"Sampai kapan kamu mau terus ada di sini, bos ?" Ujar seorang pria terdengar sinis.Pria dengan celana pendek berwarna hitam serta kaos pendek berwarna putih itu tampak memberengut kesal lantaran sudah hampir empat hari ini pria yang berstatus sebagai atasannya itu menginap di apartemennya.Pria dengan setelan kantor itu tampak mendongak. Menatap datar ke arah Zidan Alfian, sekretarisnya. Di tangan kanannya masih ada satu batang rokok yang menyala, serta di depannya ada satu botol alkohol yang sudah ia teguk sampai setengahnya."Kamu nggak seneng aku ada disini?" Ujar Arga sembari menghisap nikotin yang terbakar itu. Zidan yang baru saja selesai mandi pun berjalan mendekat ke arah pantry dapurnya. Mengambil botol wine yang ada di depan Arga, lalu menyimpannya kembali ke dalam lemari pendingin miliknya. "Apartemenku bukan bar, Ga! Kalau kangen sama istrimu ya pulang sana! Jangan malah mabuk di sini, nyusahin!" Ujar Zidan setengah menggeram. Tentu saja, tuan rumah mana yang tak geram
"Tapi kamu justru nyakitin istri dan anakmu, sialan!" Umpat Zidan Alfian dengan nada bicara yang lebih tinggi daripada sebelumnya. Sungguh, pria itu tampak kesal dengan atasannya ini. Arga terdiam. Tubuhnya stagnan. Dalam diamnya itu meneguk ludahnya yang terasa mencekat di kerongkongannya. Menghela nafasnya sejenak, lantas Arga pun menjawab, "Kiara masih memiliki banyak orang yang menyayanginya, sedangkan Bianca hanya memiliki aku saat ini," balas Arga terdengar pasrah. Zidan kembali dibuat terkejut dengan jawaban pria itu. Mengeleng-gelengkan kepalanya seakan tak percaya. "Kalau begitu bercerailah dengan Kiara dan hiduplah dengan Bianca." Ucap Zidan terdengar sinis, lalu ia pun mengambil kaleng soda yang masih tersisa setengah itu dan meneguknya hingga tandas. Mata Arga sontak membola lebar. "Jaga ucapanmu, sialan!" Balasnya tak suka. Kekehan remeh pun kembali mengalun dari bibir tebal milik Zidan Alfian. "Lagipula Kiara cantik. Andai saja diriku belum memiliki Sania, pasti
Mobil mercedes-benz berwarna hitam itu berhenti tepat di depan sebuah halaman rumah cukup besar dan mewah. Namun setelah beberapa saat setelah empat roda itu berhenti, nampaknya sang pengemudi masih enggan untuk sekedar membuka pintu mobilnya dan segera turun. Argantara Pratama, pria itu masih terlihat bimbang untuk melanjutkan langkahnya memasuki rumah sang mertua. Setelah ia pulang dari apartemen Zidan lusa kemarin, Arga mendapati rumahnya yang kosong. Kembali panik dan hendak mencari, tiba-tiba seorang asisten rumah tangga datang dan memberitahunya jika istri dan anaknya pergi ke rumah Ibu Kiara selama dua hari.Ada perasaan lega saat Arga tahu kemana kepergian sang istri. Namun juga merasa takut, apabila Kiara mengadukan sikap kasarnya beberapa waktu lalu pada sang ibu.Dua hari menunggu nyatanya tak membuat Kiara segera kembali ke rumah, perasaan was-was dan gelisah semakin terasa nyata dalam hati Arga. Puluhan pesan dan panggilannya tak pernah dibalas. Rasa ketakutan akan kehi
Sembari memandang lurus taman kecil yang di rawat dengan rapi di depannya itu, sesekali Argantara Pratama menyesap cigarette yang ia bakar sekitar sepuluh menit yang lalu. Setelah bermain dengan Fiola, Arga memutuskan untuk merokok di teras samping rumah ibu mertuanya. Kiara masih tidak mau berbicara dan justru menjaga jarak dengannya. Tak ingin membuat kesalahan fatal lagi, Arga memilih untuk menjauh ketika Kiara memasuki kamar Fiola. Melihat Kiara dan Fiola secara langsung saja sudah membuat Argantara Pratama merasa senang bukan kepalang hari ini. "Tidak ingin masuk?" Ujar seseorang yang sudah berdiri di dekat pintu teras. Membuat Arga menolehkan kepalanya dengan cepat.Wanita cantik yang menggunakan piyama merah muda itu menatap ke arahnya sembari menyilangkan kedua tangannya. "Udara cukup dingin malam ini," ujar Kiara. Mendapati sang istri mengajaknya bicara lebih dulu membuat senyum Arga tersungging lebar. "Rokokku masih sisa, sayang." Ujar pria berambut sedikit acak-acakan
Sudah cukup lama Argantara Pratama kembali berada dalam posisi canggung yang luar biasa seperti ini. Duduk bersama dengan seseorang yang menjadi sosok wali bagi istrinya itu, masih saja terasa gugup. Pria dengan mata sipit yang terlihat tegas, kulit yang terlihat lebih pucat darinya, serta aura dingin yang menguar dari tubuhnya mampu membuat Argantara Pratama membeku saat berada di sebelahnya. "Bang, bagaimana kabarmu?" Ujar Arga yang mencoba memecah keheningan ini untuk pertama kali setelah sekitar sepuluh menit mereka hanya saling berdiam. Setelah beberapa saat Arga bertanya, namun tetep saja pria itu tanpa tenang terlihat asik membuat asap berbentuk lingkaran.Tak berniat langsung membalas ucapan Arga, pria dengan rambut hitam itu justru mengarahkan vapor miliknya pada Arga. "Mau?" Ujarnya sembari menatap datar ke arah Argantara Pratama. Arga sejenak membeku di tempatnya, pria yang disebelahnya kini selalu sama, benar-benar sulit ditebak bagaimana jalan pikirannya. Menggeleng
Pagi ini suasana sarapan di kediaman Ibu Kiara terdengar ramai sekali, sumbernya hanya satu yaitu berasal dari celotehan gadis manis yang tengah bercerita banyak hal di pangkuan sang Ayah. Fiola Natalie Pratama, gadis muda itu tampak antusias bercerita tentang kegiatannya selama berada di rumah sang nenek. Membuat Arga tidak bisa menahan gelak tawanya saat mendengar cerita sang putri. Sedangkan Kiara dan ibunya tampak sibuk menyiapkan makan pagi untuk mereka. “Pa, Fio punya pertanyaan buat Papa!” Fiola mendongak menatap sang Ayah. Matanya setengah memicing sembari tersenyum miring. Ia yakin sekali jika sang Ayah tidak akan bisa menjawabnya kali ini. “Pertanyaan apa, Princess?” balas Arga dengan lembut. “Telur sama ayam duluan mana?” ujar Fiola dengan antusias. Arga terkekeh. “Sudah pasti telur,” balas Arga sembari mencubit pipi putri kesayangannya itu gemas. “Ih… Papa kok bisa tahu?” Gadis manis itu tampak cemberut. Ia gagal lagi memberikan jawaban yang sulit untuk Ayahnya.
“Mama Kiara sama Aunty Bianca lebih didahulukan siapa?” ujar Harris dengan sebuah seringaian tipis di wajah tampannya.“Mas Harris, kamu ngomong apa, sih?”seru Kiara dari arah samping sembari membawa piring di tangannya. Dibantu pula dengan seorang asisten rumah tangga. Tiara melayangkan tatapan tajam ke arah kakak kandungnya itu. Ia paham persis apa yang sedang Harris bicarakan.Harris Arya adalah sosok kakak yang merangkap sebagai ayah bagi Kiara. Perbedaan usia mereka yang terpaut lebih dari sepuluh tahun itu membuat Harris sangat menjaga Kiara. Kiara besar tanpa sosok ayah di sampingnya dan Harris yang mengambil peran itu. Selain ia adalah satu-satunya harapan keluarga, pria itu juga harus berdiri sebagai pelindung keluarganya.“Om Har nih, Ma… selalu ngomong yang aneh-aneh. Fiola kan jadi binggung,”sahut gadis kecil itu tampak polos tak mengerti apa yang pamannya katakan. “Fiola duduk di kursi kamu sendiri, biar Papa bisa sarapan.” Balas Kiara setelah meletakkan piringnya di mej
Di dalam sebuah rumah dengan sinar lampu temaram, seorang pria lengkap dengan setelan kantornya terlihat memasuki area dapur rumah itu. Argantara Pratama, meletakkan tasnya di atas meja makan lalu melepasnya jasnya. Suasana rumah terlihat sepi, karena ini sudah menunjukkan waktu pukul 10 malam. Istri dan anaknya pasti sudah tidur. Menggulung lengan kemeja hingga sebatas siku, lantas Arga pun berjalan menuju lemari pendingin itu. Mengambil satu botol air dingin, lalu menegukknya dengan cukup tergesa. Pria itu tampak letih. Terbukti dari satu satu botol air mineral yang ia teguk hingga habis. Bersamaan dengan habisnya air dalam botol, tiba-tiba saja lampu dapur pun menyala. Seorang perempuan menggunakan baju tidur berbahan satin dengan rambut disanggul asal itu tampak melipat tangannya di depan dada sembari menatap jenggah ke arah Arga. "Masih ingat jalan pulang?" Ujarnya terdengar seperti sebuah sindiran. "Apa sih, Ra? Aku lelah dan tak ingin berdebat." Balas Arga yang ikut t