Sudah cukup lama Argantara Pratama kembali berada dalam posisi canggung yang luar biasa seperti ini. Duduk bersama dengan seseorang yang menjadi sosok wali bagi istrinya itu, masih saja terasa gugup. Pria dengan mata sipit yang terlihat tegas, kulit yang terlihat lebih pucat darinya, serta aura dingin yang menguar dari tubuhnya mampu membuat Argantara Pratama membeku saat berada di sebelahnya. "Bang, bagaimana kabarmu?" Ujar Arga yang mencoba memecah keheningan ini untuk pertama kali setelah sekitar sepuluh menit mereka hanya saling berdiam. Setelah beberapa saat Arga bertanya, namun tetep saja pria itu tanpa tenang terlihat asik membuat asap berbentuk lingkaran.Tak berniat langsung membalas ucapan Arga, pria dengan rambut hitam itu justru mengarahkan vapor miliknya pada Arga. "Mau?" Ujarnya sembari menatap datar ke arah Argantara Pratama. Arga sejenak membeku di tempatnya, pria yang disebelahnya kini selalu sama, benar-benar sulit ditebak bagaimana jalan pikirannya. Menggeleng
Pagi ini suasana sarapan di kediaman Ibu Kiara terdengar ramai sekali, sumbernya hanya satu yaitu berasal dari celotehan gadis manis yang tengah bercerita banyak hal di pangkuan sang Ayah. Fiola Natalie Pratama, gadis muda itu tampak antusias bercerita tentang kegiatannya selama berada di rumah sang nenek. Membuat Arga tidak bisa menahan gelak tawanya saat mendengar cerita sang putri. Sedangkan Kiara dan ibunya tampak sibuk menyiapkan makan pagi untuk mereka. “Pa, Fio punya pertanyaan buat Papa!” Fiola mendongak menatap sang Ayah. Matanya setengah memicing sembari tersenyum miring. Ia yakin sekali jika sang Ayah tidak akan bisa menjawabnya kali ini. “Pertanyaan apa, Princess?” balas Arga dengan lembut. “Telur sama ayam duluan mana?” ujar Fiola dengan antusias. Arga terkekeh. “Sudah pasti telur,” balas Arga sembari mencubit pipi putri kesayangannya itu gemas. “Ih… Papa kok bisa tahu?” Gadis manis itu tampak cemberut. Ia gagal lagi memberikan jawaban yang sulit untuk Ayahnya.
“Mama Kiara sama Aunty Bianca lebih didahulukan siapa?” ujar Harris dengan sebuah seringaian tipis di wajah tampannya.“Mas Harris, kamu ngomong apa, sih?”seru Kiara dari arah samping sembari membawa piring di tangannya. Dibantu pula dengan seorang asisten rumah tangga. Tiara melayangkan tatapan tajam ke arah kakak kandungnya itu. Ia paham persis apa yang sedang Harris bicarakan.Harris Arya adalah sosok kakak yang merangkap sebagai ayah bagi Kiara. Perbedaan usia mereka yang terpaut lebih dari sepuluh tahun itu membuat Harris sangat menjaga Kiara. Kiara besar tanpa sosok ayah di sampingnya dan Harris yang mengambil peran itu. Selain ia adalah satu-satunya harapan keluarga, pria itu juga harus berdiri sebagai pelindung keluarganya.“Om Har nih, Ma… selalu ngomong yang aneh-aneh. Fiola kan jadi binggung,”sahut gadis kecil itu tampak polos tak mengerti apa yang pamannya katakan. “Fiola duduk di kursi kamu sendiri, biar Papa bisa sarapan.” Balas Kiara setelah meletakkan piringnya di mej
Di dalam sebuah rumah dengan sinar lampu temaram, seorang pria lengkap dengan setelan kantornya terlihat memasuki area dapur rumah itu. Argantara Pratama, meletakkan tasnya di atas meja makan lalu melepasnya jasnya. Suasana rumah terlihat sepi, karena ini sudah menunjukkan waktu pukul 10 malam. Istri dan anaknya pasti sudah tidur. Menggulung lengan kemeja hingga sebatas siku, lantas Arga pun berjalan menuju lemari pendingin itu. Mengambil satu botol air dingin, lalu menegukknya dengan cukup tergesa. Pria itu tampak letih. Terbukti dari satu satu botol air mineral yang ia teguk hingga habis. Bersamaan dengan habisnya air dalam botol, tiba-tiba saja lampu dapur pun menyala. Seorang perempuan menggunakan baju tidur berbahan satin dengan rambut disanggul asal itu tampak melipat tangannya di depan dada sembari menatap jenggah ke arah Arga. "Masih ingat jalan pulang?" Ujarnya terdengar seperti sebuah sindiran. "Apa sih, Ra? Aku lelah dan tak ingin berdebat." Balas Arga yang ikut t
Arga baru saja selesai membersihkan tubuhnya, menggunakan piyama tidur berwarna senada dengan wanita yang kini tampak tidur membelakanginya. Pria itu tahu jika Kiara belum tidur.Ada perasaan bersalah menumpuk dalam hatinya. Iya, dirinya mengaku salah. Dan bodohnya ia justru melimpahkan kesalahannya pada istrinya sendiri. Menitik beratkan permasalahan yang sudah jelas adalah dirinya yang paling bersalah di sini. "Sayang, kamu marah?" Ujar pria itu setelah ikut berbaring tepat di belakang Kiara. Melingkarkan tangan kanannya di pinggang wanita yang masih terlihat ramping meskipun sudah melahirkan satu orang anak.Tak ada jawaban apapun dari Kiara, dan hal itu membuat Arga semakin resah saja. Tidak, ia tidak bisa jika harus saling berdiam seperti ini. "Maafin aku, Ra. Aku terlalu terbawa emosi, aku sungguh lelah hari ini. Maaf," ujar Arga sembari menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Kiara dari belakang. Ia rindu, rindu sekali sebenarnya. Sudah tiga hari ia tak pulang.Keduanya salin
Seorang gadis kecil memakai seragam sekolah dan berkepang dua itu tampak berlari menuju meja makan. Gurat wajahnya terlihat sangat ceria sekali. "Ayah! Hari ini Ayah yang akan mengantarku ke sekolah bukan?" Ujarnya terdengar riang sembari mendekat ke arah sang ayah yang tengah memimum kopinya. "Tentu dong, princessnya Ayah!" Ujar Arga sembari menunduk dan mengusap kedua pipi anaknya itu dengan gemas.Arga sangat beruntung memiliki putri secantik dan sepintar Fiola. Tadi pagi saat ia sudah meminta maaf pada putri kecilnya itu. "Yes!" Teriak Fiola begitu antusias. Bahkan ia sampai lompat-lompat karena terlalu senang. "Cepat duduk Fio, lalu makan sarapanmu," ujar Kiara sembari meletakkan segelas susu di dekat piring Fiola. Wanita itu juga sudah rapi dengan kemejanya, karena Kiara juga berprofesi sebagai guru di Taman Kanak-Kanak. Berjalan mendekati sang suami, lantas Kiara pun berujar, "Ku pasangkan dasimu dulu, Mas. Sini!" Ucap Kiara. Menatap penuh cinta pada sang istri, lalu Arg
Argantara Pratama, dengan lengan kemeja yang digulung sampai siku pria itu tampak keluar dari dalam kamar mandi kamar inap mewah itu. Berjalan pelan menuju bangsal yang kini ditempati oleh seorang wanita cantik yang memakai baju pasien itu. "Kenapa nggak dihabisin makanannya, Bi?" Ujar Arga setelah ia berada di samping Bianca. Mendudukkan dirinya di bangsal milik Bianca sembari menatap puan cantik berambut hitam panjang itu. Bianca Lisa menggeleng pelan. "Nggak enak, Ga! Makanan rumah sakit rasanya hambar," ujar wanita itu sembari mengerucutkan bibirnya. "Makan, Bi. Lihat tubuhmu udah makin kurus," ujar Arga yang tampak khawatir dengan kondisi Bianca. Setelah pulang dari kantornya, Arga memang lebih mengutamakan untuk menemani Bianca. Bahkan tak jarang pria itu harus membawa pekerjaannya ke rumah sakit atau ke apartemen Bianca ketika sahabatnya ini tengah kambuh. Wanita itu tampak berdecak mendengar ucapan Arga. "Memangnya kenapa kalau aku kurus? Nggak sexy lagi begitu?" Balasny
"Aku bahkan tahu ukuran bra-mu, Bi." Bisik Argantara Pratama yang sontak menimbulkan guratan merah di pipi Bianca. "Brengsek! Diam kamu Argantara Pratama!" Pekik Bianca sembari mendorong tubuh pria itu agar menjauh darinya. "Aku heran, kenapa Kiara bisa mau dengan pria kayak kamu!" Ucap Bianca menatap kesal ke arah Arga yang justru tengah tertawa lebar itu. "Karena aku tampan," balasnya sembari menggedikkan bahu. "Percaya diri sekali kau!" Sahut Bianca. "Akuin aja, Bi. Memang benar kalau aku tampankan?" Balas Arga disertai kekehan dari wajah tampannya. Ia selalu suka ketika berdebat dengan Bianca seperti ini. "Aku pergi dulu, telfon aku kalau kamu membutuhkan sesuatu." Ujar Arga sebelum ia akhirnya meninggalkan Bianca sendirian untuk pulang. Tak bohong, jika ia juga merasa rindu pada Kiara dan juga Fiola. Astaga, ia harus benar-benar meminta maaf pada anak perempuannya itu. ~~~~••••~~~~ Senyum Arga tampak mengembang saat memasuki rumah mewah yang sudah ia tempati selama 8 tah