Mata Rhea melebar sempurna terlebih saat mendengar gelak tawa Rylan yang nyaring di telinga. Malam itu? Apakah jangan-jangan….
“Aku dengan sengaja membawa pria itu masuk dan dengan bodohnya kau mengira bahwa itu aku? Aku jadi berpikir apakah kau benar-benar mencintaiku seperti yang kau katakan atau semuanya hanya bulshit belaka? Bahkan pria lain menjamah tubuhmu saja kau tak bisa membedakan apakah itu aku atau tidak. Tapi dengan begitu rencanaku berjalan mulus. Aku berhasil bebas darimu tanpa terlihat buruk di depan semua orang, Sebaliknya, semua orang bersimpati padaku karena mengira kau yang bersalah. Hahaha, bukankah itu sangat menarik, Rhea? Harusnya kau memuji betapa cerdasnya aku.”Rhea tak percaya ini, tak percaya semua yang terucap dari mulut Rylan. Tapi kenapa semua yang dikatakannya terasa benar dan masuk akal? Rhea tak sanggup, tak sanggup menerima kenyataan menyakitkan ini dan tak sanggup mendengar lebih banyak lagi. Lucy dan Rylan, dua orang itu adalah orang yang paling berharga dalam hidupnya, tapi dua orang itu juga yang menjadi malaikat pencabut nyawa untuknya. Kenapa? Kenapa? Kenapa harus Lucy? Kenapa juga Rylan tega melakukan ini padanya? Tak sanggup lagi memikirkan alasan dan jawaban membuat Rhea kehilangan kesadaran. Ia jatuh pingsan di mana di ambang kesadaran terakhirnya yang ia dengar hanyalah gelak tawa jahat Rylan juga teriakan Lucy memanggil namanya. Beberapa hari berlalu dan saat ini Rhea masih berada di rumah sakit. Setelah ia pingsan waktu itu, saat ia sadar ia telah berada di rumah sakit. Dan tentu Lucy lah yang membawanya ke sana. Sejak hari itu Lucy selalu mengunjunginya namun ia tak sanggup melihat wajahnya. Ia meminta perawat melarang Lucy memasuki kamarnya dan untuk Rylan, pria itu sama sekali tak menunjukkan batang hidungnya. Sepertinya semua yang Rylan katakan waktu itu adalah fakta yang sebenarnya yang artinya selama ini ia hanya dibodohi dua orang yang ia percaya.Rhea memejamkan mata menikmati rasa sakit di ulu hatinya mengingat semuanya. Mengingat kebaikan Lucy selama ini juga mengingat ucapan Rylan bahwa semua adalah rekayasanya. Dan saat kedua matanya kembali terbuka, seketika ia seolah tersadar. Rylan mengatakan ia menyuruh pria itu menaiki ranjangnya, itu berarti pria itu adalah bagian dari rencana. Mata Rhea melebar diikuti gerak tangan menutupi mulutnya saat merasakan sesuatu seolah menaiki kerongkongan. Lagi, sesuatu yang terasa asam seperti memaksa keluar dan semakin naik memasuki rongga mulut. Ia segera turun dari ranjang dan berlari ke kamar mandi tanpa melepas tangan menutupi mulutnya. Sesampainya di dalam kamar mandi ia memuntahkan cairan yang terasa menusuk hidung. Padahal ia belum makan apapun tapi kenapa ia memuntahkan sesuatu dari perutnya?Tiba-tiba pening di kepala Rhea kembali datang, pening yang akhir-akhir ini ia rasa disertai mual dan muntah. Tubuhnya pun terasa lemas dengan perut terasa diaduk-aduk. “Nona.”Rhea menoleh saat telah membersihkan mulutnya dan tetap berusaha bertahan dari pening dan lemas yang menyiksa. Dan di sana, di ambang pintu kamar mandi ia melihat seorang perawat berdiri.Melihat kondisi Rhea yang pucat, perawat tersebut segera menghampiri. “Anda baik-baik saja? Sudah saatnya pemeriksaan,” ucapnya seraya memegangi lengan Rhea dan membantunya berjalan ke luar kamar mandi kembali ke ranjangnya.Dengan hati-hati perawat tersebut membantu Rhea kembali berbaring ke ranjang dan dokter yang telah menunggunya mulai melakukan pemeriksaan. Rhea hanya diam membiarkan dokter perempuan tersebut melakukan tugasnya. Sampai tiba-tiba ia merasa ada yang aneh saat dokter tersebut memeriksa perutnya dan bertanya.“Nona, kapan terakhir kali anda datang bulan?”Rhea terdiam sejenak dan mencoba mengingat-ingat. Kemudian ia pun menjawab, “Sepertinya bulan lalu, dok.”“Setelah melakukan pemeriksaan sepertinya saat ini anda tengah hamil.”Petir seolah kembali menyambar tubuh Rhea mendengar penjelasan sang dokter. Suaranya tercekat dengan mulut seolah terkunci rapat.. Apa ia tak salah dengar? Berusaha mengeluarkan suaranya yang terbata, ia mencoba bertanya. “A– apa dokter tengah bercanda? I– itu tidak mungkin.”“Maaf, Nona. Tapi seperti itu lah setelah saya melakukan pemeriksaan. Untuk membuktikannya kita bisa melakukan USG,” ujar sang dokter memberi saran. Setelah pemeriksaan selesai, dokter tersebut pergi dari sana meninggalkan Rhea yang masih tak percaya. “Suster,” panggil Rhea saat perawat tersebut hendak mengikuti dokter pergi. Suster tersebut menoleh dan kembali menghampiri Rhea.“Iya Nona, ada yang bisa saya bantu?”Rhea pun mengatakan permintaannya yang membuat suster tersebut terheran. Setelahnya suster tersebut keluar dari sana dan kembali selang beberapa jam dengan membawa apa yang Rhea inginkan. “Wanita yang aneh. Padahal bisa USG dan hasil lebih akurat, tapi malah meminta membelikan testpack,” gumamnya saat telah berada di luar kamar Rhea dirawat.Sementara saat ini Rhea terlihat duduk di kloset duduk dengan beberapa testpack di tangan. Ia memejamkan mata rapat-rapat saat akan melihat hasil dari percobaannya. Ia tahu USG lebih akurat, tapi ia hanya ingin membuktikan apakah ucapan dokter itu benar atau tidak sesegera mungkin. Karena rasanya ia belum siap jika melakukan USG dan mendapati fakta ia memang tengah hamil sekarang.Perlahan kedua mata Rhea terbuka, dan saat melihat lima testpack di tangan, seketika matanya melebar diikuti benda kecil itu jatuh ke lantai bersamaan. Kesemuanya menunjukkan garis dua, walau salah satunya ada yang terlihat samar, tetap saja semuanya menunjukkan hasil positif.Tubuh Rhea seketika lunglai tak sanggup menerima kenyataan. Lucy dan Rylan mengkhianatinya, dan sekarang ia hamil anak dari laki-laki yang tidak ia kenal. Laki-laki yang merupakan bagian dari rencana Rylan. Kenapa hidupnya semenyedihkan ini? Rhea setengah mendongak dengan kepala bersandar dinding. Sanggupkah ia menjalani hidup seperti ini? Terlebih dengan kehadiran makhluk kecil di perutnya saat ini. Haruskah ia mempertahankannya? Atau melenyapkannya saja? Mengingat ayah dari calon anak yang dikandungnya adalah bagian dari kejahatan Rylan.Perlahan tangan Rhea terangkat dan bertengger menutupi kedua matanya. Hingga beberapa saat kemudian terdengar gelak tawa darinya yang mana tawa itu perlahan berubah menjadi tangisan memilukan.Rhea berjalan gontai memasuki apartemennya di mana ia baru saja pulang dari rumah sakit. Mendudukkan bokongnya dengan sedikit kasar ke sofa, kepalanya menengadah menatap langit ruangan. Rasanya ia masih tak percaya bahwa saat ini ada kehidupan kecil di dalam perutnya. Tangannya bertengger di atas perut dan mencengkramnya ringan, memejamkan matanya, setetes air mata pun kembali jatuh melewati ujung mata. Kenapa semua ini harus terjadi padanya? Dikhianati pria yang ia cintai juga sahabatnya kemudian harus menanggung aib dari pria yang tidak dikenal. Apakah ia bisa melewati ini semua? Tiba-tiba perhatian Rhea teralihkan saat dering ponselnya terdengar. Mengambil ponsel dari dalam tas, dilihatnya siapa meneleponnya. Dan melihat nama siapa yang tertera pada layar, ibu jarinya mengusap layar mengangkat panggilan. "Halo.""Halo. Rhe."Rhea tersenyum tipis. "Ada apa?" "Aku di rumahmu sekarang. Tapi sepertinya rumahmu sepi. Kau tidak di rumah?""Aku sekarang menyewa apartemen.""Apa? Kenapa
"Aku hamil dan bukan anak Rylan, pria yang menikahiku waktu itu. Aku hamil dan ini adalah anak dari pria yang bahkan tidak aku kenal. Apa kau masih tetap bersikukuh ingin kita kembali seperti dulu?" Rhea mengatakannya dengan jelas. Tak ada keraguan sedikitpun dari ucapannya meski suaranya terdengar sedikit bergetar. Ia bahkan tersenyum saat mengatakannya. Senyum yang sengaja ia tunjukkan untuk menutupi luka di hatinya. Rhea sengaja mengatakan kebenaran agar Damian menyerah. Ia tak ingin kembali merasakan luka yang sama dan sengaja mencari alasan agar Damian berhenti berharap. Luka yang Rylan torehkan bahkan masih basah, dan saat Damian kembali, luka lama yang telah ia pendam kembali terbuka. Ia ingin menutup hatinya, menyembuhkan dua luka yang nyaris membunuhnya perlahan. Ia tahu Damian tak bersalah, hanya saja ia tak ingin kembali merasakan luka yang sama untuk kedua kalinya. Ucapan kedua orang tua Damian bahkan rasanya masih membekas. Damian masih terdiam dengan raut wajahnya yang
"Ka– kau tahu mengenal Rylan?" tanya Lucy sedikit terbata."Hanya sebatas tahu siapa dia. Tentu kau lebih mengenalnya bukan? Dan tentu kau juga tahu mengenai kehamilan Rhea. Kau adalah sahabatnya, sebenarnya apa yang terjadi pada Rhea? Siapa laki-laki itu? Katakanlah padaku mengenai semua yang kau tahu," cerocos Damian yang begitu penasaran.Lucy terdiam cukup lama kemudian mengambil cangkir kopinya dan menyeruputnya perlahan tanpa berani menatap Damian. Tenggorokannya terasa begitu kering hingga menelan ludah saja terasa menyakitkan. Meski begitu lelehan cappucino yang mengaliri kerongkongan masih tak mampu membuatnya tenang. Bahkan tangannya pun terlihat gemetar. Dahi Damian tampak berkerut melihat sikap Lucy. Ia merasa ada yang coba Lucy sembunyikan darinya.“Me– mengenai itu … aku tidak tahu. Bukankah akan lebih jelas jika kau menanyakannya sendiri pada Rhea?” kata Lucy seraya meletakkan kembali cangkirnya ke atas meja.“Apakah telah terjadi sesuatu yang di antara kalian?”Tangan
Rhea membuka pintu saat ia hendak keluar untuk membeli sesuatu. Tiba-tiba saja ia menginginkan makanan kecut dan berniat membelinya. Dan kini ia telah rapi dengan penyamaranya. Masker untuk menyembunyikan wajahnya dan topi hitam untuk menyembunyikan helai mahkotanya. Namun langkahnya seketika terhenti saat mendapati sebuah bingkisan di depan pintu apartemennya berisikan beberapa kotak susu untuk ibu hamil dan vitamin. Rhea menatap bingkisan itu kemudian mengedarkan pandangan melihat siapa yang meninggalkan bingkisan tersebut namun ia tak mendapati seorang pun. Pikiran buruk pun tiba-tiba menyerang, ia takut jika yang mengirimkan bingkisan itu adalah stalker yang mengetahui keberadaannya dan itu berarti juga tahu bahwa ia tengah hamil sekarang. Ia pun segera menutup pintu dan membiarkan bingkisan itu tetap berada di luar. Rhea berdiri di balik pintu dengan tubuh gemetar. Saat denting ponsel tanda pesan masuk terdengar ia pun sampai terjingkat karena kaget dan ketakutan. Mengambil pon
Hening. Tak ada yang membuka suara setelah Rhea mengatakan keinginannya pada Damian. Tak dapat dipungkiri bahwa ia menyimpan dendam. Bukan hanya pada Rylan, tapi juga pada Lucy. Dia juga berniat membalas apa yang mereka lakukan, sayangnya niatnya terhalang keadaannya yang berbadan dua. Walau tak menginginkan kehadiran calon bayi dalam perutnya namun ia sama sekali tak berpikir untuk menggugurkannya. Dan ia khawatir, jika niat balas dendamnya akan menimbulkan sesuatu yang buruk bagi kehidupan kecil yang saat ini tengah proses bertumbuh dalam rahim. Tiba-tiba Rhea berbalik dan berusaha menahan air mata yang terasa mulai menggenang. Hanya teringat apa yang Rylan dan Lucy lakukan membuat emosinya kembali ke udara. Akhir-akhir ini sejak dinyatakan hamil, emosinya memang menjadi labil. Rhea menarik nafas panjang dan mengembuskannya perlahan kemudian kembali berbalik menatap Damian. “Maaf, lupakan,” ucapnya dengan berusaha menekan emosi jiwa.“Baiklah.” Namun dengan mantap Damian menjawab.
Rhea mengerjap dan merasakan kedua matanya yang pedas dan sembab. Membuka kedua matanya sempurna, kesadaran pun diraihnya. Tepat di saat itu Damian membuka pintu kamar dengan senyuman tercipta. “Sudah bangun?” Rhea bangun menegakkan punggungnya, menyeret bokongnya dan bersandar kepala ranjang. “Kua masih di sini?” Damian yang telah berdiri di sisi ranjang hanya mengangguk. “Mana mungkin aku meninggalkanmu di rumah sendiri dengan keadaanmu seperti ini?” ucapnya seraya mendudukan bokongnya di tepi ranjang. Rhea berusaha mengingat-ingat kemudian senyum kecutnya pun tercipta. Ia ingat jika sebelumnya melampiaskan seluruh perasaanya pada Damian sampai dirinya tertidur. Seingatnya mereka bicara di ruang tamu, tapi melihat di mana dirinya sekarang, sudah jelas Damian pasti menggendongnya. Sekarang saat mengingatnya, dia benar-benar malu. “Maaf, kau harus mendengar keluh kesahku. Kuharap kau melupakannya,” ucapnya. “Dan maaf, aku berat,” lanjutnya kemudian. “Kenapa aku harus melakukannya
Rhea begitu terkejut, tepat saat ia membuka pintu, sudah ada Damian yang berdiri di hadapannya.Sebelah alis Damian terlihat meninggi “Mau ke mana?” tanyanya karena mendapati Rhea telah lengkap dengan atribut penyamarannya. Topi hitam, kacamata hitam serta masker yang menutupi wajah ayunya. Dan jangan lupakan hoodie yang dipakainya yang juga berwarna hitam.“Harusnya aku yang tanya. Apa yang kau lakukan di sini?” Bukannya menjawab, Rhea justru bertanya pada Damian. Pasalnya harusnya Damian sudah pergi dari sana.“Ponselku tertinggal. Sepertinya di ruang tamu tadi,” jawab Damian dengan senyum kecil yang mengembang.Hela nafas panjang terdengar lolos dari mulut Rhea, ia pun berbalik memasuki apartemennya untuk mengambilkan ponsel Damian. Dan benar saja, ponsel pria itu berada di atas meja. “Terima kasih,” ucap Damian saat Rhea mengembalikan ponselnya. “Jadi, kau mau ke mana?” tanyanya kemudian.“Ingin mencari udara segar.” Rhea sempat berpikir mengurungkan niatnya karena ketahuan Damia
“Tunggu lah di sini,” perintah Damian. Damian sengaja menghentikan mobilnya saat melihat toko buah. Membuka sabuk pengamannya, ia segera turun dari mobil. Sementara Rhea tetap duduk dan mengarah pandangannya pada Damian yang bertanya pada si penjual buah di seberang jalan. Tok! Tok!Rhea begitu terkejut mendengar ketukan pada kaca mobil. Menoleh, ia dapat melihat seorang anak berdiri di luar. Memakai masker yang sebelumnya ia buka, ia menurunkan kaca. “Iya? Ada yang bisa kakak bantu?” tanyanya.“Kakak mau beli mangga muda?” kata bocah laki-laki berusia sekitar sepuluh tahu itu seraya mengangkat satu kantong plastik transparan berisi mangga muda.Seketika mata Rhea berbinar. “Wah, benarkah? Tentu saja!” ucapnya seraya meminta mangga itu dari bocah itu. Kemudian ia segera mengambil uang dan diberikannya pada si bocah. “Ini terlalu banyak, Kak,” kata bocah itu menolak uang Rhea senilai seratus ribu.“Tidak apa-apa. Ambil saja kembaliannya. Terima kasih, ya,” ucap Rhea dengan senyuman m
Hampir dua minggu berlalu sejak Rhea mendapat mangga muda kala itu. Saat ini ia berdiri di atas timbangan digital yang mana menunjukkan berat badanya yang bertambah. Hela nafas panjang lolos dari mulut seraya turun dari benda berbentuk persegi itu. Padahal baru beberapa minggu, tapi berat badannya sudah mulai bertambah. Bahkan ia yakin, berat badannya akan terus naik melihat nafsu makannya yang tak dapat dikendalikan. Rhea berjalan menuju kulkas dan mengambil sepiring potongan buah. Tiba-tiba ia teringat sesuatu kala mulai memasukkan potongan melon ke dalam mulut. Membawa piring berisi potongan melon dan pepaya, ia duduk menikmati camilan siangnya. Entah hanya perasannya saja atau memang suatu kebetulan? Setiap kali ia menginginkan sesuatu, apa yang diinginkannya seolah datang dengan sendirinya. Seperti saat ia menginginkan mangga muda kemarin, brownies pelangi, dan beberapa makanan lainnya. Yang paling membuatnya terus memikirkannya adalah saat ia menginginkan kue rangi yang sekaran
“Tunggu lah di sini,” perintah Damian. Damian sengaja menghentikan mobilnya saat melihat toko buah. Membuka sabuk pengamannya, ia segera turun dari mobil. Sementara Rhea tetap duduk dan mengarah pandangannya pada Damian yang bertanya pada si penjual buah di seberang jalan. Tok! Tok!Rhea begitu terkejut mendengar ketukan pada kaca mobil. Menoleh, ia dapat melihat seorang anak berdiri di luar. Memakai masker yang sebelumnya ia buka, ia menurunkan kaca. “Iya? Ada yang bisa kakak bantu?” tanyanya.“Kakak mau beli mangga muda?” kata bocah laki-laki berusia sekitar sepuluh tahu itu seraya mengangkat satu kantong plastik transparan berisi mangga muda.Seketika mata Rhea berbinar. “Wah, benarkah? Tentu saja!” ucapnya seraya meminta mangga itu dari bocah itu. Kemudian ia segera mengambil uang dan diberikannya pada si bocah. “Ini terlalu banyak, Kak,” kata bocah itu menolak uang Rhea senilai seratus ribu.“Tidak apa-apa. Ambil saja kembaliannya. Terima kasih, ya,” ucap Rhea dengan senyuman m
Rhea begitu terkejut, tepat saat ia membuka pintu, sudah ada Damian yang berdiri di hadapannya.Sebelah alis Damian terlihat meninggi “Mau ke mana?” tanyanya karena mendapati Rhea telah lengkap dengan atribut penyamarannya. Topi hitam, kacamata hitam serta masker yang menutupi wajah ayunya. Dan jangan lupakan hoodie yang dipakainya yang juga berwarna hitam.“Harusnya aku yang tanya. Apa yang kau lakukan di sini?” Bukannya menjawab, Rhea justru bertanya pada Damian. Pasalnya harusnya Damian sudah pergi dari sana.“Ponselku tertinggal. Sepertinya di ruang tamu tadi,” jawab Damian dengan senyum kecil yang mengembang.Hela nafas panjang terdengar lolos dari mulut Rhea, ia pun berbalik memasuki apartemennya untuk mengambilkan ponsel Damian. Dan benar saja, ponsel pria itu berada di atas meja. “Terima kasih,” ucap Damian saat Rhea mengembalikan ponselnya. “Jadi, kau mau ke mana?” tanyanya kemudian.“Ingin mencari udara segar.” Rhea sempat berpikir mengurungkan niatnya karena ketahuan Damia
Rhea mengerjap dan merasakan kedua matanya yang pedas dan sembab. Membuka kedua matanya sempurna, kesadaran pun diraihnya. Tepat di saat itu Damian membuka pintu kamar dengan senyuman tercipta. “Sudah bangun?” Rhea bangun menegakkan punggungnya, menyeret bokongnya dan bersandar kepala ranjang. “Kua masih di sini?” Damian yang telah berdiri di sisi ranjang hanya mengangguk. “Mana mungkin aku meninggalkanmu di rumah sendiri dengan keadaanmu seperti ini?” ucapnya seraya mendudukan bokongnya di tepi ranjang. Rhea berusaha mengingat-ingat kemudian senyum kecutnya pun tercipta. Ia ingat jika sebelumnya melampiaskan seluruh perasaanya pada Damian sampai dirinya tertidur. Seingatnya mereka bicara di ruang tamu, tapi melihat di mana dirinya sekarang, sudah jelas Damian pasti menggendongnya. Sekarang saat mengingatnya, dia benar-benar malu. “Maaf, kau harus mendengar keluh kesahku. Kuharap kau melupakannya,” ucapnya. “Dan maaf, aku berat,” lanjutnya kemudian. “Kenapa aku harus melakukannya
Hening. Tak ada yang membuka suara setelah Rhea mengatakan keinginannya pada Damian. Tak dapat dipungkiri bahwa ia menyimpan dendam. Bukan hanya pada Rylan, tapi juga pada Lucy. Dia juga berniat membalas apa yang mereka lakukan, sayangnya niatnya terhalang keadaannya yang berbadan dua. Walau tak menginginkan kehadiran calon bayi dalam perutnya namun ia sama sekali tak berpikir untuk menggugurkannya. Dan ia khawatir, jika niat balas dendamnya akan menimbulkan sesuatu yang buruk bagi kehidupan kecil yang saat ini tengah proses bertumbuh dalam rahim. Tiba-tiba Rhea berbalik dan berusaha menahan air mata yang terasa mulai menggenang. Hanya teringat apa yang Rylan dan Lucy lakukan membuat emosinya kembali ke udara. Akhir-akhir ini sejak dinyatakan hamil, emosinya memang menjadi labil. Rhea menarik nafas panjang dan mengembuskannya perlahan kemudian kembali berbalik menatap Damian. “Maaf, lupakan,” ucapnya dengan berusaha menekan emosi jiwa.“Baiklah.” Namun dengan mantap Damian menjawab.
Rhea membuka pintu saat ia hendak keluar untuk membeli sesuatu. Tiba-tiba saja ia menginginkan makanan kecut dan berniat membelinya. Dan kini ia telah rapi dengan penyamaranya. Masker untuk menyembunyikan wajahnya dan topi hitam untuk menyembunyikan helai mahkotanya. Namun langkahnya seketika terhenti saat mendapati sebuah bingkisan di depan pintu apartemennya berisikan beberapa kotak susu untuk ibu hamil dan vitamin. Rhea menatap bingkisan itu kemudian mengedarkan pandangan melihat siapa yang meninggalkan bingkisan tersebut namun ia tak mendapati seorang pun. Pikiran buruk pun tiba-tiba menyerang, ia takut jika yang mengirimkan bingkisan itu adalah stalker yang mengetahui keberadaannya dan itu berarti juga tahu bahwa ia tengah hamil sekarang. Ia pun segera menutup pintu dan membiarkan bingkisan itu tetap berada di luar. Rhea berdiri di balik pintu dengan tubuh gemetar. Saat denting ponsel tanda pesan masuk terdengar ia pun sampai terjingkat karena kaget dan ketakutan. Mengambil pon
"Ka– kau tahu mengenal Rylan?" tanya Lucy sedikit terbata."Hanya sebatas tahu siapa dia. Tentu kau lebih mengenalnya bukan? Dan tentu kau juga tahu mengenai kehamilan Rhea. Kau adalah sahabatnya, sebenarnya apa yang terjadi pada Rhea? Siapa laki-laki itu? Katakanlah padaku mengenai semua yang kau tahu," cerocos Damian yang begitu penasaran.Lucy terdiam cukup lama kemudian mengambil cangkir kopinya dan menyeruputnya perlahan tanpa berani menatap Damian. Tenggorokannya terasa begitu kering hingga menelan ludah saja terasa menyakitkan. Meski begitu lelehan cappucino yang mengaliri kerongkongan masih tak mampu membuatnya tenang. Bahkan tangannya pun terlihat gemetar. Dahi Damian tampak berkerut melihat sikap Lucy. Ia merasa ada yang coba Lucy sembunyikan darinya.“Me– mengenai itu … aku tidak tahu. Bukankah akan lebih jelas jika kau menanyakannya sendiri pada Rhea?” kata Lucy seraya meletakkan kembali cangkirnya ke atas meja.“Apakah telah terjadi sesuatu yang di antara kalian?”Tangan
"Aku hamil dan bukan anak Rylan, pria yang menikahiku waktu itu. Aku hamil dan ini adalah anak dari pria yang bahkan tidak aku kenal. Apa kau masih tetap bersikukuh ingin kita kembali seperti dulu?" Rhea mengatakannya dengan jelas. Tak ada keraguan sedikitpun dari ucapannya meski suaranya terdengar sedikit bergetar. Ia bahkan tersenyum saat mengatakannya. Senyum yang sengaja ia tunjukkan untuk menutupi luka di hatinya. Rhea sengaja mengatakan kebenaran agar Damian menyerah. Ia tak ingin kembali merasakan luka yang sama dan sengaja mencari alasan agar Damian berhenti berharap. Luka yang Rylan torehkan bahkan masih basah, dan saat Damian kembali, luka lama yang telah ia pendam kembali terbuka. Ia ingin menutup hatinya, menyembuhkan dua luka yang nyaris membunuhnya perlahan. Ia tahu Damian tak bersalah, hanya saja ia tak ingin kembali merasakan luka yang sama untuk kedua kalinya. Ucapan kedua orang tua Damian bahkan rasanya masih membekas. Damian masih terdiam dengan raut wajahnya yang
Rhea berjalan gontai memasuki apartemennya di mana ia baru saja pulang dari rumah sakit. Mendudukkan bokongnya dengan sedikit kasar ke sofa, kepalanya menengadah menatap langit ruangan. Rasanya ia masih tak percaya bahwa saat ini ada kehidupan kecil di dalam perutnya. Tangannya bertengger di atas perut dan mencengkramnya ringan, memejamkan matanya, setetes air mata pun kembali jatuh melewati ujung mata. Kenapa semua ini harus terjadi padanya? Dikhianati pria yang ia cintai juga sahabatnya kemudian harus menanggung aib dari pria yang tidak dikenal. Apakah ia bisa melewati ini semua? Tiba-tiba perhatian Rhea teralihkan saat dering ponselnya terdengar. Mengambil ponsel dari dalam tas, dilihatnya siapa meneleponnya. Dan melihat nama siapa yang tertera pada layar, ibu jarinya mengusap layar mengangkat panggilan. "Halo.""Halo. Rhe."Rhea tersenyum tipis. "Ada apa?" "Aku di rumahmu sekarang. Tapi sepertinya rumahmu sepi. Kau tidak di rumah?""Aku sekarang menyewa apartemen.""Apa? Kenapa