Warning.. Bab ini mengandung tema kekerasan, harap pembaca menyikapinya dengan bijak...
Nalan yang hendak menusukkan pisau ke tubuh Isan, mendadak bangun dan melihat wajah asli lelaki itu."Kamu!" sentak Isan langsung menggulingkan tubuhnya menjauh dari Nalan.Nalan menyeringai, "Kau tak akan hidup."
"Ck! Dari awal aku sudah menduga, kaulah dalang dibalik kematian semua orang penting di kota ini."
"Sayangnya, kau tidak punya bukti apapun. Begitu juga malam ini," ujar Nalan santai sembari mendekati perlahan Isan yang berada disebrang ranjang."Jadi, kau pembunuh kelas kakap berkedok CEO di Future?" tanya Isan dengan sorotan mata tajam.
"Jawabanmu tepat sekali," jawab Nalan senyum licik.<Seon anak kedua dari keluarga konglomerat di negara tetangga, kakaknya Isan sangat menyayangi sang adik meski jarak usia mereka cukup jauh, 7 tahun.Suatu ketika, di usia 3 tahun. Keluarga Seon mengunjungi bisnis mereka di kota Himalaya, sembari membawa kedua anaknya berlibur di kota tersebut.Bisnis tersebut hotel Hamers yang kala itu masih belum mencapai yang paling termahal di Himalaya. Restoran Huaka, bisnis kedua mereka. Masih bertahan hingga sekarang, karena di kelola oleh Isan. Dia yang dulunya tak ingin mengambil alih bisnis keluarga, karena ingin menjadi seorang penegak hukum.Namun, kehilangan Seon selama bertahun-tahun membuatnya terpaksa mengambil alih bisnis yang harusnya menjadi milik adiknya.Saat itu, kecerobohan Isan membawa adiknya jalan di tengah keramaian kota Himalaya tanpa didampingi anak buah ayahnya. Usianya kala itu
Seon teringat akan masa lalu, masa ia terpisah dengan sang kakak. Lalu, di temukan oleh ibu Mayra, hingga di adopsi sampai dewasa.Amara dan Fero yang menikah 5 tahun, tak kunjung diberi momongan. Namun, 2 tahun mengadopsi Seon, wanita itu dinyatakan hamil.Hidup mereka berubah sejak kehadiran Seon, mulai dari kelahiran Mayra dan ekonomi keduanya menanjak. Fero dan Amara tak membedakan antara kandung dan angkat, bagi mereka semuanya sama. Kasih sayang dan perhatian, pendidikan dan hal lainnya tetap di dapat lelaki itu.Seon tumbuh di lingkungan terbaik, bahkan sangat menyayangi adiknya. Namun, lambat laun Mayra yang semakin tumbuh besar, perasaan adik itu berubah menjadi antar lawan jenis.Hingga suatu hari, tepat diusia 17 tahun, Seon mengungkapkan perasaannya melalui Amara dan Fero."Mah, Pah, ada yang ingin kukatakan pada kal
Kapalan tangan Seon sangat erat, giginya gemelatuk. Bersamaan hujan menghapus air matanya, ia masih duduk sembari memeluk nisan sang kakak. Entah bagaimana ia harus melanjutkan hidup tanpa Isan lagi?Meski sudah terbiasa hidup di kelurga Amara, tapi ia belum puas membalas rindu yang telah bertahun-tahun disimpan dalam dadanya. Kini, Seon benar-benar hidup sebatang kara dengan harta yang melimpah, orang tuanya telah meninggal sejak 10 tahun yang lalu.Meninggal dalam sebuah kecelakaan, setelah turun dari bandara. Mobil yang di kendarai keduanya, rem blong dan menghantam sebuah truk besar yang ada di depannya.Isan pernah berkata padanya saat mereka telah bertemu, "Seon, kakak curiga kematian kedua orang tua kita sangatlah tak wajar.""Maksud kakak apa?" tanya Seon bingung. Dia tak paham dengan dunia Isan, meski menguasai bisnis dan menjadi
Kapalan tangan Seon sangat erat, giginya gemelatuk. Bersamaan hujan menghapus air matanya, ia masih duduk sembari memeluk nisan sang kakak. Entah bagaimana ia harus melanjutkan hidup tanpa Isan lagi?Meski sudah terbiasa hidup di kelurga Amara, tapi ia belum puas membalas rindu yang telah bertahun-tahun disimpan dalam dadanya. Kini, Seon benar-benar hidup sebatang kara dengan harta yang melimpah, orang tuanya telah meninggal sejak 10 tahun yang lalu.Meninggal dalam sebuah kecelakaan, setelah turun dari bandara. Mobil yang di kendarai keduanya, rem blong dan menghantam sebuah truk besar yang ada di depannya.Isan pernah berkata padanya saat mereka telah bertemu, "Seon, kakak curiga kematian kedua orang tua kita sangatlah tak wajar.""Maksud kakak apa?" tanya Seon bingung. Dia tak paham dengan dunia Isan, meski menguasai bisnis dan menjadi
Sebelum tiga puluh menit, lelaki itu keluar dengan wajah yang terlihat segar dan gagah seperti biasanya. Amara sangat senang melihat Seon telah kembali lagi seperti dulu."Jadi, ngga kita keluar?" tanya Seon datar."Datar amat, Kak," tegur Mayra sewot."Ya, udah aku masuk kembali," kata Seon sembari membalikkan badan, tapi di cegat Mayra dengan menarik lengannya."Bawa perasaan amat, sih Kak. Aku kan bercanda.""Ya, ayo!" ajak Seon tanpa mengubah ekspresinya.Meski masih dirundung masa berkabung, tapi Seon mencoba untuk tidak menampakkan hal itu pada Mayra. Terlebih, ia sangat senang tatkala sang adik ingin menemani dirinya sampai hatinya membaik.Amara sangat tahu apa yang sangat dibutuhkannya, tentu saja putri semata
"Kak, kamu!" Mata Mayra membulat sembari memegangi bibirnya. Seon meringis kesakitan.Seon menyadari tatapan aneh dari Mayra merasa tak enak sudah berlaku seperti itu padanya. Haruskah ia mengakui semuanya malam ini?"A-aku...," Seon tak mampu melanjutkan perkataannya. Jarak di antara mereka cukup jauh, Mayra secepat kilat menghindar agar tak terjadi hal lebih lagi."Gila kamu, Kak!" seru Mayra tak percaya. Antara syok dan bingung yang menghampirinya saat ini."Ma-maaf! Aku benar-benar kalut," ujar Seon dengan perasaan yang sulit di artikan. Perasaan yang menyatu sekaligus, canggung, bersalah dan malu."Kalut sih kalut, aku paham kakak lagi patah hati. Jadi, sad boy karena cinta, tapi masa adikmu sendiri pelampiasan kerinduanmu,," papar Mayra dengan mimik wajah polos.
Keesokan paginya, mereka pulang setelah sarapan. Mayra masih memajang wajah cemberut dan Seon masih enggan menatap wajah gadis itu.Ciuman pertamanya teramat berkesan, meski dilakukan unsur ketidaksengajaan. Namun, Seon tidak akan bisa melupakan hal itu seumur hidup.Meski bagi Mayra ciuman semalam, diartikan sebagai hal wajar saat patah hati. Seon sendiri memang jelas memikirkan gadis yang duduk di sebelahnya. Namun, dia bersyukur dengan kepolosan sang adik yang masih belum curiga padanya.Dalam perjalanan segalanya hening, Seon juga tak mampu memecah keheningan seperti biasanya. Malu dan sedih, dua hal yang masih berpadu dalam hatinya. Hingga sikapnya dingin pada Mayra untuk menutupi kesalahan semalam.Setelah tiba di rumah Amara, sebelum pulang Mayra sempat mengobrol sedikit pada Seon.
"Aku tetap pemenangnya," kata Serra menekankan seraya bangkit dari kursi dengan senyuman licik. Beranjak pergi dari meja gadis itu, tapi sebelum melangkah jauh. Mayra mengatakan hal yang dibuatnya tertegun."Sayangnya kemenanganmu hanya di hatinya, bukan dalam ikatan yang sah. Lantas, apa yang harus dibanggakan dari kemenanganmu? Setidaknya yang sah lebih bertamabat," balas Mayra acuh sembari meneguk air dalam gelas tanpa menoleh.Serra membeliak dan membalikkan kepalanya, tapi Mayra membelakangi wanita itu. Dia sudah yakin wajahnya pasti merah padam."Kamu tunggu saja," ancam Serra segera berlalu meninggalkan Mayra yang tak beranjak dan reaksi santai. Seakan tidak perlu takut dengan ancaman.*****Beberapa hari setelah pertemuannya dengan Serra, gadis itu tak pernah melihat lagi Nalan pulang ke apartemen
Setelah mendengar kabar kematian Mayra, sang Ibu pun syok hingga membuatnya terkena serangan jantung mendadak. Amara dinyatakan meninggal saat tiba di rumah sakit, makin terpuruklah Seon.Sean yang masih berada dalam pengawasan psikolog, karena trauma berat dialami bocah berusia 3 tahun itu. Nalan memilih untuk menyerahkan diri ke polisi, membayar semua penyesalan terhadap Mayra.Seon saat itu tahu dan menolak keputusan Nalan, berusaha untuk mencegat. Sebab, masih ada Sean yang sangat membutuhkan sosok ayahnya."Aku akan melupakan dendam itu, jangan menyerahkan dirimu ke polisi. Kau harus memikirkan Sean," cegat Seon. Dipikirannya memang hanya Sean, tak ada keluarga. Amara yang dimiliki pun harus pergi untuk selamanya."Justru Sean akan berada di tangan yang tepat bersamamu, aku punya banyak musuh Seon." Nalan menerangkan
"Nalan!" seru mereka serempak."Mark aku tahu sekarang alasanmu membuat drama dalam hidupku, lepaskan mereka yang tidak bersalah. Urusanmu padaku," kata Nalan menatap tajam Mark dengan dada kembang kempis."Tidak semudah itu, Arback bawa mereka kemari," titah Mark menggunakan jarinya. Musuh yang teramat dibenci telah muncul, ia ingin nyawa Nalan."Lantas, kau mau apa?" tanya Nalan geram."Seon, bagaimana tawaranku tadi? Jika, kau bersedia. Maka aku akan melepaskan Mayra dan Sean," ujar Mark beralih ke Seon yang sedang menunduk.Dari pintu lain, terdengar suara Sean yang menangis dan Mayra meronta."Lepaskan, putraku!" seru Mayra memberontak. Namun, laki-laki yang memegangi sangatlah kuat."Mama! Tolong aku!"
Sejak tahu Isan tewas dalam keadaan tidak wajar, Seon memang berniat ingin balas dendam pada orang yang telah menghilangkan nyawa kakaknya. Namun, hal tak disangka pelaku pembunuhan adalah Nalan.Dia berpikir keras, jika membalaskan dendam tersebut. Maka, Mayra akan curiga dan bisa jadi hubungan mereka yang akan rusak. Tapi, di sisi lain Sean dan ibunya sedang membutuhkan pertolongan. Seorang diri di tempat ini, tanpa siapapun bisa menolong. Seon menjadi buntu."Tidakkah kau dendam pada Nalan? Hanya dengan membunuhnya, maka tidak ada penghalang lagi antara kau dan Mayra," bujuk Mark meracuni pikiran Seon yang masih saja terdiam.Tentu saja dia dendam dan sangat marah, tapi Seon tidak mau seegois itu. Demi mendapatkan cinta Mayra dan Sean, sampai mengorbankan perasaan putra angkatnya. Bocah itu pasti tidak akan mau menerima dirinya.
"Papa, Ayah, kita main bola bertiga!" seru Sean riang. Mereka berempat ada di taman bermain yang tak jauh dari apartemen Nalan. Mayra menatap ketiganya dengan senyum kebahagiaan, itulah harapan terbesar seorang ibu menginginkan bahagia untuk anak-anaknya.Seon dan Nalan sementara berbaikan, semua dilakukan demi Sean. Bocah itu memang mudah membuat orang dewasa menjadi akur."Papa dan Ayah satu tim," titah Sean. Mayra tertawa mendengar hal itu."Apa? Kami setim? Lalu, kau?" tanya Nalan heran."Bagaimana ajak, Mama? Biar timnya adil," usul Seon."Tidak!" tolak Sean menggeleng. "Mama, lambat," selorohnya membuat Mayra manyun seketika. Nalan dan Seon terkekeh, mereka tidak berani tertawa besar di depan ibu satu anak itu."Beraninya
"Bisakah, kalian ikut aku kembali? Kau berhutang penjelasan padaku," pinta Nalan pada Mayra, Sean masih tenang dalam gendongan lelaki berperawakan maskulin itu.Mayra melirik Seon sejenak, meminta izin pada sang Kakak untuk membawa Sean. Bagaimanapun, ia masih menghargai orang yang paling berjasa dalam hidup putranya."Pergilah!" angguk Seon mengulas senyum getir."Ayah, kenapa tidak ikut dengan kami?" Sean menatap heran pada Seon."Ini...," Mayra sedikit bingung menjelaskan.Seon mendekati Sean seraya menyunggingkan senyum manis pada putra angkatnya, tanpa ragu lelaki bertubuh tegap itu mengusap kepala di depan Nalan."Pergilah menghabiskan waktu dengan Papamu, nanti Ayah akan menemuimu jika kau merindukanku," tutur Seon. "Jangan nakal, nurutla
Nalan membawa Mayra kembali ke apartemen yang pernah mereka tempati dahulunya. Membawa masuk ke kamar di pakai tidur.Mayra tertegun saat melihat isi kamar tersebut dipenuhi fotonya. Segitu, besarkah perubahan Nalan selama tinggal di negara tetangga."Ap-apa ini, Nalan?" Mayra masih mendongak melihat sekeliling dinding kamar.Nalan menatap nanar ke arah istrinya, kejutan ini telah lama disiapkan untuk Mayra. Foto-foto itu menggambarkan isi hatinya, merindukan sang Istri dan penyesalan yang teramat dalam saat mereka berpisah."Apartemen ini sejak awal milikmu, kamar ini adalah saksi kita bercumbu, tidak mungkin aku melepaskan begitu saja, bukan?" Nalan meraih jari jemari Mayra dan mencium tangannya dengan lembut. Dia berjanji akan melakukan hal romantis setiap hari dan membahagiakan istrinya.
"Saya permisi keluar dulu," pamit Hans secepat kilat.Mayra termangu di tempat, tak sanggup menahan gejolak dalam dirinya. Sehingga, menundukkan kepala untuk menyembunyikan air matanya. Debaran di dada sangat sulit dikontrol, semakin cepat tatkala Nalan berjalan ke arahnya.Nalan mendekat secara pelan, ada bulir di matanya yang jatuh membasahi pipi. Betapa sangat tersiksa rindu yang tertahan beberapa tahun ini, wanita yang paling ingin di dekapnya telah muncul sekian lama pencarian.Nalan tepat berada di depannya, memegangi dagu Mayra agar bisa menatap dengan jarak dekat. Dia sangat bahagia setelah memastikan wanita tersebut adalah istri yang disia-siakan selama ini."Kau menangis?" tanya Nalan lembut.Mayra terhenyak, untuk pertama kali ia mendengar Nalan berkata lembut pa
"May!" Seon memanggil adiknya yang sedang merenung, menanti jawaban."Em, ya! Kakak tadi bilang apa?" tanya Mayra linglung."Tidak usah pikirkan, jangan melamun terus," tutur Seon mengulas senyum. Mayra mengangguk."Mah, Papa kandung Sean orangnya seperti apa? Dia jahat ngga? Aku takut ketemu," ujarnya dengan wajah cemas. Seon dan Mayra berbalik sejenak menatap bocah menggemaskan tersebut dengan heran.Mereka bertiga saling pandang, bingung untuk menjawab. Anak sekecil Sean memang sangat cepat memahami setelah dijelaskan beberapa hari lalu tentang Nalan."Bagaimana kalau Papa kandung, Sean tak menyukaiku? Kita pulang saja, tidak masalah Ayah Seon menjadi ayahku saja, sudah cukup, Mah, Nek." Sekali lagi ucapan kecil yang keluar dari mulutnya membuat ketiga orang itu terhenyak.&nbs
Tiga tahun kemudian...."Sean, ayo sini peluk Ayah Seon," panggilnya sambil melebarkan kedua tangan dan menyamai ukuran tubuh bocah berusia tiga tahun itu."Ayah sudah pulang." Sean menyambut penuh keceriaan sambil berlari menghampiri Seon.Bocah berperawakan menggemaskan tersebut melompat ke dalam dekapan lelaki yang amat disayanginya.Mayra yang melihat pemandangan indah keduanya menjadi sangat haru, Sean tidak kekurangan kasih sayang dari sosok ayah atas adanya Seon. Semua tercurah untuk bocah lelaki yang sudah dianggap anak kandung sendiri. Saking sayangnya, kadang sang Kakak kelewatan dalam memanjakan."Bagaimana hari ini? Apa Ayah lelah?" tanya Sean bertubi-tubi. Kini, tubuh kecilnya sudah berada dalam gendongan Seon."Mau tahu?" Seon bertanya balik semba