"Kak, kamu!" Mata Mayra membulat sembari memegangi bibirnya. Seon meringis kesakitan.
Seon menyadari tatapan aneh dari Mayra merasa tak enak sudah berlaku seperti itu padanya. Haruskah ia mengakui semuanya malam ini?
"A-aku...," Seon tak mampu melanjutkan perkataannya. Jarak di antara mereka cukup jauh, Mayra secepat kilat menghindar agar tak terjadi hal lebih lagi."Gila kamu, Kak!" seru Mayra tak percaya. Antara syok dan bingung yang menghampirinya saat ini."Ma-maaf! Aku benar-benar kalut," ujar Seon dengan perasaan yang sulit di artikan. Perasaan yang menyatu sekaligus, canggung, bersalah dan malu."Kalut sih kalut, aku paham kakak lagi patah hati. Jadi, sad boy karena cinta, tapi masa adikmu sendiri pelampiasan kerinduanmu,," papar Mayra dengan mimik wajah polos.<Keesokan paginya, mereka pulang setelah sarapan. Mayra masih memajang wajah cemberut dan Seon masih enggan menatap wajah gadis itu.Ciuman pertamanya teramat berkesan, meski dilakukan unsur ketidaksengajaan. Namun, Seon tidak akan bisa melupakan hal itu seumur hidup.Meski bagi Mayra ciuman semalam, diartikan sebagai hal wajar saat patah hati. Seon sendiri memang jelas memikirkan gadis yang duduk di sebelahnya. Namun, dia bersyukur dengan kepolosan sang adik yang masih belum curiga padanya.Dalam perjalanan segalanya hening, Seon juga tak mampu memecah keheningan seperti biasanya. Malu dan sedih, dua hal yang masih berpadu dalam hatinya. Hingga sikapnya dingin pada Mayra untuk menutupi kesalahan semalam.Setelah tiba di rumah Amara, sebelum pulang Mayra sempat mengobrol sedikit pada Seon.
"Aku tetap pemenangnya," kata Serra menekankan seraya bangkit dari kursi dengan senyuman licik. Beranjak pergi dari meja gadis itu, tapi sebelum melangkah jauh. Mayra mengatakan hal yang dibuatnya tertegun."Sayangnya kemenanganmu hanya di hatinya, bukan dalam ikatan yang sah. Lantas, apa yang harus dibanggakan dari kemenanganmu? Setidaknya yang sah lebih bertamabat," balas Mayra acuh sembari meneguk air dalam gelas tanpa menoleh.Serra membeliak dan membalikkan kepalanya, tapi Mayra membelakangi wanita itu. Dia sudah yakin wajahnya pasti merah padam."Kamu tunggu saja," ancam Serra segera berlalu meninggalkan Mayra yang tak beranjak dan reaksi santai. Seakan tidak perlu takut dengan ancaman.*****Beberapa hari setelah pertemuannya dengan Serra, gadis itu tak pernah melihat lagi Nalan pulang ke apartemen
Desiran dalam dada mulai tak karuan, perasaan yang pertama kali dirasakan. Bahkan, irama detak jantung yang tak senada ini cukup mengganggu dalam pikiran dan hati Bryan.Tak pernah sama sekali ia merasakan detak jantung sehebat ini kala bertemu lawan jenis, hidupnya hanya terkungkung dalam cinta sang ibunda. Namun, hari ini yang terus terlintas dalam benaknya yaitu Mayra.Gadis yang awalnya Bryan bantu, karena merasa kasihan. Sorot mata yang selalu menampakkan kesedihan dan luka yang tersirat jelas dalam kedua bolat matanya.Pandangan mata yang saling tatap secara tak sengaja tadi, menampakkan perasaan yang seolah berbeda dari biasanya. Pertama kali tangannya sendiri menyentuh seorang perempuan, kecuali sang ibu."Perasaan apa ini?" gumam Bryan sembari memegangi dadanya yang terus saja berdegup kenca
"Dari mana saja kau?" tanya Nalan menatap nyalang Mayra saat membuka pintu apartemen, terlebih lagi melihat siapa yang bersama istrinya. Amarah lelaki itu memuncak."Aku...," Mayra terhenti tatkala melihat ke arah Bryan. Ia sedikit cemas dengannya, takut kalau sang suami melakukan hal kejam pada dia."Ck! Setelah kau merebut kekasihku, sekarang istriku," decak Nalan sinis.Mayra tertunduk dengan linangan air mata, Bryan melihat hal itu menjadi sangat sedih. Dia tak mempedulikan ucapan Nalan sama sekali, dirinya fokus untuk menenangkan gadis itu."Jangan menangis, kau harus paham dengan sifatnya yang seperti itu," lirih Bryan mengulum senyum saat Mayra mendongak kepadanya."Pulanglah, kak Bay! Aku tidak ingin mendengar kata-kata menyakitkan keluar dari bibirn
Darah Bryan mendidih, tersirat guratan amarah tatkala mengobati lengan Mayra yang memar. Sungguh, Nalan lelaki tega melakukan hal keji pada istrinya sendiri. Meski tak menyukai gadis itu, tak harus mengasari.Ditambah lagi, Mayra yang dari tadi meringis kesakitan ketika Bryan memberi alkohol menggunakan kapas.Cengkraman Nalan memang sungguh kuat, hampir meremukkan tulang. Namun, dibanding sakit pada lengan, hatinya lebih remuk lagi."Aku antar ke dokter saja, ya May," saran Bryan menatap serius memar itu. Dia nampak khawatir dengan bagian dalam yang memar, bagaimanapun tangan Nalan berotot. Mencengkram lengan yang perempuan sangat membahayakan."Tidak perlu, kak Bay!" tolak Mayra secepat kilat. Meski terasa sakit, tapi ia yakin hanya memar dan bengkak saja.
Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, Bryan dan Mayra tiba di hotel Guala yang berada di tengah-tengah kota Utara. Hotel termegah dengan nuansa gaya eropa.Bryan memesan dua kamar bersebelahan dengan Mayra, awalnya gadis itu ingin sendiri membayar kamarnya. Namun, ditolak."Biar aku bayar sendiri saja, kak Bay." Mayra mengeluarkan kartu debit miliknya dari dalam tas."Tidak perlu, aku bayar sampai 4 hari ke depan. Sisanya, jika kamu masih ingin tinggal di sini, bayarlah sendiri." Bryan bertutur halus saat menolak."Tidak enak, kak Bay sejak di perjalanan uangmu terus terpakai." Mayra tidak enak menerima kebaikan Bryan, ini akan menjadi hutang yang tak dapat dibayarnya nanti."Jangan khawatir, bagaimanapun harga diri lelaki itu mengeluarkan uang untuk setiap perempuan ya
Empat hari pencarian Nalan atas kepergian Mayra, lelaki itu nampak gusar dan kehilangan akal. Dia sudah mencari berhari-hari disetiap sudut kota Himalaya, mengerahkan seluruh anak buahnya untuk menemukan sang istri. Namun, gadis itu tak menunjukkan tanda-tanda keberadaannya sama sekali.Bak ditelan bumi setelah kejadian itu, Mayra menghilang. Bahkan Bryan yang dihubunginya pun mengaku tak tahu."Aku memang bersamanya hari di mana kau menyakitinya, tapi setelah itu aku meninggalkannya di pelataran parkir apartemenmu. Dia menolak untuk kuantar pulang ke rumah Seon," kilah Bryan saat menerima telepon dari Nalan."Tidak mungkin kau tidak tahu!" sentak Nalan tak percaya begitu saja. Ia yakin jika Mayra bersama Bryan, tapi dari hasil penyelidikannya mobil sahabatnya itu selalu terparkir di kantornya.
Nalan menyerobot masuk ke dalam kamar hotel tanpa diizinkan masuk, Mayra bergeming menunduk sembari mengepalkan tangan."Mau apa lagi, dia?" batin Mayra bertanya.Nalan berjalan mendekat, menutup pintu dengan rapat. Dia menarik istrinya ke tembok dan menekan tubuhnya.Mayra terperanjat, ditatapnya mata Nalan yang penuh dengan amarah. Wajah mereka sangat dekat, hingga lelaki itu tanpa pikir panjang langsung mencium sang istri. Gadis itu membeliak tak percaya.Berusaha mendorong sekuat tenaga, tapi tubuh Nalan sangat kuat dan tak bisa membuatnya menjauh."Seberapa lama kau mencoba sembunyi?" tanya Nalan seraya melepaskan ciumannya. Mayra memalingkan wajahnya, ia tak ingin melihat lelaki itu. Memilih bungkam.Nalan men
Setelah mendengar kabar kematian Mayra, sang Ibu pun syok hingga membuatnya terkena serangan jantung mendadak. Amara dinyatakan meninggal saat tiba di rumah sakit, makin terpuruklah Seon.Sean yang masih berada dalam pengawasan psikolog, karena trauma berat dialami bocah berusia 3 tahun itu. Nalan memilih untuk menyerahkan diri ke polisi, membayar semua penyesalan terhadap Mayra.Seon saat itu tahu dan menolak keputusan Nalan, berusaha untuk mencegat. Sebab, masih ada Sean yang sangat membutuhkan sosok ayahnya."Aku akan melupakan dendam itu, jangan menyerahkan dirimu ke polisi. Kau harus memikirkan Sean," cegat Seon. Dipikirannya memang hanya Sean, tak ada keluarga. Amara yang dimiliki pun harus pergi untuk selamanya."Justru Sean akan berada di tangan yang tepat bersamamu, aku punya banyak musuh Seon." Nalan menerangkan
"Nalan!" seru mereka serempak."Mark aku tahu sekarang alasanmu membuat drama dalam hidupku, lepaskan mereka yang tidak bersalah. Urusanmu padaku," kata Nalan menatap tajam Mark dengan dada kembang kempis."Tidak semudah itu, Arback bawa mereka kemari," titah Mark menggunakan jarinya. Musuh yang teramat dibenci telah muncul, ia ingin nyawa Nalan."Lantas, kau mau apa?" tanya Nalan geram."Seon, bagaimana tawaranku tadi? Jika, kau bersedia. Maka aku akan melepaskan Mayra dan Sean," ujar Mark beralih ke Seon yang sedang menunduk.Dari pintu lain, terdengar suara Sean yang menangis dan Mayra meronta."Lepaskan, putraku!" seru Mayra memberontak. Namun, laki-laki yang memegangi sangatlah kuat."Mama! Tolong aku!"
Sejak tahu Isan tewas dalam keadaan tidak wajar, Seon memang berniat ingin balas dendam pada orang yang telah menghilangkan nyawa kakaknya. Namun, hal tak disangka pelaku pembunuhan adalah Nalan.Dia berpikir keras, jika membalaskan dendam tersebut. Maka, Mayra akan curiga dan bisa jadi hubungan mereka yang akan rusak. Tapi, di sisi lain Sean dan ibunya sedang membutuhkan pertolongan. Seorang diri di tempat ini, tanpa siapapun bisa menolong. Seon menjadi buntu."Tidakkah kau dendam pada Nalan? Hanya dengan membunuhnya, maka tidak ada penghalang lagi antara kau dan Mayra," bujuk Mark meracuni pikiran Seon yang masih saja terdiam.Tentu saja dia dendam dan sangat marah, tapi Seon tidak mau seegois itu. Demi mendapatkan cinta Mayra dan Sean, sampai mengorbankan perasaan putra angkatnya. Bocah itu pasti tidak akan mau menerima dirinya.
"Papa, Ayah, kita main bola bertiga!" seru Sean riang. Mereka berempat ada di taman bermain yang tak jauh dari apartemen Nalan. Mayra menatap ketiganya dengan senyum kebahagiaan, itulah harapan terbesar seorang ibu menginginkan bahagia untuk anak-anaknya.Seon dan Nalan sementara berbaikan, semua dilakukan demi Sean. Bocah itu memang mudah membuat orang dewasa menjadi akur."Papa dan Ayah satu tim," titah Sean. Mayra tertawa mendengar hal itu."Apa? Kami setim? Lalu, kau?" tanya Nalan heran."Bagaimana ajak, Mama? Biar timnya adil," usul Seon."Tidak!" tolak Sean menggeleng. "Mama, lambat," selorohnya membuat Mayra manyun seketika. Nalan dan Seon terkekeh, mereka tidak berani tertawa besar di depan ibu satu anak itu."Beraninya
"Bisakah, kalian ikut aku kembali? Kau berhutang penjelasan padaku," pinta Nalan pada Mayra, Sean masih tenang dalam gendongan lelaki berperawakan maskulin itu.Mayra melirik Seon sejenak, meminta izin pada sang Kakak untuk membawa Sean. Bagaimanapun, ia masih menghargai orang yang paling berjasa dalam hidup putranya."Pergilah!" angguk Seon mengulas senyum getir."Ayah, kenapa tidak ikut dengan kami?" Sean menatap heran pada Seon."Ini...," Mayra sedikit bingung menjelaskan.Seon mendekati Sean seraya menyunggingkan senyum manis pada putra angkatnya, tanpa ragu lelaki bertubuh tegap itu mengusap kepala di depan Nalan."Pergilah menghabiskan waktu dengan Papamu, nanti Ayah akan menemuimu jika kau merindukanku," tutur Seon. "Jangan nakal, nurutla
Nalan membawa Mayra kembali ke apartemen yang pernah mereka tempati dahulunya. Membawa masuk ke kamar di pakai tidur.Mayra tertegun saat melihat isi kamar tersebut dipenuhi fotonya. Segitu, besarkah perubahan Nalan selama tinggal di negara tetangga."Ap-apa ini, Nalan?" Mayra masih mendongak melihat sekeliling dinding kamar.Nalan menatap nanar ke arah istrinya, kejutan ini telah lama disiapkan untuk Mayra. Foto-foto itu menggambarkan isi hatinya, merindukan sang Istri dan penyesalan yang teramat dalam saat mereka berpisah."Apartemen ini sejak awal milikmu, kamar ini adalah saksi kita bercumbu, tidak mungkin aku melepaskan begitu saja, bukan?" Nalan meraih jari jemari Mayra dan mencium tangannya dengan lembut. Dia berjanji akan melakukan hal romantis setiap hari dan membahagiakan istrinya.
"Saya permisi keluar dulu," pamit Hans secepat kilat.Mayra termangu di tempat, tak sanggup menahan gejolak dalam dirinya. Sehingga, menundukkan kepala untuk menyembunyikan air matanya. Debaran di dada sangat sulit dikontrol, semakin cepat tatkala Nalan berjalan ke arahnya.Nalan mendekat secara pelan, ada bulir di matanya yang jatuh membasahi pipi. Betapa sangat tersiksa rindu yang tertahan beberapa tahun ini, wanita yang paling ingin di dekapnya telah muncul sekian lama pencarian.Nalan tepat berada di depannya, memegangi dagu Mayra agar bisa menatap dengan jarak dekat. Dia sangat bahagia setelah memastikan wanita tersebut adalah istri yang disia-siakan selama ini."Kau menangis?" tanya Nalan lembut.Mayra terhenyak, untuk pertama kali ia mendengar Nalan berkata lembut pa
"May!" Seon memanggil adiknya yang sedang merenung, menanti jawaban."Em, ya! Kakak tadi bilang apa?" tanya Mayra linglung."Tidak usah pikirkan, jangan melamun terus," tutur Seon mengulas senyum. Mayra mengangguk."Mah, Papa kandung Sean orangnya seperti apa? Dia jahat ngga? Aku takut ketemu," ujarnya dengan wajah cemas. Seon dan Mayra berbalik sejenak menatap bocah menggemaskan tersebut dengan heran.Mereka bertiga saling pandang, bingung untuk menjawab. Anak sekecil Sean memang sangat cepat memahami setelah dijelaskan beberapa hari lalu tentang Nalan."Bagaimana kalau Papa kandung, Sean tak menyukaiku? Kita pulang saja, tidak masalah Ayah Seon menjadi ayahku saja, sudah cukup, Mah, Nek." Sekali lagi ucapan kecil yang keluar dari mulutnya membuat ketiga orang itu terhenyak.&nbs
Tiga tahun kemudian...."Sean, ayo sini peluk Ayah Seon," panggilnya sambil melebarkan kedua tangan dan menyamai ukuran tubuh bocah berusia tiga tahun itu."Ayah sudah pulang." Sean menyambut penuh keceriaan sambil berlari menghampiri Seon.Bocah berperawakan menggemaskan tersebut melompat ke dalam dekapan lelaki yang amat disayanginya.Mayra yang melihat pemandangan indah keduanya menjadi sangat haru, Sean tidak kekurangan kasih sayang dari sosok ayah atas adanya Seon. Semua tercurah untuk bocah lelaki yang sudah dianggap anak kandung sendiri. Saking sayangnya, kadang sang Kakak kelewatan dalam memanjakan."Bagaimana hari ini? Apa Ayah lelah?" tanya Sean bertubi-tubi. Kini, tubuh kecilnya sudah berada dalam gendongan Seon."Mau tahu?" Seon bertanya balik semba