“Rhea! Rhe, kau baik-baik saja, Rhe!”
Wanita tersebut segera membantu Rhea bangun kemudian mendudukkannya di tepi ranjang. “Ya, Tuhan, Rhe, kenapa jadi seperti ini?” Diusapnya air mata Rhea di mana air matanya pun terlihat mulai menggenang di kedua matanya. Lucy namanya, wanita yang saat ini duduk di samping Rhea dan meratapi keadaannya sekarang. Lucy adalah teman, sahabat, sekaligus asisten Rhea. Hanya dia yang tahu keberadaan Rhea saat ini, dan hanya dia yang memiliki akses mudah mengunjungi Rhea sejak hari itu. “Rhe, kumohon, jangan siksa dirimu seperti ini. Semuanya belum berakhir, Rhe,” ucap Lucy seraya kembali mengusap air mata Rhea. Diperhatikannya Rhea dengan seksama dan air mata tak kuasa tak menetes melihat tubuh Rhea yang kurus. Kedua pipi Rhea tampak tirus dengan cekungan mata yang dalam dan menghitam. Sementara tangannya terasa layu bak mayat. Tak kuasa melihat keadaan sahabatnya, ia segera membawa Rhea dalam pelukan. Padahal sudah satu minggu berlalu dan ia kira Rhea dapat menerima ini, namun justru sebaliknya. Setiap hari ia akan membawakan Rhea makanan namun tak pernah disentuh olehnya. Saat ia hendak menyuapinya, bahkan hanya satu sendok Rhea sudah menolak. Jika seperti ini terus Rhea bisa kehilangan nyawa. Lucy melepas pelukan kemudian menangkup wajah Rhea dan menghadapkannya padanya. “Rhe, dengar aku. Aku tahu kau terpuruk, aku tahu ini berat dan sulit untukmu. Tapi aku mohon, kumohon Rhea, jangan siksa dirimu. Aku percaya padamu, aku percaya padamu. Kumohon jangan kecewakan rasa percayaku padamu dan teruslah hidup dengan tidak menyiksa dirimu sendiri.”Bibir Rhea terlihat bergetar di mana ia menundukkan kepala. Perlahan isakan mulai kembali terdengar disertai lirihan suara parau meratapi nasibnya. “Kenapa … Kenapa? Ini terlalu berat, terlalu berat.”Lucy berusaha menahan air mata kemudian kembali menarik Rhea dalam pelukan. Namun saat merasakan tubuh Rhea gemetar disertai isakan yang terdengar menyayat, ia tak kuasa menahan air mata. Mulutnya terbungkam seolah tak sanggup lagi memberi Rhea kata semangat. Jika ia yang berada di posisi Rhea sekarang, mungkin ia juga akan melakukan hal yang sama dan merasakan sakit serupa. Di tempat lain saat ini terlihat Rylan yang tengah menjadi bintang tamu di sebuah acara tv. Seperti hari kemarin, kini wajahnya setiap hari menghiasi layar kaca dengan bahasan yang sama yakni mengenai pernikahan sekaligus perceraiannya dengan Rhea yang menjadi trending di jagat maya.Rylan tersenyum kecut saat host acara mengajukan sebuah pertanyaan. Ia terlihat berusaha menahan air mata dan berusaha tegar menerima pertanyaan yang terdengar tak masuk akal. “Jadi, bagaimana perasaan anda saat itu?” tanya host wanita dengan wajah yang menunjukkan rasa iba. Sejak hari itu simpatik memang tercurah untuknya, semua orang mengasihaninya dan menganggap Rhea begitu jahat karena telah menyia-nyiakan dan mengkhianati pria sebaik Rylan.Perasaannya? Apakah pertanyaan seperti itu masih harus dipertanyakan? Kedengarannya sama halnya ia kehilangan anggota keluarga dan masih ada yang bertanya bagaimana perasaan anda. Rylan mengambil nafas panjang seraya menengadah sejenak menahan air mata. Kemudian ia menoleh pada host tersebut dan menjawab, “Kurasa semua orang pasti tahu seperti apa perasaanku saat itu.”“Menurut berita yang beredar bahwa anda menceraikannya saat itu juga apakah benar?” tanya host tersebut kembali dengan hati-hati.Rylan terdiam sesaat hingga studio menjadi hening. Penonton yang menyaksikan pun terdiam menunggunya membuka suara di mana beberapa di antaranya terlihat menyeka air mata. Senyum kecut Rylan kembali menghiasi bibir. “Rasanya berat. Bagaimanapun dia adalah wanita yang aku cintai tapi, aku tak bisa menahan diri untuk tidak mengucapkan kata itu meski kami baru menikah. Rasanya terlalu sakit. Harusnya malam itu menjadi malam pertama kami, tapi ….” ucapan Rylan menggantung seolah ia tak sanggup lagi menceritakan apa yang terjadi saat itu. Seluruh studio kembali dibuat hening mendengar penuturan Rylan. Sudah menjadi rahasia umum mengenai apa yang terjadi hari itu. Foto-foto yang dua wartawan ambil kala itu menjelaskan apa yang telah terjadi bahwa Rhea justru melakukan malam pertamanya dengan orang lain, bukan dengan sang suami. Meski tak sedikit orang berspekulasi bahwa yang terjadi hanyalah settingan, namun lebih banyak orang mempercayai hal tersebut.Setelah acara tersebut selesai, Rylan terlihat berdiri di depan cermin toilet. Ia terlihat membasuh muka menghilangkan jejak air mata yang sebelumnya sempat lolos membasahi wajah tampannya. Pria berusia 25 tahun tersebut mengambil sapu tangan dari saku dalam jas yang dipakainya guna mengeringkan wajah tanpa melepas pandangan dari pantulan dirinya di cermin. Setelah selesai, ia merapikan jasnya, memasukan kembali sapu tangan ke dalam saku jas dan sebuah senyum tipis nan aneh pun tercipta. “Sempurna,” gumamnya tanpa suara kemudian melangkah keluar dari toilet. Dan senyum yang ia tunjukkan sebelumnya perlahan menghilang tepat saat ia keluar dari toilet dan digantikan raut wajah diselimuti kesedihan dan keputusasaan.“Terima kasih, Lucy.”Rhea memegang pergelangan tangan Lucy dengan mengucapkan terima kasih. Rasanya ia tak tahu lagi bagaimana caranya berterima kasih atas semua yang telah Lucy lakukan selama ini. Sudah hampir tiga minggu pasca hari menyakitkan dalam hidupnya dan selama itu pula Lucy tak pernah berhenti menemaninya, memberinya semangat juga mengurusnya layaknya saudara. Saat ini mereka tengah berada di kamar Rhea dengan Lucy yang menyuapi Rhea. Lucy duduk di kursi di sisi ranjang sementara Rhea setengah duduk di ranjang. Seiring berjalannya waktu, perlahan Rhea mulai menerima dan mengikhlaskan apa yang telah terjadi meski tak dapat dipungkiri bahwa ia merasakan kekecewaan yang teramat besar pada Rylan. Sekarang ia sudah mau makan dengan teratur meski harus dengan bujukan Lucy.Lucy menggenggam tangan Rhea dan mengatakan, “Bagaimanapun juga kau adalah sahabatku. Aku tak ingin melihatmu terus terpuruk. Aku yakin kau akan menemukan kebahagiaan lebih nanti. Aku masih di sini, Rhe, dan
Waktu terus berjalan dan tak terasa sudah sebulan lebih dari kejadian salah ranjang berlalu. Semakin hari Rhea mulai menerima kehidupan barunya tanpa Rylan. Meski ia belum menunjukkan diri di depan umum tapi ia sudah berani keluar rumah walau menggunakan penyamaran. Denting bunyi lift terdengar dan saat pintu terbuka Rhea keluar dari dalam lift dengan membawa sebuah kotak di tangan. Saat ini ia tengah berada di apartemen Lucy berniat memberinya kejutan karena hari ini adalah hari ulang tahunnya. Selain itu juga sebagai ucapan terima kasih karena selama ini Lucy selalu ada untuknya. Senyumnya terus merekah di balik masker yang dipakainya. Dan saat sampai di depan sebuah pintu bercat coklat, ia segera membuka kunci menggunakan sandi yang telah ia hafal. “Syukurlah sandinya belum berubah,” gumamnya saat pintu telah terbuka. Tak membuang waktu ia segera masuk ke dalam dan mempersiapkan kejutan. Ia yakin Lucy pasti akan terkejut nanti dan menyukai kejutan darinya. Kejutan hadiah sebuah ka
Mata Rhea melebar sempurna terlebih saat mendengar gelak tawa Rylan yang nyaring di telinga. Malam itu? Apakah jangan-jangan….“Aku dengan sengaja membawa pria itu masuk dan dengan bodohnya kau mengira bahwa itu aku? Aku jadi berpikir apakah kau benar-benar mencintaiku seperti yang kau katakan atau semuanya hanya bulshit belaka? Bahkan pria lain menjamah tubuhmu saja kau tak bisa membedakan apakah itu aku atau tidak. Tapi dengan begitu rencanaku berjalan mulus. Aku berhasil bebas darimu tanpa terlihat buruk di depan semua orang, Sebaliknya, semua orang bersimpati padaku karena mengira kau yang bersalah. Hahaha, bukankah itu sangat menarik, Rhea? Harusnya kau memuji betapa cerdasnya aku.”Rhea tak percaya ini, tak percaya semua yang terucap dari mulut Rylan. Tapi kenapa semua yang dikatakannya terasa benar dan masuk akal? Rhea tak sanggup, tak sanggup menerima kenyataan menyakitkan ini dan tak sanggup mendengar lebih banyak lagi. Lucy dan Rylan, dua orang itu adalah orang yang paling
Rhea berjalan gontai memasuki apartemennya di mana ia baru saja pulang dari rumah sakit. Mendudukkan bokongnya dengan sedikit kasar ke sofa, kepalanya menengadah menatap langit ruangan. Rasanya ia masih tak percaya bahwa saat ini ada kehidupan kecil di dalam perutnya. Tangannya bertengger di atas perut dan mencengkramnya ringan, memejamkan matanya, setetes air mata pun kembali jatuh melewati ujung mata. Kenapa semua ini harus terjadi padanya? Dikhianati pria yang ia cintai juga sahabatnya kemudian harus menanggung aib dari pria yang tidak dikenal. Apakah ia bisa melewati ini semua? Tiba-tiba perhatian Rhea teralihkan saat dering ponselnya terdengar. Mengambil ponsel dari dalam tas, dilihatnya siapa meneleponnya. Dan melihat nama siapa yang tertera pada layar, ibu jarinya mengusap layar mengangkat panggilan. "Halo.""Halo. Rhe."Rhea tersenyum tipis. "Ada apa?" "Aku di rumahmu sekarang. Tapi sepertinya rumahmu sepi. Kau tidak di rumah?""Aku sekarang menyewa apartemen.""Apa? Kenapa
"Aku hamil dan bukan anak Rylan, pria yang menikahiku waktu itu. Aku hamil dan ini adalah anak dari pria yang bahkan tidak aku kenal. Apa kau masih tetap bersikukuh ingin kita kembali seperti dulu?" Rhea mengatakannya dengan jelas. Tak ada keraguan sedikitpun dari ucapannya meski suaranya terdengar sedikit bergetar. Ia bahkan tersenyum saat mengatakannya. Senyum yang sengaja ia tunjukkan untuk menutupi luka di hatinya. Rhea sengaja mengatakan kebenaran agar Damian menyerah. Ia tak ingin kembali merasakan luka yang sama dan sengaja mencari alasan agar Damian berhenti berharap. Luka yang Rylan torehkan bahkan masih basah, dan saat Damian kembali, luka lama yang telah ia pendam kembali terbuka. Ia ingin menutup hatinya, menyembuhkan dua luka yang nyaris membunuhnya perlahan. Ia tahu Damian tak bersalah, hanya saja ia tak ingin kembali merasakan luka yang sama untuk kedua kalinya. Ucapan kedua orang tua Damian bahkan rasanya masih membekas. Damian masih terdiam dengan raut wajahnya yang
"Ka– kau tahu mengenal Rylan?" tanya Lucy sedikit terbata."Hanya sebatas tahu siapa dia. Tentu kau lebih mengenalnya bukan? Dan tentu kau juga tahu mengenai kehamilan Rhea. Kau adalah sahabatnya, sebenarnya apa yang terjadi pada Rhea? Siapa laki-laki itu? Katakanlah padaku mengenai semua yang kau tahu," cerocos Damian yang begitu penasaran.Lucy terdiam cukup lama kemudian mengambil cangkir kopinya dan menyeruputnya perlahan tanpa berani menatap Damian. Tenggorokannya terasa begitu kering hingga menelan ludah saja terasa menyakitkan. Meski begitu lelehan cappucino yang mengaliri kerongkongan masih tak mampu membuatnya tenang. Bahkan tangannya pun terlihat gemetar. Dahi Damian tampak berkerut melihat sikap Lucy. Ia merasa ada yang coba Lucy sembunyikan darinya.“Me– mengenai itu … aku tidak tahu. Bukankah akan lebih jelas jika kau menanyakannya sendiri pada Rhea?” kata Lucy seraya meletakkan kembali cangkirnya ke atas meja.“Apakah telah terjadi sesuatu yang di antara kalian?”Tangan
Rhea membuka pintu saat ia hendak keluar untuk membeli sesuatu. Tiba-tiba saja ia menginginkan makanan kecut dan berniat membelinya. Dan kini ia telah rapi dengan penyamaranya. Masker untuk menyembunyikan wajahnya dan topi hitam untuk menyembunyikan helai mahkotanya. Namun langkahnya seketika terhenti saat mendapati sebuah bingkisan di depan pintu apartemennya berisikan beberapa kotak susu untuk ibu hamil dan vitamin. Rhea menatap bingkisan itu kemudian mengedarkan pandangan melihat siapa yang meninggalkan bingkisan tersebut namun ia tak mendapati seorang pun. Pikiran buruk pun tiba-tiba menyerang, ia takut jika yang mengirimkan bingkisan itu adalah stalker yang mengetahui keberadaannya dan itu berarti juga tahu bahwa ia tengah hamil sekarang. Ia pun segera menutup pintu dan membiarkan bingkisan itu tetap berada di luar. Rhea berdiri di balik pintu dengan tubuh gemetar. Saat denting ponsel tanda pesan masuk terdengar ia pun sampai terjingkat karena kaget dan ketakutan. Mengambil pon
Hening. Tak ada yang membuka suara setelah Rhea mengatakan keinginannya pada Damian. Tak dapat dipungkiri bahwa ia menyimpan dendam. Bukan hanya pada Rylan, tapi juga pada Lucy. Dia juga berniat membalas apa yang mereka lakukan, sayangnya niatnya terhalang keadaannya yang berbadan dua. Walau tak menginginkan kehadiran calon bayi dalam perutnya namun ia sama sekali tak berpikir untuk menggugurkannya. Dan ia khawatir, jika niat balas dendamnya akan menimbulkan sesuatu yang buruk bagi kehidupan kecil yang saat ini tengah proses bertumbuh dalam rahim. Tiba-tiba Rhea berbalik dan berusaha menahan air mata yang terasa mulai menggenang. Hanya teringat apa yang Rylan dan Lucy lakukan membuat emosinya kembali ke udara. Akhir-akhir ini sejak dinyatakan hamil, emosinya memang menjadi labil. Rhea menarik nafas panjang dan mengembuskannya perlahan kemudian kembali berbalik menatap Damian. “Maaf, lupakan,” ucapnya dengan berusaha menekan emosi jiwa.“Baiklah.” Namun dengan mantap Damian menjawab.
Hampir dua minggu berlalu sejak Rhea mendapat mangga muda kala itu. Saat ini ia berdiri di atas timbangan digital yang mana menunjukkan berat badanya yang bertambah. Hela nafas panjang lolos dari mulut seraya turun dari benda berbentuk persegi itu. Padahal baru beberapa minggu, tapi berat badannya sudah mulai bertambah. Bahkan ia yakin, berat badannya akan terus naik melihat nafsu makannya yang tak dapat dikendalikan. Rhea berjalan menuju kulkas dan mengambil sepiring potongan buah. Tiba-tiba ia teringat sesuatu kala mulai memasukkan potongan melon ke dalam mulut. Membawa piring berisi potongan melon dan pepaya, ia duduk menikmati camilan siangnya. Entah hanya perasannya saja atau memang suatu kebetulan? Setiap kali ia menginginkan sesuatu, apa yang diinginkannya seolah datang dengan sendirinya. Seperti saat ia menginginkan mangga muda kemarin, brownies pelangi, dan beberapa makanan lainnya. Yang paling membuatnya terus memikirkannya adalah saat ia menginginkan kue rangi yang sekaran
“Tunggu lah di sini,” perintah Damian. Damian sengaja menghentikan mobilnya saat melihat toko buah. Membuka sabuk pengamannya, ia segera turun dari mobil. Sementara Rhea tetap duduk dan mengarah pandangannya pada Damian yang bertanya pada si penjual buah di seberang jalan. Tok! Tok!Rhea begitu terkejut mendengar ketukan pada kaca mobil. Menoleh, ia dapat melihat seorang anak berdiri di luar. Memakai masker yang sebelumnya ia buka, ia menurunkan kaca. “Iya? Ada yang bisa kakak bantu?” tanyanya.“Kakak mau beli mangga muda?” kata bocah laki-laki berusia sekitar sepuluh tahu itu seraya mengangkat satu kantong plastik transparan berisi mangga muda.Seketika mata Rhea berbinar. “Wah, benarkah? Tentu saja!” ucapnya seraya meminta mangga itu dari bocah itu. Kemudian ia segera mengambil uang dan diberikannya pada si bocah. “Ini terlalu banyak, Kak,” kata bocah itu menolak uang Rhea senilai seratus ribu.“Tidak apa-apa. Ambil saja kembaliannya. Terima kasih, ya,” ucap Rhea dengan senyuman m
Rhea begitu terkejut, tepat saat ia membuka pintu, sudah ada Damian yang berdiri di hadapannya.Sebelah alis Damian terlihat meninggi “Mau ke mana?” tanyanya karena mendapati Rhea telah lengkap dengan atribut penyamarannya. Topi hitam, kacamata hitam serta masker yang menutupi wajah ayunya. Dan jangan lupakan hoodie yang dipakainya yang juga berwarna hitam.“Harusnya aku yang tanya. Apa yang kau lakukan di sini?” Bukannya menjawab, Rhea justru bertanya pada Damian. Pasalnya harusnya Damian sudah pergi dari sana.“Ponselku tertinggal. Sepertinya di ruang tamu tadi,” jawab Damian dengan senyum kecil yang mengembang.Hela nafas panjang terdengar lolos dari mulut Rhea, ia pun berbalik memasuki apartemennya untuk mengambilkan ponsel Damian. Dan benar saja, ponsel pria itu berada di atas meja. “Terima kasih,” ucap Damian saat Rhea mengembalikan ponselnya. “Jadi, kau mau ke mana?” tanyanya kemudian.“Ingin mencari udara segar.” Rhea sempat berpikir mengurungkan niatnya karena ketahuan Damia
Rhea mengerjap dan merasakan kedua matanya yang pedas dan sembab. Membuka kedua matanya sempurna, kesadaran pun diraihnya. Tepat di saat itu Damian membuka pintu kamar dengan senyuman tercipta. “Sudah bangun?” Rhea bangun menegakkan punggungnya, menyeret bokongnya dan bersandar kepala ranjang. “Kua masih di sini?” Damian yang telah berdiri di sisi ranjang hanya mengangguk. “Mana mungkin aku meninggalkanmu di rumah sendiri dengan keadaanmu seperti ini?” ucapnya seraya mendudukan bokongnya di tepi ranjang. Rhea berusaha mengingat-ingat kemudian senyum kecutnya pun tercipta. Ia ingat jika sebelumnya melampiaskan seluruh perasaanya pada Damian sampai dirinya tertidur. Seingatnya mereka bicara di ruang tamu, tapi melihat di mana dirinya sekarang, sudah jelas Damian pasti menggendongnya. Sekarang saat mengingatnya, dia benar-benar malu. “Maaf, kau harus mendengar keluh kesahku. Kuharap kau melupakannya,” ucapnya. “Dan maaf, aku berat,” lanjutnya kemudian. “Kenapa aku harus melakukannya
Hening. Tak ada yang membuka suara setelah Rhea mengatakan keinginannya pada Damian. Tak dapat dipungkiri bahwa ia menyimpan dendam. Bukan hanya pada Rylan, tapi juga pada Lucy. Dia juga berniat membalas apa yang mereka lakukan, sayangnya niatnya terhalang keadaannya yang berbadan dua. Walau tak menginginkan kehadiran calon bayi dalam perutnya namun ia sama sekali tak berpikir untuk menggugurkannya. Dan ia khawatir, jika niat balas dendamnya akan menimbulkan sesuatu yang buruk bagi kehidupan kecil yang saat ini tengah proses bertumbuh dalam rahim. Tiba-tiba Rhea berbalik dan berusaha menahan air mata yang terasa mulai menggenang. Hanya teringat apa yang Rylan dan Lucy lakukan membuat emosinya kembali ke udara. Akhir-akhir ini sejak dinyatakan hamil, emosinya memang menjadi labil. Rhea menarik nafas panjang dan mengembuskannya perlahan kemudian kembali berbalik menatap Damian. “Maaf, lupakan,” ucapnya dengan berusaha menekan emosi jiwa.“Baiklah.” Namun dengan mantap Damian menjawab.
Rhea membuka pintu saat ia hendak keluar untuk membeli sesuatu. Tiba-tiba saja ia menginginkan makanan kecut dan berniat membelinya. Dan kini ia telah rapi dengan penyamaranya. Masker untuk menyembunyikan wajahnya dan topi hitam untuk menyembunyikan helai mahkotanya. Namun langkahnya seketika terhenti saat mendapati sebuah bingkisan di depan pintu apartemennya berisikan beberapa kotak susu untuk ibu hamil dan vitamin. Rhea menatap bingkisan itu kemudian mengedarkan pandangan melihat siapa yang meninggalkan bingkisan tersebut namun ia tak mendapati seorang pun. Pikiran buruk pun tiba-tiba menyerang, ia takut jika yang mengirimkan bingkisan itu adalah stalker yang mengetahui keberadaannya dan itu berarti juga tahu bahwa ia tengah hamil sekarang. Ia pun segera menutup pintu dan membiarkan bingkisan itu tetap berada di luar. Rhea berdiri di balik pintu dengan tubuh gemetar. Saat denting ponsel tanda pesan masuk terdengar ia pun sampai terjingkat karena kaget dan ketakutan. Mengambil pon
"Ka– kau tahu mengenal Rylan?" tanya Lucy sedikit terbata."Hanya sebatas tahu siapa dia. Tentu kau lebih mengenalnya bukan? Dan tentu kau juga tahu mengenai kehamilan Rhea. Kau adalah sahabatnya, sebenarnya apa yang terjadi pada Rhea? Siapa laki-laki itu? Katakanlah padaku mengenai semua yang kau tahu," cerocos Damian yang begitu penasaran.Lucy terdiam cukup lama kemudian mengambil cangkir kopinya dan menyeruputnya perlahan tanpa berani menatap Damian. Tenggorokannya terasa begitu kering hingga menelan ludah saja terasa menyakitkan. Meski begitu lelehan cappucino yang mengaliri kerongkongan masih tak mampu membuatnya tenang. Bahkan tangannya pun terlihat gemetar. Dahi Damian tampak berkerut melihat sikap Lucy. Ia merasa ada yang coba Lucy sembunyikan darinya.“Me– mengenai itu … aku tidak tahu. Bukankah akan lebih jelas jika kau menanyakannya sendiri pada Rhea?” kata Lucy seraya meletakkan kembali cangkirnya ke atas meja.“Apakah telah terjadi sesuatu yang di antara kalian?”Tangan
"Aku hamil dan bukan anak Rylan, pria yang menikahiku waktu itu. Aku hamil dan ini adalah anak dari pria yang bahkan tidak aku kenal. Apa kau masih tetap bersikukuh ingin kita kembali seperti dulu?" Rhea mengatakannya dengan jelas. Tak ada keraguan sedikitpun dari ucapannya meski suaranya terdengar sedikit bergetar. Ia bahkan tersenyum saat mengatakannya. Senyum yang sengaja ia tunjukkan untuk menutupi luka di hatinya. Rhea sengaja mengatakan kebenaran agar Damian menyerah. Ia tak ingin kembali merasakan luka yang sama dan sengaja mencari alasan agar Damian berhenti berharap. Luka yang Rylan torehkan bahkan masih basah, dan saat Damian kembali, luka lama yang telah ia pendam kembali terbuka. Ia ingin menutup hatinya, menyembuhkan dua luka yang nyaris membunuhnya perlahan. Ia tahu Damian tak bersalah, hanya saja ia tak ingin kembali merasakan luka yang sama untuk kedua kalinya. Ucapan kedua orang tua Damian bahkan rasanya masih membekas. Damian masih terdiam dengan raut wajahnya yang
Rhea berjalan gontai memasuki apartemennya di mana ia baru saja pulang dari rumah sakit. Mendudukkan bokongnya dengan sedikit kasar ke sofa, kepalanya menengadah menatap langit ruangan. Rasanya ia masih tak percaya bahwa saat ini ada kehidupan kecil di dalam perutnya. Tangannya bertengger di atas perut dan mencengkramnya ringan, memejamkan matanya, setetes air mata pun kembali jatuh melewati ujung mata. Kenapa semua ini harus terjadi padanya? Dikhianati pria yang ia cintai juga sahabatnya kemudian harus menanggung aib dari pria yang tidak dikenal. Apakah ia bisa melewati ini semua? Tiba-tiba perhatian Rhea teralihkan saat dering ponselnya terdengar. Mengambil ponsel dari dalam tas, dilihatnya siapa meneleponnya. Dan melihat nama siapa yang tertera pada layar, ibu jarinya mengusap layar mengangkat panggilan. "Halo.""Halo. Rhe."Rhea tersenyum tipis. "Ada apa?" "Aku di rumahmu sekarang. Tapi sepertinya rumahmu sepi. Kau tidak di rumah?""Aku sekarang menyewa apartemen.""Apa? Kenapa