelnya apa pun jenisnya." Ia mendecakkan lidah. "Uang juga belum tentu bisa diandalkan dalam hal ini. Walaupun kecil, ada kemungkinan kakak berdiri di belakang keluarga yang setara dengan Kakek. Jika hal itu terjadi, maka akan lebih sulit." "Benar." Taveti mengangguk menyetujuinya. "Untuk menemukanmu memang agak mudah. Namamu tercatat di dalam kartu keluarga dan anak itu … ah, hanya jenis kelaminnya saja yang kutahu. Akan lebih bagus lagi jika ada pihak yang mau berbagi dengan kita." Yepa mengerti akan kebenaran dari keluhan kakeknya ini. "Kecua

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-03
  • Salju Hitam di Venesia   Tidak Masalah Bahkan jika Harus Bersekutu dengan Iblis sekalipun

    Karena kesempatan itu datang tepat ke depan pintu, Yepa tidak akan menyia-nyiakannya. "Kakek, aku punya permintaan," katanya tiba-tiba. Taveti memandangi wajah cucu perempuannya dengan ramah. "Apa yang bisa Kakek bantu?" "Aku ingin menjatuhkan seseorang," katanya tanpa sembunyi-sembunyi, "sebagai gantinya aku bersedia melakukan apa pun untukmu." "Apa pun?" Taveti seketika mengubah wajahnya dan bertanya dengan hati-hati, "Kau yakin dengan perkataanmu itu?" Yepa mengangguk dengan sungguh-sungguh. Ia memahami dengan jelas apa arti dari kedua kata tersebut. Ia bukan lagi dirinya yang dulu. Gadis lugu yang selalu menginginkan segala hal serba pertama. Ia tahu ada balasan untuk semua ini. "Jadi, kau akan mencari kakakmu setelah hal ini berakhir?" terka Taveti tanpa mengalihkan pandangan. "Berapa lama itu?" "Ya, Kakek." Yepa mengangguk dengan perasaan lega. Ia tidak segera menjawab pertanyaan selanjutnya, tetapi memikirkannya terlebih dahulu. Menurut perkiraannya, rencana Deska dan Yuvi

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-03
  • Salju Hitam di Venesia   Pertemuan Keluarga

    "Deska, bagaimana menurutmu?" Yuvika memamerkan busana yang ia kenakan dengan penuh semangat. Gaun pendek berwarna kuning pucat yang membungkus indah tubuhnya. Mata Deska hanya memindai penampilan Yuvika dengan pandangan biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa. "Bagus," sahutnya singkat. Sudah Yuvika duga tanggapan seperti itu yang akan meluncur dari mulut Deska. Ia mendesah dan tetap memasang wajah tersenyum. Tidak perlu berkecil hati. "Maaf, aku terlalu bersemangat," katanya. "Aku tidak bisa menahan diri ketika mendengar berita ini. Jarang sekali kakek mau datang ke Venesia." Deska mengangguk. "Tidak apa-apa." Ia bisa mengerti. Pria yang senang berpetualang itu memang memberinya kejutan. Mendadak ingin menetap di Kota Air ini. "Karena kau sudah siap, kita akan pergi sekarang?" "Ya." Yuvika tersenyum manis. Ia menghampiri Deska dan berdiri di sisinya. "Kakek pasti akan senang melihatmu." Meskipun Deska ingin memanjat dengan menggunakan nama keluarga itu, tidak ada ketertarikan

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-04

Bab terbaru

  • Salju Hitam di Venesia   Bersantai

    "Apa yang ingin kau bicarakan denganku?" Enzi tidak suka berbasa-basi dan tatapannya sangat menusuk. "Kau datang menemuiku, pasti ada sesuatu, 'kan?"Laiv belum menyampaikan maksudnya, tetapi Enzi sudah memotongnya terlebih dahulu. "Apa aku tidak boleh mengobrol denganmu?" Sebenarnya ia bisa langsung saja ke inti tujuan, tetapi ia tidak melakukannya karena berpikir mungkin ia bisa mengorek satu-dua hal darinya sekaligus mengenang masa lalu.Melihat Laiv bersikeras, Enzi tidak menolak. "Baiklah." Ia bukan tipe orang yang suka merobek topeng lawannya. Juga bukan individu yang sok sibuk. Lagi pula dirinya punya waktu senggang saat ia menginginkannya. Ia pun mengeluarkan sebungkus rokok. "Kau keberatan?"Laiv menggeleng, tetapi tidak menolak. "Aku bisa menemanimu," katanya. Lagi pula ia sudah lama tidak merokok."Bagus."Enzi membuat isyarat agar Laiv mengikutinya dan pergi ke sebuah area yang tidak jauh dari tempat semula. Lokasi tersebut adalah sebuah area terbuka yang pernah menjadi la

  • Salju Hitam di Venesia   Bangun dari Mimpi

    "Apa ada yang kau inginkan?"Deska menggeleng lemah saat ayahnya bertanya. Ia pun menjawab dengan samar-samar, "Tidak ada." Ia merasa cukup dan tidak menginginkan apa pun.Zalka menghela napas. Sejak putranya bangun, perilakunya sudah seperti itu. Entah apa yang salah, tetapi ia merasa ada yang berubah."Kalau begitu istirahatlah. Dokter akan segera datang untuk memeriksamu lagi," katanya mengingatkan."Aku tahu." Deska mengangguk. Ia memaksakan sebuah senyum. "Papa juga sebaiknya beristirahat." Ia tahu ayahnya tidak terlihat santai setelah dirinya bangun tadi malam.Di depan putranya sendiri, ia tidak boleh memperlihatkan kelemahannya. Bagaimanapun juga, ia masih merasa cemas akan kondisi Deska yang belum pulih benar."Jangan khawatirkan aku," katanya dengan alami. "Aku baik-baik saja."Karena ayahnya berkata seperti demikian, Deska tidak akan repot-repot lagi memperingatkannya. Ia pun menutup mata sambil menunggu dokter datang.Ruangan itu menjadi hening. Kemudian setelah beberapa s

  • Salju Hitam di Venesia   Kabar

    Sebenarnya Yepa sudah mampu berinteraksi secara normal dengan Laiv. Hanya saja ia tetap merasa aneh dengan perubahan ini. Ia lebih nyaman dengan wajah bodoh itu.Sementara itu, Laiv masih sedikit takut jika Yepa tidak bisa menerima kondisinya saat ini. Belum lagi mengenai perasaannya yang terus tertunda hingga sekarang.Keduanya bertemu kembali, tetapi di lokasi yang berbeda dari sebelumnya. Bukan lagi gudang tua usang yang tak terpakai, tetapi sebuah pondok.Yepa menguap lebar. "Jangan lihat aku seperti itu," katanya dengan nada bosan. "Aku tidak menerima berita apa pun dari kakek.""Bukankah seharusnya dia tahu kalau kau diculik?" Laiv mulai berpikiran buruk. "Kenapa dia tidak mencemaskanmu? Apakah orang-orangnya lalai?"Otak pria ini benar-benar sudah tersandung. Yepa memutar mata. "Kenapa tidak? Yang menculikku tidak lain kakakku sendiri. Masalah?""Tapi itu bukan kehendaknya," bantah Laiv. "Itu pekerjaan orang-orangnya. Ini kecelakaan.""Ya, kecelakaan yang membawa berkah," timpa

  • Salju Hitam di Venesia   Wajah Lain

    Jarno memasuki ruangan tempat Enzi kini berada dengan beberapa laporan di tangan. Di belakangnya Mirko menyusul, menutup pintu dan berdiri di sana. Saat ketiga pasang mata mereka bertemu, topeng kepura-puraan pun terlepas."Ada beberapa kabar," kata Jarno memulai. Ia melihat isi laporan dan membacakannya dengan jelas. Mulai dari kelompok mereka sendiri, keluarga Danapati, dan urusan Hirawan.Enzi fokus mendengarkan. Sementara Mirko menjaga pintu dengan patuh. Dan Jarno terus membacakan laporan. Setelah usai, ketiganya terdiam."Oke, kita tuntaskan dulu urusan internal," kata Enzi yang akhirnya bersuara.Jarno mengangguk. "Apa yang ingin kau lakukan?""Biarkan Dario dan kedua kawannya sibuk. Jangan beri mereka celah untuk mengorek kabar apa pun tentangku saat ini." Ia menoleh pada Mirko. "Karena orang-orang ini sangat peduli padaku, kirimkan beberapa wanita untuk mengganggu fokus mereka."Mirko mengangguk."Kali ini ambil umpan dengan jatah pekerjaan untuk jangka panjang," tambah Enzi.

  • Salju Hitam di Venesia   Sumpah

    Hingga detik ini, Yepa masih belum terbiasa dengan penampilan Laiv yang normal. Seharusnya itu baik-baik saja, tetapi ini justru sulit. Terasa aneh dan tidak pada tempatnya.Di ruangan yang sunyi itu Yepa dan Laiv saling menatap tanpa hendak mengutarakan apa pun. Keduanya diam seribu bahasa. Sibuk memikirkan ini dan itu tanpa kejelasan. Yang satu tidak tahu mesti berkata apa, sementara yang lain takut mengungkapkannya.Namun, pada akhirnya mereka tahu apa itu jenuh dan membuang-buang waktu. Lagi pula tidak ada artinya jika terus seperti itu. Kapan hal ini akan selesai?"Kau duluan."Mereka mengatakan hal serupa di saat yang bersamaan, keduanya terkejut.Laiv cepat-cepat mengibaskan tangan dengan panik. "Tidak, tidak, kau duluan!"Yepa memasang wajah cemberut, emosinya sedang tidak bagus. "Apa tidak terbalik?" tukasnya. "Seharusnya ini kau!""Benarkah?" Laiv meragukannya. Ia melirik ke arah lain, tidak berani menatap Yepa secara langsung seraya bergumam, "Kupikir itu kau."Sikap malu-m

  • Salju Hitam di Venesia   Berjalan Normal

    Sepasang iris serigala itu menatap bosan ke arah luar jendela dari sebuah motel. Ribuan keping salju terus berjatuhan dari atas langit dan tampak tidak akan pernah berhenti turun untuk memenuhi seisi kota tersebut. Enzi menghela napas."Bos, apa kau menginginkan sesuatu?" tanya Marco dengan penuh pengertian. "Kalau ya, apa ada yang bisa kulakukan untukmu?""Tidak perlu," sahutnya singkat tanpa mengalihkan perhatian.Mendengar jawaban itu, Marco tidak terus mendesak sang bos. Tidak berarti tidak. Ia pun memilih duduk dengan tenang dan kembali menyeka pisau lipat yang masih ada di tangan.Keheningan kembali menyelimuti tempat tersebut. Satu orang duduk di dekat jendela dan sisa lainnya menempati sudut ruangan."Dia tidak memberi kabar?"Pertanyaan dadakan dalam kesunyian itu seketika menghentikan gerakan tangan Marco. Ia tahu siapa orang yang tengah sang bos singgung, Raveena Radeska."Ada," balasnya cepat. "Dia mengatakan bahwa tugasnya sudah selesai. Tapi masih ada beberapa hal yang b

  • Salju Hitam di Venesia   Pukulan

    Mendengar bahwa keduanya adalah teman sejak kecil, membuat Yepa percaya bahwa dunia itu sempit. Ternyata selama ini mereka saling terkait satu sama lain."Jadi, sebenarnya kalian sudah saling mengenal sejak lama?" Ia jatuh terduduk di tepi tempat tidur dengan pandangan jatuh ke bawah seolah tak bertenaga. "Lalu, ada apa dengannya?" Ia merasa kakaknya akan menyampaikan sesuatu yang buruk.Belum apa-apa reaksi adiknya sudah seperti ini. Tampaknya hal ini akan memberi pengaruh besar pada masa depan mereka. Namun, ia tidak ada hubungannya.Enzi tidak bertele-tele. "Karena suatu hal, dia harus mengkonsumsi obat-obatan yang bisa merubah wajahnya demi keselamatan. Tapi efek sampingnya pun sangat setimpal. Umurnya menjadi lebih pendek dari kebanyakan orang normal."Kabar itu memberinya pukulan. Yepa ingin mengatakan sesuatu. Hanya saja tidak ada suara apa pun yang keluar karena seketika itu juga pikirannya menjadi kosong, tetapi jelas dalam satu hal. Itu berarti waktunya tidak akan lama lagi?

  • Salju Hitam di Venesia   Kejutan

    Ruangan itu menjadi hening seketika. Atmosfer di sekitarnya pun turut berubah. Beberapa anggapan pun mulai bermunculan di antara para pendengar.Enzi bertanya-tanya, apa yang Yepa makan sehingga membuat penglihatannya menjadi seperti itu? Jelas usia mereka terpaut tidak jauh. Dengan senyum kebapakan, ia pun berkata, "Nak, apa kepalamu terbentur?"Mendengar jawaban seperti itu, telinga Yepa memerah. Belum lagi ada tawa yang muncul setelahnya. Membuat wajahnya memanas karena terbakar marah. Dan tanpa malu-malu ia pun membalas, "Mungkin temanmu memberiku obat yang salah."Seketika protes pun melayang. Jarno menampakkan diri sambil menunjuk Yepa. "Sialan! Otakmu pasti rusak!"Emosi Yepa tersulut. "Itu salahmu!" balasnya dengan garang.Di sisi lain Mirko masih tidak bisa berhenti tertawa. Ia melangkah dan berdiri di samping Jarno. "Bos, apa kau menghamili seorang wanita di usia dini?" candanya.Enzi tersenyum tanpa merasa tersinggung sedikit pun. "Kalau aku berani melakukannya, maka seseor

  • Salju Hitam di Venesia   Kenalan Lama

    Dengan napas terengah dan tubuh berkeringat, akhirnya Laiv tiba di tempat tujuan. Ia melihat daerah pinggiran itu dengan wajah rumit. Merasa terlalu kebetulan dan aneh. Kenapa orang itu bisa berada di kota yang sama dengannya saat ini?Memasuki kawasan padat penduduk, ia menelusuri lorong-lorong panjang yang sempit dan saling terhubung satu sama lain. Begitu menginjak penghujung jalan, ia melihat sesosok remaja tengah berdiri. Ia menghampirinya tanpa banyak berpikir.Namun, belum ia mengucapkan sepatah kata pun, remaja itu, Ivan, mendongak dan terkejut saat melihat penampilannya."Hei, sudah lama sekali," sapanya ringan.Laiv mengangguk. Tanpa sadar ia menyentuh wajahnya dan mendesah. Oh, ia lupa minum obat hari ini saking cemasnya tadi."Antar aku ke sana," pintanya tanpa basa-basi."Oke!" Ivan mengacungkan jempol dan segera memandu Laiv ke tempat pertemuan.Tidak ada obrolan di antara keduanya. Hanya ada suara-suara ketukan sepatu dari langkah kaki mereka yang terdengar. Sementara d

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status