Sebaik apa pun tujuannya, semua yang dilakukan atas dasar kebohongan itu nggak akan berkah.
-Sadena-***Sadena berdiri di koridor laboratorium IPA yang berada di lantai dua. Ia menengadah, menatap langit mendung dan berawan di atas sana. Sesekali Sadena menggosokan kedua tangannya guna menghalau rasa dingin.
Di koridor ini dia tidak sendiri. Ada murid-murid lain namun hanya beberapa, sisanya memilih untuk masuk ke dalam kelas atau berteduh di tempat lain. Ada juga yang sudah dijemput menggunakan mobil pribadi.
"Ba!" Seruan itu terdengar bersamaan tepukan keras di pundaknya.
Sadena tidak terkejut membuat Selin menghela napasnya dan berdiri di samping Sadena. Cewek itu tersenyum, memberikan cengiran khasnya.
<Pulang sekolah. Sadena mengintip di balik pohon rindang dekat pagar makam, cowok itu mampir karena tidak sengaja melihat mobil hitam dengan plat nomor persis seperti milik ayahnya terparkir di depan area makam. Dan ternyata benar, Dian sedang bersimpuh di depan sebuah makam. Menaburkan banyak kelopak bunga lalu kemudian berdoa. Sadena berbalik dan menyembunyikan diri ke semak-semak ketika Dian hendak beranjak pergi dari sana. Menahan napas sesaat Dian melangkah melewatinya. Setelah memastikan ayahnya itu benar-benar pergi. Sadena bergegas menghampiri makam yang tadi Dian kunjungi itu. Lalu membaca nama yang tertulis di nisannya. 'Hana Gisyella.' --Sadena-- Keesokan paginya. "YEAY KEMAH!!" Suara itu terdengar sepanjang lorong sekolah, bahkan sampai ke tel
"Telat lima menit," celetuk Sadena, menatap Selin yang baru saja sampai dengan berlari tergopoh-gopoh. "Lama amat. Pantes aja lo gue sebut, keong." "Enak aja. Ini karena Pak Marwan lama banget keluarnya, terus kaki gue terlalu pendek tauu." Selin menggerutu. Napasnya masih ngos-ngosan. "Baru nyadar?" tanya Sadena sambil memasang helmnya. Tersenyum kecut. Pulang sekolah ini, seperti rencana mereka pagi tadi, akan menyempatkan diri menjenguk Ankaa yang sedang sakit. "Au ah," Selin mengibaskan rambutnya, pongah. Greget. Ingin sekali rasanya menjejal mulut Sadena dengan seribu cabai paling pedas di muka bumi ini. Biar cowok itu tahu bahwa sepedas apa kata-katanya sampai menyakiti hati orang lain. "Yaudah cepet naik! Gue nggak suka buang-buang waktu," ujar Sadena yang telah menyalakan mesin motornya. Selin manyun tapi tetap menurut. Ia naik ke boncengan, sebelum kemudian memasang
Seminggu telah berlalu. Seperti yang di rencanakan, hari ini kelas XII mengadakan camping tahunan sekolah yang bertempat di bumi perkemahan Ranca Upas, Bandung, Jawa Barat. Sebab itu pagi-pagi sekali, Selin sudah bangun untuk bersiap-siap. Mengemas barang apa saja yang diperlukan untuk kebutuhannya selama tiga hari di sana. Pakaian cewek itu terkemas rapi di dalam tas jinjing besar berwarna hitam putih.  Sementara kebutuhan pokok seperti makanan dan minuman, Selin masukan ke dalam tas punggung berukuran sedang yang berwarna pink. "Selin, sudah siap?" tanya Kevin yang menunggu di lantai dasar. Selin yang sedang mengecek penampilan di cermin itu menjawab, "Sebentar lagi, Pah." Selesai bersiap, Selin segera menuruni tangga untuk menemui papanya. Lalu berpamitan dengan Raya. "Kamu hati-hati
Berapa lama pun waktunya, aku akan setia menunggu kamu menyadari perasaan itu. 🌺🌺🌺  Langkah cowok itu tepat berhenti di depan toilet perempuan. Dengan terpaksa ia memasuki toilet tersebut membuat penghuninya yang sedang bercermin menoleh dan membulatkan mata, kaget. Namun Sadena tidak pedulian. Ia justru bergerak cepat mencek semua bilik toilet. Dan hasilnya kosong. Tidak ada Selin di sana. Sadena mengacak rambutnya frustasi. Ia pun menatap deretan siswi di depan cermin itu yang juga menatapnya. "Liat cewek pake sweater pink masuk sini nggak?" tanya Sadena. Deretan siswi itu kontan menggeleng. Sadena mengangguk singkat dan segera beranjak pergi. Tetapi, beberapa la
"Sepi ya rumah kita?" ucap Aldevab yang melangkah menuruni tangga. Ia baru saja selesai mandi, handuk putih kecil melingkari lehernya. Mery yang asik nyemil sambil duduk di sofa itu menoleh. Tersenyum sekilas. Di depannya, TV besar menyala menampilkan drama Korea. "Iya. Kira-kira mereka udah sampai belum ya?" "Mungkin." Aldevan menjawab usai duduk di samping istrinya. Mengulurkan handuk kecil tadi. Lalu berkedip manja. "Keringin rambut aku dongg." Mery terkekeh sesaat namun tetap menurut, sebelum menerima handuk itu. Ia bersihkan dulu tangannya menggunakan tisu. "Manja banget sih kamu." "Kesempatan, mumpung si kembar nggak ada. Hehe." Aldevan nyengir. Mery mendengus geli. Tangannya mulai bergerak di puncak kepala Aldevan. "Aku kangen banget sama mereka. Kamu?" "Ya kangenlah. Aku kan bapaknya," jawab Aldevan. Ia mengusapi pipi Mery. "Nambah yang cewek yuk, Ry!"
Ucapan Sadena barusan benar-benar membuat Selin mati gaya. Bahkan masih kepikiran sampai sekarang. Dimana sekarang seharusnya ia mengistirahatkan diri usai melakukan kegiatan yang cukup menguras tenaga. Tapi cewek itu malah duduk menekuk lutut sambil memandang langit malam di luar tenda.  "Boleh gabung?" Seseorang dengan suaranya yang pelan bertanya. Selin menoleh, ditemukannya Marsha berdiri di belakangnya. "Boleh." Tanpa babibu lagi, Marsha langsung mendaratkan pantatnya di samping Selin. "Kenapa belum tidur?" tanya Marsha. Selin tersenyum sekilas. "Belum ngantuk. Hehe. Lo sendiri?" "Sama. Jam segini biasanya gue masih liat langit dari jendela kamar," jawab Marsha. Ia tersenyum, tidak kalah manis dari senyumnya Selin. "Ternyata lo suka liat langit juga ya? Apalagi kalau malem, banyak bintangnya
Selin kedinginan gara-gara Sadena, bibirnya gemetaran sampai sekarang. Selin bersumpah, ini rekor pertamanya mandi pukul setengah enam pagi. Satu jam lebih cepat dari biasanya. Kalaupun terpaksa, Selin pasti meminta air hangat dulu pada Raya. "Brrr shttt. Di-dingin bangett," cicit Selin terbata-bata. Khas orang kedinginan. Ia menunjuk wajah Sadena. "A-was yah. De-na. Shtt. Gu-e ba-les entar." Meskipun telah memakai tiga lapis baju, mulai dari tanktop, seragam olahraga yang berbahan tebal, hingga lapisan yang paling luar, sweaternya. Selin masih merasa kedinginan. Sadena mendengus geli. "Seger kali. Gue ngelakuin ini juga demi kebaikan lo. Supaya lo terbiasa mandi pagi. Dan asal lo tau, mandi waktu pagi itu bagus untuk kesehatan," jawab Sadena. "Makanya mulai dari sekarang lo harus nerapin itu." "Yang ada gue malah beku tauuu," gerutu Selin sambil memeluk lengannya. Ia duduk menekuk lutut sama seperti S
Perasaan itu harus disadari lebih cepat sebelum semuanya terlambat.🌺🌺🌺 Suara peluit terdengar sebanyak tiga kali. Itu artinya semua murid diminta berkumpul. Selin baru saja beringsut turun dari gazebo namun, Marsha menghampiri dan langsung menahan lengannya. Selin menoleh dan menatap cewek itu. "Kenapa, Sha?" "Lo udah ngelakuin apa yang gue minta?" tanya Marsha. Sebenarnya ragu. Takut Selin merasa terkekang karenanya. Tetapi, cewek itu justru tersenyum tipis dan mengangguk. "Udah, dan jawaban Dena tetap sama. Dia nggak mau ngasih tau gue alasannya." Marsha menghela napas. Sekali lagi ia merasa gagal. Menyadari raut Marsha berubah kecewa, Selin menyentuh pundak cewek itu. "Lo tenang aja. Gue bakal berusaha membujuk Dena. Nggak usah khawatir, oke?" Marsha mengangguki. Ia meras