Nirmala terus mencoba menghubungi nomor itu. Beberapa kali Nirmala tampak gusar karena tak kunjung mendapat jawaban. Akhirnya ia memilih untuk berhenti melakukan panggilan itu, kemudian bergegas menuju dapur. Nirmala segera menyiapkan makanan untuk dibawa ke kantor suaminya. Pikirannya masih terus berkecamuk. Ia sebetulnya ingin membuang rasa curiga itu, tetapi entah kenapa panggilan Heru dan panggilan perempuan itu pada suaminya sungguh selalu membayangi pikirannya.
Ponsel Nirmala berdering. Segera ia meraihnya di atas meja makan. Melihat nama “Lukman” tertera di layar dengan penuh semangat Nirmala segera mengangkat telepon itu.
“Ada apa Tante?” ucap seseorang di seberang sana.
“Lukman, bisa bantu Tante?”
“Bantu apa?”
“Ajarkan Tante bagaimana menyadap telepon dan mengetahui posisi sebuah nomor telepon,” ujar Nirmala.
“Buat apa Tante? Wah, Tante mau jadi mata-mata ya,” ledek Lukman.
“Nanti Tante jelaskan. Sore nanti sekalian Tante mau ketemu Ibumu. Tolong ajari Tante, ya,” pinta Nirmala.
“Oke siap, Tante,” ucap Lukman.
Nirmala mengakhiri percakapannya dengan Lukman yang merupakan keponakan dari kakak pertamanya. Nirmala pun melanjutkan masaknya hingga semua selesai tepat waktu.
***
Laju sepeda motor yang Nirmala kemudikan tak terasa sudah mengantarkan Nirmala sampai di depan gerbang tempat di mana suaminya bekerja.
“Selamat siang, ada yang bisa kami bantu?” tanya Satpam penjaga pintu gerbang.
“Selamat siang Pak, saya mau bertemu dengan Bapak Heru Hermawan,” tutur Nirmala.
“Lho, bukannya tadi jam 10 beliau pamit izin keluar karena ada acara keluarga. Maaf Ibu siapa?” tanya Satpam.
Nirmala tertegun mendengar ucapan Pak Satpam. Dadanya bergemuruh. Acara keluarga? Bukankah dia itu istrinya Heru? Namun, Nirmala tidak ingat kalau hari ini ada acara keluarga! Apa maksud Pak Satpam itu keluarga Heru sendiri? Lalu kenapa Pak Satpam tak mengenali Nirmala? Bukankah biasanya setiap karyawan akan saling mengenali keluarga karyawan lainnya.
"Bu ... Ibu?" Nirmala terkesiap ketika Pak Satpam memanggilnya.
“Sa-saya … saya temannya Pak,” tutur Nirmala bergetar. Kali ini dia memilih untuk berbohong. Jika dia mengaku kalau dia istrinya Heru, bukan tak mungkin penyelidikannya akan berakhir begitu saja sebelum ia mengetahui kebenarannya.
Segera Nirmala pamit dan pergi meninggalkan tempat itu. Ia menepi sejenak di tempat yang teduh. Panasnya terik matahari itu belum seberapa dibanding dengan panas hatinya saat ini.
Terduduk lemas di atas jok motor, pikiran Nirmala sudah tak menentu. Dia sama sekali tak menemukan bukti apa pun di rumahnya. Akan tetapi dengan hal ini membuat Nirmala kembali menaruh curiga pada suaminya itu.
Dia membuka ponselnya memastikan jika mungkin ada pesan dari Heru mengabarkan berita tentang keluarganya. Namun, hasilnya nihil. Tak ada pesan yang masuk atas nama Heru.
Nirmala kembali melajukan kendaraannya. Kali ini tujuannya adalah rumah kakaknya sendiri, janji bertemu sore dengan segera ia batalkan dan bertemu saat itu juga.
***
“Aku nggak tahu Kak, apa yang sebenarnya terjadi. Semua tampak semu. Di rumah sikap Mas Heru baik padaku dan Kania, tak ada yang berubah. Mas Heru juga selalu pulang setiap hari,” tutur Nirmala.
“Kamu tenang dulu, mungkin semua memang hanya ketakutanmu semata. Suamimu 'kan orang baik, mana mungkin berlaku seperti itu,” ucap Nilam, kakak Nirmala yang paling tua.
“Tapi, Kak--"
“Tak baik berprasangka buruk, terlebih pada suami nanti jatuhnya dosa. Tenangkan pikiranmu jangan sampai setan menang atas nafsumu yang tak terkendali,” ucap Kakaknya sendiri.
Nirmala menenggelamkan kepalanya di dalam pelukan Kakak perempuan pertamanya. Ia menumpahkan segala rasa yang menyesakan jiwanya. Nilam mengusap lembut rambut hingga punggung adiknya.
“Tante sudah datang?” Suara Lukman membuat Nirmala melepaskan diri dari pelukan Kakaknya. Ia mengusap air mata yang mengenang dan tersisa di pipinya.
“Ayo Tante, mau belajar di mana?” tanya Lukman.
Nilam mengernyitkan dahinya. Dia mencoba menerka atas sikap anak dan adiknya itu.
“Di sini aja,” singkat Nirmala.
Lukman duduk di tengah, di antara Ibu dan Tantenya. Dengan piawai Lukman mengajari Tante dan ibunya soal penyadapan dan cara mengetahui lokasi dari sebuah nomor. Nirmala memperhatikannya dengan saksama. Dia tak berkedip lalu mencoba mempraktikannya. Ia memasukan nomor Heru pada aplikasi peninjau lokasi nomor, karena Nirmala penasaran jika bukan di kantor lalu saat ini Heru sedang ada di mana?
Tercengang Nirmala melihat hasilnya. Nomor suaminya terlacak berada di sebuah kawasan perumahan elit di kotanya. Dadanya kian sesak melihat hasil pelacakan itu hingga tangannya bergetar.
Nilam mencoba menguatkan adiknya. Ia terus mengirimkan kalimat-kalimat positif pada adiknya dan meminta Nirmala tetap bersabar.
Nirmala mencoba menguatkan hatinya. Ia pun mencoba melakukan penyadapan terhadap nomor telepon suaminya. Ia mulai membaca pesan Heru dengan seseorang.
"Ayah, terima kasih sudah antar Bunda ke dokter. Nanti sore mampir ya."
"Iya Bunda, pasti dong. Kan mau kangen-kangenan dulu. Beberapa hari kita gak akan ketemu, aku pasti kangen sama kamu."
"Ayah lebay ih, kayak anak muda aja."
Tak kuasa Nirmala meneruskan isi pesan antara suaminya dengan kontak bernama “Bunda Alea”. Matanya memanas, dadanya bergemuruh. Ia jauhkan ponsel itu dan kembali dalam dekapan Kakaknya, tangisnya pecah. Bak disambar petir di siang bolong, meluluhlantahkan semuanya. Itulah yang dirasakan Nirmala.
Nirmala bangkit dan mengusap matanya. Ia merasa sudah cukup untuk menangisi semuanya. Ada hal yang lebih penting yang harus ia kerjakan ketimbang meratapi hal ini. "Kak, untuk beberapa hari bisakah aku menitipkan Kania pada kakak?" tanya Nirmala."Silakan, Kakak tidak keberatan. Apa rencanamu?" tanya Kak Nilam."Rasanya aku harus mengumpulkan banyak bukti setelah itu aku harus membicarakannya dengan Mas Heru. Aku tidak ingin gegabah. Aku harus benar-benar bisa membuktikan kalau memang Mas Heru sudah mengkhianatiku. Dan, aku rasa Kania sebaiknya tidak tinggal denganku."Nirmala berusaha kuat menghadapi semua yang menimpanya. Ia akan melewatinya dengan segala yang ia bisa lakukan untuk mengumpulkan bukti-bukti dari kecurigaannya."Kakak dukung kamu, ingat jangan emosi. Kamu harus tetap tenang dan dulukan logikamu. Jangan lupa pikirkan, Kakak khawatir ada yang salah darimu hingga suamimu berkhianat. Dan
Nirmala selalu mencoba bersikap biasa. Namun pada satu kesempatan, Nirmala enggan bersikap manis di depan Heru, seperti ketika malam itu saat Heru ikut berbaring di sampingnya dan memeluk Nirmala dari belakang. Seketika Nirmala menjauh dan melepaskan diri dari pelukan Heru. Sontak hal itu membuat Heru terkejut."Kenapa sayang?" tanya Heru."Kaget Mas, aku baru saja mau terlelap mimpi ada yang nabrak gitu. Maaf Mas," ucap Nirmala mencari alasan. Heru tersenyum dan meraih tangan Nirmala, tetapi Nirmala menariknya kembali. "Aku lagi haid Mas, maaf."Nirmala membohongi Heru. Tentu saja dia tak ingin berdekatan dengan lelaki yang sedang ia curigai berselingkuh. Wajah Heru menekuk, apa yang dibayangkan pupus sudah."Maaf ya, Mas."Nirmala kembali meminta maaf, akhirnya Heru pun luluh dan mengajak Nirmala segera tidur. Padahal Heru membayangkan malam ini akan menjadi malam milik mereka
Mobil Heru sudah menghilang. Nirmala masih mencoba menguatkan hatinya dengan mengatur napas. Bayangan gelak tawa yang ia lihat antara suaminya dengan perempuan itu terus ada dalam ingatannya seolah menari di pelupuk matanya.Perlahan Nirmala bangkit dan mengendarai kembali sepeda motornya. Kali ini ia kembali menjalankan sepeda motor menuju rumah Kak Nilam.***"Kak, apa salah aku Kak? Mas Heru tega melakukan ini," ujar Nirmala menangis tersedu dalam pelukan Kak Nilam"Sabar Dek, semua belum tentu apa yang kita pikirkan. Apa yang kita lihat belum tentu seperti itu. Kamu harus tenang, itu belum cukup jadi bukti. Apa kamu sudah tanya langsung sama suamimu?"Nirmala menggelengkan kepalanya."Nah, itu. Harusnya kamu coba komunikasikan padanya, jangan asal mengambil kesimpulan. Setidaknya jika memang benar seperti yang kamu pikirkan kamu tetap dapat pahala dari sabar dan tidak
"Kenapa Pa, kok kayak kaget gitu?" tanya Nirmala pada Heru"Enggak, biasa saja. Perasaan kamu saja kali, ayo masuk. Aku cuci tangan dulu."Nirmala tak membahas lagi, karena ia yakin hanya akan ada kebohongan dari suaminya. Heru mengajak Nirmala dan Kania masuk ke dalam rumah, lalu ia mengikuti kedua perempuan yang mengisi hatinya itu."Papa, Papa kenapa?" tanya Kania."Nggak apa-apa sayang, kok kamu tanya gitu?" heran Heru."Mama nangis terus di rumah Bude."Mendengar ucapan Kania, Heru menoleh ke arah Nirmala yang tengah menyiapkan makan malam untuk mereka berdua. "Kania main sendiri dulu ya," ucap Heru.Anak kecil itu hanya mengangguk dan kembali asyik dengan berbagai jenis mainan di depan televisi yang menyala.Heru berjalan menghampiri Nirmala. Nirmala dibuat terkejut ketika ada tangan yang melingkar di pinggangny
Nirmala mengambil ponselnya lalu memotret pemandangan di depan matanya, Heru semakin gusar ia bergegas menghampiri Nirmala, dengan segera Nirmala berlari dan kembali masuk dalam taksi onlinenya, belum sempat Heru mengejar perempuan itu menghentikan langkahnya."Biarkan dia pergi, jangan susul dia."Heru mengikuti ucapan perempuan itu. Ia mengehentikan langkahnya, membiarkan Nirmala pergi dalam keadaan terluka sungguh ia tak pernah menyangka Nirmala akan mengikutinya.Di dalam taksi Nirmala mencoba menahan rasa sakitnya, ia berusaha untuk tak mengeluarkan air mata terlebih di depan Kania. Taksi online akan membawanya ke rumah Kak Nilam, Nirmala memeluk erat putri kesayangannya. Berharap Kania tak melihatnya menangis, dada Nirmala terasa sesak, rasanya dunia seakan runtuh. Bagaimana tidak melihat orang yang dicintai tengah bergelayut mesra dengan perempuan lain.Nirmala mengusap matanya sayang air matanya terus meluncur deras, kebohongan demi kebohong
"Ibu sudah dengar semuanya"Nirmala dan Kak Nilam mengarahkan pandangan pada sumber suara. Keduanya nampak terkejut mendapati Ibu sudah berdiri di belakang mereka."Ibu..." Lirih NirmalaIbu berjalan menghampiri Nirmala dan Nilam, keduanya bangkit menyambut ibu dengan hangat. Entah sejak kapan perempuan paruh baya itu datang, ibu duduk diantara Nirmala dan Nilam.Pandangan ibu datar ke depan, hatinya terasa sakit ketika mendengar cerita Nirmala. Benar yang Nirmala takutkan, ada rasa penyesalan dalam diri ibu yang telah meminta Nirmala menerima lamaran Pak Sudibyo kala itu. Jika tahu akan seperti ini mungkin ibu tak akan menerimanya.***"Saya bermaksud untuk melamar anak ibu untuk anak saya Heru Sudibyo. Dia seorang duda pernikahan terdahulunya hanya bertahan kurang dari enam bulan. Istrinya tak tahan karena ibunya tak menyukainya hingga melakukan gugatan cerai dan sudah sah bercerai lima bulan yang lalu. Jika bersedia nanti kami akan mengajak a
"Kenapa Mas? Kamu mau marah iya?" bentak NirmalaKali ini Nirmala tak bisa bersikap manis dan menganggap semua baik-baik saja, Nirmala tak ingin terlihat lemah di hadapan Heru yang telah menyakitinya, menyakiti hati ibu dan bapaknya terlebih menyakiti hati anaknya, Kania."Kalau aku marah terus kamu mau apa? Hah,""Aku mau kita cerai," ucap Nirmala mantap"Hahaha... Kamu pikir aku akan menceraikan kamu begitu saja, tidak Nirmala aku ini mencintaimu sungguh sangat mencintaimu. Aku..""Hentikan semua kata cinta itu Mas, aku jijik mendengarnya. Apa Mas pikir aku masih percaya dengan rayuan itu. Shitt... Itu nggak sama sekali."Nirmala meninggalkan Heru sendiri, ia masuk ke dalam kamar dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang, ia tutup seluruh tubuhnya dengan selimut untuk menutupi tangisannya yang pecah.Bayangan Nirmala bermain pada masa-masa yang telah ia lewati bersama Heru tak pernah sedikit pun Heru menyakitinya, ia
[Temui aku di taman kota, besok jam 10 pagi. Kita harus bicara. Sarah]Nafas yang sejak tadi ia tahan, ia hembuskan perlahan. Benaknya diliputi tanya, untuk apa perempuan itu mengajaknya bertemu?Nirmala memilih menyimpan kembali ponselnya, sebegitu gilanya kah perempuan itu hingga dia pun berani menghubungi Nirmala dan mengajak bertemu. Dia sengaja nampaknya menyimpan nomor Nirmala.Nirmala kembali merebahkan tubuhnya, ia menutup matanya meresapi semua yang telah terjadi. Ia tak percaya semua terjadi begitu cepat, ia merasa bodoh ya bodoh karena selama itu bisa percaya begitu saja pada suaminya.Dugaannya meleset, Nirmala mengira perempuan itu berhubungan dengan suaminya setahun yang lalu sejak dia mengizinkan suami untuk tak membawa belal dari rumah tapi ternyata, dadanya terlalu sesak mengingat pengakuan Heru tadi.***"Kamu nggak buatkan aku sarapan?" tanya Heru ketika melihat Nirmala menyuapkan makanan ke mulutnya.Nirmal
Suasana sudah begitu ramai, Bu Wati senang akhirnya Sarah akan segera resmi menikah kembali dengan Heru, perjalanan panjang dan tak mudah sudah dilewati Sarah. Penantian dan kesabaran Sarah akhirnya berbuah manis, sempat ragu tapi akhirnya Sarah mantap kembali menerima Heru dalam hidupnya. Rasanya merasa bersalah telah membuat Heru menunggu padahal mereka bisa segera menikah kembali, tapi perlu waktu untuk Sarah menerima Heru, ketakutan akan masa lalu selalu membayanginya. Bagaimanapun Heru pernah membuatnya kecewa dengan meninggalkan Sarah seorang diri di rumah sakit lalu pergi entah kemana hingga Sarah harus tinggal di panti ini. Kebahagiaan itupun hadir dalam hati Nirmala, perempuan yang dulu pernah disakiti oleh Satah tapi mampu memaafkan dan berbesar hati menerima kehadiran Sarah dalam hidupnya bahkan mereka jadi sangat akrab sejak Sarah berhijrah menjadi lebih baik, tak ada yang tak memuji Nirmala yang bisa menerima mantan madunya bahkan mantan istri simpanan suaminya dulu, ba
"Kenapa harus menepi sejenak?" tanya Heru di ujung sana. "Mas, aku mohon. Aku perlu waktu untuk memikirkan semuanya, aku harus memutuskan semua dengan segala pertimbangan, aku gak mau gegabah soal ini. Ini menyangkut kehidupanku selanjutnya. Aku mohon Mas Heru mengerti." "Berapa lama?" "Tiga hari saja mas, tolong jangan kirim aku pesan atau apapun. Kita nanti akan tahu seberapa rindu hati kita jika tak melakukan itu, jika dalam waktu tiga hari itu aku ternyata tak bisa hidup tanpamu maka aku yang menghubungimu duluan, begitupun sebaliknya."Heru terdengar menghela napas berat, ia tak menyangka sesulit itu kembali pada Sarah padahal ia pikir bisa dengan mudah karena Sarah terlihat sangat mencintainya terbukti dari kebiasaannya mengantar makanan saat di penjara. Tapi itu saja tak cukup membuat Heru yakin akan mudah mendapatkan Sarah, dia harus berusaha lebih keras lagi. "Baiklah, aku turuti." Akhirnya kalimat itu meluncur dari bibir Heru membuat Sarah bernapas lega."Terima kasih
"Apa?" Heru terkejut mendengar ucapan Sarah, tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. "Terus kamu jawab apa?" Sarah terdiam, Heru menunggu jawaban Sarah dengan hati tak karuan."Aku belum menjawabnya, mas. Aku bercerita tentang semua itu pada Mbak Nirmala, dia memintaku untuk beristikharah. Saat ini jujur aku gamang, aku gak tahu bisa percaya sama kamu sepenuhnya atau nggak, aku ini pernah menjadi istri kedua secara sembunyi-sembunyi, menyakiti perempuan lain bahkan kini perempuan itu seolah tak pernah merasa disakiti olehku, dia sangat baik. Tetap saja justru dengan begitu rasa bersalahku kian besar, aku takut mas." "Apa yang kamu takutkan?" Sarah menatap lelaki itu, keduanya saling menatap penuh arti. "Aku takut kamu mengkhianatiku seperti kamu mengkhianati Mbak Nirmala." Heru menghela napas berat dan mengusap wajahnya kasar. "Sarah, aku rela mengkhianati Nirmala karena apa?" tanya Heru menatap perempuan di depannya. Sarah menunduk, memang ia rasakan semua yang ter
"Mas, aku mau kita sah dulu secara agama dan negara. Tujuh tahun tanpa nafkah batin bukan waktu yang sebentar, aku tak mau melakukan ini dengan gegabah. Mungkin tak pernah ada kata talak darimu tapi saat keluar penjara kamu memilih menghampiri Mbak Nirmala dan mengacuhkanku itu pertanda kamu tak menginginkan aku lagi, mas.""Sudah aku bilang, aku menemui Kania bukan Nirmala. Menemui anakku," sanggah Heru. "Tapi kamu kecewa kan mendengar Mbak Nirmala sudah menikah lagi bahkan hidup bahagia sekarang?" Heru terdiam, Sarah menghela napas. Ia sangat takut, Heru membawanya ke sebuah villa yang cukup sepi, dia meminta untuk melakukan hubungan layaknya suami istri. Tapi Sarah menolak dengan alasan telah hilang haknya untuk itu, karena sepengetahuannya. Enam bulan saja tanpa nafkah batin maupun lahir maka sudah bisa jatuh talak jika istri tak ridho. Ini tujuh tahun selama di penjara, meski selama itu Sarah masih mengunjungi Heru, mereka masih bertemu tapi Sarah tak melihat bias cinta saat it
"Assalamualaikum, mas. Ada apa?""Waalaikumsalam, dimana kamu dek?""Di rumah mbak Nirmala, mas. Kenapa?" "Siapa lelaki itu?" TegSarah terdiam, mendadak wajahnya memerah entah pertanda apa. Nirmala mengamati wajah bingung Sarah. Apa yang dilihat Heru hingga dia marah seperti itu. "Lelaki mana mas?" "Jangan pura-pura, jelas sekali aku melihat kamu dengan seorang lelaki." Sarah menghela nafas, apa yang ditakutkannya terjadi. Sejak dulu, ia tahu sikap Heru yang gampang marah, Heru tak pernah bisa bersikap dingin terlebih jika sudah menyangkut dirinya. Nirmala mencoba menenangkan meski dia tak tahu apa yang sedang mereka bicarakan, hanya saja melihat raut wajah Sarah membuat Nirmana merasa mereka sedang tak baik-baik saja. Enggan ikut campur, Nirmala memilih meninggalkan Sarah seorang diri, membiarkan Sarah menyelesaikan semuanya. "Mas, jangan dulu berpikir aneh. Dia temanku, dulu kami pernah satu panti. Lalu terpisah dan kembali dipertemukan." "Teman atau teman?" Lagi, Sarah me
"Maksud kamu?" tanya Sarah.Jaka gelagapan, ia mencari paduan kata yang tepat untuk menutup sikapnya yang mendadak serba salah karena ucapannya tadi."Apakah aku tak perlu menghiraukannya lagi?" tanya Sarah kembali."Eh, tidak. Bukan begitu," ucap Jaka menjeda kalimatnya. "Gini, pernikahan itu untuk membuat kita bahagia ya setidaknya itu yang aku pegang selama ini, aku sampai sekarang belum menikah karena aku gak yakin bisa bahagia dengan perempuan lain. Kebahagiaanku ada pada seseorang yang hadir sejak dulu, seseorang yang setiap malam aku sebut namanya berharap bisa dipertemukan dengannya yang entah dimana. Aku menunggunya, karena aku yakin dia tercipta untukku. Meski nantinya akan terluka setidaknya aku tak menikah hanya karena untuk membohongi hati ini dan menyakiti perempuan lain yang jadi istriku. Jadi, menurutku ambil keputusan sesuai keyakinan hatimu," ucap Jaka.Sarah terdiam, dia seolah merasa perempuan yang ditunggu Jaka adala
Ponsel Sarah kembali berdering, dia tampak malas melihatnya tapi mendadak sumringah ketika yang menelepon bukan Heru melainkan Jaka, lelaki yang saat ini mengganggu pikirannya sejak pertemuannya tadi.Dengan segera Sarah mengangkat telepon itu."Halo, dengan Ibu Sarah Alea Putri?""Ish, apaan sih. Gak lucu," ucap Sarah seraya tersenyum.Jaka terdengar tertawa di ujung sana, Sarah terlihat malu-malu dan dia tak banyak bicara."Kamu lagi apa?" tanya Sarah."Lagi diem aja," jawab Sarah."Kamu gak nanya aku lagi apa?""Hmm ... Harus ya?""Nggak sih, cuma ya gak adil aja. Aku kan udah nanya masa kamu nggak, tapi sebelum kamu nanya aku jawab duluan deh. Aku lagi mikir mau ngajak kamu makan malam tapi takut ditolak, jadi gimana ya caranya? Kamu tahu gak caranya gimana?"Sarah terdiam, dia kini benar-benar merasakan kegamangan. Kehadiran Jaka membuat dirinya serasa berada di persi
"Tak lama kamu pindah ayahku meninggal karena serangan jantung, aku dan ibu bertahan di kampung itu hingga kami sudah tak punya apapun. Seluruh peninggalan ayah sudah habis terjual, lalu ibu membawaku ke kota ini, dia menitipkanku ke tetangga dan ibu bekerja. Aku gak tahu kerja ibu apa, yang jelas aku lebih banyak menghabiskan waktu di sekolah dan si rumah tetanggaku karena ibu selalu pulang lama pergi pagi. Lalu ...."Sarah menjeda kalimatnya, dadanya seakan terasa sangat sesak bila mengingat semua perjalanan hidupnya yang tak pernah menemukan kebahagian, hanya sekejap ketika bertemu dengan Heru tapi itu pun tak lama.Jaka mencoba menenangkan Sarah dengan mendekatinya dan mengusap punggung Sarah, tapi Sarah menjauh dan menolak. Jaka terkejut, tapi ia pun kemudian maklum kini mereka sudah bukan anak kecil lagi, bahkan dari pakaiannya Sarah pasti sangat menjaga diri dari lelaki yang bukan mahramnya."Ibu pun meninggal sesaat setelah aku menikah, berun
Perlahan Sarah melangkahkan kakinya menuju ruang tamu, dari luar sudah terdengar riuh orang ngobrol tapi tak terdengar suara Heru, Sarah semakin penasaran, ia kembali ke halaman rumah lalu mengamati setiap kendaraan benar saja dari tiga mobil dan dua motor yang terparkir bukan milik Heru.Dia segera lewat pintu belakang, Sarah berpikir itu donatur yang sengaja datang menemui panti untuk memberikan langsung dananya atau untuk melihat langsung panti ini. Ya, memang suka ada donatur yang sengaja berkunjung secara langsung untuk memberikan bantuan pada panti itu."Siapa bu?" tanya Sarah begitu sampai di dalam."Biasa, dari perusahan Jaya Corp. Mereka lagi mau bikin event di panti ini, acaranya minggu depan. Itu pemimpin perusahaan sama event organizernya, coba kamu temui mereka. Ada Lina juga di sana sudah gabung, soalnya dari tadi ibu nunggu kamu.""Oh, baiklah bu."Tanpa banyak berkomentar, Sarah segera menemui mereka. Kehadiran Sarah cukup men