“Terima kasih, Lucy.”
Rhea memegang pergelangan tangan Lucy dengan mengucapkan terima kasih. Rasanya ia tak tahu lagi bagaimana caranya berterima kasih atas semua yang telah Lucy lakukan selama ini. Sudah hampir tiga minggu pasca hari menyakitkan dalam hidupnya dan selama itu pula Lucy tak pernah berhenti menemaninya, memberinya semangat juga mengurusnya layaknya saudara. Saat ini mereka tengah berada di kamar Rhea dengan Lucy yang menyuapi Rhea. Lucy duduk di kursi di sisi ranjang sementara Rhea setengah duduk di ranjang. Seiring berjalannya waktu, perlahan Rhea mulai menerima dan mengikhlaskan apa yang telah terjadi meski tak dapat dipungkiri bahwa ia merasakan kekecewaan yang teramat besar pada Rylan. Sekarang ia sudah mau makan dengan teratur meski harus dengan bujukan Lucy.Lucy menggenggam tangan Rhea dan mengatakan, “Bagaimanapun juga kau adalah sahabatku. Aku tak ingin melihatmu terus terpuruk. Aku yakin kau akan menemukan kebahagiaan lebih nanti. Aku masih di sini, Rhe, dan akan terus mendukungmu.”Rhea menatap Lucy dengan sorot matanya yang teduh dan tampak berkaca-kaca. Rasanya ia sangat bersyukur memiliki Lucy sebagai sahabatnya. “Sudah, sekarang ayo habiskan makananmu,” tutur Lucy yang kembali menyuapkan sesendok bubur untuk Rhea. Rhea mengangguk dan membuka mulutnya di mana setetes air mata terlihat lolos melewati ujung matanya. “Eh? Rhe, kenapa kau menangis?” tanya Lucy dengan ibu jari yang menyeka air mata Rhea.Rhea tersenyum dan mengusap air matanya. “Tidak ada. Aku hanya terharu dan senang bisa memiliki sahabat sepertimu,” jawabnya dengan mulut masih terisi makanan. “Hah… sudahlah, Rhe. Anggap saja ini kewajibanku sebagai asisten sekaligus sahabatmu. Sudah, jangan kau pikirkan bahkan sampai menangis, nanti matamu seperti biji kacang kenari,” sahut Lucy disertai tawa kecil. Ia senang setidaknya sudah bisa melihat Rhea tertawa. Selama ini Rhea sudah seperti mayat hidup yang terus menangis dan meratapi nasibnya, tapi untung saja perlahan Rhea bisa kembali seperti semula walau belum sepenuhnya.Rhea kembali tertawa kecil kemudian melebarkan kedua tangannya. “Beri aku sebuah pelukan,” pintanya seperti anak-anak.Lucy menggeleng lemah disertai helaan nafas lelah. “Hah… Baiklah, apa boleh buat,” ucapnya yang kemudian masuk dalam pelukan Rhea. Keduanya berpelukan selama beberapa saat di mana Rhea seolah tak mau melepas pelukannya. Bahkan Rhea semakin menguatkan pelukan membuat Lucy mengaduh sakit.“Ssh, Rhe, bisa-bisa kau membuat tulang rusukku patah,” kata Lucy yang membuat Rhea segera melepas pelukan.Rhea hanya menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal dan tertawa ringan seraya meminta maaf.“Jadi, apa yang akan kau lakukan setelah ini?” tanya Lucy dengan memijit lengan atasnya yang menjadi korban pelukan kuat Rhea.Rhea memejamkan mata sejenak, menarik nafas panjang dan mengembuskannya perlahan kemudian menjawab, “Apalagi? Memikirkannya saja rasanya sudah berat. Bahkan rasanya aku tak bisa berpikir apa yang akan aku lakukan setelah ini. Bukan karena semua orang mungkin membenciku, tapi menjalani hidupku tanpa Rylan. Itu… rasanya mustahil.” Di mana ia tertunduk mengingat banyak kenangan yang telah ia lewati bersama Rylan. Raut wajah Lucy menjadi sendu, digenggamnya tangan Rhea dan mengatakan, “Aku yakin kau bisa menemukan laki-laki lebih baik darinya. Percayalah. Kau wanita yang baik dan aku yakin kau juga akan mendapat laki-laki yang baik. Ah, tidak, kau memang harus mendapat laki-laki yang terbaik.”Rhea tersenyum kecut dengan kepala masih tertunduk. “Kenapa ucapanmu seakan dia yang bersalah dan menyakiti aku?” Kemudian menegakkan kepala menatap Lucy dan kembali bertanya. “Menurutmu siapa yang bersalah, Lucy? Aku? Rylan, atau laki-laki itu? Laki-laki yang bahkan aku tidak tahu.” Bibir Rhea terlihat bergetar dengan suara yang juga terdengar parau saat kembali membuka suara. “Andai saja waktu itu aku tidak minum mungkin semuanya tidak akan jadi seperti ini. Ah, bukan, andai saja aku tak selemah itu dan bisa minum, pasti semua tak akan terjadi. Semua karena kebodohanku yang tak bisa mengingat semuanya dengan jelas. Yang kuingat Rylan membawaku ke kamar yang telah ia siapkan untuk kami, tapi… kenapa saat terbangun aku justru seranjang dengan pria lain? Terlebih pria itu mengatakan aku yang sengaja naik ke atas ranjangnya. Tapi sungguh, sungguh, Lucy, aku sama sekali tak ingat jika aku benar-benar melakukannya.” Rhea menatap kedua tangannya yang terlihat bergetar teringat malam itu kemudian tangannya terangkat menutupi wajah saat ingatan samar ketika pria itu menjamah tubuhnya terlintas. “Rasanya sangat keterlaluan jika aku menyalahkan Rylan atau membencinya, faktanya semua memang salahku. Meski ia menceraikanku di saat itu juga sekalipun, aku tetap tak bisa membencinya karena bagaimanapun itu bukan salahnya. Jika aku di posisinya mungkin aku juga akan melakukan hal serupa,” ucapnya tanpa menurunkan kedua tangannya yang menutupi wajah. “Rhea….” Lucy tak tahu apa yang harus dikatakannya sekarang. Ia hanya bisa menatap Rhea iba. Rhea menurunkan kedua tangan dari wajah di mana perlahan terkepal saat berada di atas pangkuan. “Tapi… aku tak mengerti kenapa Rylan tega berbicara seperti itu di depan semua orang. Aku tahu dia kecewa, tapi haruskah mengatakannya di depan media dan membuat semua orang membenciku? Bahkan semua umpatan kasar mereka seakan mereka benar-benar muak padaku.”Lucy bangkit dari duduknya dan duduk di tepi ranjang kemudian menangkup wajah Rhea. “Rhe, kau tahu itu artinya apa? Artinya kau memang harus melupakannya. Aku tidak berani mengatakan bahwa Rylan bukanlah pria yang baik untukmu, tapi aku yakin mungkin ini cara Tuhan menyampaikan padamu bahwa kalian mungkin tidak ditakdirkan bersama.”Rhea terdiam mencerna ucapan Lucy sampai akhirnya bibirnya mengukirkan kurva lengkungan. “Jika itu benar, bolehkah aku meminta dengan cara lain?”Sebelah alis Lucy terlihat meninggi. “Maksudmu dengan dia yang selingkuh darimu? Ah, tidak-tidak, kau tahu kenapa? Karena Tuhan tahu kau lebih tak sanggup untuk itu. Karena bahkan aku sendiri tahu seperti apa kau mencintainya.”Senyum Rhea kembali tersungging di bibir di mana ia berbalik menangkup wajah Lucy. “Apapun itu setidaknya aku masih bersyukur Tuhan telah memberikan teman sebaik dirimu. Berkatmu aku bisa melewati semua ini. Terima kasih, terima kasih.” Setelah mengatakan itu Rhea menarik Lucy ke dalam pelukan. “Ish, Rhe, kau membuatku takut jika terus memelukku. Kau tidak berubah haluan, kan? Aku ini masih normal, lo. Masih suka pria tampan dan kaya juga memiliki aset besar,” canda Lucy di tengah pelukan. Mendengarnya Rhea segera melepas pelukan, menatap Lucy dengan dahi terlihat berkerut kemudian tawa mereka pun merekah. Kamar yang sejak kemarin terasa hening dan suram itu pun perlahan mulai bersinar dan penuh canda tawa. Meski sakit hati Rhea masih melekat, setidaknya tawa kecilnya sudah mampu mengurangi beban yang begitu berat.Waktu terus berjalan dan tak terasa sudah sebulan lebih dari kejadian salah ranjang berlalu. Semakin hari Rhea mulai menerima kehidupan barunya tanpa Rylan. Meski ia belum menunjukkan diri di depan umum tapi ia sudah berani keluar rumah walau menggunakan penyamaran. Denting bunyi lift terdengar dan saat pintu terbuka Rhea keluar dari dalam lift dengan membawa sebuah kotak di tangan. Saat ini ia tengah berada di apartemen Lucy berniat memberinya kejutan karena hari ini adalah hari ulang tahunnya. Selain itu juga sebagai ucapan terima kasih karena selama ini Lucy selalu ada untuknya. Senyumnya terus merekah di balik masker yang dipakainya. Dan saat sampai di depan sebuah pintu bercat coklat, ia segera membuka kunci menggunakan sandi yang telah ia hafal. “Syukurlah sandinya belum berubah,” gumamnya saat pintu telah terbuka. Tak membuang waktu ia segera masuk ke dalam dan mempersiapkan kejutan. Ia yakin Lucy pasti akan terkejut nanti dan menyukai kejutan darinya. Kejutan hadiah sebuah ka
Mata Rhea melebar sempurna terlebih saat mendengar gelak tawa Rylan yang nyaring di telinga. Malam itu? Apakah jangan-jangan….“Aku dengan sengaja membawa pria itu masuk dan dengan bodohnya kau mengira bahwa itu aku? Aku jadi berpikir apakah kau benar-benar mencintaiku seperti yang kau katakan atau semuanya hanya bulshit belaka? Bahkan pria lain menjamah tubuhmu saja kau tak bisa membedakan apakah itu aku atau tidak. Tapi dengan begitu rencanaku berjalan mulus. Aku berhasil bebas darimu tanpa terlihat buruk di depan semua orang, Sebaliknya, semua orang bersimpati padaku karena mengira kau yang bersalah. Hahaha, bukankah itu sangat menarik, Rhea? Harusnya kau memuji betapa cerdasnya aku.”Rhea tak percaya ini, tak percaya semua yang terucap dari mulut Rylan. Tapi kenapa semua yang dikatakannya terasa benar dan masuk akal? Rhea tak sanggup, tak sanggup menerima kenyataan menyakitkan ini dan tak sanggup mendengar lebih banyak lagi. Lucy dan Rylan, dua orang itu adalah orang yang paling
Rhea berjalan gontai memasuki apartemennya di mana ia baru saja pulang dari rumah sakit. Mendudukkan bokongnya dengan sedikit kasar ke sofa, kepalanya menengadah menatap langit ruangan. Rasanya ia masih tak percaya bahwa saat ini ada kehidupan kecil di dalam perutnya. Tangannya bertengger di atas perut dan mencengkramnya ringan, memejamkan matanya, setetes air mata pun kembali jatuh melewati ujung mata. Kenapa semua ini harus terjadi padanya? Dikhianati pria yang ia cintai juga sahabatnya kemudian harus menanggung aib dari pria yang tidak dikenal. Apakah ia bisa melewati ini semua? Tiba-tiba perhatian Rhea teralihkan saat dering ponselnya terdengar. Mengambil ponsel dari dalam tas, dilihatnya siapa meneleponnya. Dan melihat nama siapa yang tertera pada layar, ibu jarinya mengusap layar mengangkat panggilan. "Halo.""Halo. Rhe."Rhea tersenyum tipis. "Ada apa?" "Aku di rumahmu sekarang. Tapi sepertinya rumahmu sepi. Kau tidak di rumah?""Aku sekarang menyewa apartemen.""Apa? Kenapa
"Aku hamil dan bukan anak Rylan, pria yang menikahiku waktu itu. Aku hamil dan ini adalah anak dari pria yang bahkan tidak aku kenal. Apa kau masih tetap bersikukuh ingin kita kembali seperti dulu?" Rhea mengatakannya dengan jelas. Tak ada keraguan sedikitpun dari ucapannya meski suaranya terdengar sedikit bergetar. Ia bahkan tersenyum saat mengatakannya. Senyum yang sengaja ia tunjukkan untuk menutupi luka di hatinya. Rhea sengaja mengatakan kebenaran agar Damian menyerah. Ia tak ingin kembali merasakan luka yang sama dan sengaja mencari alasan agar Damian berhenti berharap. Luka yang Rylan torehkan bahkan masih basah, dan saat Damian kembali, luka lama yang telah ia pendam kembali terbuka. Ia ingin menutup hatinya, menyembuhkan dua luka yang nyaris membunuhnya perlahan. Ia tahu Damian tak bersalah, hanya saja ia tak ingin kembali merasakan luka yang sama untuk kedua kalinya. Ucapan kedua orang tua Damian bahkan rasanya masih membekas. Damian masih terdiam dengan raut wajahnya yang
"Ka– kau tahu mengenal Rylan?" tanya Lucy sedikit terbata."Hanya sebatas tahu siapa dia. Tentu kau lebih mengenalnya bukan? Dan tentu kau juga tahu mengenai kehamilan Rhea. Kau adalah sahabatnya, sebenarnya apa yang terjadi pada Rhea? Siapa laki-laki itu? Katakanlah padaku mengenai semua yang kau tahu," cerocos Damian yang begitu penasaran.Lucy terdiam cukup lama kemudian mengambil cangkir kopinya dan menyeruputnya perlahan tanpa berani menatap Damian. Tenggorokannya terasa begitu kering hingga menelan ludah saja terasa menyakitkan. Meski begitu lelehan cappucino yang mengaliri kerongkongan masih tak mampu membuatnya tenang. Bahkan tangannya pun terlihat gemetar. Dahi Damian tampak berkerut melihat sikap Lucy. Ia merasa ada yang coba Lucy sembunyikan darinya.“Me– mengenai itu … aku tidak tahu. Bukankah akan lebih jelas jika kau menanyakannya sendiri pada Rhea?” kata Lucy seraya meletakkan kembali cangkirnya ke atas meja.“Apakah telah terjadi sesuatu yang di antara kalian?”Tangan
Rhea membuka pintu saat ia hendak keluar untuk membeli sesuatu. Tiba-tiba saja ia menginginkan makanan kecut dan berniat membelinya. Dan kini ia telah rapi dengan penyamaranya. Masker untuk menyembunyikan wajahnya dan topi hitam untuk menyembunyikan helai mahkotanya. Namun langkahnya seketika terhenti saat mendapati sebuah bingkisan di depan pintu apartemennya berisikan beberapa kotak susu untuk ibu hamil dan vitamin. Rhea menatap bingkisan itu kemudian mengedarkan pandangan melihat siapa yang meninggalkan bingkisan tersebut namun ia tak mendapati seorang pun. Pikiran buruk pun tiba-tiba menyerang, ia takut jika yang mengirimkan bingkisan itu adalah stalker yang mengetahui keberadaannya dan itu berarti juga tahu bahwa ia tengah hamil sekarang. Ia pun segera menutup pintu dan membiarkan bingkisan itu tetap berada di luar. Rhea berdiri di balik pintu dengan tubuh gemetar. Saat denting ponsel tanda pesan masuk terdengar ia pun sampai terjingkat karena kaget dan ketakutan. Mengambil pon
Hening. Tak ada yang membuka suara setelah Rhea mengatakan keinginannya pada Damian. Tak dapat dipungkiri bahwa ia menyimpan dendam. Bukan hanya pada Rylan, tapi juga pada Lucy. Dia juga berniat membalas apa yang mereka lakukan, sayangnya niatnya terhalang keadaannya yang berbadan dua. Walau tak menginginkan kehadiran calon bayi dalam perutnya namun ia sama sekali tak berpikir untuk menggugurkannya. Dan ia khawatir, jika niat balas dendamnya akan menimbulkan sesuatu yang buruk bagi kehidupan kecil yang saat ini tengah proses bertumbuh dalam rahim. Tiba-tiba Rhea berbalik dan berusaha menahan air mata yang terasa mulai menggenang. Hanya teringat apa yang Rylan dan Lucy lakukan membuat emosinya kembali ke udara. Akhir-akhir ini sejak dinyatakan hamil, emosinya memang menjadi labil. Rhea menarik nafas panjang dan mengembuskannya perlahan kemudian kembali berbalik menatap Damian. “Maaf, lupakan,” ucapnya dengan berusaha menekan emosi jiwa.“Baiklah.” Namun dengan mantap Damian menjawab.
Rhea mengerjap dan merasakan kedua matanya yang pedas dan sembab. Membuka kedua matanya sempurna, kesadaran pun diraihnya. Tepat di saat itu Damian membuka pintu kamar dengan senyuman tercipta. “Sudah bangun?” Rhea bangun menegakkan punggungnya, menyeret bokongnya dan bersandar kepala ranjang. “Kua masih di sini?” Damian yang telah berdiri di sisi ranjang hanya mengangguk. “Mana mungkin aku meninggalkanmu di rumah sendiri dengan keadaanmu seperti ini?” ucapnya seraya mendudukan bokongnya di tepi ranjang. Rhea berusaha mengingat-ingat kemudian senyum kecutnya pun tercipta. Ia ingat jika sebelumnya melampiaskan seluruh perasaanya pada Damian sampai dirinya tertidur. Seingatnya mereka bicara di ruang tamu, tapi melihat di mana dirinya sekarang, sudah jelas Damian pasti menggendongnya. Sekarang saat mengingatnya, dia benar-benar malu. “Maaf, kau harus mendengar keluh kesahku. Kuharap kau melupakannya,” ucapnya. “Dan maaf, aku berat,” lanjutnya kemudian. “Kenapa aku harus melakukannya
Hampir dua minggu berlalu sejak Rhea mendapat mangga muda kala itu. Saat ini ia berdiri di atas timbangan digital yang mana menunjukkan berat badanya yang bertambah. Hela nafas panjang lolos dari mulut seraya turun dari benda berbentuk persegi itu. Padahal baru beberapa minggu, tapi berat badannya sudah mulai bertambah. Bahkan ia yakin, berat badannya akan terus naik melihat nafsu makannya yang tak dapat dikendalikan. Rhea berjalan menuju kulkas dan mengambil sepiring potongan buah. Tiba-tiba ia teringat sesuatu kala mulai memasukkan potongan melon ke dalam mulut. Membawa piring berisi potongan melon dan pepaya, ia duduk menikmati camilan siangnya. Entah hanya perasannya saja atau memang suatu kebetulan? Setiap kali ia menginginkan sesuatu, apa yang diinginkannya seolah datang dengan sendirinya. Seperti saat ia menginginkan mangga muda kemarin, brownies pelangi, dan beberapa makanan lainnya. Yang paling membuatnya terus memikirkannya adalah saat ia menginginkan kue rangi yang sekaran
“Tunggu lah di sini,” perintah Damian. Damian sengaja menghentikan mobilnya saat melihat toko buah. Membuka sabuk pengamannya, ia segera turun dari mobil. Sementara Rhea tetap duduk dan mengarah pandangannya pada Damian yang bertanya pada si penjual buah di seberang jalan. Tok! Tok!Rhea begitu terkejut mendengar ketukan pada kaca mobil. Menoleh, ia dapat melihat seorang anak berdiri di luar. Memakai masker yang sebelumnya ia buka, ia menurunkan kaca. “Iya? Ada yang bisa kakak bantu?” tanyanya.“Kakak mau beli mangga muda?” kata bocah laki-laki berusia sekitar sepuluh tahu itu seraya mengangkat satu kantong plastik transparan berisi mangga muda.Seketika mata Rhea berbinar. “Wah, benarkah? Tentu saja!” ucapnya seraya meminta mangga itu dari bocah itu. Kemudian ia segera mengambil uang dan diberikannya pada si bocah. “Ini terlalu banyak, Kak,” kata bocah itu menolak uang Rhea senilai seratus ribu.“Tidak apa-apa. Ambil saja kembaliannya. Terima kasih, ya,” ucap Rhea dengan senyuman m
Rhea begitu terkejut, tepat saat ia membuka pintu, sudah ada Damian yang berdiri di hadapannya.Sebelah alis Damian terlihat meninggi “Mau ke mana?” tanyanya karena mendapati Rhea telah lengkap dengan atribut penyamarannya. Topi hitam, kacamata hitam serta masker yang menutupi wajah ayunya. Dan jangan lupakan hoodie yang dipakainya yang juga berwarna hitam.“Harusnya aku yang tanya. Apa yang kau lakukan di sini?” Bukannya menjawab, Rhea justru bertanya pada Damian. Pasalnya harusnya Damian sudah pergi dari sana.“Ponselku tertinggal. Sepertinya di ruang tamu tadi,” jawab Damian dengan senyum kecil yang mengembang.Hela nafas panjang terdengar lolos dari mulut Rhea, ia pun berbalik memasuki apartemennya untuk mengambilkan ponsel Damian. Dan benar saja, ponsel pria itu berada di atas meja. “Terima kasih,” ucap Damian saat Rhea mengembalikan ponselnya. “Jadi, kau mau ke mana?” tanyanya kemudian.“Ingin mencari udara segar.” Rhea sempat berpikir mengurungkan niatnya karena ketahuan Damia
Rhea mengerjap dan merasakan kedua matanya yang pedas dan sembab. Membuka kedua matanya sempurna, kesadaran pun diraihnya. Tepat di saat itu Damian membuka pintu kamar dengan senyuman tercipta. “Sudah bangun?” Rhea bangun menegakkan punggungnya, menyeret bokongnya dan bersandar kepala ranjang. “Kua masih di sini?” Damian yang telah berdiri di sisi ranjang hanya mengangguk. “Mana mungkin aku meninggalkanmu di rumah sendiri dengan keadaanmu seperti ini?” ucapnya seraya mendudukan bokongnya di tepi ranjang. Rhea berusaha mengingat-ingat kemudian senyum kecutnya pun tercipta. Ia ingat jika sebelumnya melampiaskan seluruh perasaanya pada Damian sampai dirinya tertidur. Seingatnya mereka bicara di ruang tamu, tapi melihat di mana dirinya sekarang, sudah jelas Damian pasti menggendongnya. Sekarang saat mengingatnya, dia benar-benar malu. “Maaf, kau harus mendengar keluh kesahku. Kuharap kau melupakannya,” ucapnya. “Dan maaf, aku berat,” lanjutnya kemudian. “Kenapa aku harus melakukannya
Hening. Tak ada yang membuka suara setelah Rhea mengatakan keinginannya pada Damian. Tak dapat dipungkiri bahwa ia menyimpan dendam. Bukan hanya pada Rylan, tapi juga pada Lucy. Dia juga berniat membalas apa yang mereka lakukan, sayangnya niatnya terhalang keadaannya yang berbadan dua. Walau tak menginginkan kehadiran calon bayi dalam perutnya namun ia sama sekali tak berpikir untuk menggugurkannya. Dan ia khawatir, jika niat balas dendamnya akan menimbulkan sesuatu yang buruk bagi kehidupan kecil yang saat ini tengah proses bertumbuh dalam rahim. Tiba-tiba Rhea berbalik dan berusaha menahan air mata yang terasa mulai menggenang. Hanya teringat apa yang Rylan dan Lucy lakukan membuat emosinya kembali ke udara. Akhir-akhir ini sejak dinyatakan hamil, emosinya memang menjadi labil. Rhea menarik nafas panjang dan mengembuskannya perlahan kemudian kembali berbalik menatap Damian. “Maaf, lupakan,” ucapnya dengan berusaha menekan emosi jiwa.“Baiklah.” Namun dengan mantap Damian menjawab.
Rhea membuka pintu saat ia hendak keluar untuk membeli sesuatu. Tiba-tiba saja ia menginginkan makanan kecut dan berniat membelinya. Dan kini ia telah rapi dengan penyamaranya. Masker untuk menyembunyikan wajahnya dan topi hitam untuk menyembunyikan helai mahkotanya. Namun langkahnya seketika terhenti saat mendapati sebuah bingkisan di depan pintu apartemennya berisikan beberapa kotak susu untuk ibu hamil dan vitamin. Rhea menatap bingkisan itu kemudian mengedarkan pandangan melihat siapa yang meninggalkan bingkisan tersebut namun ia tak mendapati seorang pun. Pikiran buruk pun tiba-tiba menyerang, ia takut jika yang mengirimkan bingkisan itu adalah stalker yang mengetahui keberadaannya dan itu berarti juga tahu bahwa ia tengah hamil sekarang. Ia pun segera menutup pintu dan membiarkan bingkisan itu tetap berada di luar. Rhea berdiri di balik pintu dengan tubuh gemetar. Saat denting ponsel tanda pesan masuk terdengar ia pun sampai terjingkat karena kaget dan ketakutan. Mengambil pon
"Ka– kau tahu mengenal Rylan?" tanya Lucy sedikit terbata."Hanya sebatas tahu siapa dia. Tentu kau lebih mengenalnya bukan? Dan tentu kau juga tahu mengenai kehamilan Rhea. Kau adalah sahabatnya, sebenarnya apa yang terjadi pada Rhea? Siapa laki-laki itu? Katakanlah padaku mengenai semua yang kau tahu," cerocos Damian yang begitu penasaran.Lucy terdiam cukup lama kemudian mengambil cangkir kopinya dan menyeruputnya perlahan tanpa berani menatap Damian. Tenggorokannya terasa begitu kering hingga menelan ludah saja terasa menyakitkan. Meski begitu lelehan cappucino yang mengaliri kerongkongan masih tak mampu membuatnya tenang. Bahkan tangannya pun terlihat gemetar. Dahi Damian tampak berkerut melihat sikap Lucy. Ia merasa ada yang coba Lucy sembunyikan darinya.“Me– mengenai itu … aku tidak tahu. Bukankah akan lebih jelas jika kau menanyakannya sendiri pada Rhea?” kata Lucy seraya meletakkan kembali cangkirnya ke atas meja.“Apakah telah terjadi sesuatu yang di antara kalian?”Tangan
"Aku hamil dan bukan anak Rylan, pria yang menikahiku waktu itu. Aku hamil dan ini adalah anak dari pria yang bahkan tidak aku kenal. Apa kau masih tetap bersikukuh ingin kita kembali seperti dulu?" Rhea mengatakannya dengan jelas. Tak ada keraguan sedikitpun dari ucapannya meski suaranya terdengar sedikit bergetar. Ia bahkan tersenyum saat mengatakannya. Senyum yang sengaja ia tunjukkan untuk menutupi luka di hatinya. Rhea sengaja mengatakan kebenaran agar Damian menyerah. Ia tak ingin kembali merasakan luka yang sama dan sengaja mencari alasan agar Damian berhenti berharap. Luka yang Rylan torehkan bahkan masih basah, dan saat Damian kembali, luka lama yang telah ia pendam kembali terbuka. Ia ingin menutup hatinya, menyembuhkan dua luka yang nyaris membunuhnya perlahan. Ia tahu Damian tak bersalah, hanya saja ia tak ingin kembali merasakan luka yang sama untuk kedua kalinya. Ucapan kedua orang tua Damian bahkan rasanya masih membekas. Damian masih terdiam dengan raut wajahnya yang
Rhea berjalan gontai memasuki apartemennya di mana ia baru saja pulang dari rumah sakit. Mendudukkan bokongnya dengan sedikit kasar ke sofa, kepalanya menengadah menatap langit ruangan. Rasanya ia masih tak percaya bahwa saat ini ada kehidupan kecil di dalam perutnya. Tangannya bertengger di atas perut dan mencengkramnya ringan, memejamkan matanya, setetes air mata pun kembali jatuh melewati ujung mata. Kenapa semua ini harus terjadi padanya? Dikhianati pria yang ia cintai juga sahabatnya kemudian harus menanggung aib dari pria yang tidak dikenal. Apakah ia bisa melewati ini semua? Tiba-tiba perhatian Rhea teralihkan saat dering ponselnya terdengar. Mengambil ponsel dari dalam tas, dilihatnya siapa meneleponnya. Dan melihat nama siapa yang tertera pada layar, ibu jarinya mengusap layar mengangkat panggilan. "Halo.""Halo. Rhe."Rhea tersenyum tipis. "Ada apa?" "Aku di rumahmu sekarang. Tapi sepertinya rumahmu sepi. Kau tidak di rumah?""Aku sekarang menyewa apartemen.""Apa? Kenapa