Paket Baju Bayi Dari Suamiku"Alia!" Teriak Rizal saat melihat tubuh Alia terpental hingga di sisi jalan. Beruntung mobil yang yang berjalan mendekat ke arah Alia bisa berhenti tepat waktu. Jalanan seketika membeku, tak ada lalu lalang kendaraan. Semua berhenti di tempat masing-masing. Kemacetan pun terjadi di area kecelakaan. Rizal segera berlari ke arah Alia. Air bah turun melihat tubuh sang pujaan hati sudah bersimpah darah. Calon suami Alia segera membopong tubuh yang bersimpah darah menuju mobilnya. Bahkan kaos putih yang ia kenakan sudah berubah menjadi merah merona. "Tersangkanya kabur, woy!" teriak penjual es buah yang tadi sempat memperhatikan kecelakaan. Mobil silver yang menabrak Alia melejit meninggalkan tempat terjadinya kecelakaan. Tak ada orang yang bisa mengejar laju mobil sedan yang telah menabrak calon pengantin wanita itu. Kemacetan mengundang petugas kepolisian yang sedang lewat berhenti sejenak. Dua lelaki berseragam polisi itu mendatangi tempat kajadian. Da
Pov Rizal[Target sudah dalam genggaman, Bos!] Satu pesan masuk dari Jefry. Senyum merekah membaca berita itu. Dia akan menyesal karena berani bermain-main denganku. Tanganku sendiri yang akan membalas sakit yang Alia rasakan. Sebenarnya aku buka lelaki yang suka main hakim sendiri. Namun keadaan yang memaksaku menjadi seperti ini. Kalau dia tidak mulai, aku tak akan membalas. Ancamanku tempo hari diabaikan begitu saja. Hari ini dia akan menerima akibatnya. [Aku akan segera ke sana. Jangan biarkan dia lolos!]Ku kirim balasan ke nomor orang kepercayaanku. Tak mununggu lama dia membalas "OKE"."Tunggu Sya, akan ku buat kau menangis dan bersimpuh di kakiku," gumamku. Ku turuni anak tangga. Mencari sosok wanita yang telah merawatku selama ini. "Ma, Mama ...."Sedikit berlari menuju halaman belakang. Sosok yang selalu memberiku limpahan kasih sayang itu duduk dengan pandangan kosong. Pasti beliau teringat Alia, putri semata wayangnya. Sesal dan rasa bersalah itu kembali hadir kalau m
"Tersangkanya sudah tertangkap, Mas," ucap Pak Polisi saat aku masuk ke dalam ruangan. "Siapa, Pak?""Saat ini Pak Jono sudah dijadikan tersangka. Dari keterangannya ternyata dia dibayar untuk menabrak Mas Rizal. Namun sayang target meleset hingga akhirnya Mbak Alia yang menjadi korban."DEGIni sama persis seperti dugaanku semula. Jangan-jangan benar jika dalang sebenarnya adalah .... "Pak Jono mengaku jika dia disuruh dengan lelaki bernama Ibrahim atau kerap dipanggil Baim. Seorang manager personalia di perusahaan Ibu Rahmawati. Kami masih mendalami motif di balik tidak kejahatan yang ia lakukan."Astaga,Ya Tuhan! Ternyata dia adalah dalang kecelakaan yang menimpa Alia. Benar-benar keterlaluan laki-laki itu. Dia mengatakan cinta tapi justru dia yang membuat Alia sengsara. Brengs*k! "Apa Baim sudah ditangkap, Pak?" "Dia ...."Pak polisi menghentikan ucapan, tapi matanya mamandang ke arah pintu. Rasa penasaran membuatku menoleh ke arah yang sama. Tanpa pikir panjang aku berdiri
Aku sudah berada tempat parkir rumah sakit. Tentu,setelah mengantarkan mama ke kantor. Sebenarnya ingin membelikan bunga mawar putih untuk Alia tapi pihak rumah sakit tidak memperbolehkan pasien ICU mendapatkan bunga atau apa pun. Lebih tepatnya menjaga kesehatan pasien agar tidak ada kuman atau virus yang masuk dan akhirnya menganggu kesehatan pasien. Aku duduk di sebelah Alia setelah memakai pakaian khusus dari rumah sakit. Kutatap wajah cantik yang kini tengah tertidur lelap. Saking lelapnya membuat ia tertidur selama dua minggu. "Sayang, bangun! Abang kangen!" ucapku seraya menggenggam tangan kanannya. Alia masih saja terlelap, bahkan mungkin ucapanku tak ia dengar. Namun aku tetap saja bercerita panjang. Menceritakan kenangan masa lalu yang pernah kita lewati bersama. Tak terasa waktu kunjungan telah usai. Ku kecup punggung tangan Alia. Lalu ku cium dahinya dengan mesra. Dalam hati berharap jika sebuah kecupanku bisa membangunkannya dari tidur panjang ini. Ya, seperti cerita
Pov RizalMataku membola saat melihat ranjang yang biasanya ditiduri Alia bersih dan rapi. Alia tak ada di sini. Kamar ini KOSONG. "Kemana perginya Alia? Jangan-jangan ...."Tanpa pikir panjang aku berlari keluar ruangan. Mencari keberadaan suster jaga di sini. "Suster dimana Alia?"Suster itu menghembuskan nafas perlahan dan menatapku dengan pandangan yang sulit untuk ku artikan. Jangan-jangan! Lagi dan lagi pikiran buruk bersemayam di hati.Tuhan, aku tak sanggup jika harus berpisah dengan Alia. "Tolong baju khusus di ruang ICU dikembalikan, Mas!" Astaga, karena panik membuatku menjadi tidak bisa konsentrasi. Baju di ruang ICU masih menempel di tubuh, padahal aku sudah berada di luar. Dengah malu ku berikan pakaian itu pada suster. Dia menerimanya lalu kembali masuk ke ruang ICU. Kini hanya tinggal aku dan seorang suster berbadan kecil. Kalau kedua suster itu berjalan beriringan, sudah pasti seperti angka 10. "Mas Rizal kenapa baru datang. Mas Rizal terlambat ....""Tidak! Tid
Pov AliaTidak terasa waktu berjalan dengan cepat. Sudah dua bulan pasca kecelakaan yang menimpaku. Gips yang menempel di kaki juga sudah di lepas. Meski demikian kakiku masih terasa sakit jika digerakkan. Itu yang membuat aku berjalan dengan pelan. Aku bersyukur Allah masih memberiku kesempatan untuk menghirup oksigen. Doa serta dukungan dari mama dan Bang Rizal yang membuatku bisa bertahan dan kuat sampai di titik ini. Sampai detik ini aku masih tak menyangka jika dalang dibalik kecelakaan dan viralnya hubunganku dan Bang Rizal ialah Ibrahim. Lelaki yang sempat mengutarakan cinta itu justru tega melukaiku hingga seperti ini. Ya, begitulah jika orang sudah teropsesi untuk mendapatkan sesuatu. Dia akan melakukan berbagai cara untuk mendapatkannya. "Sudah siap?" tanya mama membuyarkan lamunanku. "Kok malah melamun? Itu penghulunya sudah datang. Ayo kita keluar." Aku mengangguk lalu berjalan pelan menuju ruang keluarga sambil di gandeng mama. Jantung dipacu lebih cepat seiring lang
Satu bulan usia pernikahanku dengan Bang Rizal. Hari-hariku semakin berwarna. Dia bukan hanya suami, tapi mampu menjadi seorang kakak dan ayah. Tentu, karena dia sudah menjadi keduanya setelah papa meninggal. "Kamu tidak tidur, Al?" tanyanya seraya melepas jas hitam lalu meletakkan di keranjang kotor. Setelah menikah perusahaan ditangani oleh Bang Rizal. Bisnis di Surabaya ia percayakan kepada tangan kanannya. Aku kembali tinggal di rumah mama. Mama begitu bahagia saat kami memutuskan tinggal seatap dengan beliau. "Kalau aku tidur tak mungkin masih duduk di sini, Bang," ucapku. Bang Rizal tersenyum lalu mendekat ke arahku.CUPSebuah kecupan mendarat di kening. Seketika pipiku merah dibuatnya. Kami memang sudah menikah, tapi tak bisa dipungkiri ada rasa gugup dan canggung saat kami hanya berdua. Bertahun-tahun hidup dengan status kakak dan adik membuatku belum sanggup memanggilnya dengan sebutan sayang atau lainnya. "Mandi gih, Bang!" Kudorong tubuh lelaki yang kini berada di dek
"Kamu ...."Aku masih tak percaya dengan lelaki yang kini berdiri di belakangku ini. Marcel Prasetya, lelaki yang sempat mengutarakan cintanya padaku. Namun kutolak karena aku tak memiliki perasaan apa pun. Lalu tiba-tiba dia sudah ada di sini. Entah kebetulan atau apa? "Boleh duduk ibu Alia?" tanyanya menyentakku dari lamunan. Aku sampai tidak sadar jika memperhatikan Marcel terlalu lama. "Silakan... Bapak Marcel.""Jangan panggil Bapak, aku belum menikah Alia!" Marcel melirikku tak suka. Belum menikah? Lelaki seperti dia masih betah menyendiri? Dia pasti lelaki pemilih seperti kebanyakan pengusaha ternama. "Bu Alia dan Pak Marcel saling kenal?" tanya Mia yang sedari tadi diam menyaksikan perdebatan kami. "Dia teman aku, Mi. Teman semasa kuliah lebih tepatnya.“"Ow....""Atasan kamu menolak cinta saya."Aku melotot mendengar perkataan lelaki itu. Bisa-bisanya dia mengumbar masa lalu pada orang lain. Dasar lelaki tak punya malu. "Bu Alia menolak Pak Marcel?" Mia menatap tak per
Tumpukan berkas dan laporan sudah berada di atas meja keja. Aku menghela napas kemudian menjatuhkan bobot di kursi kebesaran. Satu persatu laporan kubuka lalu membaca setiap kata yang tersusun di atas kertas itu. Sesekali memijit kepala yang berdenyut. Ada sedikit perbedaan di dalam laporan keuangan. Apa jangan-jangan Alvan kumat lagi? Apa mungkin dia kembali melakukan kecurangan? Sungguh tak tahu malu jika dia melakukan itu? Aku membuang napas. Dengan kasar kuambil telepon di atas meja. "Suruh Alvan kemari!""Iya, Pak."Panggilan telepon kumatikan setelah mendengar kata iya dari mulut Mia. Sambil menunggu Alvan datang, kembali kuperiksa berkas lainnya. Pekerjaanku kian menumpuk setelah kematian Ibu. Beberapa bulan aku terlalu terbuai dalam rasa bersalah hingga mengabaikan tanggung jawab. Untung masih ada Alia yang membantu mengurus semuanya. Dia memang bisa diandalkan dalam hal apa pun. Terlepas dari cerewetnya. Pintu diketuk tiga kali. Aku yakin itu pasti Alvan. "Masuk!"Pin
Pov RizalRumah sudah penuh dengan beberapa tetangga saat aku tiba. Jenazah ibu segera diangkat lalu dibaringkan di ruang tamu. Sempat kulihat tatapan penuh tanda tanya dari orang-orang. Namun aku memilih acuh. Sudah menjadi rahasia umum jika aku hanyalah anak angkat Ibu Rahmawati. Lalu kini aku membawa seorang wanita paruh baya yang sudah terbujur kaku. Siapa yang tak bertanya-tanya. "Kita salatkan, Bang. Beri penghormatan terakhir untuk Ibu." Aku mengangguk lalu melangkah masuk untuk berwudhu. Kami mulai menyalatkan jenazah Ibu. Bulir bening kembali jatuh setelah mengucapkan salam. Ini adalah penghormatan pertama dan terakhir dariku. Setelah selesai disalatkan. Jenazah ibu segera dikebumikan. "Kamu di rumah saja, Al.""Tapi, Bang.""Kamu sedang hamil. Pasti lelah sedari tadi mengurusi ini dan itu. Makasih untuk semuanya."Alia mendekat lalu memeluk tubuhku erat. Aku sentuh pundaknya hingga seraya menghirup aroma tubuh yang menenangkan. Terima kasih, kamu sudah menjadi istri, a
Pov RizalAku segera beranjak, meninggalkan nasi yang masih tersisa setengahnya. "Mas!" panggil pelayan rumah makan. Aku terpaksa berhenti menanti lelaki itu mendekat ke arahku. "Ada apa, Mas?""Masnya belum bayar, kan?"Aku menghela napas, menahan amarah yang sebentar lagi meledak. Dia memanggilku hanya untuk ini. Uang merah di atas meja apa tak terlihat olehnya? Apa ia taj tahu aku sedang terburu-buru. "Uangnya di atas meja,Mas. Coba dilihat dulu.""Jangan ke mana-mana, Mas. Awas kalau sampai kabur."Pelayan itu membalikkan badan. Kemudian tersenyum saat melihat selembar uang berwarna merah. Aku memutar tubuh lalu melangkah pergi. Tak kuhiraukan teriakannya. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, beberapa kali aku hampir menabrak kendaraan lain. Dadaku bergetar, perasaan bersalah kian mendominasi hati. Ego menolak memaafkan tapi hati... Ah, tak bisa kujelaskan. Kakiku melangkah cepat menuju ruang ICU. Menerobos rombongan ibu-ibu yang akan menjenguk pasien. Hingga akhirnya kak
Pov RizalSudah tiga hari Alia memilih tidur di lantai atas. Sudah tiga hari pula dia mengunci mulut rapat. Tak sepatah kata keluar dari mulutnya. Bahkan dia selalu membuang muka saat berpapasan denganku. Sebegitu marahkah dia? Alia marah karena aku tak mau menjenguk Bu Nur. Ah, harusnya ia tahu apa yang aku rasakan. Dibuang wanita bergelar ibu sangatlah menyakitkan. Lebih baik dikhianati teman dari pada dibuang oleh wanita yang telah melahirkan kita. Malam semakin larut tapi mata tak kunjung terpejam. Rasa kantuk seakan hilang dibawa kehampaan. Tak ada Alia membuat aku tidak mampu tidur nyenyak. Ingin aku masuk lalu memeluknya dari belakang. Menciumi harum tubuh yang membuatku mabuk kepayang. Kuambil benda pipih yang tergeletak di atas nakas. Dengan cepat jari-jari ini menari di layar ponsel. Membuka aplikasi berwarna biru dengan logo F itu. Berbagai postingan muncul di berandaku. Dari yang bermutu hingga yang tak pantas dilihat semua muncul begitu saja. Sesekali aku beristigfa
"Hallo, Al. Kamu bilang apa tadi?" Aku mendengus kesal, disaat seperti ini kenapa ucapanku tak ia perhatikan? Menyebalkan. "Cepat ke rumah sakit. Ibu kamu kritis!""Astagfirullah... Mama kritis, Al? Kenapa bisa? Tadi pagi Mama masih baik-baik saja kok."Astaga! Lama-lama kumaki juga Bang Rizal itu. Aku bilang Ibu bukan mama. "Ibu kamu, Mas. Bu Nur bukan Mama.""Alhamdulillah kalau Mama tidak kenapa-napa, Al."Aku mengepalkan tangan di samping. Ingin segera kulayangkan ke wajahnya. Ibunya sedang kritis tapi ia pura-pura tak mendengar ucapanku. "Bu Kritis, Mas!" teriakku. "O, ya sudah kalau begitu. Mas ada meeting lagi." Seketika panggilan telepon ia matikan. "Mbak." Aku menoleh, seorang satpam berdiri di sampingku. Tatapan matanya tajam, membuat nyaliku menciut dalam sekejap. "Jangan berisik, ini rumah sakit!"Aku menelan ludah dengan susah payah. Dalam hati aku merutuki sikap cuek Bang Rizal hingga akhirnya aku dimarahi satpam. "Ma-maaf, Pak."Lelaki itu hanya diam kemudian me
Aku mulai sibuk mempersiapkan acara empat bulanan yang tinggal tiga hari lagi. Acara syukuran sekaligus doa untuk calon anak kami akan diadakan di rumah. Tak banyak yang kami undang, hanya keluarga inti, tetangga dan beberapa anak panti asuhan. "Catering sudah, kan, Al?" tanya Mama. "Sudah,Ma. Tinggal bingkisan untuk dibawa pulang saja. Enaknya apa, ya?"Aku dan Mama saling diam, bingung memikirkan bingkisan apa yang cocok dibawa pulang. "Kalau pesan kue gimana, Al?" usul Mama sambil menatapku. "Boleh, Ma.""Kalau gitu kita pesan sekarang saja. Kita ke tokonya." Mama begitu antusias. Momen seperti ini sudah lama Mama nantikan. Tak heran jika kini Mama begitu antusias menyelenggarakan acara empat bulanan kehamilanku. Semua dekorasi, catering hingga bingkisan Mama yang memilih. Aku hanya membantu memesankan saja. "Ayo, Al! Kita siap-siap!"Aku segera melangkah menuju kamar untuk mengganti pakaian. Begitu pula dengan Mama. Belum sempat memakai hijab sebuah panggilan masuk. Segera
Berdamai dengan masa lalu yang menyakitkan tidaklah muda. Seperti itulah yang Bang Rizal rasakan. Dia tersiksa dengan rasa benci dan amarah. Semenjak pengakuanku, Bang Rizal memilih diam. Tak banyak kata yang keluar dari mulutnya. Dia hanya berbicara seperlunya, selebihnya dia memilih membisu. "Abang marah?" tanyaku saat kami berada di kamar. "Tidak."Menghela napas saat kudengar jawabannya. Singkat, padat dan datar. Sikapnya semakin dingin terhadapku. Apa aku benar-benar salah melakukan tes DNA itu? Aku hanya ingin memastikan. "Maaf jika sikapku lancang, Bang.""Aku lelah, Al. Bisakah kita bicara besok. Abang ingin tidur." Bang Rizal membalikkan badan, dia membelakangiku. Jarum seakan tak bergerak. Sikap dinginnya membuat aku tak bisa memejamkan mata. Rasa kantuk yang sempat mendera hilang dalam sekejap mata. Mata semakin tak bisa terpejam saat hasrat makan seketika muncul, bahkan terasa menggebu. Aku beranjak dari ranjang. Perlahan kakiku melangkah menuju dapur. Semoga saja ma
"Siapa, Al? Kenapa syok begitu?" Bang Rizal menatapku penuh tanda tanya."Itu... Anu ...."Mulut ini mendadak kelu, apa kukatakan saja sekarang? Namun jika menimbulkan keributan bagaimana? "Alia sayang, kenapa diam? Kamu tidak sedang menyembunyikan sesuatu padaku, kan?"Mungkin saatnya Bang Rizal mengetahui kenyataan ini. Entah bagaimana tanggapannya nanti. "Alia.""Nanti Alia jelaskan, tapi tidak di sini, Bang."Setelah cukup lama berbincang dengan Syasya dan Bu Nur, akhirnya kami berpamitan pulang. "Apa yang mau kamu katakan, Al?" tanyanya sambil mengemudikan mobil. "Jalan dulu, Bang! Nanti kuatur mau belok ke mana." Bang Rizal mengangguk lalu kembali fokus mengendarai mobil. Aku mulai mengarahkan ke mana mobil harus berjalan. Kadang belok kanan atau belok ke kiri. Bang Rizal menurut tanpa banyak protes. "Ini bukannya alamat ke rumah Mia, Al?""Iya, Bang. Kita akan ke rumah Mia." Bang Rizal menautkan dua alis tapi enggan bertanya lebih jauh lagi. Pintu kuketuk pelan, tak lama
"Bagaimana, Mia?""Aman, Mbak. Tinggal menunggu hasilnya."Aku bernapas lega. Langkah untuk mengetahui kebenaran sudah berada di depan mata. Semenjak mendengar perkataan Bu Nur, entah kenapa aku ingin memastikan apakah dia ibu kandung Bang Rizal atau bukan. Jujur mata Bu Nur begitu mirip dengan mata Bang Rizal. Itu yang membuatku yakin jika mereka memiliki ikatan darah. "Aku tunggu kabar baiknya.""Telepon siapa, Sayang?" tanya Bang Rizal setelah keluar dari kamar mandi. Bang Rizal berjalan mendekat, air dari rambutnya menetes hingga ke lantai."Mia telepon tadi.""Ngomongin apa sih? Kayaknya serius banget." Bang Rizal mendekat lalu memelukku dari belakang. Tetes demi tetes air menempel di pundakku. "Basah, Bang!" Aku lepas tangan yang melingkar di perutku. "Biarin, Abang lagi pengen kaya gini. Sudah lama kita sehangat ini, kan?"Aku diam, mendengarkan degup jantungnya begitu keras. Kuhirup aroma shampoo yang mengudara hingga menimbulkan rasa nyaman. Benar yang dikatakan Bang