“Weekend ini lu mau kemana, Lan?”
Pertanyaan itu terlontar dari mulut teman-temannya. Biasanya Bulan paling semangat bercerita tentang liburan akhir pekan yang akan dia jalani. Tapi minggu ini berbeda. Bulan terlihat lesu dan jarang bicara. Hal itu tentu dikarenakan masalah dengan tetangga barunya. “Gak tahu, nih. Kayaknya di rumah aja. Lagi males kemana-mana.” Biasanya Bulan paling senang saat tiba akhir pekan. Kalaupun harus di rumah saja bersama suaminya, dia tetap bahagia. Aman dan tentram. Tapi di lingkungan baru ini, sepertinya dia tidak bahagia. Enggan kalau-kalau tetangganya kembali membuat ulah. Belum lagi sang suami yang tak bisa bersikap tegas dan justru menyambut baik kehadiran mereka. Bagi Bulan, tak apa bersikap cuek untuk orang-orang seperti mereka. “Gue duluan, ya, Lan.” “Ya … ya. Gue juga dah mau pulang.” Bulan bekerja di salah satu bank swasta yang cukup terkenal. Memiliki jabatan sebagai credit analyst. Salah satu tugasnya adalah mengumpulkan serta menganalisis data seluruh nasabah di bank tersebut. Cukup sibuk namun dia masih lihai mengurus rumah tangganya. Hari libur pun dimanfaatkan untuk quality time bersama sang suami. Ditambah sang buah hati yang tak kunjung diberikan oleh Tuhan, membuat pasangan suami istri itu harus sering-sering berlibur berdua. Untuk memperkuat usaha. Sore ini jalanan terbilang ramai lancar. Bulan tak terjebak macet. Memang rute jalannya juga tak sepadat yang dilalui Lingga. Pria itu memang bekerja di bank yang sama namun tempatnya dan jabatannya berbeda. Lingga bekerja di kantor unit kecil sebagai security. “Ahhh aku pengen beli es doger. Singgah bentar di sana,” gumam Bulan. Dia sangat bahagia melihat tempat berkumpulnya pedagang kaki lima. Dia bisa sepuasnya membeli jajanan kesukaannya. Setidaknya, untuk melepas gundah dalam diri. “Eh, Mbak Bulan, ya?” Saat asyik memesan es doger kesukaannya, Bulan justru dikejutkan dengan sapaan seseorang dari arah belakang. Ketika menoleh, terpampang lah wajah yang dia kenal. Tetangga samping rumah. “Mbak Sella? Mbak belanja jajanan juga?” “Iya. Tuh nganterin anak.” Sella menunjuk ke arah dua anak yang asyik menunjuk-nunjuk makanan. “Maaf, ya, Mbak. Tempo hari saya gak ikut melerai pertengkaran Mbak dan Bu Sulis.” Bulan mengangguk. Dia mengerti. Tak semua orang bisa dengan mudah ikut campur masalah orang lain. “Semua orang sudah malas berurusan dengan Bu Sulis. Dia memang pembawa petaka. Hobinya merusuh di rumah tangga orang lain. Bahkan sebelum Mbak datang ke komplek kami, ada pasangan suami istri yang bercerai karena Bu Sulis dan anaknya. Itu loh, Mas Arga. Mbak udah ketemu sama dia?” Bulan lantas teringat akan sosok pria yang tempo hari dia berikan kue. Tingkahnya memang sedikit aneh. Seakan awas dan menghindari sesuatu. Mungkinkah dia menghindari keluarga Bu Sulis? “Mas Arga sampai jarang keluar rumah loh, Mbak. Mungkin enggan ketemu Bu Sulis dan anaknya. Ibu dan anak itu kan gak tahu malu. Terus aja mepet orang lain walaupun orangnya terlihat risih. Gak heran kalau Mbak baru pindah sudah berseteru sama mereka.” Bulan hanya terdiam. Dia memasukkan setiap informasi tentang Bu Sulis ke dalam otaknya. Seolah mendapat kekuatan lagi. Rasa bersalah yang dia alami selama ini karena telah bersikap jutek pada tetangganya itu ternyata tidak benar. Ibu dan anak itu memang sudah diakui sebagai pembawa petaka. Tukang rusuh. Pantas jika diberikan tindakan tegas. “Ya, sudah, Mbak. Saya pulang duluan, ya. Anak-anak sudah selesai belanja.” Bulan mengangguk—mengiyakan. Selepas kepergian Mbak Sella dan anak-anaknya, Bulan justru masih terdiam. Panggilan pedagang es doger padanya tidak dipedulikan. Atau dia tak begitu dengar karena pikirannya melayang jauh ke dalam komplek perumahannya. “Mbak … Mbak. Es-nya sudah jadi.” Sentuhan ragu-ragu anak penjual es di pundak Bulan, berhasil membuat wanita itu tersadar. Tertarik kembali ke dalam dunia nyata. “Udah selesai, Mbak. Semuanya dua puluh ribu.” “Oh, ya, Mas. Ini uangnya.” Bulan menyerahkan uang pas dan penjual menyerahkan dua bungkus es doger pesanan wanita itu. Alih-alih langsung pulang ke rumah, Bulan justru kembali berkeliling mencari jajanan. Sebagai teman es doger nantinya di dalam perut. Bulan memilih batagor dan kue pukis. Tentunya untuk dirinya dan sang suami. Setelah puas berbelanja, wanita karier itu pun kembali menuju mobilnya—hendak pulang ke rumah. Di perjalanan, dia sudah membayangkan betapa nikmatnya menikmati jajanan yang dia beli tadi. Bahagia itu simple. Hanya dengan membeli dan menikmati jajanan kesukaannya, Bulan sudah bisa berbahagia. Tiba di depan rumah, dia melihat motor suaminya telah terparkir. Bulan gegas masuk ke dalam rumah. Hendak makan bersama sembari menikmati jajanan yang sudah dibelinya. Tapi ternyata …. Saat ingin membuka pintu, dia melihat dua pasang sandal orang lain di tempat yang disediakan. “Ini sandal siapa?” gumam Bulan. “Apa Mas Lingga ada tamu?” Bulan tak tahu kalau orang yang ada di dalam rumahnya saat ini adalah dua orang perempuan atau laki-laki. Pasalnya sandal yang ada hanya sandal jepit biasa. Bisa dipakai laki-laki atau perempuan. Bulan juga sempat curiga karena tak ada motor atau kendaraan lain di depan rumahnya. Kalaupun ada tamu, berarti mereka juga tinggal di komplek ini. Yang bisa sampai sini hanya dengan berjalan kaki. Ceklek “Ha … ha … ha. Kamu lucu sekali, Nak. Lihat lah! Nesi sampai nyaman dengan kamu. Cieee.” Bulan terkejut saat mendapati suaminya makan dan tertawa bersama dengan dua orang perempuan. Apalagi dua orang itu adalah tetangga menyebalkannya. Sungguh terkejut dan membuat darah mendidih. “Apa-apaan ini?” tanya Bulan pada ketiga orang itu. “Eh, kamu udah pulang, Sayang? Sini makan bareng!” ajak Lingga pada istrinya. “Tapi sayangnya makanannya sudah habis. Kalau mau bareng makan, kamu masak dulu atau beli makan sendiri! Maaf, ya.” Dengan entengnya Bu Sulis berbicara seperti itu pada Bulan—tuan rumah di sini. “Pergi kalian semua! Aku tak mau rumah ini kotor karena orang-orang seperti kalian.” Bulan mengerahkan semua tenaganya untuk mengusir orang-orang itu. Tak hanya berbicara. Bulan juga bertindak. Menyuruh mereka semua bangun dari tempat duduknya dan pergi dari rumah. “Itu pintu keluar! Silahkan kalian pergi!” Kata-kata itu terus dilontarkan pada tamu tak tahu diri. Mereka pun berdebat kembali. Namun pada akhirnya, Bulan berhasil mengusir dua orang itu. Orang-orang yang sangat Bulan benci. “Kamu apa-apaan sih, Lan? Mereka tamu kita. Kamu gak sopan banget,” ucap Lingga. “Loh … harusnya aku yang nanya sama kamu. Wajar kah mengajak dua orang perempuan tanpa ikatan darah ke rumah ini saat istri tak ada di rumah? Mereka juga tak sopan padaku. Bukannya membela istri, kamu malah membela dua orang gak jelas itu. Aku kecewa.” “Aku yang kecewa sama kamu. Aku malu sama tetangga kita karena sikap kamu." “Apa? Aku gak salah dengar, Mas?” tanya Bulan. Dia tak habis pikir dengan ucapan suaminya. Lingga lebih kasihan pada tetangga ketimbang istrinya sendiri. --------------------“Ini terakhir kalinya aku mau meladeni Bu Sulis, Mas. Aku harus beri peringatan pada Ibu dan anak itu. Mereka tidak boleh mengganggu kita lagi,” gumam Bulan seorang diri.Tanpa pikir panjang, dia lantas mendatangi Bu Sulis. “Apa-apaan ini?” tanya Bu Sulis.“Kalau mau bertamu, yang sopan dong, Mbak!” timpal Nesi.“Kalian gak nyadar? Kalian sendiri setiap bertamu selalu gak sopan. Aku ke sini cuma mau ngasi peringatan sama kalian! Jauhi suamiku! Jangan ganggu rumah tanggaku!”“Siapa yang ganggu? Nak Lingga sendiri senang menerima kami. Suamimu itu sudah bosan berumah tangga dengan wanita tua dan mandul kayak kamu.”Bagai disambar petir, Bulan merasa sakit hati dengan ucapan Bu Sulis. Genggaman tangannya semakin kuat. Ingin sekali meninju wanita paruh baya itu.Beberapa tetangga mulai mengintip dari rumahnya masing-masing. Bulan kembali jadi tontonan.“Kasihan Nak Lingga. Masih muda, sukses kerja di bank, dan juga tampan. Sayang kalau menikah dengan wanita yang lebih tua. Apalagi kamu t
Sudah dua hari ini Bulan dan Lingga tak saling bicara. Hidup seatap namun tak saling tatap. Bulan tetap melayani kebutuhan suaminya sebelum dan sepulang kerja. Dia juga mencoba untuk bersikap biasa saja. Bahkan sering mencoba mengajak berbaikan. Tapi Lingga selalu menghindarinya. Sampai akhirnya Bulan lelah dan lebih memilih menyibukkan dirinya dengan pekerjaan.“Kamu kenapa, Lan? Lagi sakit?”Bulan menggeleng. Dia tak menatap lawan bicaranya. Justru lebih memilih berpangku tangan di meja kerjanya.“Mukamu pucet banget. Ada masalah?”Teman-temannya berusaha menghibur dan mencari tahu apa yang terjadi. Tapi Bulan tetap menutup diri. Mengatakan dirinya baik-baik saja. Hingga akhirnya orang-orang di sekitarnya pergi dan memberi ruang untuk Bulan menyendiri.TriiingTriiingTriiingTiba-tiba ada telepon dari ibu mertuanya. Sebenarnya Bulan masih enggan berbicara dengan siapapun. Tapi ini berbeda. Telepon ini dari mertuanya.SreetBulan menggeser layar di ponselnya. Dia menerima telepon me
“Tolong kuenya bawa keluar lagi, Nak! Banyak tetanggamu yang hadir.”Sesuai perintah Mama Mery, Bulan pun membawa kue-kue lainnya ke ruang tamu—tempat orang-orang berkumpul.Senang rasanya melihat tamu-tamu datang dengan wajah gembira. Mereka pun tertawa dan menikmati kudapan dengan senang. Bulan menengok ke arah luar. Para lelaki termasuk suaminya juga asik bercengkrama dan tertawa. Dalam hatinya, Bulan menginginkan semuanya baik-baik saja. Tetangga aneh serta isu adanya orang ketiga di pernikahan mereka, diharapkan hanyalah sebuah mimpi. Bulan tak ingin jika rumah tangganya mulai rapuh sejak pindah ke rumah baru.“Tetangga depan gak diundang, Lan?”Sella menggeser tempat duduknya agar lebih dekat dengan Bulan. Dia pun menanyakan soal keluarga Bu Sulis yang tak terlihat batang hidungnya.“Aku malas datang ke sana untuk memberi undangan langsung, Mbak. Hatiku terlalu sakit. Jika mereka datang, akan kuterima. Jika tidak, juga tak masalah. Lagipula, aku sudah mengabari lewat grup WA. S
“Ibu mau tinggal di sini dulu, Lan,” ucap Lingga pada Bulan.Tak masalah. Toh, Bu Ines adalah mertua yang baik. Selalu menganggap Bulan seperti anaknya sendiri. Mungkin hanya perkataan sang mertua tadi malam sedikit menyinggung hati Bulan. Selebihnya, semua normal. Baik-baik saja.“Ya, sudah. Aku berangkat kerja dulu. Kamu gak kerja, Mas?”“Enggak. Ngambil cuti lagi sehari.”“Oooh ….” Bulan hanya merespon seperlunya saja. Pernikahannya benar-benar di ambang kehancuran. Bahkan Bulan sudah tak ingin menggebu-gebu mempertahankan pernikahan ini. Untuk apa? Suaminya sudah jauh berubah. Nafkah bathin tak diberikan selama ini. Lingga juga selalu mengabaikannya beberapa hari ini. Bulan lelah. Lelah berjuang sendiri. Sekarang dia pasrah dan berserah pada Sang Pemilik Cinta.“Eh … tunggu!”“Apa lagi, Mas?”“Kamu gak bikinin aku dan Ibu sarapan?”“Ooh … maaf, Mas. Aku buru-buru. Kamu bisa masak, 'kan? Atau beli saja,” ucap Bulan tak peduli.Dia tak benar-benar cuek. Bulan hanya ingin Lingga sada
“Ngapain Mas Lingga pergi sama keluarga Bu Sulis? Aku merasa benar-benar dikhianati.” Bulan mencoba menguji kejujuran sang suami. Dia mencari kontak sang suami dan memencet tombol panggil. Lama tak mendapat jawaban. Bulan harus mengulang kegiatan itu sampai tiga kali. Akhirnya pada percobaan ketiga, Lingga menerima panggilan teleponnya.“Halo ….” Sangat singkat. Hanya itu yang diucapkan Lingga dari seberang sana.“Mas, kamu jadi jalan-jalan sama Ibu?” Bulan berusaha setenang mungkin. Berpura-pura tak terjadi apa-apa. Berpura-pura tak tahu apa-apa.“Jadi … kenapa memangnya?”Wah pintar sekali bersandiwara. Tadi saat ingin menukar kendaraan, Lingga berubah sikap menjadi lebih mesra dan baik pada istrinya. Tapi kini, dia kembali cuek—-seperti sebelum-sebelumnya. Bulan hanya tersenyum kecut. Dia semakin mantap untuk meninggalkan suami. Tapi dia perlu bukti yang lebih banyak untuk membongkar kedok sang suami.“Jalan-jalan kemana, Mas? Bisa gak nunggu aku sebentar? Aku mau ikut, dong. Kerj
Tiga hari berlalu sejak Bulan membuntuti pergerakan suaminya lewat aplikasi di ponselnya. Kini dia juga tak hanya menyadap mobil mereka tapi juga ponsel suaminya.Bulan memang sengaja untuk bersikap biasa saja hanya untuk mendapat bukti yang lebih banyak. Pesan yang masuk di ponsel Lingga, bisa dilihat juga oleh Bulan. Mungkin ini perbuatan yang tak sopan, tapi dia tak punya pilihan lain.Bu Ines selaku mertua, juga semakin berubah. Ia seperti Lingga kedua. Bicaranya semakin irit. Tingkahnya pada sang menantu pun tak sehangat dulu.“Bu … besok kan hari Minggu. Mumpung aku libur dan Ibu masih di sini, gimana kalau kita jalan-jalan bareng?” tanya Bulan pada sang mertua.“Gimana, Mas? Ini waktu yang tepat. Katanya kamu mau ngajak aku jalan-jalan. Udah lama loh kita gak keluar bareng.” Kini Bulan beralih pada sang suami. Sedikit manja untuk memancing sang suami.Bulan memperhatikan reaksi mereka berdua dengan baik. Lingga diam-diam memberi kode pada ibunya lewat lirikan mata. Bulan tahu p
Setelah sekian lama tak ada pesan dari wanita lain ke ponsel suaminya, hari ini Bulan justru mendapatkan pesan beruntun. Suami dan wanita selingkuhannya saling bertukar kabar membicarakan pernikahan mereka besok. Pernikahan yang dilangsungkan secara diam-diam—di belakang dirinya.“Tega banget kamu, Mas. Kamu mau menduakanku.”Bulan menyimpan semua bukti-bukti itu dengan tangan gemetar. Marah, kesal, dan kecewa menjadi satu. Kini semuanya telah benar-benar nyata. Kecurigaannya tentang sang suami, benar adanya. Bulan hanya perlu satu bukti lagi. Foto pernikahan Lingga dan wanita itu besok.“Sabar, Lan. Kuatkan dirimu untuk satu hari lagi. Setelah itu, kamu bebas terbang kemanapun,” ucap Bulan menguatkan diri.CeklekMendengar pintu kamar terbuka, Bulan langsung sembunyi dibalik selimut. Menghapus semua air mata yang sempat menetes ke pipi. Dia harus terlihat baik-baik saja.“Sayang … kok udah pake selimut aja?”Punggung Bulan yang tertutup selimut, diraba oleh Lingga. Dulu, sebelum keka
“Husein! Temui aku depan kantor!” “Loh, ini siapa? Kok tiba-tiba nyuruh saya menemui Anda?” tanya Husein kebingungan. Pasalnya, dia tiba-tiba mendapat telepon dari nomor tanpa nama. Dia tak mengenal suara siapa itu. Belum sempat menerka-nerka, Husein justru telah diminta menemui penelpon misterius itu.“Saya Bulan. Kamu gak kenal suara saya?”Mendengar nama itu, Husein terkejut. Ada apa ini? Kenapa Bulan tiba-tiba menelponnya dan meminta untuk bertemu? Bukankah hari ini libur? Husein juga merasa kalau ini bukan seputar pekerjaan. Jabatannya dengan Bulan tidak setara. Dia hanya seorang OB, sedangkan Bulan memiliki jabatan tinggi. Jika soal nomor teleponnya yang didapat Bulan, Husein tak terlalu kaget. Tentu Bulan memiliki akses orang dalam untuk mendapatkan nomor telepon miliknya.“Oooh … ma … maaf Mbak Bulan. Saya kira siapa. Memangnya ada apa ya, Mbak? Mbak perlu sesuatu?”“Iya, sangat perlu. Sudah lah! Temui saya di depan kantor sekarang! Cepat ya, Husein!”Husein tak memiliki wakt