Share

Usil

last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-03 17:11:38

Pov Rizal

Mataku membola saat melihat ranjang yang biasanya ditiduri Alia bersih dan rapi. Alia tak ada di sini. Kamar ini KOSONG.

"Kemana perginya Alia? Jangan-jangan ...."

Tanpa pikir panjang aku berlari keluar ruangan. Mencari keberadaan suster jaga di sini.

"Suster dimana Alia?"

Suster itu menghembuskan nafas perlahan dan menatapku dengan pandangan yang sulit untuk ku artikan. Jangan-jangan! Lagi dan lagi pikiran buruk bersemayam di hati.

Tuhan, aku tak sanggup jika harus berpisah dengan Alia.

"Tolong baju khusus di ruang ICU dikembalikan, Mas!"

Astaga, karena panik membuatku menjadi tidak bisa konsentrasi. Baju di ruang ICU masih menempel di tubuh, padahal aku sudah berada di luar.

Dengah malu ku berikan pakaian itu pada suster. Dia menerimanya lalu kembali masuk ke ruang ICU. Kini hanya tinggal aku dan seorang suster berbadan kecil. Kalau kedua suster itu berjalan beriringan, sudah pasti seperti angka 10.

"Mas Rizal kenapa baru datang. Mas Rizal terlambat ...."

"Tidak! Tid
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Salah Kirim Paket   Kebahagiaan

    Pov AliaTidak terasa waktu berjalan dengan cepat. Sudah dua bulan pasca kecelakaan yang menimpaku. Gips yang menempel di kaki juga sudah di lepas. Meski demikian kakiku masih terasa sakit jika digerakkan. Itu yang membuat aku berjalan dengan pelan. Aku bersyukur Allah masih memberiku kesempatan untuk menghirup oksigen. Doa serta dukungan dari mama dan Bang Rizal yang membuatku bisa bertahan dan kuat sampai di titik ini. Sampai detik ini aku masih tak menyangka jika dalang dibalik kecelakaan dan viralnya hubunganku dan Bang Rizal ialah Ibrahim. Lelaki yang sempat mengutarakan cinta itu justru tega melukaiku hingga seperti ini. Ya, begitulah jika orang sudah teropsesi untuk mendapatkan sesuatu. Dia akan melakukan berbagai cara untuk mendapatkannya. "Sudah siap?" tanya mama membuyarkan lamunanku. "Kok malah melamun? Itu penghulunya sudah datang. Ayo kita keluar." Aku mengangguk lalu berjalan pelan menuju ruang keluarga sambil di gandeng mama. Jantung dipacu lebih cepat seiring lang

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-04
  • Salah Kirim Paket   Meeting

    Satu bulan usia pernikahanku dengan Bang Rizal. Hari-hariku semakin berwarna. Dia bukan hanya suami, tapi mampu menjadi seorang kakak dan ayah. Tentu, karena dia sudah menjadi keduanya setelah papa meninggal. "Kamu tidak tidur, Al?" tanyanya seraya melepas jas hitam lalu meletakkan di keranjang kotor. Setelah menikah perusahaan ditangani oleh Bang Rizal. Bisnis di Surabaya ia percayakan kepada tangan kanannya. Aku kembali tinggal di rumah mama. Mama begitu bahagia saat kami memutuskan tinggal seatap dengan beliau. "Kalau aku tidur tak mungkin masih duduk di sini, Bang," ucapku. Bang Rizal tersenyum lalu mendekat ke arahku.CUPSebuah kecupan mendarat di kening. Seketika pipiku merah dibuatnya. Kami memang sudah menikah, tapi tak bisa dipungkiri ada rasa gugup dan canggung saat kami hanya berdua. Bertahun-tahun hidup dengan status kakak dan adik membuatku belum sanggup memanggilnya dengan sebutan sayang atau lainnya. "Mandi gih, Bang!" Kudorong tubuh lelaki yang kini berada di dek

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-11
  • Salah Kirim Paket   Suara Siapa Itu?

    "Kamu ...."Aku masih tak percaya dengan lelaki yang kini berdiri di belakangku ini. Marcel Prasetya, lelaki yang sempat mengutarakan cintanya padaku. Namun kutolak karena aku tak memiliki perasaan apa pun. Lalu tiba-tiba dia sudah ada di sini. Entah kebetulan atau apa? "Boleh duduk ibu Alia?" tanyanya menyentakku dari lamunan. Aku sampai tidak sadar jika memperhatikan Marcel terlalu lama. "Silakan... Bapak Marcel.""Jangan panggil Bapak, aku belum menikah Alia!" Marcel melirikku tak suka. Belum menikah? Lelaki seperti dia masih betah menyendiri? Dia pasti lelaki pemilih seperti kebanyakan pengusaha ternama. "Bu Alia dan Pak Marcel saling kenal?" tanya Mia yang sedari tadi diam menyaksikan perdebatan kami. "Dia teman aku, Mi. Teman semasa kuliah lebih tepatnya.“"Ow....""Atasan kamu menolak cinta saya."Aku melotot mendengar perkataan lelaki itu. Bisa-bisanya dia mengumbar masa lalu pada orang lain. Dasar lelaki tak punya malu. "Bu Alia menolak Pak Marcel?" Mia menatap tak per

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-12
  • Salah Kirim Paket   Kecupan di Pagi Hari

    “Kamu siapa? Kenapa handphone suamiku ada di kamu?” cecarku.Beberapa kali ku elus dada seraya menahan gemuruh di dalamnya. Lagi,kuusir pikiran buruk yang mendominasi baik hati mau pun pikiran. Aku tak mau berpikiran buruk kepada Bang Rizal. Namun tak bisa kupungkiri ada rasa khawatir di sini.“Hallo!Hallo!” ucapku lagi karena tak ada jawaban dari wanita itu.“Bang Rizal mana?” Nada suaraku naik satu oktaf.Lagi dan lagi tak ada jawaban dari seberang sana,hanya suara musik yang masuk ke dalam indra pendengaran ini. Hingga tak berapa lama panggilan terputus begitu saja. Dia mematikan sambungan teleponku. Tak mau menyerah aku kembali menghubungi nomor Bang Rizal tapi justru nomornya tak aktif. Sial!Perlahan kuatur napas agar sesak dalam rongga dada sedikit berkurang. Namun justru bayang-bayang perselingkuhan Bang Rizal menari-nari dalam angan. Aku takut kejadian bersama Mas Alvan terulang kembali. Ya Tuhan ... jangan sampai itu terjadi lagi.Jarum jam sudah menunjukkan angka satu dini

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-13
  • Salah Kirim Paket   Rizal Cemburu

    Pov Alia"Menyingkir, Bang! Jangan sentuh aku!" Kudorong tubuh kekar yang hampir menindihku. "Memangnya gak kangen?" godanya seraya mengedipkan mata ke arahku. Aku membalikkan badan, suara wanita semalam kembali terngiang di telinga. Rasa kesal yang sempat luntur kini kembali muncul, ditambah Bang Rizal tak ada etika untuk meminta maaf. Dasar lelaki! "Sudah siang, Sayang, kamu tidak lapar?" ucapnya sambil menarik pundakku agar bisa berhadapan dengannya. "Gak, gak laper!"Krucuk... Krucuk.... Cacing dalam perut menjerit serempak hingga menimbulkan bunyi yang terdengar begitu jelas. Menyebalkan, ini namanya mempermalukan diri sendiri, sudah tahu lapar tapi bilangnya tidak lapar. Aduh, ketahuan deh! "Ha ha ha ... Katanya tidak lapar, tapi bunyi perutnya menggelegar," ledeknya lagi. Aku menekuk wajah, rasa kesal dan marah masih mendominasi hati, belum berkurang hingga mendengar kata maaf yang keluar dadi mulut lelaki di hadapanku ini. Namun nampaknya suamiku ini tak kunjung mengert

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-14
  • Salah Kirim Paket   Marcel Terkejut

    Pov Alia"Siapa Alia?" Bang Rizal menatapku tajam. Aku menelan ludah melihat ekspresi wajah Bang Rizal yang tiba-tiba masam. Sudah seperti mangga muda yang dijual di tukang rujak pinggir jalan. "O, ada Pak Rizal... Apa Bang Rizal, ya? Bang Rizal saja, toh ini bukan di kantor atau membicarakan masalah pekerjaan. Jadi lebih enak panggil Bang, iya, kan Alia?"Aku mencebikkan bibir mendengar ucapan Marcel. Lelaki ini kenapa harus menghubungiku di saat seperti ini? Baru juga melepas rindu, eh, diusik oleh telepon darinya. "Ada perlu apa?" tanya Bang Rizal sedikit ketus. "Hanya mengingatkan Alia agar tidak lupa makan," jawab Marcel tanpa merasa bersalah sedikit pun. Seketika Bang Rizal mengepalkan tangan di atas meja, wajahnya memerah sudah seperti kepiting rebus. Belum lagi pundak yang naik turun. Kalau telepon Marcel dibiarkan ... Pasti akan menimbulkan ledakan nuklir yang sangat dahsyat. Melihat Bang Rizal sedikit lengah, aku segera mengambil ponsel yang terletak di atas meja, tepa

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-15
  • Salah Kirim Paket   Tamu Perempuan

    "Ka-kalian menikah? Bukankah kalian kakak adik?" tanya Marcel terbata. Wajahnya terkejut luar biasa. Apa dia tak tahu berita heboh beberapa bulan yang lalu. Saat fotoku dan Bang Rizal tersebar luas di media sosial. Bahkan pernikahan kami menjadi topik utama. Marcel tak melihat atau tiba-tiba lupa ingatan? Bang Rizal tersenyum puas melihat ekspresi wajah Marcel. Rasa kesal yang sempat hadir menguap lalu terbawa angin. Secepat itu hati Bang Rizal berubah? "Ha ha ha, makannya lihat berita viral, Bro!" Marcel menggelengkan kepala, ia masih tak percaya dengan berita yang baru saja ia dengar. "Kalian saudara kandung, haram hukumnya," ucap Marcel lagi. "Alia kamu jelaskan saja, Abang tunggu di ruangan." Bang Rizal melangkah pergi meninggalkan aku dan Marcel. "Kita bicara di ruang meeting saja, Cel. Tak enak dipandang orang lain."Marcel mengangguk lalu melangkah mengikutiku dari belakang. Kami duduk bersebelahan di ruang meeting. Sepi dan sunyi, gambaran ruangan ketika kami diam memb

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-16
  • Salah Kirim Paket   Kesiangan

    "Kartika ...."DEG! Baru saja aku melupakan nama itu, tapi kini dia muncul di depan mata. Menyesakkan kembali rongga dada. Ah, kenapa dia harus ke sini? "Kamu kenapa ke sini tidak bilang-bilang, Tik? Aku, kan bisa jemput di bandara." Bang Rizal mendekat lalu menyalami wanita dengan rambut pirang itu. Mataku melotot saat wanita bernama Kartika itu memeluk Bang Rizal erat. Tak. Hanya itu, ia bahkan mencium pipi suamiku kanan dan kiri. Dadaku bergemuruh, kelakuan wanita itu sudah berlebihan. Seenaknya sendiri mencium pipi Bang Rizal di hadapan istrinya. Apa ia tak malu? Atau memang tak punya urat malu? Ini tidak bisa dibiarkan! Aku melangkah cepat, kudorong tubuh wanita itu hingga ia mundur beberapa langkah. Hampir saja ia terjungkal dan jatuh. Beruntung gerak refleksnya berfungsi dengan baik. Kalau tidak, dia pasti akan malu seumur hidup. "Alia!" Bang Rizal menggelengkan pelan kepalanya. Kuabaikan, lalu mengalihkan pandangan pada wanita yang kini berdiri di depanku. "Maaf, tidak

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-17

Bab terbaru

  • Salah Kirim Paket   Ending

    Tumpukan berkas dan laporan sudah berada di atas meja keja. Aku menghela napas kemudian menjatuhkan bobot di kursi kebesaran. Satu persatu laporan kubuka lalu membaca setiap kata yang tersusun di atas kertas itu. Sesekali memijit kepala yang berdenyut. Ada sedikit perbedaan di dalam laporan keuangan. Apa jangan-jangan Alvan kumat lagi? Apa mungkin dia kembali melakukan kecurangan? Sungguh tak tahu malu jika dia melakukan itu? Aku membuang napas. Dengan kasar kuambil telepon di atas meja. "Suruh Alvan kemari!""Iya, Pak."Panggilan telepon kumatikan setelah mendengar kata iya dari mulut Mia. Sambil menunggu Alvan datang, kembali kuperiksa berkas lainnya. Pekerjaanku kian menumpuk setelah kematian Ibu. Beberapa bulan aku terlalu terbuai dalam rasa bersalah hingga mengabaikan tanggung jawab. Untung masih ada Alia yang membantu mengurus semuanya. Dia memang bisa diandalkan dalam hal apa pun. Terlepas dari cerewetnya. Pintu diketuk tiga kali. Aku yakin itu pasti Alvan. "Masuk!"Pin

  • Salah Kirim Paket   Surat Bu Nur

    Pov RizalRumah sudah penuh dengan beberapa tetangga saat aku tiba. Jenazah ibu segera diangkat lalu dibaringkan di ruang tamu. Sempat kulihat tatapan penuh tanda tanya dari orang-orang. Namun aku memilih acuh. Sudah menjadi rahasia umum jika aku hanyalah anak angkat Ibu Rahmawati. Lalu kini aku membawa seorang wanita paruh baya yang sudah terbujur kaku. Siapa yang tak bertanya-tanya. "Kita salatkan, Bang. Beri penghormatan terakhir untuk Ibu." Aku mengangguk lalu melangkah masuk untuk berwudhu. Kami mulai menyalatkan jenazah Ibu. Bulir bening kembali jatuh setelah mengucapkan salam. Ini adalah penghormatan pertama dan terakhir dariku. Setelah selesai disalatkan. Jenazah ibu segera dikebumikan. "Kamu di rumah saja, Al.""Tapi, Bang.""Kamu sedang hamil. Pasti lelah sedari tadi mengurusi ini dan itu. Makasih untuk semuanya."Alia mendekat lalu memeluk tubuhku erat. Aku sentuh pundaknya hingga seraya menghirup aroma tubuh yang menenangkan. Terima kasih, kamu sudah menjadi istri, a

  • Salah Kirim Paket   Memaafkan

    Pov RizalAku segera beranjak, meninggalkan nasi yang masih tersisa setengahnya. "Mas!" panggil pelayan rumah makan. Aku terpaksa berhenti menanti lelaki itu mendekat ke arahku. "Ada apa, Mas?""Masnya belum bayar, kan?"Aku menghela napas, menahan amarah yang sebentar lagi meledak. Dia memanggilku hanya untuk ini. Uang merah di atas meja apa tak terlihat olehnya? Apa ia taj tahu aku sedang terburu-buru. "Uangnya di atas meja,Mas. Coba dilihat dulu.""Jangan ke mana-mana, Mas. Awas kalau sampai kabur."Pelayan itu membalikkan badan. Kemudian tersenyum saat melihat selembar uang berwarna merah. Aku memutar tubuh lalu melangkah pergi. Tak kuhiraukan teriakannya. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, beberapa kali aku hampir menabrak kendaraan lain. Dadaku bergetar, perasaan bersalah kian mendominasi hati. Ego menolak memaafkan tapi hati... Ah, tak bisa kujelaskan. Kakiku melangkah cepat menuju ruang ICU. Menerobos rombongan ibu-ibu yang akan menjenguk pasien. Hingga akhirnya kak

  • Salah Kirim Paket   Bimbang

    Pov RizalSudah tiga hari Alia memilih tidur di lantai atas. Sudah tiga hari pula dia mengunci mulut rapat. Tak sepatah kata keluar dari mulutnya. Bahkan dia selalu membuang muka saat berpapasan denganku. Sebegitu marahkah dia? Alia marah karena aku tak mau menjenguk Bu Nur. Ah, harusnya ia tahu apa yang aku rasakan. Dibuang wanita bergelar ibu sangatlah menyakitkan. Lebih baik dikhianati teman dari pada dibuang oleh wanita yang telah melahirkan kita. Malam semakin larut tapi mata tak kunjung terpejam. Rasa kantuk seakan hilang dibawa kehampaan. Tak ada Alia membuat aku tidak mampu tidur nyenyak. Ingin aku masuk lalu memeluknya dari belakang. Menciumi harum tubuh yang membuatku mabuk kepayang. Kuambil benda pipih yang tergeletak di atas nakas. Dengan cepat jari-jari ini menari di layar ponsel. Membuka aplikasi berwarna biru dengan logo F itu. Berbagai postingan muncul di berandaku. Dari yang bermutu hingga yang tak pantas dilihat semua muncul begitu saja. Sesekali aku beristigfa

  • Salah Kirim Paket   Ancaman Alia

    "Hallo, Al. Kamu bilang apa tadi?" Aku mendengus kesal, disaat seperti ini kenapa ucapanku tak ia perhatikan? Menyebalkan. "Cepat ke rumah sakit. Ibu kamu kritis!""Astagfirullah... Mama kritis, Al? Kenapa bisa? Tadi pagi Mama masih baik-baik saja kok."Astaga! Lama-lama kumaki juga Bang Rizal itu. Aku bilang Ibu bukan mama. "Ibu kamu, Mas. Bu Nur bukan Mama.""Alhamdulillah kalau Mama tidak kenapa-napa, Al."Aku mengepalkan tangan di samping. Ingin segera kulayangkan ke wajahnya. Ibunya sedang kritis tapi ia pura-pura tak mendengar ucapanku. "Bu Kritis, Mas!" teriakku. "O, ya sudah kalau begitu. Mas ada meeting lagi." Seketika panggilan telepon ia matikan. "Mbak." Aku menoleh, seorang satpam berdiri di sampingku. Tatapan matanya tajam, membuat nyaliku menciut dalam sekejap. "Jangan berisik, ini rumah sakit!"Aku menelan ludah dengan susah payah. Dalam hati aku merutuki sikap cuek Bang Rizal hingga akhirnya aku dimarahi satpam. "Ma-maaf, Pak."Lelaki itu hanya diam kemudian me

  • Salah Kirim Paket   Kritis

    Aku mulai sibuk mempersiapkan acara empat bulanan yang tinggal tiga hari lagi. Acara syukuran sekaligus doa untuk calon anak kami akan diadakan di rumah. Tak banyak yang kami undang, hanya keluarga inti, tetangga dan beberapa anak panti asuhan. "Catering sudah, kan, Al?" tanya Mama. "Sudah,Ma. Tinggal bingkisan untuk dibawa pulang saja. Enaknya apa, ya?"Aku dan Mama saling diam, bingung memikirkan bingkisan apa yang cocok dibawa pulang. "Kalau pesan kue gimana, Al?" usul Mama sambil menatapku. "Boleh, Ma.""Kalau gitu kita pesan sekarang saja. Kita ke tokonya." Mama begitu antusias. Momen seperti ini sudah lama Mama nantikan. Tak heran jika kini Mama begitu antusias menyelenggarakan acara empat bulanan kehamilanku. Semua dekorasi, catering hingga bingkisan Mama yang memilih. Aku hanya membantu memesankan saja. "Ayo, Al! Kita siap-siap!"Aku segera melangkah menuju kamar untuk mengganti pakaian. Begitu pula dengan Mama. Belum sempat memakai hijab sebuah panggilan masuk. Segera

  • Salah Kirim Paket   Penolakan Rizal

    Berdamai dengan masa lalu yang menyakitkan tidaklah muda. Seperti itulah yang Bang Rizal rasakan. Dia tersiksa dengan rasa benci dan amarah. Semenjak pengakuanku, Bang Rizal memilih diam. Tak banyak kata yang keluar dari mulutnya. Dia hanya berbicara seperlunya, selebihnya dia memilih membisu. "Abang marah?" tanyaku saat kami berada di kamar. "Tidak."Menghela napas saat kudengar jawabannya. Singkat, padat dan datar. Sikapnya semakin dingin terhadapku. Apa aku benar-benar salah melakukan tes DNA itu? Aku hanya ingin memastikan. "Maaf jika sikapku lancang, Bang.""Aku lelah, Al. Bisakah kita bicara besok. Abang ingin tidur." Bang Rizal membalikkan badan, dia membelakangiku. Jarum seakan tak bergerak. Sikap dinginnya membuat aku tak bisa memejamkan mata. Rasa kantuk yang sempat mendera hilang dalam sekejap mata. Mata semakin tak bisa terpejam saat hasrat makan seketika muncul, bahkan terasa menggebu. Aku beranjak dari ranjang. Perlahan kakiku melangkah menuju dapur. Semoga saja ma

  • Salah Kirim Paket   Hasil Tes DNA

    "Siapa, Al? Kenapa syok begitu?" Bang Rizal menatapku penuh tanda tanya."Itu... Anu ...."Mulut ini mendadak kelu, apa kukatakan saja sekarang? Namun jika menimbulkan keributan bagaimana? "Alia sayang, kenapa diam? Kamu tidak sedang menyembunyikan sesuatu padaku, kan?"Mungkin saatnya Bang Rizal mengetahui kenyataan ini. Entah bagaimana tanggapannya nanti. "Alia.""Nanti Alia jelaskan, tapi tidak di sini, Bang."Setelah cukup lama berbincang dengan Syasya dan Bu Nur, akhirnya kami berpamitan pulang. "Apa yang mau kamu katakan, Al?" tanyanya sambil mengemudikan mobil. "Jalan dulu, Bang! Nanti kuatur mau belok ke mana." Bang Rizal mengangguk lalu kembali fokus mengendarai mobil. Aku mulai mengarahkan ke mana mobil harus berjalan. Kadang belok kanan atau belok ke kiri. Bang Rizal menurut tanpa banyak protes. "Ini bukannya alamat ke rumah Mia, Al?""Iya, Bang. Kita akan ke rumah Mia." Bang Rizal menautkan dua alis tapi enggan bertanya lebih jauh lagi. Pintu kuketuk pelan, tak lama

  • Salah Kirim Paket   Sama

    "Bagaimana, Mia?""Aman, Mbak. Tinggal menunggu hasilnya."Aku bernapas lega. Langkah untuk mengetahui kebenaran sudah berada di depan mata. Semenjak mendengar perkataan Bu Nur, entah kenapa aku ingin memastikan apakah dia ibu kandung Bang Rizal atau bukan. Jujur mata Bu Nur begitu mirip dengan mata Bang Rizal. Itu yang membuatku yakin jika mereka memiliki ikatan darah. "Aku tunggu kabar baiknya.""Telepon siapa, Sayang?" tanya Bang Rizal setelah keluar dari kamar mandi. Bang Rizal berjalan mendekat, air dari rambutnya menetes hingga ke lantai."Mia telepon tadi.""Ngomongin apa sih? Kayaknya serius banget." Bang Rizal mendekat lalu memelukku dari belakang. Tetes demi tetes air menempel di pundakku. "Basah, Bang!" Aku lepas tangan yang melingkar di perutku. "Biarin, Abang lagi pengen kaya gini. Sudah lama kita sehangat ini, kan?"Aku diam, mendengarkan degup jantungnya begitu keras. Kuhirup aroma shampoo yang mengudara hingga menimbulkan rasa nyaman. Benar yang dikatakan Bang

DMCA.com Protection Status