“Tolong kuenya bawa keluar lagi, Nak! Banyak tetanggamu yang hadir.”
Sesuai perintah Mama Mery, Bulan pun membawa kue-kue lainnya ke ruang tamu—tempat orang-orang berkumpul. Senang rasanya melihat tamu-tamu datang dengan wajah gembira. Mereka pun tertawa dan menikmati kudapan dengan senang. Bulan menengok ke arah luar. Para lelaki termasuk suaminya juga asik bercengkrama dan tertawa. Dalam hatinya, Bulan menginginkan semuanya baik-baik saja. Tetangga aneh serta isu adanya orang ketiga di pernikahan mereka, diharapkan hanyalah sebuah mimpi. Bulan tak ingin jika rumah tangganya mulai rapuh sejak pindah ke rumah baru. “Tetangga depan gak diundang, Lan?” Sella menggeser tempat duduknya agar lebih dekat dengan Bulan. Dia pun menanyakan soal keluarga Bu Sulis yang tak terlihat batang hidungnya. “Aku malas datang ke sana untuk memberi undangan langsung, Mbak. Hatiku terlalu sakit. Jika mereka datang, akan kuterima. Jika tidak, juga tak masalah. Lagipula, aku sudah mengabari lewat grup WA. Seharusnya mereka tahu.” “Bagus lah kalau gak dateng, Lan. Lihat lah wajah orang-orang di sini! Semuanya sangat senang berkumpul bersama tanpa mereka. Kami sudah sangat jarang mengadakan kumpul-kumpul bersama karena ada keluarga itu di komplek ini. Si tukang rusuh.” Bulan menepuk paha Sella sembari tersenyum. Seolah mengisyaratkan tetangganya itu untuk diam. Sudah cukup membahas orang-orang tak tahu diri itu. Bulan ingin menikmati saat-saat tenang ini tanpa mereka. “Bagus rumahnya, Nak. Lingkungan dan tetangga-tetangga kamu juga baik dan ramah. Mama jadi tenang setelah melihat langsung. Tak perlu khawatir lagi soal kalian. Kalian berdua tetap bahagia, ya! Dan semoga secepatnya diberikan momongan,” ucap Mama Mery pada sang putri. Bulan hanya tersenyum tipis. Mama Mery tak tahu kalau Bulan telah mengalami banyak hal. Bersitegang dengan tetangga depan rumah hingga kecurigaannya pada sang suami. Dia tak baik-baik saja. Tapi bibirnya terasa kelu tiap ingin bercerita pada wanita hebat di sampingnya. “Halo … selamat malam. Kalian semua sudah berkumpul? Kok gak nunggu kami?” “Silahkan duduk, Bu … Nes! Pasti acaranya bakal lebih meriah kalau ada kalian,” ucap Lingga mempersilahkan tamunya untuk duduk. Bulan kembali menghela nafas kasar yang diikuti oleh semua orang di ruangan itu. Sepertinya mereka satu hati. Merasa tak nyaman akan kedatangan Bu Sulis dan anaknya. Bulan juga tak habis pikir dengan sikap sang suami yang seolah-olah meratukan mereka. Tak ada satupun tamu yang dia sambut dengan begitu riang. Hanya mereka berdua. Sampai-sampai Lingga meninggalkan tempat duduknya di luar dan ikut masuk ke ruang tamu—-dimana para wanita berkumpul. Semua ini hanya demi mengantarkan nenek sihir dan juga kurcacinya ke hadapan Bulan. “Wahhh kue-nya banyak sekali, Nes. Kayaknya kamu bisa buat semua ini deh. Dan rasanya pasti lebih enak. Iya, ‘kan, Nak Lingga?” tanya Bu Sulis. Baru saja datang, mereka sudah mulai memancing api amarah. “Iya, Bu. Tentu Nesi bisa buat lebih enak dari ini. Aku gak tahu kenapa Bulan memilih beli di luar ketimbang meminta bantuanmu untuk membuatkan semua ini,” bela Lingga pada tetangganya itu. “Oh, iya, Bu. Kenalin. Ini Bu Sulis dan Nesi. Mereka berdua pengganti Ibu di sini. Kami sudah seperti keluarga. Begitu perhatian pada Lingga. Tapi sayangnya, ada yang tak suka dengan keramahan mereka,” sindir Lingga pada sang istri. Setelah itu, dia lantas memperkenalkan dua orang itu pada sang Ibu. Bu Ines selaku Ibunda Lingga, tersenyum ramah menyambut perkenalan. Di sisi lain, Bulan mulai meradang. Mama Mery serta Sella yang ada di sisi kanan dan kiri Bulan, sadar akan rasa perih di dada wanita itu. “Anak saya cantik, ‘kan, Bu?” ucap Bu Sulis mempromosikan anaknya pada Bu Ines. Bulan geram dan berkata: “Tolong yang gak berkepentingan, keluar dari sini! Saya mau mengadakan syukuran rumah bukan ajang promosi anak.” Para tamu menoleh ke arah Bulan, lalu lanjut ke arah Bu Sulis. Sepertinya mereka mengerti maksud perkataan Bulan ditujukan pada siapa. Beruntung Bu Sulis tak lagi berceloteh hingga tuan rumah bisa melanjutkan acaranya. Kini tibalah mereka di penghujung acara. Saatnya pembagian makanan bagi para tamu. Bulan, Mama Mery, serta dibantu oleh beberapa tetangga mulai mengambil bungkus makanan di dapur untuk selanjutnya dibagikan ke semua orang yang datang. Bulan sempat mencari mertuanya. Kemana dia? Kenapa tak membantunya? Ternyata Bu Ines sedang ditawan oleh nenek sihir bernama Bu Sulis. Entah apa yang dibicarakan oleh mereka. Terlihat serius dan terkadang melihat ke arah Bulan. “Nak, itu tetanggamu yang terakhir datang memang seperti itu? Mama kok merasa aneh dengan mereka. Hati-hati ya, Nak! Mereka seperti orang yang iri dengki.” Mama Mery memperingatkan anaknya. Tanpa ia sadari, Bulan sudah lebih dulu memasang tameng untuk dirinya sendiri. Iya. Hanya untuk dirinya sendiri. Karena suaminya sudah tak mau dilindungi dengan tameng itu. Tanpa sadar, keramaian di rumah Bulan mulai berkurang. Hanya tersisa Sella dan dua orang tetangga yang sedari tadi membantu di belakang. “Lan, aku pamit, ya. Bingkisannya sisa lima. Mau aku yang kasi ke Bu Sulis apa kamu?” tanya Sella. “Bagi saja untuk kalian bertiga, Mbak. Jangan sisakan mereka!” “Serius, Lan?” Tentu saja. Bulan tak sudi berbagai dengan orang-orang seperti mereka. Dia tak peduli lagi akan omongan orang tentang ini. Tapi sepertinya tetangga lain pun akan setuju dengan keputusan Bulan. “Ya, sudah, kami pulang dulu, ya, Lan. Sisa dua bingkisan lagi akan kami berikan untuk security depan,” ucap Sella. “Wahh, iya. Aku lupa. Untung masih kebagian. Terima kasih, ya, Mbak.” “Iya. Kamu yang sabar ngadepin mereka. Fokus sama diri sendiri dan keluargamu saja! Kalau perlu apa-apa, cari aku!” Bulan mengangguk. Merasa sangat diperhatikan. Berterima kasih pada orang-orang baik yang senantiasa mengerti kondisi hatinya. Setelah semua tamu pulang terkecuali Bu Sulis dan anaknya, Bulan langsung bergabung dengan sang mama di dapur. Papa juga sudah masuk ke kamarnya. Ia merasa lelah. “Lan, mana bingkisan buat Bu Sulis?” Lingga menghampirinya ke dapur. Bukannya membantu istrinya, dia malah menanyakan bingkisan untuk Bu Sulis. “Sudah habis,” jawab Bulan cuek. Dia terus melanjutkan aktivitasnya di dapur. “Habis? Kok bisa? Kamu kan tahu masih ada tamu di rumah ini. Apa-apaan sih kamu?” “Loh, kok nyalahin aku? Itu kan tamu kamu, bukan tamuku. Ya kamu dong yang memperhatikan kebutuhan mereka! Jangan minta dilayani terus! Memangnya aku pembantu dan ibu peri kalian? Sekali triiing bisa memenuhi keinginan kalian? Enak saja,” ucap Bulan ketus. Mama Mery hanya terdiam. Tak ikut campur apalagi menasehati. Dia tak menyalahkan putrinya yang berbicara seperti itu pada Lingga. Dia mengerti sakit hatinya. “Gak jelas,” ucap Lingga dan berlalu dari dapur. Bulan hampir menangis namun ditahan. 'Ngapain aku nangis? Sayang kalau air mataku terbuang hanya karena orang-orang seperti mereka.' Begitulah isi pikiran Bulan saat ini. “Bulan … lain kali, jangan begitu sama tamu! Mereka sudah meluangkan waktu untuk datang ke acara kita. Sebagai gantinya, kita juga harus menghargai mereka dengan memberikan pelayanan yang terbaik.” Bulan termangu. Dia tak habis pikir dengan ucapan ibu mertuanya. Bu Ines tiba-tiba datang dan menasehatinya. Ikut memojokkan Bulan seperti Lingga. Penyampaiannya memang lembut tapi mengena di hati. Sihir apa yang diberikan Bu Sulis pada Ibu dan anak ini? Hingga Bu Ines dan Lingga begitu meratukannya? --------------------“Ibu mau tinggal di sini dulu, Lan,” ucap Lingga pada Bulan.Tak masalah. Toh, Bu Ines adalah mertua yang baik. Selalu menganggap Bulan seperti anaknya sendiri. Mungkin hanya perkataan sang mertua tadi malam sedikit menyinggung hati Bulan. Selebihnya, semua normal. Baik-baik saja.“Ya, sudah. Aku berangkat kerja dulu. Kamu gak kerja, Mas?”“Enggak. Ngambil cuti lagi sehari.”“Oooh ….” Bulan hanya merespon seperlunya saja. Pernikahannya benar-benar di ambang kehancuran. Bahkan Bulan sudah tak ingin menggebu-gebu mempertahankan pernikahan ini. Untuk apa? Suaminya sudah jauh berubah. Nafkah bathin tak diberikan selama ini. Lingga juga selalu mengabaikannya beberapa hari ini. Bulan lelah. Lelah berjuang sendiri. Sekarang dia pasrah dan berserah pada Sang Pemilik Cinta.“Eh … tunggu!”“Apa lagi, Mas?”“Kamu gak bikinin aku dan Ibu sarapan?”“Ooh … maaf, Mas. Aku buru-buru. Kamu bisa masak, 'kan? Atau beli saja,” ucap Bulan tak peduli.Dia tak benar-benar cuek. Bulan hanya ingin Lingga sada
“Ngapain Mas Lingga pergi sama keluarga Bu Sulis? Aku merasa benar-benar dikhianati.” Bulan mencoba menguji kejujuran sang suami. Dia mencari kontak sang suami dan memencet tombol panggil. Lama tak mendapat jawaban. Bulan harus mengulang kegiatan itu sampai tiga kali. Akhirnya pada percobaan ketiga, Lingga menerima panggilan teleponnya.“Halo ….” Sangat singkat. Hanya itu yang diucapkan Lingga dari seberang sana.“Mas, kamu jadi jalan-jalan sama Ibu?” Bulan berusaha setenang mungkin. Berpura-pura tak terjadi apa-apa. Berpura-pura tak tahu apa-apa.“Jadi … kenapa memangnya?”Wah pintar sekali bersandiwara. Tadi saat ingin menukar kendaraan, Lingga berubah sikap menjadi lebih mesra dan baik pada istrinya. Tapi kini, dia kembali cuek—-seperti sebelum-sebelumnya. Bulan hanya tersenyum kecut. Dia semakin mantap untuk meninggalkan suami. Tapi dia perlu bukti yang lebih banyak untuk membongkar kedok sang suami.“Jalan-jalan kemana, Mas? Bisa gak nunggu aku sebentar? Aku mau ikut, dong. Kerj
Tiga hari berlalu sejak Bulan membuntuti pergerakan suaminya lewat aplikasi di ponselnya. Kini dia juga tak hanya menyadap mobil mereka tapi juga ponsel suaminya.Bulan memang sengaja untuk bersikap biasa saja hanya untuk mendapat bukti yang lebih banyak. Pesan yang masuk di ponsel Lingga, bisa dilihat juga oleh Bulan. Mungkin ini perbuatan yang tak sopan, tapi dia tak punya pilihan lain.Bu Ines selaku mertua, juga semakin berubah. Ia seperti Lingga kedua. Bicaranya semakin irit. Tingkahnya pada sang menantu pun tak sehangat dulu.“Bu … besok kan hari Minggu. Mumpung aku libur dan Ibu masih di sini, gimana kalau kita jalan-jalan bareng?” tanya Bulan pada sang mertua.“Gimana, Mas? Ini waktu yang tepat. Katanya kamu mau ngajak aku jalan-jalan. Udah lama loh kita gak keluar bareng.” Kini Bulan beralih pada sang suami. Sedikit manja untuk memancing sang suami.Bulan memperhatikan reaksi mereka berdua dengan baik. Lingga diam-diam memberi kode pada ibunya lewat lirikan mata. Bulan tahu p
Setelah sekian lama tak ada pesan dari wanita lain ke ponsel suaminya, hari ini Bulan justru mendapatkan pesan beruntun. Suami dan wanita selingkuhannya saling bertukar kabar membicarakan pernikahan mereka besok. Pernikahan yang dilangsungkan secara diam-diam—di belakang dirinya.“Tega banget kamu, Mas. Kamu mau menduakanku.”Bulan menyimpan semua bukti-bukti itu dengan tangan gemetar. Marah, kesal, dan kecewa menjadi satu. Kini semuanya telah benar-benar nyata. Kecurigaannya tentang sang suami, benar adanya. Bulan hanya perlu satu bukti lagi. Foto pernikahan Lingga dan wanita itu besok.“Sabar, Lan. Kuatkan dirimu untuk satu hari lagi. Setelah itu, kamu bebas terbang kemanapun,” ucap Bulan menguatkan diri.CeklekMendengar pintu kamar terbuka, Bulan langsung sembunyi dibalik selimut. Menghapus semua air mata yang sempat menetes ke pipi. Dia harus terlihat baik-baik saja.“Sayang … kok udah pake selimut aja?”Punggung Bulan yang tertutup selimut, diraba oleh Lingga. Dulu, sebelum keka
“Husein! Temui aku depan kantor!” “Loh, ini siapa? Kok tiba-tiba nyuruh saya menemui Anda?” tanya Husein kebingungan. Pasalnya, dia tiba-tiba mendapat telepon dari nomor tanpa nama. Dia tak mengenal suara siapa itu. Belum sempat menerka-nerka, Husein justru telah diminta menemui penelpon misterius itu.“Saya Bulan. Kamu gak kenal suara saya?”Mendengar nama itu, Husein terkejut. Ada apa ini? Kenapa Bulan tiba-tiba menelponnya dan meminta untuk bertemu? Bukankah hari ini libur? Husein juga merasa kalau ini bukan seputar pekerjaan. Jabatannya dengan Bulan tidak setara. Dia hanya seorang OB, sedangkan Bulan memiliki jabatan tinggi. Jika soal nomor teleponnya yang didapat Bulan, Husein tak terlalu kaget. Tentu Bulan memiliki akses orang dalam untuk mendapatkan nomor telepon miliknya.“Oooh … ma … maaf Mbak Bulan. Saya kira siapa. Memangnya ada apa ya, Mbak? Mbak perlu sesuatu?”“Iya, sangat perlu. Sudah lah! Temui saya di depan kantor sekarang! Cepat ya, Husein!”Husein tak memiliki wakt
“Ini apa-apaan? Kalian sekongkol? Kenapa ada Mbak Bulan di sini? Dan juga … Mas Arga.”Nesi yang didatangi Bulan dan yang lainnya mendadak kebingungan. Dia justru mengatakan kalau Bulan adalah seorang penguntit.“Segitu kepo-nya, ya, sama kehidupan saya? Sampai Mbak bawa orang-orang ini membuntuti saya?” tanya Nesi.“Kamu siapa? Enak saja nuduh anak saya seperti itu.” Kali ini, Mama Mery ikut berbicara.“Kamu gak sadar? Mobil yang kalian pakai ke villa ini adalah milik anak saya. Villa yang kalian nikmati saat ini juga disewa oleh anak saya,” lanjut Mama Mery.Nesi sempat terdiam sebentar setelah ditampar fakta oleh Mama Mery. Tapi itu tak berlangsung lama karena dia kembali mencaci para tetangganya itu.“Sudah lah, Ma … Pa. Mending kita langsung aja ke dalam. Kita tangkap basah para pecundang itu,” ucap Bulan.Nesi tak tinggal diam. Dia berusaha mencegah para tamu tak diundang itu untuk masuk. Dia tak ingin ketenangan mereka diusik.“Enak saja main masuk-masuk aja. Yang sewa villa in
“Kita bisa bicarakan ini baik-baik, Lan. Jangan seperti ini!”“Iya, Nak. Kalian jangan bercerai!”Lingga dan ibunya terlihat cemas. Mereka takut kalau Bulan benar-benar menggugat cerai. Kalau itu terjadi, Lingga harus keluar dari rumah. Tak ada juga harta gono-gini. Seperti yang tercantum di surat perjanjian pra-nikah, jika Lingga berkhianat.“Tapi aku kan gak selingkuh, Lan? Aku menikahi Agnes. Dia menjadi madumu. Aku gak berzina.”Lingga terus membela diri. Bukannya meminta maaf, pria itu justru terus melancarkan aksinya merangkai kata untuk membenarkan sikapnya. Tentu saja Bulan dan lainnya semakin geram. Pak Kevin bahkan sempat ingin memukul Lingga kembali, namun dicegah oleh Arga.“Iya benar, Nak. Ibu yakin kalau Lingga bisa berlaku adil.”“Iya, Mbak. Tolong restui kami! Aku janji, kalau aku tak akan menjadi madu yang menyusahkan. Tak akan tantrum saat Mas Lingga bersamamu. Kita bisa menjadi teman, bahkan seperti kakak adik.”Agnes mendorong kursi rodanya untuk mendekat ke arah B
Bulan terbaring lemah di rumah sakit, merasakan rasa sakit fisik dan hati yang mendalam. Sementara itu, Lingga ditempatkan di sel penjara, menghadapi konsekuensi perbuatannya.“Mama gak nyangka Lingga bisa seperti itu.”“Papa salah menilai pria itu. Wajah polosnya hanya dipakai untuk menutupi monster mengerikan dalam dirinya.”Bulan hanya terdiam mendengar ucapan kedua orang tuanya. Dia hanya ingin fokus untuk kesembuhannya. Sembuh dari sakit fisik maupun hatinya.Di tempat lain, Arga merasa sangat kasihan pada nasib Bulan. Wanita itu tak seharusnya mendapat perlakuan buruk seperti ini. Menjadi korban tapi tetap dipaksa untuk mengalah.“Mas Lingga memang keterlaluan. Padahal Mbak Bulan begitu baik,” gumam Arga.Diam-diam, dia telah lama memperhatikan Bulan. Sejak wanita itu mengetuk pintu rumahnya dan memperkenalkan diri sebagai tetangga baru, entah kenapa Arga merasa tertarik. Senyum ramah maupun pembawaan Bulan yang terlihat ceria, membuatnya jatuh hati. Tapi Arga seringkali menepis
“Kur4ng 4jar, ya, kamu!”Plak!Begitu cepat tamp4ran keras melayang ke pipi Nanda. Semua orang yang ada di sana terkejut.“Apa-apaan ini, Tante?”Nanda bertanya bingung sembari memegangi pipinya yang kini terasa nyeri.“Marni ….”Tiba-tiba dari arah belakang, terdengar suara keras memanggil nama adik bungsu Jaka. Dia adalah wanita yang melahirkan Nanda ke dunia ini.Tangan Bulan gemetar. Dia begitu emosi melihat pemandangan di depannya. Dimana wanita yang membuatnya trauma selama ini tengah menyakiti anak kesayangannya.“Marni, apa-apaan kamu?”Di saat istrinya masih tetap di tempat, Jaka justru sudah lebih dulu menghampiri Marni.“Anakmu ini telah bicara tak sopan padaku, Mas.”Marni berusaha membela diri.“Apa yang kamu katakan ke Tantemu, Nan?”Kini Jaka berbalik ke arah putranya yang sudah remaja.“A … aku hanya ….”“Katakan saja!”Mendengar titah sang ayah, Nanda lantas menarik nafas dan langsung menjelaskan kronologinya. “Benar, ‘kan? Anakmu itu tak sopan. Kamu sudah dengar dar
Pintu kamar pribadi milik Jaka dan Bulan terbuka. Marni yang semula ingin turun ke lantai dasar untuk memberi makan cacing-cacing di perut, kini perhatiannya justru teralihkan ke sebuah kamar—kamar milik iparnya.“Besar banget. Beda jauh dengan kamarku.”Marni melongo. Dia terdiam di depan kamar yang pintunya terbuka itu. Memindai setiap sudut kamar yang terjangkau oleh mata. Tanpa sadar, kakinya terus melangkah maju—mendekat ke arah kamar. Entah dimana ART yang bertugas membersihkan kamar majikannya hari itu. Hingga pintu kamar dibiarkan terbuka tanpa ada seorangpun di dalam. Hal ini tentu dijadikan kesempatan emas bagi Marni untuk melihat-lihat barang di kamar itu.Ceklek“Ceroboh banget. Kenapa kunci lemari dibiarkan tergantung kayak gini, kan aku jadi bisa membuka lemarinya,” ucap Marni dengan senyum sumringah. Dia berharap ada perhiasan me-wah yang bisa ia pinjam untuk sebentar.“Apaan ini? Mana perhiasannya?”Setelah membuka lemari, Marni tak melihat barang lain selain pakaian
“Wanita itu? Ke … kenapa dia ada di sini?”Trauma yang dialami Bulan masih ada hingga kini. Bayangan masa lalu, selama berminggu-minggu disek4p, kini kembali muncul. Telinga Bulan mulai berdengung, pandangannya berbayang. Dia merasakan pusing yang sangat luar biasa. Tubuhnya mulai tak terkendali, bergetar dan tak bisa berdiri tegak.“Eh … Bu … Bu.”Beruntung. Sebelum tak sadarkan diri dan terjatuh ke lantai, ada yang menopang tubuhnya dari belakang. Dua orang perawat perempuan memegangi tubuh Bulan yang saat ini begitu lemas.“Bawa ke IGD! Tolong!”Perawat itu memanggil rekan lelakinya untuk membantu membawa Bulan ke IGD.Di lain sisi, Nadya yang mendengar keributan dari arah belakang, terkejut melihat ibunya yang begitu lemas dan ditemani oleh dua perawat.“Mama ….”Mendengar kata yang terucap dari mulut anak perempuannya, Jaka pun ikut menoleh ke arah belakang. Begitu pula dengan Maga dan Marni. Percakapan mereka harus terpotong. Kini, semua tertuju pada Bulan.Jaka dan Nadya gegas
“Pa … itu ada telepon.”“Dari siapa, Ma?”“Entahlah … dari tadi berisik banget nelponin Papa. Awas aja kalau itu simpenan kamu, ya.”Jaka hanya bisa tersenyum sembari me-nge-lus lembut rambut istrinya. Kini, Bulan memang berubah menjadi wanita yang sensitif dan sangat protektif pada keluarganya. Bahkan terkadang ketakutan akan kehilangan anggota keluarganya itu, membuat Bulan dianggap sebagai sosok yang galak dan cerewet oleh anak-anaknya.“Ya, sudah … Papa angkat telepon dulu, ya.”Jaka bersiap untuk keluar dari kamarnya, mengangkat telepon dari orang misterius yang sejak tadi membuat ponselnya berdering.“Kenapa gak di sini aja? Kenapa harus di luar? Kamu menyembunyikan sesuatu?”Lagi-lagi, langkah Jaka terhenti. Dia pun kembali berbalik ke arah sang istri.“Mama mau Papa tetap di sini? Ya, sudah, Papa angkat teleponnya di kamar. Biar Mama tidak curiga lagi. Bila perlu, Papa loudspeaker saja biar Mama bisa mendengar percakapan kami.”Bulan tak menjawab. Wajahnya masih datar dan tak
“Minggir dong, Pak! Kenapa sih mepet-mepet terus? Ketek Bapak bau.”“Eh … kurang a-jar ya, kamu. Enak saja bilang ketek saya bau. Lagian siapa yang mau deket-deket sama kamu? Mulutmu bau jengkol.”Di dalam bus antar kota itu, seorang wanita paruh baya dan seorang kakek tua terlihat bersitegang dan adu mulut. Mereka membuat orang-orang di sekitarnya mulai terganggu. Suasana yang awalnya hening, didominasi oleh orang-orang yang sedang tidur sembari menunggu waktu untuk sampai ke tempat tujuan, kini tiba-tiba riuh seperti pasar.“Bu … udah, Bu!”Maga berusaha menenangkan ibunya. Dia harus menahan rasa sakit di perutnya demi melerai pertengkaran ibunya dengan seorang kakek.“Dasar orang kampung! Beraninya sama orang tua.”“Memang kenapa kalau aku orang kampung? Daripada kamu, sudah bau tanah masih saja cari perkara.”Tak ada yang bisa melerai mereka berdua hingga ….Ciiiiit ….Bus berhenti mendadak, membuat semua orang terkejut dan beberapa ada yang terpental dari posisinya semula. Berunt
“Sudah Ibu bilang, kita harus pergi ke kota mencari keluarga gadis itu. Kita harus meminta pertanggung-jawabannya.”Marni begitu menggebu-gebu. Menghasut suami dan anak lelakinya untuk pergi ke kota mencari keberadaan Nadya. Tapi dua lelaki itu tetap diam—berusaha tak mendengar ucapan sang Ibu.“Kita jual saja rumah ini. Semoga uangnya cukup untuk melunasi hutang dan juga memberi ganti rugi pada orang-orang di pasar.”Maga mengangguk—dia setuju dengan ucapan sang ayah. Sepertinya, itulah solusi terbaik untuk keluar dari masalah ini. Walaupun mereka harus kehilangan rumah ini, tak menjadi masalah. Yang terpenting, mereka terbebas dari segala hutang dan tuntutan warga.“Apa? Dijual? Trus kita mau tinggal dimana?”Marni adalah satu-satunya orang yang tak setuju akan saran suami dan anaknya.“Kita buat gubuk kecil di bekas kios, Bu. Hanya untuk sementara. Setelah rumah ini berhasil dijual, sisa uangnya akan bapak pakai untuk menyewa kontrakan dan juga membangun kios kita lagi.”Marni meng
“Baru saja pulang, Pak. Dia pulang bersama kakeknya.”Tentu saja kakek yang dimaksud oleh petugas rumah sakit adalah lelaki tua yang membantu Nadya dan Maga tempo hari.“Apa mereka tak menitipkan pesan atau memberitahukan alamat mereka?”“Maaf, Pak. Tidak ada.”Jaka menghela nafas pelan. Dua hari ini dia terlalu sibuk dengan pekerjaan kantor dan juga keluarganya. Dia harus menjadi tameng dan tembok pembatas bagi istri dan anak perempuannya yang sedang perang dingin. Sehingga ia lupa menemui pemuda yang wajahnya sangat mirip dengan adik kembarnya.“Dia sudah pergi, Yan. Aku tak tahu dimana keberadaannya sekarang.”Jaka memberi laporan pada adik kembarnya yang lain. Dia gagal mencari tahu tentang asal-usul pemuda itu. Dia kehilangan jejak.“Sudah, tak apa-apa, Mas! Kalau memang benar dia keponakan kita, Tuhan pasti akan mempertemukan kita kembali.”Dari seberang telepon, Yanti berusaha menghibur kakaknya. Sebenarnya ia pun tak yakin kalau pemuda yang dimaksud oleh kakaknya adalah kepona
“Saya, Ibu dari pasien atas nama Nadya. Dimana? Dimana anak saya sekarang?” Bulan terlihat panik, dia tak sabar ingin bertemu dengan putri kesayangannya.“Putri Ibu dan suaminya masih ada di IGD, Bu. Mari saya antar.”Jantung Bulan berdegup lebih cepat ketika mendengar ucapan perawat. Suami? Suami dari anaknya? Apa maksud perkataan pihak rumah sakit ini?Tapi langkah kakinya tetap mengikuti sang perawat yang sebentar lagi akan mempertemukan dirinya dengan Nadya.“Sayang … bagaimana keadaanmu, Nak?”Bulan terus memeriksa tubuh anaknya dan menanyakan kondisi kesehatannya sekarang. Sang suami, Jaka, terus mendampinginya sembari me-nge-lus lembut rambut putri sambungnya.Sejurus kemudian, tatapan ta-jam Bulan lontarkan pada lelaki muda yang masih terbaring di ranjang rumah sakit.“Siapa dia, Nak? Katakan!” Bulan bertanya pada anaknya tanpa menatap mata sang putri. Pandangannya justru terus ditujukan pada lelaki muda yang kini tengah memberikan senyuman tipis padanya.“Ma … sabar! Ini rum
“Terima kasih, Mas.”Hanya itu yang bisa Nadya ucapkan di tengah gempuran hujan. Entah lelaki muda itu mendengar ucapannya atau tidak.Jedug!!!Mereka kini melalui jalanan yang rusak. Nadya hampir saja terjatuh jika tak langsung memeluk tubuh pemuda itu. Ia terpaksa melakukan ini untuk membuat dirinya tak terjatuh ke jalan.“Maaf, Mas,” ucap Nadya, sesaat setelah dia memeluk pinggang lelaki itu. Tapi lagi-lagi tak ada sahutan. Nadya merasa tak enak hati. Karena mengira, pemuda itu terpaksa mengantarkan dirinya pulang dengan menempuh jarak yang lumayan jauh. Nadya berpikir, dirinya sangat merepotkan.Di kiri dan kanan jalan yang mereka lalui saat ini adalah hamparan sawah dengan gubuk-gubuk petani yang kosong saat malam. Sangat sepi. Beruntung hujan mulai reda walau menyisakan rintik yang membasahi tubuh. Tapi paling tidak, mereka berdua bisa menembus jalanan sepi dengan lebih cepat tanpa terhalang oleh derasnya hujan.Bruuuk!Tiba-tiba motor yang dikendarai lelaki itu oleng dan terjat