Alya dan Anna hanya menonton kedua orang dewasa yang sudah seperti patung tak ada pergerakan. Ternyata kalau dibiarkan lumayan lama juga Kanaya dan Bima membisu. Lidah mereka sepertinya kelu, padahal hati tak henti-henti berbicara. Akhirnya Anna memutar bola mata malas sambil menuntun tangan Alya untuk pulang bersama sopir.Menyadari putrinya berjalan begitu saja melewati, mata Kanaya mengerjap. “Eh,” serunya.Namun Anna dan Alya tak menghiraukannya. Tetap berjalan tanpa menoleh, lalu masuk mobil.“Mang. berangkat!” titahnya.“Baik, Non.” Mang Ujang yang merasa heran tak protes, ia langsung menjalankan perintah.“Anna, Alya,” panggil Kanaya mencoba mengejar meski mobil sudah melaju dan semakin jauh dari jangkauan mata.“Nay, anak-anak sudah pulang.” Entah itu pernyataan atau pertanyaan. Terdengar ambigu di telinga Kanaya.“Ya, mereka sudah pulang.”“Kalau begitu silahkan pulang.”Hah, apa maksudnya? Tak percaya, dia mengusirku. Dia ingin aku segera pulang. Hati Kanaya mencelos.Kanaya
Bima mencoba membela diri dan tak gentar dengan tudingan Wirawan yang seraya mengacung-acungkan tongkat seperti hendak memukulkannya.“Ya Papi tahu. Si Elang sudah selingkuh dengan adik istrinya. Tapi masalahnya tidak sesederahana itu. Siapa yang peduli kamu salah atau benar?”Rupanya Wirawan hanya sebatas menagcungkan tongkat karena kesal dengan Bima. Ia pun tahu kalau anak angkatnya benar-benar mencintai mantan istri Elang. Melibatkan perasaan cinta akan membuat Bima semakin kesulitan. Padahal keterkaitannya dengan Kanaya akan terus mengancam masa depan.“Jadi papi sudah tahu kebenarannya?”“Kamu lupa siapa Papi?” tanyanya balik dengan jumawa.“Maaf. Aku harus bagaimana Pih? Orang yang bisa menjadi saksi sudah melarikan diri. Walau bagaimana pun aku harus mencari orang itu.”“Percuma. Jangan kamu cari! Dia sudah menjadi mayat.”“Mayat?” Mata Bima membeliak.“Ya, dia mengalami kecelakaan. Mobil yang ia kemudikan menabrak pohon.”Kecelakaan? Rasanya kebetulan sekali. Apa ini ad
Sebelum yang tidak diinginkan terjadi lebih jauh, ia segera mendobrak pintu kamarnya. Satu dobrakan, dua dobrakan, pintu masih saja kokoh untuk terbuka. Sampai lengannya malah terasa sakit karena dibenturkan dengan kayu jati berukir itu. Jelas saja mendobrak dari arah dalam keluar itu hal yang sulit karena arah pintu berlawanan. Beda halnya jika dari luar ke dalam. Mungkin beberapa dobrakan akan mampu merusak fungsi dari lockcase hingga daun pintu terbuka.“Mih,” teriak Bima. Namun karena ibunya sibuk di dapur beradu dengan wajan juga spatula membuat teriakan Bima tidak terdengar. Perlahan Bima merasa lemas dan pikirannya mulai melayang. Obat yang disuntikkan Melinda tentu saja mulai bereaksi.“Heh! Akhirnya ….” Melinda menyeringai.Ia mendorong tubuh Bima ke atas bed ukuran nomer 2. Bibir merah yang jarang tersentuh rokok itu sungguh membuat Melinda menggila. Dulu bisa menikmatinya kapan saja dia mau. Sejak memutuskan memilih Beni, Melinda tak dapat lagi merasakan. Jangankan merasak
Masalah viralnya foto-foto dengan Kanaya membuat ia benar-benar sibuk. Ia harus mengurus ke bebera situs dan akun agar foto tersebut berhenti beredar. Belum lagi persoalannya yang baru saja mundur dari perusahaan. Mencipta berbagai polemik baru yang menyita materi, waktu juga pikiran.“Huh ….” Bima mengembus napasnya yang berat.Dipijatnya pelipis berharap rasa sakit di kepalanya bisa berkurang. Namun semua terasa sia-sia tak ada yang dapat menghiburnya kecuali kehadiran Kanaya. Ya Kanaya, ia sangat merindukan wanita itu.Saking sibuk urus ini itu, Bima belum sempat bertemu lagi bahkan komunikasi visa telpon pun tidak.Apa kabarnya kamu? Hati Bima bertanya seraya memandang nama kontak bernama Yaya.Yaya adalah panggilan kesayangan Bima untuk Kanaya, tetapi tidak ada satu pun orang yang tahu selain dirinya.“Telepon enggak? Telepon … enggak.” Bima terus menimbang apakah ia harus meneleponnya lebih dulu atau tidak.Telpon sajalah. Daripada urat-uratku terus menegang tidak karuan.
Bima terus menengok arloji lemeted edition-nya di pergelangan tangan. Akan tetapi Kanaya belum muncul juga. Hatinya masih bertanya kira-kira ada apa dia sampai mau menyusul? Pasti ada hal yang sangat penting.“Apa sesuatu telah terjadi? Tapi apa itu?” gumam Bima.Seribu kali pun Bima bertanya-tanya, ia masih belum bisa menerka jawabannya. Sama sekali tak terpikirkan kalau yang tengah bermasalah adalah hati Kanaya bukan sesuatu yang ia cemaskan. Mengingat belum lama ini dunia medsos heboh oleh foto mereka berdua.Sekarang Bima sudah mencetak boarding pass-nya dan petugas sudah memberitahu agar segera masuk pesawat. Mendadak ia berubah pikiran untuk membatalkan perjalanan. Sebenarnya Bima sedari tadi sudah berusaha menghubungi Kanaya, tetapi tidak ada jawaban. Mungkin karena Kanaya sedang dalam perjalanan menuju Bandara. Walau merindukannya, tetap saja tidak tega membiarkan wanita itu jauh-jauh datang menyusul. Makanya ia berinisiatif untuk mengajak bertemu di tempat lain. Namun ya i
“Bagaimana bisa Si Kanaya bersama Bima? Ini tidak bisa aku biarkan.”Melinda bersungut-sungut sebab wanita yang selalu membuatnya iri sedari dulu muncul di depan mata bersama lelaki yang masih sangat ia cintai.Tanpa meminta izin, Bima masuk ke mobil Kanaya lagi. Tujuannya hanya satu, ingin secepatnya menjauhi wanita yang urat malunya sudah putus itu. Tidak peduli dengan bibir Kanaya yang masih manyun-manyun tidak jelas.“Lha, kenapa masuk?”“Tolong nebeng, ya! Sampai persimpangan jalan di depan saja. Nanti saya turun.”“Kenapa tidak kamu saja yang mengemudi?”“Oh, ya.”Mereka pun hendak bertukar posisi duduk. Keduanya bersamaan bergeser hendak menukar tempat duduk. Karena tanpa perhitungan kepala mereka jadi tak sengaja terbentur.“Aw,” ringis Kanaya.“Eh maaf.”“Keras banget kepalanya.”“Ya namanya juga kepala.”“Aish, menyebalkan.”“Apa?”“Enggak,” ketus Kanaya. Sebetulnya ia ketus bukan karena terjedot kepala Bima, melainkan Bima masih juga belum berinisiatif menjel
“Begini Nay ….” Mira menggantung ucapannya dengan menarik napas panjang.“Iya, Bu.”“Anna dan Alya bisa tolong tinggalkan kami dulu? Nenek mau bicara penting sama mama dan papa.”“Oh, baiklah,” sahut Anna.Anna dan Alya cukup paham jika pembicaraan terkait urusan orang tua sebaiknya mereka memberikan privacy.“Sebenarnya Ibu ma--,” ucapnya terjeda karena ada ponsel milik Mira berbunyi dari dalam tas. “Sebentar,” sambungnya.Mira izin mengangkat telpon sebentar dan menjauh dari Kanaya juga Bima lantaran yang menelepon adalah Kamila.“Ya hallo, ada apa Mil?” tanya Mira setelah telpon tersambung.“Jangan bilang kalau ibu sedang di rumah Kak Naya!”“Tapi ini demi kebaikan anak yang kamu kandung Mila. Ibu tidak tega rasanya. Elang dan Kanaya harus tahu.”“Bu, sudahlah. Aku bisa melahirkan dan mengurus anak ini sendiri.”“Mila, status anakmu nanti gimana? Ini bukan hanya perkara biaya membesarkannya.”“Bu, aku mohon cukup. Ibu pulang sekarang juga,” tegas Kamila.Bukan tanpa al
Roda empat yang dibawa Bima sudah ada di depan pagar rumah Kanaya.“Masuk enggak, masuk enggak,” ucap Bima sambil menghitung kancing kemejanya.Ah, yang benar saja Bima! Masa depanmu dipertaruhkan oleh kancing baju. Kata hatinya.Tidak buang waktu, ia langsung turun dari roda empatnya. Sekuriti di balik pagar menghampiri.“Maaf, ada perlu sama siapa?” tanyanya ramah.“Bu Kanaya ada?”“Ada. Dengan bapak siapa? Biar saya lapor dulu,” ucap sekuriti. Sebenarnya sekuriti itu sudah hapal siapa yang datang. Ia juga masih ingat saat Bima bertingkah konyol sewaktu mengantarkan majikannya pulang.“Saya, Bima.”“Iya. Mohon tunggu sebentar.”Sekuriti itu gegas masuk ke rumah dan memberi tahu Kanaya.“Bima?” Kanaya masih tak percaya.“Iya, Bu. Pak Bima,” ulangnya.“Izinkan dia masuk, ya!” pesan Kanaya, lalu berlari menuju ruang ganti pakian.Di depan cermin Kanaya memutar-mutar badan dengan baju gantinya. Dirasa kurang cocok, ia menggantinya lagi dengan yang lain. Terus saja begitu samp
SSN 75Semua berjalan sebagaimana mestinya. Akhirnya setelah melewati rasa perih pengkhianatan Kanaya bisa menemukan kebahagiaan lagi. Bersama Bima, ia merasa hidup berjalan normal. Meski yang namanya rumah tangga tidak lepas dari ujian. Hanya saja, selama ujian itu bukan kehadiran wanita lain, Kanaya akan selalu sanggup menjalaninya."Happy birthday to you, happy birthday Narain "Lagu ulang tahun mengantarkan Narain untuk meniup lilin dengan angka 5. Ya, buah hati Bima dan Kanaya tidak terasa sudah berusia lima tahun. Acara ulang tahun diselenggarakan sederhana. Hanya dihadiri keluarga dan kerabat dekat saja."Ayo sekarang potong kuenya!" Ucap Anna.Kanaya lekas membantu memotongkan."Suapan pertama buat siapa, Dek?" tanya Alya."Buat Ayah.""Kok, nggak buat mama dulu?""Ayah dulu. Mama itu suka celewet, kadang galak.""Ih, kok Rain gitu sama mama," protes Kanaya."Haha ...." Orang-orang malah nertawain Kanaya."Anak ayah yang Soleh, kue pertama harus buat mama ya. Soalnya mama lah
“Iya istriku, katakan saja hal apa yang sudah membuatmu marah, agar saya bisa memeprbaikinya.” “Ok. Pertama kamu kegatelan sama cewek muda waktu di taman. Alya sudah cerita semuanya. Bahkan kamu mau kasih nomer kan sama tuh cewek? Untung saja kamu enggak hapal. Coba kalau hapal, pasti sudah berkirim pesan sekarang juga.” “Cinta, kamu cemburu?” “Ini bukan perkara cemburu, Bim. Kamu sudah jelas suka dengan daun muda,” sengit Kanaya. “Eh Cinta, dengarkan dulu. Siapa bilang saya tidak hapal nomer Hp sendiri? Ya hapalah. Untuk apa coba saya pura-pura bilang enggak hapal? Itu karena saya sangat menjaga hati. Lagian buat apa juga tertarik sama bocah? Cantikan mama-nya Narain lah.” “Ehm … udah jangan bohong. Ngaku saja!” Bima pun menyebutkan nomer Hp-nya dan benar saja dia hapal, malah sangat hapal. Berarti alasan bilang tidak hapal memang karena tidak mau saja kasih nomer kepada cewek itu. “Gimana, masih mau bilang saya kegatelan? Emang benar sih, saya tuh udah gatel banget. Yang di ba
SSN-73Setelah mencoba mengingat, Bima tak kunjung menemukan kesalahannya sendiri. Pria kadang memang tidak peka.“Aduh, mama kalian tuh emang suka mendadak kayak gitu. Ayah jadi bingung.”“Ayo susul mama, Yah!” saran Alya.“Iya nanti saja. Sekarang tanggung, Ayah laper.”Mereka kembali melanjutkan aktifitas sarapannya dan tak lama Alya yang memang sudah sarapan sejak tadi merasa kenyang.“Aku dah selesai. Duluan ya Kak, Yah,” izin Alya.“Sayang tunggu, Ayah boleh minta tolong?”“Apa itu?”“Bawain sarapan buat mama. Mama pasti masih lapar. Kan tadi berhenti gara-gara marah sama ayah.”“Ok.”Alya segera membawa sepiring sarapan dan mencari mamanya. Ternyata Kanaya sedang duduk di balkon lantai dua.“Hey Mah.”“Bawa apa Sayang?”“Sarapan. Kata ayah, Mama harus sarapan banyak. Kan netein adek Narain.”“Terima kasih, Sayang.”Kanaya yang memang lapar langsung mengambil alih piring dari tangan Alya. Alya ikut menemani dengan duduk di samping mamanya.“Mah, tadi waktu jogging
Setelah baby Narain terbangun oleh suara bebek mainan, ia enggan terlelap lagi. Kanaya sampai terus nguap-nguap dan matanya berair menahan ngantuk.“Ya, udah tidur saja.”“Kan Narain belum bobo.”“Tidak apa-apa, biar saya yang jagain. Mungkin ia juga kangen, pengen gadang sama ayahnya.”“Enggak ah, aku juga mau di sini saja nemenin kamu.”Bima terus mengajak main anaknya. Sesekali ia pun menguap, tetapi terus ditahannya. Bima gegas membuat secangkir kopi untuk mengusir rasa kantuknya. Sekembali membuat kopi, rupanya Kanaya yang menunggu Narain sudah tertidur.“Mamanya sudah bobo ya? Tunggu, ayah minum dulu kopinya. Eum ….” Bima menghirup aromanya. Lalu ia seruput sedikit demi sedikit. Perlahan kantuknya pun hilang.Narain sama sekali tak rewel. Ia begitu asik bermain malam-malam bersama sang ayah. Tak terasa jarum jam sudah menunjuk angka 12. Berbagai nyanyian, solawat, doa-doa, tepuk-tepuk sampai ngoceh apa aja Bima lakuin agar si Buah hati tidur kembali. Usahanya tidak sia-s
Kanaya sulit terpejam. Ia terus menatap suami yang sudah terlelap kurang dari dua jam lamanya. Suami yang ditatap menggeliat. Kanaya menoleh pada jam yang nongkrong di meja samping bed. “Jam 00.00?” gumamnya. Biasanya di jam ini, Bima akan terbangun untuk buang air kecil. Mendadak Kanaya ingin memberi sedikit pelajaran dengan mengerjainya. Ia buru-buru bersembunyi di walk-in closet. “Ya ….” Terdengar Bima memanggil. Tidak lama terdengar juga langkahnya yang ke sana ke mari mencari. Lalu langkahnya kian menjauh dari ruang kamar. Kanaya keluar dari walk-in closet pelan-pelan. Ia mengintip dan mengendap seperti maling untuk menyaksikan kepanikan Bima di luar kamar. Tampak Bima berlari-lari kecil dari ruang ke ruang lainnya. Kanaya cekikikan sendiri sambil ditangkupnya mulut agar tidak kelepasan tertawa. Suaminya terdengar berteriak, untung saja anak-anak tidak terbangun. Lalu menyalakan semua lampu penerangan, terlihat napasnya terengah-engah. Raut penyesalan tampak jelas tergambar.
Bima menjemput Anna pulang sekolah. Sepanjang perjalanan ada yang dirasakan berbeda dalam diri Anna. Tak seperti biasanya mengoceh dan bercerita tentang harinya yang menyenangkan ataupun sebaliknya.“Ann, kamu kenapa?”“Tidak apa-apa.”“Tidak mau cerita sama Ayah?”“Tidak.”Suasana hening kembali sampai tiba di istina mereka. Kanaya sudah menyambut kepulangan putri sululungnya. Sementara Alya sudah lebih dahulu pulang.Anna masuk rumah begitu saja tanpa salam. Bahkan mamanya yang di ambang pintu ia lewati begitu saja. Ia pun langsung naik ke lantai dua dan terdengar membanting pintu kamar. “Bim, kenapa Anna?”“Anna tidak mau cerita.”“Apa Anna punya pacar?” selidik Bima. Meski mereka terbilang akrab, tetapi untuk urusan cinta, Anna enggan membagi kepada ayah sambungnya.“Iya. Dia jadian sama anak yang bernama Rangga itu, lho.”“Oh.”Kanaya sudah paham, walau suaminya hanya bilang ‘oh’, ia pasti akan melakukan sesuatu.“Aku mau temui Anna dulu, ya!”“Iya. Saya juga mau
Bima membawa istri untuk memeriksakan kehamilannya kembali. Sekalian mereka mau konsul tentang rencana babymoon-nya. Hasil pemeriksaan sejauh ini baik-baik saja, tetapi Indra sebagai dokter menyarankan agar mereka berangkat babymoon sekitar dua mingguan lagi. Untuk melihat sejauh mana kondisi Kanaya yang baru saja melewati fase mual muntah. Selagi ada waktu dua minggu, pasangan suami istri tersebut mempersiapkan segalanya. Mereka juga membujuk Anna dan Alya agar mau ditinggal selama seminggu. Bukan hal yang mudah tentunya, mengingat putri-putri Kanaya tidak pernah ditinggal lama. Akhirnya mereka semua mencapai mupakat setelah berdiskusi alot. Anna dan Alya mengizinkan hanya untuk lima hari. Destinasinya hanya Lombok, tidak boleh keliling ke tempat lain. Karena kalau keliling, mereka harus ikut turut serta. Setiap hari mereka juga harus video call untuk saling mengabari. Selama Bima dan Kanaya pergi, Mira juga diminta untuk menginap.** Wirawan sudah terlihat sangat sehat dan s
Depresi Kamila tidak kunjung membaik. Mira memasukkannya ke Rumah Sakit Jiwa karena kewalahan. Di rumah sakit, keadaan Kamila lebih terkontrol dan stabil. Sesekali ia mengunjungi Kanaya dan cucu-cucunya.“Nay, kenapa kamu jadi malas mandi begini sih?”“Enggak tahu, Bu. Rasanya mual kalau masuk kamar mandi itu.”“Padahal dulu waktu hamil Alya, kamu tuh rajin banget mandi. Sampai sehari lima kali, lho.”“Oh iya, hehe.”“Iya, Bu. Naya malas mandi tuh. Deket-deket saya juga, dia tidak mau,” timbrung Bima yang baru muncul.“Emang begitu Nak Bima bawaan orang hamil itu beda-beda. Yang sabar ya!”“Iya, Bu. Pasti.”“Tahu ah, kamu acara ngadu segala sama ibu,” ketus Kanaya.“Ya tak apa-apa Nay. Ibu malah senang kalau Nak Bima itu bisa akrab sama ibu. Lagian kamu juga aneh, justru lagi hamil itu harus deket-deket sama suami. Kamu juga dulu waktu hamil Anna, nempel banget sama suami. Sampai suamimu kamu larang masuk kantor. Jauh sedikit saja, kamu merajuk,” tutur Mira panjang tanpa sada
“Wah selamat, bentar lagi jadi dady, nih.”“Ngapain gue ganti nama jadi Dedi?”“Haha, enggak lucu lu!”“Engga lucu, ketawa.”“Haha … aduh Nyonya Anggara terima kasih banget karena Anda, hidup sahabat saya jadi berwarna. Padahal dulu hidupnya lempeng aja, mana bisa dia guyon.”“Begitulah. Waktu pertama kali bertemu juga, dia itu songong dan arogan.”“Eit, malah gunjingin suami,” seloroh Bima.“Hehe,” kekeh Kanaya.“Jadi beneran kan istri gue hamil?” ulang Bima memastikan lagi.“Beneran lah, masih aja lu nanya.”“Ya Tuhan, terima kasih.”Bima menangkup kedua pipi istri dengan gemas dan menghujaninya dengan kecupan.“Eh, eh, tolong kondisikan Pak Bima Anggara. Istri saya kebetulan lagi di LN, masih lama pulangnya,” sewot Indra.“Itu derita lu.”“Tega bener.”“Oya Dok, soal hubungan badan di trisemester pertama ini bagaimana?” tanya Kanaya.“Berhubung keadaan ibu dan janin sehat, jadi masih bisa dilakukan. Amanlah. Malah bisa menambah booster buat ibunya.”“Nambah booste