"Lo harus bersikap baik ke semua cewek. Gimana?"
Ankaa yang masih anteng menguping memajukan sedikit kepalanya agar bisa mendengar apa yang kedua sahabatnya bicarakan.
"Lo masih waras nggak sih?" tanya Sadena, kemudian mengacak rambutnya, frustasi. "Gue nggak bisa."
Selin memiringkan kepalanya, heran. "Maksud lo permintaan gue nggak masuk akal?" Lalu berdecak beberapa kali. "Nggak bisanya itu dimana Dena? Lo cuma perlu bersikap sedikit lembut ke mereka. Ngomongnya jangan galak dan nggak usah ngegas. Terus sebelum ngomong itu difilter dulu supaya nggak nyakitin hati orang. Mudah, kan? Kan kan? Mau ya? Ya ya?" Kali ini Selin memasang wajah yang sangat melas. Kedua matanya seolah memancarkan sinar berwarna putih.
Sadena yang melihat itu b
Sesampainya di UKS Sadena cepat-cepat membaringkan tubuh Selin di brankar, mukanya panik bercampur bingung. Petugas PMR yang bertugas pun tidak membuang waktu lagi, ia lantas menghampiri Selin dan bertanya pada Sadena. Cowok itu berdiri di samping brankarnya. "Dia sakit apa?" "Kena bola," jawab Sadena ketus seperti biasa. Namun tidak untuk kepanikan di wajahnya yang begitu kentara. "Cepet kasih obat." Petugas PMR itu menggeleng sambil menempelkan punggung tangan ke dahi Selin. "Nggak bisa. Paling cuma dikasih balsem atau minyak kayu putih." "Yaudah cepet kasih. Ribet amat pake mikir segala," perintah Sadena, perasaan cowok itu makin tidak karuan. Mendengar ketegasan dari cowok itu, Dinda-- petugas PMR itu bergegas mengambil balsem dari nakas obat, lalu kembali lagi untuk mengoleskan balsem tersebut ke tengkuk dan belakang telinga Selin sambil memijatnya perlahan.
Sebaik apa pun tujuannya, semua yang dilakukan atas dasar kebohongan itu nggak akan berkah.-Sadena-***Sore ini, hujan deras mengguyur kota Bandung. Tepatnya ketika semua murid diperbolehkan pulang ke rumah masing-masing.Sadena berdiri di koridor laboratorium IPA yang berada di lantai dua. Ia menengadah, menatap langit mendung dan berawan di atas sana. Sesekali Sadena menggosokan kedua tangannya guna menghalau rasa dingin.Di koridor ini dia tidak sendiri. Ada murid-murid lain namun hanya beberapa, sisanya memilih untuk masuk ke dalam kelas atau berteduh di tempat lain. Ada juga yang sudah dijemput menggunakan mobil pribadi."Ba!" Seruan itu terdengar bersamaan tepukan keras di pundaknya.Sadena tidak terkejut membuat Selin menghela napasnya dan berdiri di samping Sadena. Cewek itu tersenyum, memberikan cengiran khasnya.
Pulang sekolah. Sadena mengintip di balik pohon rindang dekat pagar makam, cowok itu mampir karena tidak sengaja melihat mobil hitam dengan plat nomor persis seperti milik ayahnya terparkir di depan area makam. Dan ternyata benar, Dian sedang bersimpuh di depan sebuah makam. Menaburkan banyak kelopak bunga lalu kemudian berdoa. Sadena berbalik dan menyembunyikan diri ke semak-semak ketika Dian hendak beranjak pergi dari sana. Menahan napas sesaat Dian melangkah melewatinya. Setelah memastikan ayahnya itu benar-benar pergi. Sadena bergegas menghampiri makam yang tadi Dian kunjungi itu. Lalu membaca nama yang tertulis di nisannya. 'Hana Gisyella.' --Sadena-- Keesokan paginya. "YEAY KEMAH!!" Suara itu terdengar sepanjang lorong sekolah, bahkan sampai ke tel
"Telat lima menit," celetuk Sadena, menatap Selin yang baru saja sampai dengan berlari tergopoh-gopoh. "Lama amat. Pantes aja lo gue sebut, keong." "Enak aja. Ini karena Pak Marwan lama banget keluarnya, terus kaki gue terlalu pendek tauu." Selin menggerutu. Napasnya masih ngos-ngosan. "Baru nyadar?" tanya Sadena sambil memasang helmnya. Tersenyum kecut. Pulang sekolah ini, seperti rencana mereka pagi tadi, akan menyempatkan diri menjenguk Ankaa yang sedang sakit. "Au ah," Selin mengibaskan rambutnya, pongah. Greget. Ingin sekali rasanya menjejal mulut Sadena dengan seribu cabai paling pedas di muka bumi ini. Biar cowok itu tahu bahwa sepedas apa kata-katanya sampai menyakiti hati orang lain. "Yaudah cepet naik! Gue nggak suka buang-buang waktu," ujar Sadena yang telah menyalakan mesin motornya. Selin manyun tapi tetap menurut. Ia naik ke boncengan, sebelum kemudian memasang
Seminggu telah berlalu. Seperti yang di rencanakan, hari ini kelas XII mengadakan camping tahunan sekolah yang bertempat di bumi perkemahan Ranca Upas, Bandung, Jawa Barat. Sebab itu pagi-pagi sekali, Selin sudah bangun untuk bersiap-siap. Mengemas barang apa saja yang diperlukan untuk kebutuhannya selama tiga hari di sana. Pakaian cewek itu terkemas rapi di dalam tas jinjing besar berwarna hitam putih.  Sementara kebutuhan pokok seperti makanan dan minuman, Selin masukan ke dalam tas punggung berukuran sedang yang berwarna pink. "Selin, sudah siap?" tanya Kevin yang menunggu di lantai dasar. Selin yang sedang mengecek penampilan di cermin itu menjawab, "Sebentar lagi, Pah." Selesai bersiap, Selin segera menuruni tangga untuk menemui papanya. Lalu berpamitan dengan Raya. "Kamu hati-hati
Berapa lama pun waktunya, aku akan setia menunggu kamu menyadari perasaan itu. 🌺🌺🌺  Langkah cowok itu tepat berhenti di depan toilet perempuan. Dengan terpaksa ia memasuki toilet tersebut membuat penghuninya yang sedang bercermin menoleh dan membulatkan mata, kaget. Namun Sadena tidak pedulian. Ia justru bergerak cepat mencek semua bilik toilet. Dan hasilnya kosong. Tidak ada Selin di sana. Sadena mengacak rambutnya frustasi. Ia pun menatap deretan siswi di depan cermin itu yang juga menatapnya. "Liat cewek pake sweater pink masuk sini nggak?" tanya Sadena. Deretan siswi itu kontan menggeleng. Sadena mengangguk singkat dan segera beranjak pergi. Tetapi, beberapa la
"Sepi ya rumah kita?" ucap Aldevab yang melangkah menuruni tangga. Ia baru saja selesai mandi, handuk putih kecil melingkari lehernya. Mery yang asik nyemil sambil duduk di sofa itu menoleh. Tersenyum sekilas. Di depannya, TV besar menyala menampilkan drama Korea. "Iya. Kira-kira mereka udah sampai belum ya?" "Mungkin." Aldevan menjawab usai duduk di samping istrinya. Mengulurkan handuk kecil tadi. Lalu berkedip manja. "Keringin rambut aku dongg." Mery terkekeh sesaat namun tetap menurut, sebelum menerima handuk itu. Ia bersihkan dulu tangannya menggunakan tisu. "Manja banget sih kamu." "Kesempatan, mumpung si kembar nggak ada. Hehe." Aldevan nyengir. Mery mendengus geli. Tangannya mulai bergerak di puncak kepala Aldevan. "Aku kangen banget sama mereka. Kamu?" "Ya kangenlah. Aku kan bapaknya," jawab Aldevan. Ia mengusapi pipi Mery. "Nambah yang cewek yuk, Ry!"
Ucapan Sadena barusan benar-benar membuat Selin mati gaya. Bahkan masih kepikiran sampai sekarang. Dimana sekarang seharusnya ia mengistirahatkan diri usai melakukan kegiatan yang cukup menguras tenaga. Tapi cewek itu malah duduk menekuk lutut sambil memandang langit malam di luar tenda.  "Boleh gabung?" Seseorang dengan suaranya yang pelan bertanya. Selin menoleh, ditemukannya Marsha berdiri di belakangnya. "Boleh." Tanpa babibu lagi, Marsha langsung mendaratkan pantatnya di samping Selin. "Kenapa belum tidur?" tanya Marsha. Selin tersenyum sekilas. "Belum ngantuk. Hehe. Lo sendiri?" "Sama. Jam segini biasanya gue masih liat langit dari jendela kamar," jawab Marsha. Ia tersenyum, tidak kalah manis dari senyumnya Selin. "Ternyata lo suka liat langit juga ya? Apalagi kalau malem, banyak bintangnya