"Yepa?"
"A-ah, ya?" Yepa mengerjap dan memandang Deska dengan gugup.
"Apa yang sedang kau pikirkan?" Deska menatapnya dalam-dalam. "Apa wajahku sangat menarik atau ada sesuatu yang mengganggumu?"
"Kau tidak perlu khawatir." Yepa menurunkan matanya dengan suara serius. "Aku hanya mendapat mimpi buruk."
"Benarkah?" Tangan Deska bergerak. Jari jemarinya mengelus pipi Yepa yang halus dengan penuh kasih sayang. "Apa kau mau membaginya denganku agar tidak menjadi beban pikiran?"
"Tidak perlu." Yepa menggeleng pelan. Ia mengangkat wajahnya dengan senyuman kuat. "Aku baik-baik saja."
"Begitu." Deska menghela napas lega. "Kalau kau tidak apa-apa, itu bagus."
Jika ini sebelumnya, Yepa pasti tidak akan menyembunyikan apa-apa dari Deska. Bahkan untuk hal yang sepele sekalipun. Namun, sekarang ….
"Des, kau tenang saja." Yepa melingkarkan kedua tangannya di pinggang Deska yang sempit. "Jangan terlalu banyak berpikir, oke?"
"Aku tahu." Deska merengkuhnya dengan hangat. Perasaan tidak nyaman itu sedikit mereda. Mungkin ia memang terlalu banyak berpikir.
Di balik dekapan itu sorot mata Yepa sangatlah dingin. Ia tidak boleh membuat Deska curiga. Atau pria ini akan menggunakan kekuatan uangnya untuk menghancurkan rencananya tanpa sadar.
"Yepa," bisiknya. Deska membuat jarak dengannya.
Yepa mendongak dengan sikap jengah yang manis. Ia tahu sinyal jenis macam apa ini. Ia memejamkan mata dan menunggu hal itu datang.
Meski hatinya enggan, ia harus mampu mengorbankan beberapa hal demi mencapai tujuan. Ia bisa merasakan napas Deska yang semakin mendekat padanya. Selama itu pula ia terus menghibur dirinya sendiri.
Tidak apa-apa. Orang yang akan menciumku adalah pria tampan, tinggi, dan kaya. Aku tidak rugi.
Ia terus mengulang kalimat itu di dalam kepala hingga sebuah jeritan membubarkan konsentrasinya. Refleks ia mendorong Deska menjauh.
"Apa itu?" tanyanya agak gugup.
Deska tidak marah karena kecelakaan yang mendadak ini. Sikapnya masih tetap tenang. "Aku akan memeriksanya," katanya seraya berbalik.
"Ikut!" Yepa langsung menempel Deska dengan waswas. Memeluk lengannya erat.
Deska merasa tak berdaya dengan sikap sang kekasih yang tampak menggemaskan di matanya ini. Seolah mereka akan menghadapi sesuatu yang gaib saja.
"Yah, kita lihat bersama," putusnya.
Pemandangan tidak biasa jatuh ke hadapan para penghuni kediaman. Di sana mereka melihat Yuvika berguling-guling di atas lantai ruang tengah sembari memegangi perutnya.
"Sakit!" pekiknya dengan keringat dingin yang bercucuran. Ia mengerang dengan suara yang tak tertahankan.
Di sana Yepa segera bereaksi tanpa memikirkan apa pun. Ia menghampiri Yuvika dan membantunya bangun.
"Kak, Kakak … Kak …." Yuvika bersandar padanya. Tangannya mencengkeram erat lengan Yepa. "Perutku sakit … tolong aku," pintanya setengah terisak. "Sakit …."
"Aku akan membawamu ke rumah sakit," katanya setengah berbisik.
"Serahkan saja padaku."
Deska segera mengambil alih Yuvika dengan sikap tenang dan Yepa mengikutinya dengan Zalka yang memandu mereka.
Semua proses mendebarkan itu jatuh ke dalam mata Yepa sekaligus. Ia tidak merasakan apa-apa saat Deska membawa Yuvika ke dalam ruang unit gawat darurat.
Keduanya … tangannya terkepal erat. Peristiwa ini tidak seperti di kehidupan sebelumnya. Apa ia melewatkannya tanpa sengaja?
Di belakang ketiganya Zalka menyaksikan pemandangan ini dalam keheningan. Ia mendesah. Namun, tidak ada yang bisa membaca pikirannya.
Yepa berbalik. Matanya langsung tertuju ke arah Zalka. "Paman, aku akan kembali. Aku merasa kurang enak badan," katanya tenang, tetapi tampak letih. "Tolong sampaikan pada Deska."
Zalka mengangguk. "Kembalilah. Kau juga perlu beristirahat."
"Terima kasih, Paman."
Begitu Yepa meninggalkan area rumah sakit, sikap lemahnya menghilang. Wajahnya dingin dan serius. Gerak langkah kakinya pun menjadi lebih cepat dan rapat.
Selain hujan yang kadang-kadang terjeda secara tak terduga dan kecelakaan yang menimpa Yuvika, kedua hal ini ada di luar lintasan kehidupan sebelumnya.
Ini tidak normal.
Yepa menggunakan taksi untuk kembali ke tempat tinggalnya. Ia sengaja berhenti di area sepi untuk menjernihkan pikirannya yang kacau. Sembari menyusuri jalanan, ia tidak menyadari jika seseorang tengah berlari ke arahnya dengan panik.
"Yeye!"
Pria itu berhasil meraih lengan Yepa dan menghalaunya di tengah jalan. Yepa tentunya terkejut, tetapi ia tidak memiliki rasa takut apa pun karena ia mengenal orang ini. Laiv F. Urville. Rekan kerjanya.
"Ada apa, Lala?" Ia menoleh. Tersenyum dengan tatapan dingin. "Merindukanku?"
Tubuh Laiv bergetar. Akan tetapi, ia masih tidak berniat melepaskan Yepa. Ia malah memandangnya dengan pilon dan merasa temannya ini lebih "keren" dari biasanya.
Senyuman di wajah Yepa kian menguat. "Bisa kau melepaskanku dulu, Laiv?"
Sontak Laiv panik dan cepat-cepat melepaskannya. Entah kenapa ia paling takut saat Yepa menyebut namanya secara langsung.
"Maaf. Aku tidak bermaksud menyakitimu," katanya buru-buru menjelaskan. "Tapi kalau tidak seperti ini, kau pasti akan mengabaikanku."
Orang ini … Yepa mendesah. "Ayo cari tempat untuk berbicara," katanya seraya berbalik, tanpa menunggu tanggapan dari Laiv.
Ada perasaan aneh yang menjalari hati Laiv ketika ia melihat punggung Yepa yang menjauh darinya. Entah ini benar atau tidak, ia harus mengatakannya. Mungkin ini adalah pertanda.
Mereka mendatangi sebuah taman yang sunyi. Keduanya berdiri saling berhadapan. Satu tenang dan yang lainnya gugup.
"Katakan, aku akan mendengarkannya," kata Yepa tanpa berbasa-basi.
Laiv merasa ragu saat melihat ketegasan Yepa yang kurang normal. Tiba-tiba wajah yang menderita itu tumpang tindih dengan orang yang ada di hadapannya saat ini. Ia meneguk ludahnya sendiri. "Yepa, aku melihatmu di dalam mimpiku," katanya cemas.
Yepa tidak merespons. Akan tetapi, angin malam membelai tubuh keduanya dalam keheningan.
Bukannya melanjutkan, Laiv malah menatap dengan waspada. "Tapi, kau jangan memukulku, ya?"
Pria idiot ini!
Sejahat apa dirinya di hadapan pria bodoh ini? Ia hanya mengangkat bahu tak peduli.
"Yepa, kau dimakan anjing liar."
Seketika suasana di sekitar mereka menjadi sangat senyap dalam hitungan detik. Air muka Yepa menjadi lebih serius. "Ceritakan semua yang kau lihat di dalam mimpimu," katanya tegas.
Laiv cepat-cepat mengangguk. Itu adalah adegan saat Yepa melahirkan hingga Deska meninggalkannya di tengah hutan.
" … Kau sudah mati."
Yepa tahu ini dan tidak menanggapi.
"Deska mencarimu."
Mata Yepa melebar tak percaya. "Apa?" Ia meneguk ludahnya sendiri. "Kau bilang apa?"
"Deska mencarimu ke tengah hutan," tegasnya. "Tapi semua sudah terlambat. Dia menangis dan menyesal atas tindakannya yang sudah membohongimu."
Tubuh Yepa tiba-tiba bergetar dengan suhu badan yang menurun.
"Dia memberimu pemakaman yang baik," tambahnya dengan lirih. Awalnya Laiv merasa gelisah saat ia menceritakan semua ini. Namun, ketika hal itu tersampaikan, ia merasa ada beban yang terangkat dari dalam hatinya.
Yepa menarik napas dalam-dalam. Mungkinkah semua yang ia alami sebelumnya adalah kesalahpahaman? "Terima kasih." Ia melembutkan wajahnya. "Kembalilah. Jangan sampai kau jatuh sakit."
Laiv merasa ragu sebentar. Meski begitu, pada akhirnya ia setuju karena menyadari Yepa membutuhkan waktu untuk mencerna semua itu.
"Sampai jumpa besok. Aku akan melihatmu lagi."
Yepa mengangguk. "Sampai jumpa."
Laiv melambaikan tangan dan berjalan setengah berlari meninggalkan taman. Seolah-olah ada hantu yang tengah mengejar.
"Bodoh." Senyum di wajah Yepa melemah. Seketika ia tidak bisa bertahan lagi dan ia jatuh terduduk dengan pikiran kosong.
Mana yang benar? Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Deska membohonginya? Demi apa?
Ia menutupi wajahnya dan terisak. Mungkinkah semua ini adalah pertanda untuk membuka matanya? Apakah reinkarnasi ini baik untuknya? Jika ia salah melangkah, ia akan kehilangan segalanya lagi?
Pada akhirnya … apa yang harus aku lakukan?
Gerakan kaki Laiv yang terburu-buru seketika melambat. Perlahan ia berhenti berjalan dan menoleh dengan penuh keraguan. Hanya ada jalanan lurus dan kosong yang memasuki bidang netranya. Pemandangan di sekitarnya pun sangat tidak menyenangkan. Sepi dan temaram. Untuk sesaat, pikirannya hampa. Ia cemas dan tidak bisa membuat keputusan. Pulang atau kembali menemui Yepa. Meski sosok itu sudah tidak lagi tertangkap oleh jangkauan penglihatan, ia bisa membayangkan seperti apa suasana hati gadis itu saat ini. Bimbang. Sebagai sahabat, bukankah seharusnya ia berdiri di sampingnya? Memberinya kata-kata penghiburan. Membuatnya tertawa. Membiarkannya bangkit dengan keteguhan hati yang baru. Begitulah keinginan sejatinya. Sayang, semua itu hanyalah pemikirannya yang tidak mungkin terwujud. Jangankan membantu orang lain, menyokong dirinya saja … bahkan ia hampir tidak mampu melakukannya sendiri. Memang tidak berguna. "Yeye tidak akan dendam padaku, 'kan?" gumamnya takut-takut. Dalam kesunyian i
Sekali saja Yepa ingin memuaskan hasrat bermalas-malasannya di setiap hari Minggu. Sebelumnya hati dan pikirannya sudah terkuras. Bahkan ia sudah tidak memiliki air mata lagi. Itu kering dan membosankan. Ia membuka kedua matanya dengan sikap ogah-ogahan ketika telinganya mendengar suara ketukan pintu. Pukul berapa sekarang? Ia mengutuk dengan bersih sambil beranjak dari atas tempat tidur. Ketika ia membuka pintu, ia melihat sosok Laiv yang terlihat lebih bersinar dari biasanya. Ia mengerjap dan menatap dengan bodoh. "Halo, eh, pagi, Yeye," sapanya gugup. "Apa aku mengganggu tidurmu?" Bukankah itu sudah jelas? Namun, Yepa tetap tidak tahu harus bersikap seperti apa pada orang yang ada di hadapannya saat ini. Samar-samar ia memang mengingat bahwa pria ini akan menemuinya dan sebenarnya tidak terlalu menganggapnya serius. Ia melirik tangan Laiv yang kosong. Bukannya ia mengharapkan sesuatu dari pria ini, tetapi ada rasa tidak puas yang bergelayut kecut di dalam hatinya. "Hanya teguran
Deska memberhentikan kendaraannya di sebuah lahan parkir dari suatu gedung. Ia mematikan mesin dan melepas sabuk pengaman. Ia bergerak tanpa berpikir. Keluar dari dalam mobil dan membukakan pintu untuk sang kekasih. "Terima kasih," kata Yepa ketika ia turun dari dalam kendaraan tersebut. "Ya." Deska tersenyum seraya menarik tubuh sang kekasih ke sisinya. "Di sini tempatnya." Begitu Yepa mendongak, ia mendapati sebuah bangunan berlantai dua dengan plang kayu bergantung yang bertuliskan "Bar Lussuria" di atasnya. Ia mengerjap. Dari luar penampilan tempat ini sangatlah biasa-biasa saja. Seluruh gedung bercat putih tanpa dekorasi yang berlebih. Hampir tidak membocorkan esensi yang berkenaan dengan "nafsu" dari arti tertentu. "Bagaimana?" Deska memegangi kedua bahu sang kekasih dengan sikap yang sangat alami. "Nama tempat ini sangat menarik, bukan?" Yepa mengangguk dengan kosong. "Sangat unik," akunya. Bar macam apa ini? Tidakkah sebutan ini terlalu ambigu? Deska terkekeh pelan. Ia me
"Maaf, Anda siapa?" Orang itu tidak segera menyahut. Sikapnya justru tidak kalah bimbangnya dengan penampilan Yepa yang bermandikan keraguan. "Maaf." Ia meneguk ludahnya sendiri. Ada harapan di dalam sorot matanya. "Apa Eden adalah ibumu?" Pelukan Yepa pada kedua kantong kertas itu kian mengerat. Tidak khawatir mereka akan rusak. Pikirannya teralihkan. Dugaannya tidak keliru. Mendadak ia merasa wajahnya memanas. "Tuan … Anda, Anda kakekku?" tanyanya dengan suara yang bergetar. Taveti Hirawan tidak perlu merisaukan perasaannya lagi. Tanpa pertimbangan apa pun, ia menarik Yepa ke dalam dekapannya. Membungkusnya dengan kerinduan yang kentara. "Ya, cucuku," katanya parau, "ini Kakek." Air mata pun menitik. Yepa membiarkan tubuhnya tenggelam ke dalam rengkuhan pria paruh baya itu dengan seluruh perasaannya. "Kakek, aku bertemu denganmu," bisiknya. "Ya, ya, cucuku, akhirnya kita bertemu," balasnya menegaskan. Ia pun tak kuasa menahan rasa haru yang membayangi wajahnya. "Kakek menemukan
Taveti menyesap teh dan menghela napas. Ia menyimpan kembali cangkir itu ke atas meja dengan gerakan alami yang sangat tenang dan elegan. "Karena kau bersedia, apa kau punya cara untuk membantu Kakek?" "Nah, ini dia." Yepa mendesah, tetapi tetap mengutarakan pendapatnya. "Karena kakak dilahirkan di luar nikah, pemerintah sudah pasti mengecapnya sebagai anak yatim piatu. Otomatis setiap hal yang berhubungan dengannya, mereka akan segera menyegelnya apa pun jenisnya." Ia mendecakkan lidah. "Uang juga belum tentu bisa diandalkan dalam hal ini. Walaupun kecil, ada kemungkinan kakak berdiri di belakang keluarga yang setara dengan Kakek. Jika hal itu terjadi, maka akan lebih sulit." "Benar." Taveti mengangguk menyetujuinya. "Untuk menemukanmu memang agak mudah. Namamu tercatat di dalam kartu keluarga dan anak itu … ah, hanya jenis kelaminnya saja yang kutahu. Akan lebih bagus lagi jika ada pihak yang mau berbagi dengan kita." Yepa mengerti akan kebenaran dari keluhan kakeknya ini. "Kecua
Karena kesempatan itu datang tepat ke depan pintu, Yepa tidak akan menyia-nyiakannya. "Kakek, aku punya permintaan," katanya tiba-tiba. Taveti memandangi wajah cucu perempuannya dengan ramah. "Apa yang bisa Kakek bantu?" "Aku ingin menjatuhkan seseorang," katanya tanpa sembunyi-sembunyi, "sebagai gantinya aku bersedia melakukan apa pun untukmu." "Apa pun?" Taveti seketika mengubah wajahnya dan bertanya dengan hati-hati, "Kau yakin dengan perkataanmu itu?" Yepa mengangguk dengan sungguh-sungguh. Ia memahami dengan jelas apa arti dari kedua kata tersebut. Ia bukan lagi dirinya yang dulu. Gadis lugu yang selalu menginginkan segala hal serba pertama. Ia tahu ada balasan untuk semua ini. "Jadi, kau akan mencari kakakmu setelah hal ini berakhir?" terka Taveti tanpa mengalihkan pandangan. "Berapa lama itu?" "Ya, Kakek." Yepa mengangguk dengan perasaan lega. Ia tidak segera menjawab pertanyaan selanjutnya, tetapi memikirkannya terlebih dahulu. Menurut perkiraannya, rencana Deska dan Yuvi
"Deska, bagaimana menurutmu?" Yuvika memamerkan busana yang ia kenakan dengan penuh semangat. Gaun pendek berwarna kuning pucat yang membungkus indah tubuhnya. Mata Deska hanya memindai penampilan Yuvika dengan pandangan biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa. "Bagus," sahutnya singkat. Sudah Yuvika duga tanggapan seperti itu yang akan meluncur dari mulut Deska. Ia mendesah dan tetap memasang wajah tersenyum. Tidak perlu berkecil hati. "Maaf, aku terlalu bersemangat," katanya. "Aku tidak bisa menahan diri ketika mendengar berita ini. Jarang sekali kakek mau datang ke Venesia." Deska mengangguk. "Tidak apa-apa." Ia bisa mengerti. Pria yang senang berpetualang itu memang memberinya kejutan. Mendadak ingin menetap di Kota Air ini. "Karena kau sudah siap, kita akan pergi sekarang?" "Ya." Yuvika tersenyum manis. Ia menghampiri Deska dan berdiri di sisinya. "Kakek pasti akan senang melihatmu." Meskipun Deska ingin memanjat dengan menggunakan nama keluarga itu, tidak ada ketertarikan
Baginya, menerima sarapan dari Yepa secara cuma-cuma adalah suatu keajaiban dunia. Bagaimana tidak? Ia terlalu mengenalnya dengan sangat baik. Tidak mungkin pundi itu akan terbuka dengan tiba-tiba kalau tidak ada maksud di baliknya. "Apakah dunia akan segera runtuh?" tanyanya pada diri sendiri. Laiv menggelengkan kepala dengan ngeri. Tidak mungkin. Imajinasinya terlalu tinggi. Bisa-bisa ia menjadi gila sebelum waktunya. Lagi pula, ia sudah memutuskan untuk membantunya. Ia tidak boleh meragukannya apa pun yang terjadi. Dan ia baru menyadari ada sesuatu yang janggal setelah semua hidangan itu memasuki perutnya tanpa halangan. Ini mengenai sosok yang mengantarkan makanan tersebut. Dari sudut pandangnnya, orang itu tampak seperti seorang pengawal kelas elit. Ia pun merasa kalau orang itu bukan milik Deska. Bukannya meremehkan, tetapi ia tahu benar pria itu tidak memiliki rasa dalam hal ini. Yah, sejak kapan pacar dari sahabatnya itu sangat berhati-hati dan suka menggunakan pihak ketiga?
"Apa yang ingin kau bicarakan denganku?" Enzi tidak suka berbasa-basi dan tatapannya sangat menusuk. "Kau datang menemuiku, pasti ada sesuatu, 'kan?"Laiv belum menyampaikan maksudnya, tetapi Enzi sudah memotongnya terlebih dahulu. "Apa aku tidak boleh mengobrol denganmu?" Sebenarnya ia bisa langsung saja ke inti tujuan, tetapi ia tidak melakukannya karena berpikir mungkin ia bisa mengorek satu-dua hal darinya sekaligus mengenang masa lalu.Melihat Laiv bersikeras, Enzi tidak menolak. "Baiklah." Ia bukan tipe orang yang suka merobek topeng lawannya. Juga bukan individu yang sok sibuk. Lagi pula dirinya punya waktu senggang saat ia menginginkannya. Ia pun mengeluarkan sebungkus rokok. "Kau keberatan?"Laiv menggeleng, tetapi tidak menolak. "Aku bisa menemanimu," katanya. Lagi pula ia sudah lama tidak merokok."Bagus."Enzi membuat isyarat agar Laiv mengikutinya dan pergi ke sebuah area yang tidak jauh dari tempat semula. Lokasi tersebut adalah sebuah area terbuka yang pernah menjadi la
"Apa ada yang kau inginkan?"Deska menggeleng lemah saat ayahnya bertanya. Ia pun menjawab dengan samar-samar, "Tidak ada." Ia merasa cukup dan tidak menginginkan apa pun.Zalka menghela napas. Sejak putranya bangun, perilakunya sudah seperti itu. Entah apa yang salah, tetapi ia merasa ada yang berubah."Kalau begitu istirahatlah. Dokter akan segera datang untuk memeriksamu lagi," katanya mengingatkan."Aku tahu." Deska mengangguk. Ia memaksakan sebuah senyum. "Papa juga sebaiknya beristirahat." Ia tahu ayahnya tidak terlihat santai setelah dirinya bangun tadi malam.Di depan putranya sendiri, ia tidak boleh memperlihatkan kelemahannya. Bagaimanapun juga, ia masih merasa cemas akan kondisi Deska yang belum pulih benar."Jangan khawatirkan aku," katanya dengan alami. "Aku baik-baik saja."Karena ayahnya berkata seperti demikian, Deska tidak akan repot-repot lagi memperingatkannya. Ia pun menutup mata sambil menunggu dokter datang.Ruangan itu menjadi hening. Kemudian setelah beberapa s
Sebenarnya Yepa sudah mampu berinteraksi secara normal dengan Laiv. Hanya saja ia tetap merasa aneh dengan perubahan ini. Ia lebih nyaman dengan wajah bodoh itu.Sementara itu, Laiv masih sedikit takut jika Yepa tidak bisa menerima kondisinya saat ini. Belum lagi mengenai perasaannya yang terus tertunda hingga sekarang.Keduanya bertemu kembali, tetapi di lokasi yang berbeda dari sebelumnya. Bukan lagi gudang tua usang yang tak terpakai, tetapi sebuah pondok.Yepa menguap lebar. "Jangan lihat aku seperti itu," katanya dengan nada bosan. "Aku tidak menerima berita apa pun dari kakek.""Bukankah seharusnya dia tahu kalau kau diculik?" Laiv mulai berpikiran buruk. "Kenapa dia tidak mencemaskanmu? Apakah orang-orangnya lalai?"Otak pria ini benar-benar sudah tersandung. Yepa memutar mata. "Kenapa tidak? Yang menculikku tidak lain kakakku sendiri. Masalah?""Tapi itu bukan kehendaknya," bantah Laiv. "Itu pekerjaan orang-orangnya. Ini kecelakaan.""Ya, kecelakaan yang membawa berkah," timpa
Jarno memasuki ruangan tempat Enzi kini berada dengan beberapa laporan di tangan. Di belakangnya Mirko menyusul, menutup pintu dan berdiri di sana. Saat ketiga pasang mata mereka bertemu, topeng kepura-puraan pun terlepas."Ada beberapa kabar," kata Jarno memulai. Ia melihat isi laporan dan membacakannya dengan jelas. Mulai dari kelompok mereka sendiri, keluarga Danapati, dan urusan Hirawan.Enzi fokus mendengarkan. Sementara Mirko menjaga pintu dengan patuh. Dan Jarno terus membacakan laporan. Setelah usai, ketiganya terdiam."Oke, kita tuntaskan dulu urusan internal," kata Enzi yang akhirnya bersuara.Jarno mengangguk. "Apa yang ingin kau lakukan?""Biarkan Dario dan kedua kawannya sibuk. Jangan beri mereka celah untuk mengorek kabar apa pun tentangku saat ini." Ia menoleh pada Mirko. "Karena orang-orang ini sangat peduli padaku, kirimkan beberapa wanita untuk mengganggu fokus mereka."Mirko mengangguk."Kali ini ambil umpan dengan jatah pekerjaan untuk jangka panjang," tambah Enzi.
Hingga detik ini, Yepa masih belum terbiasa dengan penampilan Laiv yang normal. Seharusnya itu baik-baik saja, tetapi ini justru sulit. Terasa aneh dan tidak pada tempatnya.Di ruangan yang sunyi itu Yepa dan Laiv saling menatap tanpa hendak mengutarakan apa pun. Keduanya diam seribu bahasa. Sibuk memikirkan ini dan itu tanpa kejelasan. Yang satu tidak tahu mesti berkata apa, sementara yang lain takut mengungkapkannya.Namun, pada akhirnya mereka tahu apa itu jenuh dan membuang-buang waktu. Lagi pula tidak ada artinya jika terus seperti itu. Kapan hal ini akan selesai?"Kau duluan."Mereka mengatakan hal serupa di saat yang bersamaan, keduanya terkejut.Laiv cepat-cepat mengibaskan tangan dengan panik. "Tidak, tidak, kau duluan!"Yepa memasang wajah cemberut, emosinya sedang tidak bagus. "Apa tidak terbalik?" tukasnya. "Seharusnya ini kau!""Benarkah?" Laiv meragukannya. Ia melirik ke arah lain, tidak berani menatap Yepa secara langsung seraya bergumam, "Kupikir itu kau."Sikap malu-m
Sepasang iris serigala itu menatap bosan ke arah luar jendela dari sebuah motel. Ribuan keping salju terus berjatuhan dari atas langit dan tampak tidak akan pernah berhenti turun untuk memenuhi seisi kota tersebut. Enzi menghela napas."Bos, apa kau menginginkan sesuatu?" tanya Marco dengan penuh pengertian. "Kalau ya, apa ada yang bisa kulakukan untukmu?""Tidak perlu," sahutnya singkat tanpa mengalihkan perhatian.Mendengar jawaban itu, Marco tidak terus mendesak sang bos. Tidak berarti tidak. Ia pun memilih duduk dengan tenang dan kembali menyeka pisau lipat yang masih ada di tangan.Keheningan kembali menyelimuti tempat tersebut. Satu orang duduk di dekat jendela dan sisa lainnya menempati sudut ruangan."Dia tidak memberi kabar?"Pertanyaan dadakan dalam kesunyian itu seketika menghentikan gerakan tangan Marco. Ia tahu siapa orang yang tengah sang bos singgung, Raveena Radeska."Ada," balasnya cepat. "Dia mengatakan bahwa tugasnya sudah selesai. Tapi masih ada beberapa hal yang b
Mendengar bahwa keduanya adalah teman sejak kecil, membuat Yepa percaya bahwa dunia itu sempit. Ternyata selama ini mereka saling terkait satu sama lain."Jadi, sebenarnya kalian sudah saling mengenal sejak lama?" Ia jatuh terduduk di tepi tempat tidur dengan pandangan jatuh ke bawah seolah tak bertenaga. "Lalu, ada apa dengannya?" Ia merasa kakaknya akan menyampaikan sesuatu yang buruk.Belum apa-apa reaksi adiknya sudah seperti ini. Tampaknya hal ini akan memberi pengaruh besar pada masa depan mereka. Namun, ia tidak ada hubungannya.Enzi tidak bertele-tele. "Karena suatu hal, dia harus mengkonsumsi obat-obatan yang bisa merubah wajahnya demi keselamatan. Tapi efek sampingnya pun sangat setimpal. Umurnya menjadi lebih pendek dari kebanyakan orang normal."Kabar itu memberinya pukulan. Yepa ingin mengatakan sesuatu. Hanya saja tidak ada suara apa pun yang keluar karena seketika itu juga pikirannya menjadi kosong, tetapi jelas dalam satu hal. Itu berarti waktunya tidak akan lama lagi?
Ruangan itu menjadi hening seketika. Atmosfer di sekitarnya pun turut berubah. Beberapa anggapan pun mulai bermunculan di antara para pendengar.Enzi bertanya-tanya, apa yang Yepa makan sehingga membuat penglihatannya menjadi seperti itu? Jelas usia mereka terpaut tidak jauh. Dengan senyum kebapakan, ia pun berkata, "Nak, apa kepalamu terbentur?"Mendengar jawaban seperti itu, telinga Yepa memerah. Belum lagi ada tawa yang muncul setelahnya. Membuat wajahnya memanas karena terbakar marah. Dan tanpa malu-malu ia pun membalas, "Mungkin temanmu memberiku obat yang salah."Seketika protes pun melayang. Jarno menampakkan diri sambil menunjuk Yepa. "Sialan! Otakmu pasti rusak!"Emosi Yepa tersulut. "Itu salahmu!" balasnya dengan garang.Di sisi lain Mirko masih tidak bisa berhenti tertawa. Ia melangkah dan berdiri di samping Jarno. "Bos, apa kau menghamili seorang wanita di usia dini?" candanya.Enzi tersenyum tanpa merasa tersinggung sedikit pun. "Kalau aku berani melakukannya, maka seseor
Dengan napas terengah dan tubuh berkeringat, akhirnya Laiv tiba di tempat tujuan. Ia melihat daerah pinggiran itu dengan wajah rumit. Merasa terlalu kebetulan dan aneh. Kenapa orang itu bisa berada di kota yang sama dengannya saat ini?Memasuki kawasan padat penduduk, ia menelusuri lorong-lorong panjang yang sempit dan saling terhubung satu sama lain. Begitu menginjak penghujung jalan, ia melihat sesosok remaja tengah berdiri. Ia menghampirinya tanpa banyak berpikir.Namun, belum ia mengucapkan sepatah kata pun, remaja itu, Ivan, mendongak dan terkejut saat melihat penampilannya."Hei, sudah lama sekali," sapanya ringan.Laiv mengangguk. Tanpa sadar ia menyentuh wajahnya dan mendesah. Oh, ia lupa minum obat hari ini saking cemasnya tadi."Antar aku ke sana," pintanya tanpa basa-basi."Oke!" Ivan mengacungkan jempol dan segera memandu Laiv ke tempat pertemuan.Tidak ada obrolan di antara keduanya. Hanya ada suara-suara ketukan sepatu dari langkah kaki mereka yang terdengar. Sementara d