“Bu Desya, bagaimana kabarmu?”“Lebih baik, tumben kamu menelpon saya? Kenapa tidak telepon Mas Rangga saja?”“Maaf Bu, sebenarnya saya hanya mau konfirmasi ada pengeluaran transfer ke rekening Pk Rangga sebesar lima ratus juta.”“Apa? Sebanyak itu ke rekening pribadinya untuk apa?”“Kalau itu saya kurang tahu Bu, saya hanya menjalankan SOP perusahaan jika ada transaksi lebih dari seratus juta harus ada konfirmasi ke Bu Desya, saya pikir Bu Desya mengetahui soal ini?”“Tidak. Oke, besok saya datang ke kantor. Oh ya, jika suami saya meminta dicairkan uang lagi tolong jangan diberi ya, hubungi saya.”Telepon tertutup, Desya tampak lemas dan lesu, mendengar cash yang cukup banyak untuk pribadi Rangga.“Kurang ajar! Lelaki itu sudah tak bisa dipercaya untuk memegang perusahaan. Lalu untuk apa uang sebanyak itu? Atau jangan-jangan….”Lamunan Desya berhenti setelah mendengar Rangga dan Irma yang sedang ngobrol di ruang tamu.“Aku akan sering menjengukmu Irma, hati-hati ya … aku kirim ke pons
“Dimana aku?” ucap Desya seraya memegang tengkuknya yang masih terasa sakit.Desya melihat sekeliling ruangan yang nampak tak asing baginya, melihat ke arah pintu yang tertutup. Karena dia mendengar seseorang akan membukanya.“Kau sudah sadar Desya?” ucap seorang wanita paruh baya itu dengan lembut.“Bu Ratna ? Bagaimana Desya bisa ada disini Bu?”“Dilan yang membawamu kesini,”“Tapi, bagaimana caranya?”Dilan yang mendengar suara dari kamar itu langsung masuk dan menghampiri Desya. Dia memperlihatkan sebuah earphone wireless.“Maksudnya apa Mas Dilan?”“Aku sengaja menaruh ini di bawah meja ruang tamu di rumahmu, aku merasa suatu saat kau membutuhkan pertolonganku. Jadi maaf sebelumnya aku telah menyadap suara di ruang tamu.”:”Ohh, jadi itu maksud Mas Dilan memaksa masuk ke rumahku, ternyata selain baik orang ini begitu cerdas.” batin Desya.“Tak apa Mas, justru aku sangat berterima kasih denganmu. Aku tak tahu sudah jadi apa kalau tak kau bawa kesini.”Dilan tersenyum dan menganggu
“Siapa Irma?!”“Kenapa kamu ingin sekali mengetahuinya Mas? Peduli sekali kami dengan Desya?”Irma cemburu karena Rangga terlalu ingin tahu siapa yang membawa Desya pergi.“Bisa-bisanya kamu cemburu dalam kondisi seperti ini Irma! Apa kamu tidak tahu selangkah lagi saat Desya sudah ku pasung dia akan tandatangani semua surat peralihan itu!”“Kenapa kamu marah denganku !”“Ya karena kamu tidak tahu apa-apa kamu malah bicara seperti itu, sedangkan aku sangat butuh informasi ini! Cepat bilang padaku siapa pelakunya?” Rangga benar-benar marah dengan Irma yang dianggapnya begitu bodoh. Rangga benar-benar murka dan hendak melemparkan kepalannya ke wajah Irma yang selalu dia puji - puji itu. :”Bahkan Desya kurasa tak sebodoh ini, wanita ini benar-benar …. Kalau tak sedang mengandung anakku mungkin aku sudah meninggalkannya!” umpat Rangga dalam hati dengan mata yang menatap tajam selingkuhannya itu.“Ya sudah diamlah Mas, kau benar-benar ingin tahu?”“IYA IRMA!!!”“Beri aku sepuluh juta,”Ra
“Oh, Maaf, aku hanya merasa bersyukur kau baik-baik saja.” ucap Desya lalu berlari ke kamarnya.Dilan tampak tersipu, dirinya dipeluk oleh Desya di depan ibunya.“Tak apa Dilan, dia kan memang adikmu,”Bu Ratna tersenyum lalu menepuk bahu Dilan dan kemudian pergi.“Bodoh sekali kau Desya, untuk apa melakukan hal konyol sepeti itu. Kamu ini masih bersuami, lagipula meskipun kamu menganggapnya kakak, belum tentu dia berpikir seperti itu.”Desya memukul kepalanya sendiri. Mencoba menyadarkan dirinya yang begitu bodoh. Sebuah buku harian, yang tergeletak begitu saja di kamar tamu yang sedang Desya tempati. Masih di posisi yang sama. Desya tersita pada buku itu dan kemudian mengambilnya. Membuka lembaran-demi lembaran yang membuatnya menangis. Apalagi kalau bukan hari-harinya bersama Rangga?“Rasanya ingin ku buang dan ku bakar saja buku ini. Tak ada gunanya!” Desya membawa buku itu pergi, keluar dari kamarnya dan menuju ke halaman belakang rumah Pak Rehan.“Korek, aku butuh korek api,”
“Surat gugatan Cerai dan ini adalah surat-surat aset, untuk apa Desya mengambil surat aset ini. Aku harus menelpon Desya!”Rangga terlihat begitu murka. Dengan segera ia mengambil ponselnya dan menelpon Desya.“Halo Desya!” bentak Rangga“Untuk apa kau menelponku!”“Beraninya kamu mengambil surat aset di brankas!”“Itu semua milikku, lalu apa masalahnya?”“Apa kau tak bisa baca? Itu semua atas namaku sendiri.”“Itu karena kamu menggantinya dulu. Oh ya, kalau kau cukup tahu diri, kembalikan itu semua padaku.”“Tidak! Semua atas nama Rangga adalah milik Rangga kau paham itu?”“Sudah aku sangka, kamu tidak akan menyerahkan semua itu. Memang ini kebodohanku, begitu percaya dan seolah rumah tangga kita akan baik-baik saja, aku pikir kamu orang yang berkualitas bisa menjaga kesetiaan dan komitmen, makanya aku menyetujui semua peralihan itu, tapi ternyata kau sendiri yang membuat masalah, membuat noda dalam rumah tangga kita!”Desya mulai merasa sesak di dadanya. Napasnya mulai tak beraturan
Dilan berdiri kemudian dicegah oleh Desya yang duduk di sampingnya.“Tak apa, saya bukan pengecut, mungkin dia memerlukan sesuatu.”Dilan berjalan ke arah Rangga yang sudah siap menghadapi Dilan.“Ada perlu apa?” Dilan bertanya dengan sopan.“Bagaimana kabar lelaki tua itu?”“Siapa yang kau maksud?”“Rehan, apakah dia masih hidup?”“Anda pernah punya orang tua? jadi berpikirlah dahulu sebelum berbicara Mas Rangga!” Dilan mulai kesal dengan ucapan Rangga namun dia harus tetap santai.“Orang tuaku tak seperti ayahmu,”“Oh, setidaknya orang tua saya mendidik saya untuk berbicara sopan dan menjadi pribadi yang tidak kasar apalagi terhadap wanita, oh ya satu lagi. Ayah dan ibu saya tidak pernah membenarkan perselingkuhan. Ingat itu!”Dilan lalu pergi meninggalkan Rangga yang terdiam tanpa kata. Kata-kata Dilan membuat Rangga merasa malu. Dia hanya memandang punggung Dilan pergi dan duduk kembali di sisi Desya. Sedangkan Irma mencoba menenangkan Rangga meskipun sebenarnya dia ikut malu denga
Dilan kemudian memeluk Desya untuk menenangkannya. Desya dengan wajah yang meringis menahan sesak di dadanya. “It’s Okay Desya, tenanglah …” Dilan benar-benar sangat perhatian dengan Desya. Kali ini, Desya merasa lebih tenang dia memejamkan matanya kemudian menarik nafasnya panjang. Dilan yang mengetahui bahwa Desya sudah tak panik kemudian melepas pelukannya dan menatap mata Desya penuh keyakinan agar Desya bisa lebih tenang lagi.“Kamu tidak apa-apa, memang sulit, tapi saya, Ibu, dan Bapak akan selalu ada untuk kamu apapun kondisinya.”Tak terasa air mata Desya menetes membasahi pipinya.“Tak apa, menangislah sepuasnya,” ucap Dilan lembut.Bu Ratna dan Pak Rehan lalu masuk dan memeluk Desya bersamaan. Desya benar-benar merasa sangat disayangi. sedikit demi sedikit dia menjadi lebih tenang dan dadanya sudah tak sesak lagi. Pandangannya sudah mulai jernih dan telinganya sudah bisa mendengar dengan jelas lagi.“Terima kasih semuanya, aku tak tahu bagaimana cara membalas kebaikan kal
Pak Agung menatap Dilan serius, sepertinya Dilan ingin membicarakan sesuatu yang penting.“Silahkan, apa yang ingin Pak Dilan katakan?”“Jadi, sebenarnya Desya belum sepenuhnya sembuh, anda ingat saat saya datang kesini bersama Desya membeli obat untuk dia?”“Ya, ingat” Pak Agung menatap Dilan seksama, “Itu karena mentalnya sedang terguncang, dan pagi tadi dia mengalami gejala yang sama. Saya takut kalau dia bekerja, dia stres, dan akhirnya kambuh lagi.”ucap Dilan khawatir.“Kalau soal itu, Pak Dilan tenang saja. Disini ada saya, dan rekan-rekan yang lainnya. Kami akan briefing agar mereka juga bisa memberi support untuk Desya dan tidak ada yang mengganggunya.”“Kalau memang begitu, saya menjadi lebih tenang. Saya percayakan Desya yah Pak, jaga dia selagi berada disini.”Dilan begitu serius, Pak Agung pun tersenyum seolah ingin mengetahui ada apa sebenarnya antara Dilan dan Desya.“Pak Dokter ini perhatian sekali dengan Mba Desya, ada hubungan spesial ya?” ejek Pak Agung dengan senyu
Desya terpaku tak percaya lelaki yang ada di hadapannya adalah Dilan. Ia segera menjauhkan duduknya dan tampak sungkan pada lelaki itu.“Terima kasih cappuccino nya,” ucap Dilan Desya mengangguk lirih, ia bahkan tak bisa menoleh untuk melihat Dilan.“Kau kenapa Desya?” Dilan menaruh Cappuccinonya.Desya hanya terdiam.“Sya,” panggilnya lagi. Kali ini tangannya menyentuh tangan Desya yang dingin karena gugup.“Aku tidak apa-apa.” ucap Desya cepat.“Lalu kenapa kau pergi?”“Aku hanya tak ingin merepotkan kalian, kalian sudah terlalu baik.”“Tidak, kau pasti punya alasan lain.”Desya terdiam lagi, memang ia memiliki alasan lain yaitu kepercayaannya terhadap Dilan yang rusak hingga selalu menerka-nerka apa yang terjadi.Desya menarik tangannya yang mulai hangat dari Dilan.“Aku harus pergi,” Desya berdiri namun Dilan menarik lengannya.“Tunggu! Kau harus bilang kau ini kenapa ? Dan dimana tempat tinggalmu sekarang biar saya antar.”“Sudah aku bilang aku tak mau merepotkan kalian lagi. Men
“Desya?” Dilan turun dari mobilnya kemudian berjalan menuju ke lobi Apotek.Dilan mencoba untuk tidak melepas pandangannya dari wanita itu. Namun setelah ia semakin dekat, justru Dilan sudah tak melihatnya lagi. Dilan terus masuk menerobos beberapa karyawan yang lewat diantaranya. Namun ia tak menemukan Desya. Ataukah Dilan salah lihat? Entahlah,Dilan juga tak menemukan Agung disana, ia bertanya pada seseorang yang hendak keluar.“Mas, Pak Agungnya ada?”“Oh Pak Agung sudah pulang dari siang Pak,”“Begitu ya? Dia pulang sendiri atau dengan siapa?”“Wah kalau itu saya kurang tahu Pak,”“Oh ya kalau Bu Desya ada?”Lelaki itu celingukan mencari dimana Desya.“Biasanya Bu Desya pulang bareng kita sih, tapi dari tadi saya juga tidak melihatnya.”“Ya sudah Mas. Makasih ya,”Dilan menghela nafasnya, ia kembali ke mobilnya. Rasanya hampir putus asa ia mencari Desya. Ia menyalakan mesin mobil dan kemudian pergi. Di sepanjang perjalanan, ia terus memikirkan Desya. Bahkan sampai sekarang nom
“Sya, Desya…..” teriak Bu Ratna sembari berlarian kesana kemari, menyusuri setiap sudut rumah mencari Desya.“Bu, Ada apa?” tanya Pak Rehan.“Desya tidak ada di rumah Pak,” Bu Ratna panik.“Apa? Ibu sudah cari di luar? Di lantai atas?”“Sudah Pak, tapi tidak ada. Tunggu,”Bu Ratna kembali ke kamar Desya ia membuka lemari pakaian Desya sudah kosong, ia menunduk dan terduduk lemas di ranjang. Pan Rehan ikut masuk ke dalam kamar itu. “Bu?” ucapnya lalu memungut secarik kertas yang tergeletak di atas meja.Pak Rehan, Bu Ratna…..Maaf Desya tidak berbicara terlebih dahulu jika Desya akan pergi. Desya tidak ingin kalian menahan Desya.Tapi Desya janji, suatu saat Desya pasti akan kembali jika semua kebenaran itu sudah terungkap.Yang terpenting adalah sekarang kalian baik-baik saja, Desya sangat berterima kasih atas semua bantuan dan kebaikan-kebaikan kalian yang sangat berarti bagi Desya.Desya hanya pergi untuk mencari kebahagiaan Desya sendiri, tanpa harus merepotkan kalian terus menerus
“Mas Dilan, bagaimana kabarmu?” Wajah Desya menahan cemburu yang berkecamuk. Wanita itu, wanita hamil yang sedang bersama calon suaminya. Panggilan video itu tiba-tiba dimatiin oleh Desya seketika setelah Desya melihat ada Chika disana bersama Dilan.Dilan mencoba menelpon Desya berkali-kali namun Desya terlanjur kecewa. Entah semuanya benar atau tidak. Tapi kehadiran sosok Chika membuat Desya tak nyaman dan ingin bertengkar. “Sya, kamu kenapa?” terdengar suara Bu Ratna dari belakangnya. Membelai rambut panjang Desya dengan lembut. Desya yang menyadarinya langsung memeluknya erat menumpahkan air mata dan rasa sesaknya.“Bu…”Mata Desya berkaca, Bu Ratna tampak bingung, namun perlahan Bu Ratna mencoba mengetahui apa yang membuat Desya menjadi sesedih itu.“Ceritakan pada Ibu,”Desya mengusap air matanya, ia menghela nafas dan mencoba menenangkan pikirannya.“Bu, Desya mau tanya. Ibu percaya dengan Mas Dilan?”“Maksud kamu apa Sya?”Desya terdiam sejenak, ia merasa ragu bercerita dan
“Rio?” Agung bergumam kecil, Desya merasa ia juga mengenali wajah itu. Lelaki yang pernah memperhatikannya di Caffe sebelah apotek. Desya dan Agung saling melempar tatapan heran bercampur penasaran. Apakah lelaki itu adalah orang yang sama dengan apa yang mereka pikirkan?Terlihat mereka telah selesai melepas rindu, Rio duduk di kurai pengemudi lalu dadar bahwa kaca mobil belum ia tutup. Kemudian ia sesegera mungkin menutupnya dan pergi melesat jauh dari tempat itu. Tak mau tinggal diam, Agung mengikutinya dari belakang. “Pak, untuk apa mengikuti mereka?” “Saya tahu lelaki itu, dia seperti …”“Rio?” timpa Desya,“Kamu juga mengenal Rio?”Desya mengangguk cepat, ia menceritakan kejadian saat tengah makan di Kafe bahwa lelaki itu terus memperhatikannya dan saat itu ia sedang melakukan panggilan video dengan Dilan yang akhirnya Dilan memberitahu Desya untuk segera menjauh dari Rio.“Betul, saya yakin dia itu Rio saya tak salah lihat.”Desya mulai berpikir keras, kenapa istri mantan sua
“Dilan?” Agung terlihat bingung dengan tatapan Desya padanya namun memanggilnya dengan nama Dilan.“Oh, maaf.” Desya tersadar dari lamunannya, ia begitu merindukan sosok Dilan hingga ia lupa dengan siapa ia di taman itu sekarang.“Kau merindukan Dilan ya?” Agung melempar pandangannya ke arah sungai.Desya hanya tersenyum, ia bercerita pada Agung bagaimana Dilan selalu menurutinya untuk berkunjung ke tempat itu. Desya terus saja tersenyum jika mengingat tingkah konyol Dilan padanya.“Tapi Desya, ada sesuatu yang ingin ku katakan.”Desya tiba-tiba serius, ia menatap Agung penasaran. Apa gerangan yang akan Agung katakan padanya.“Apa itu Pak?”Bibir Agung bergetar, ia tak kuasa membuka mulutnya karena yang akan ia lontarkan mungkin saja akan menyakiti Desya.“Sebenarnya….”Desya meyakinkan Agung untuk mengatakannya dengan menatapnya lebih dalam dari sebelumnya.Agung terlihat gugup, sepertinya ia tak sanggup mengatakan ham itu pada Desya.“Sebenarnya saya ingin bertanya siapa lelaki baru
“Saya beri kamu waktu 7x24 jam untuk memikirkannya,” Agung berdiri kemudian beranjak pergi dari ruangannya.Desya bingung, ia bahkan tak memiliki modal yang besar. Keinginannya untuk terus berbisnis semakin tinggi. “Mungkin aku harus beritahu Mas Dilan,” Desya bergumam, ia mencoba mengetik pesan untuk calon suaminya yang masih berada di Liar Negeri.“Semoga Mas Dilan mendukungku, aku tahu ia sering cemburu dengan Pak Agung. Namun ini menyangkut cita-cita dan masa depanku.” Desya meminum segelas air putih yang ada di mejanya. Ia merasa lebih tertantang dan lebih semangat. Ia sangat mau mengiyakan tawaran Agung namun yang ia khawatirkan ia tak bisa menjaga amanah yang Agung titipkan yang berupa investasi itu.“Tapi aku harus yakin dan optimis, aku pasti akan berhasil dan membungkam mulut mereka yang sudah membuatku menderita bahkan selalu mengejekku! Terima kasih Rangga, Irma, kalian berdua membuatku lebih semangat untuk sukses kembali.”Tak lama, Dilan menelponnya. Menanyakan tentang
“Habiskan makananmu lalu kembali ke tempatmu sekarang,”Desya mengernyitkan dahinya, ia tak tahu maksud Dilan yang tiba-tiba saja menyuruhnya untuk pergi.“Kenapa Mas?”“Nanti saya ceritakan,”Desya membayar makanan di kasir ia berjalan melewati seorang lelaki yang selalu saja menatapnya penuh nafsu itu. Desya juga merasa aneh dan risih. Ia mempercepat langkahnya kemudian sampai di ruangannya dengan nafas yang memburu.“Desya, kau sudah sampai di ruanganmu?”Dilan masih melakukan panggilan video dengan Desya. Desya tersenyum, ia melihat raut wajah tak biasa dari Dilan.“Kau kenapa Mas?” tanya Desya.“Kenapa kau tertawa? Dengar saya, lelaki itu pacarnya Chika.”Desya membulatkan matanya seolah tak percaya namun memang kelihatannya lelaki itu cukup nakal.“Kau serius?”“Apakah aku terlihat seperti pelawak?”“Iya Mas, aku percaya. Kenapa kau jadi sensi seperti ini?”“Pasalnya kau harus menghindarinya Desya, kau bisa saja terancam karena lelaki itu seperti predator.”“Betul Mas, barusan
“Sudah datang Bu, Pak Reymond dan beberap stafnya sudah memasuki ruangan meeting.”“Apa? Astaga! Bagaimana ini? Pak Agung hari ini libur. Tolong bilang ke mereka ya rescedule besok saja.”“Baik Bu,”Lelaki itu pergi untuk menemui Pak Reymond di ruang meeting. Desya nampak gelisah, ia berharap Pak Reymond mau bernegosiasi untuk menjadwalkan ulang pertemuan mereka dengan Pak Agung. Pria itu datang kembali, kini wajahnya nampak sangat tegang. Sepertinya habis dimarahi oleh Reymond.“Maaf Bu Desya, saya sudah coba bujuk Pak Reymond agar dia bisa datang lagi besok tapi mereka tidak mau. Mereka harus meeting sekarang, bagaimana ini Bu?”Desya mematung, ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia terdiam tiba-tiba teringat kala dia menjadi seorang CEO di perusahaannya dahulu. Semua tipe klien dia hadapi dengan mudah dan selalu goal.“Oke, tolong susul saya ke ruang meeting ya. Bawa semua berkas yang sudah saya siapkan di meja kerja saya, saya akan bawa laptop ini. Terima kasih,”ucap Desya pad