Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada menyadari bahwa dia sangat berarti bagimu, tetapi kamu tidak berarti apa-apa baginya. ya Arum sudah tak menganggapnya ada. Damar menatap langit-langit ruang kerjanya, entah bayangan Arum selalu berada di benaknya. "Mar, lo kemarin ga hadir ya di acara tunangan mantan istri lo dan bos Levin?" tanya teman kerja Damar. Sesaat tubuh Damar membeku. "Apa...." Badannya gemetar mendengar kata itu. "Iya, gila ... mantan istri lo cantik banget. pertunangan yang super wah dan keren."Wajah Damar memanas. "Kapan itu?" tanyanya antusis. "Aku punya vidionya, mau dikirim!""Boleh." Lelaki itu mengangguk. "Ok sudah ya, aku ke ruangan bos dulu."Damar tersenyum. "Thanks ... siap brow."Namun hati damar begitu sakit. Tangan Damar bergetar saat gawainya berbunyi dan mendapat chat dari temannya di aplikasi hijau itu. Ia tak sanggup melihatnya. Apa ini artinya ia benar-benar sudah kehilangan Arum kali ini. 'Ternyata aku gagal move on'Damar harus bagaimana,
Sebagai pria yang berada di puncak kesuksesan, punya kedudukan tinggi wajah tampan hidung mancung ya setidaknya Levin punya daya tarik tersendiri. seharusnya ia bisa mudah mendapatkan jodoh juga banyak wanita yang begitu menyukainya. Tangan tinggal menunjuk sesuai kriteria yang diinginkan. Akan tetapi, tidak semudah itu. Saat bertemu Arum untuk pertama kalinya ia sudah jatuh cinta dengan wanita bermata indah itu. Levin lebih memilih sendiri daripada harus dituntut menikah dengan wanita lain. Bahkan waktu itu ia bilang sama Papanya jika dirinya ingin menikah setelah Arum menikah. Ia sangat percaya jodohnya sudah disiapkan Tuhan. Nyatanya do'anya diijabah ia dijodohkan dengan Papa dan Mamanya. Hampir setengah tahun sudah ia menjadi kakak kandung Arum, rasanya jiwanya telah mati. Apalagi semakin dekat dengan Arum membuatnya begitu tersiksa batin kala itu, pernah Levin pergi dari rumah beberapa hari meninggalkan orang tua dan juga adik kesayangannya belajar hidup mandiri. Namun bersembun
Zhia menatap pantulan wajahnya melalui cermin yang berada di depannya. Sedikit usang namun Elang suaminya masih menyimpannya. Yang Zhia tahu kaca usang ini peninggalan Ibunya. Karena mereka selesai melaksanakan ijab siri lagi, setelah beberapa tahun ia menghilang. Memang secara negara mereka masih resmi menikah, karena Elang pun tak menggugatnya. Namun dimata agama pernikahan mereka mungkin sudah tak sah lagi. Perlahan Zhia menyeka sisa air di wajahnya hingga basah. Sungguh belakangan ini ia sangat bahagia. Lelah tubuh juga pikiran. Tubuhnya lelah bekerja dan mengurus Naura. Sementara pikirannya terkuras karena stres menghadapi sikap suaminya yang begitu dingin. Harusnya Zhia sadar jika suaminya memang pastinya sangat marah karena kepergiannya. Pelan, Zhia menyisir rambutnya, dan memebersihkan bekas make up diwajahnya yang masih tersisa. Tangannya bergerak meraba mengambil kain kapas dan mengelap wajahnya. Begitu saat Elang masuk ke kamar dan duduk ditepi ranjang. selanjutnya lelaki
Wajah Naura memerah, senang, serasa kehidupannya kembali indah tak bisa dibayangakn oleh gadis kecil itu nyatanya Bundanya begitu baik dengannya. Ingin rasanya ia meneriakkan betapa hidup ini indah saat memiliki seorang Ibu. Namun ia rindu sekali pada wanita yang menjadi penolong hidupnya, semua hanya menggumpal di dada, seakan semua kata enggan untuk kelur dari bibir gadis kecil itu. Naura membayangkan bisa bertemu dengan wanita cantik itu, namun itu hanya diangan-angannya saja. Ia tak mau membuat sang Bunda marah ataupun sedih. Ia hanya bisa memendam rindunya pada Arum. Zhia menoleh, menatap tajam putrinya yang lagi termenung. yang duduk di sampingnya. Bibirnya kini menyunggingkan senyum sinis. "Ayo dimakan sayang, kenapa diam saja?" tanyanya. Zhia menambahkan lauk pada piring Naura. "Emm, Naura ingin bertemu, Tante Arum, Bunda? Boleh tidak." Lirih Naura hampir tak terdengar, namun Zhia cukup dengar perkataan anaknya. "Tante, Arum...?"Zhia menarik nafas, ia sadar jika wanita i
Arum berasa di depan cermin, ia sedang menyisir rambutnya, dan membersihkan make up tipisnya. Karena ia akhir-akhir ink begitu rajin mencuci muka, setiap mau tidur kulitnya terlihat kencang juga bercahaya. Selesai ia bangkit dan mengambil air wudhu untuk menjalankan shalat isya'. Selesai melantunkan ayat-ayat Allah ia berdoa.'Ya Allah bimbing aku agar bisa menemukan mutiara dibalik semua kesusahan, penuhi hatiku dengan kesabaran. Ya Allah jangan biarkan kesibukan dunia membutakan hatiku. Jangan biarkan hawa nafsu membuatku terperosok dalam maksiat. Tanamkanlah kecintaan terhadap keimanan dalam hati kami dan jadikan iman itu penyejuk kehidupan kami.'Embusan napas teratur Levin menerpa kulit leher Arum. Tangannya melingkar erat di pinggang Arum yang masih duduk. "Kangen, Rum...!"Arum menggeleng melihat tingkah Levin. "Bisa saja, mas ini.""Oh ya, Rum, bagaimana keadaan kakakmu Elang?"DegArum terdiam. "Jaga silaturahmi kan ga papa, Sayang. Lagian aku ga akan cemburu karena aku per
"Bagaimana, sayang? Apa kau nyaman dengan Levin?" tanya Bu Fatma sambil mengaduk bubur kacang hijau buatannya yang masih di atas kompor. "Rasa nyaman itu lebih dari apapun lo, Ma, karena semuanya yang dicari adalah kenyamanan 'kan," jawab Arum tersenyum pada Mamanya. Hanya sebuah perasaan manusiawi ketika kata nyaman terucap, yang jujur tak ingin lagi terulangi. Namun untuk saat ini, Arum yakin kondisinya sudah berbeda. Dan nanti pernikahannya dengan Levin tengah Arum renungi sebagai sesuatu yang sebenarnya tampak seperti sebuah isyarat. "Rum, apa yang kamu ucapkan benar adanya. Namun Mama dan Papa tak salah kan jika menjodohkan kalian?"Arum tersenyum. "Apapun itu pilihan Mama dan Papa yang terbaik.""Ya, mungkin saja Levin sudah jodoh kamu, Nak."Menanggapi perkataan dari sang mama tersebut, terbit seulas senyum yang membawa Arum sedikit mengingat masa lalu. "Mungkin ini berawal dari sebuah kekecewaan, semoga saja Arum dan Levin bisa melewatinya, Ma.""Maksudnya?" "Ya begitulah
Siang yang begitu terik, Zhia dan Naura berusaha mencari alamat yang di berikan tetangga lainnya, kebetulan beliau kerja di perusahaan papanya Arum. Rasa bahagia dirasakan Naura karena bisa menemukan alamatnya bahkan Papanya Elang tak tahu rumah baru Arum. Meskipun alamat rumah agak jauh dari rumah mereka, tapi mereka berdua harus tetap bersyukur karena alamat sudah mereka dapat. Binar-binar bahagia terlihat dari wajah gadis kecil itu, ia tak sabar ingin bertemu dengan Tantenya itu. Naura menggenggam tangan Bundanya dengan tatapan hangat, seraya berada dalam pelukan sang Bunda."Bunda, terima kasih sudah membantu Naura bertemu dengan, Tante Arum ya."Wanita itu mengangguk pelan seraya mengusap rambut panjang Naura. "Iya sayang, sama-sama.""Naura sayang, Bunda."Terlihat wajah wanita itu tersenyum dan memeluk putrinya. "Iya, Bunda juga sayang Naura. Bahkan Zhia selalu tertekan kalau ditanya hal itu. Sewaktu Naura kecil mungkin ia masih bisa dibohongi, oleh papanya, tapi sekarang? Gad
Zhia duduk di tepian kasur kursi sofa besar. Menatap lekat wajah gadis itu dan membuat dadanya berdenyut, menyakitkan. Bayangkan saja Naura begitu dekat dengan Arum wanita berparas cantik juga lembut itu. 'Rasanya sakit sekali dada ini. Maafkan aku, Naura.'Zhia beranjak dari duduknya. Membuka tirai jendela dan melihat hujan rintik-rintik yang belum juga reda. Hujan, hal yang paling dibenci Elang suaminya. Ia harus mengalami kepahitan cinta, padahal dirinya tak bersalah sama sekali. "Nak, kenapa di situ? Ayo diminum," kata Bu Fatma yang membuat Zhia berhenti menatap hujan yang menyedihkan."Terima kasih, Bu.""Tidak. Hanya minuman, Nak."Entah ... hati Mama Fatma merasa menghangat saat berbicara bersama Zhia. Gadis yang lembut hampir sama dengan sifat Arum. Wanita paruh baya itu tersenyum dan berusaha mengobrol dengan Zhia. "Banyak sekali, Bu. Ini saya dan Naura jadi ngrepotin!" kata Zhia. Wanita paruh baya itu tersenyum. Beliau terus memandang Zhia dengan tatapan sedih. Melihat w
Cakrawala memancarkan warna, dan tiba-tiba matahari muncul berada diantara percakapan Erlan dan Reni. Sejenak Erlan bernafas lega melihat wajah gadis itu, lalu menunduk lagi tangannya mencekeram kuat ujung kursi roda yang ia duduki. Seolah harinya begitu ragu akan ketulusan hati Reni. "Karena wanita itu, yang bernama Kamila, kau jadi kecelakaan, Pak?"Reni mendecih, sedangkan Erlan tidak melakukan tindakan apapun. Tidak mengiyakan tidak pula menentang. Merasa ucapan Reni tepat dia mengujar lagi, pertanyaan yang diluar dugaan. "Sudah kubilang, tidak karena siapa-siapa. Kenapa kau bertanya seperti itu? Sudahlah.""Bisa-bisanya kau menghilang dariku, Pak. Terus mengapa jadi begini? Kenapa jadi lumpuh dikursi roda, Pak?"Erlan meremas rambutnya dengan kasar. Agar Reni mau menghentikan ocehannya. Ia begitu kesal oleh sikap Reni yang tidak menghargainya. "Sudahlah Ren, bukan urusanmu."Reni tersenyum jahat. "Maksudku aku akan menikah lagi. Pak"Kali ini Erlan membulatkan matanya, bahk
"Mas, kenapa tak memberi tahu Mbak Reni, padahal dia sudah kesini beberapa kali mencari, Mas."Erlan terdiam. Merasakan detak jantung yang meningkat cepat. Kenapa Dimas tiba-tiba bertanya itu?"Apa aku pantas untuk sekedar dicintai, bahkan untuk berjalan saja aku tak bisa, Dim."Dimas mengehela nafas berat. " Ga boleh putus asa begitu, Mas. Bukankah dokter Reyga juga memberi tahu bahwa untuk kesembuhan, Mas sangatlah besar."Erlan menatap jendela dari balik kamarnya. "Entahlah Dimas, aku merindukan Alifa."Dimas tersenyum, sejak kapan kakaknya ini berubah baik. Bahkan ia tahu jika sang kakak selama ini tak pernah peduli dengan Alifa sang keponakan. "Iya, kapan-kapan kita ke sana ya.""Tidak, Dimas. Aku tak mau membuat Kamila susah dengan hadirku."Dimas tersenyum. "Mas, pikir mbak Kamila orangnya pendendam. Satu hal, Mas. Hati Mbak Kamila itu bagaikan sutra sangat lembut, jadi kayaknya ga ada masalah kalau kita menemui Alifa. Lagian bukankah Alifa adalah masih tanggung jawab Mas Erla
Ponsel di tangan Dimas hampir terjatuh saat melihat wanita yang tengah melintas di depannya. Dimas sambil mendorong kursi roda sang kakak Erlan. Mudah-mudahan kakaknya tak mengetahuinya. Namun, sepertinya ia tahu jika Kamila berjalan bersama seorang dokter yang tak lain adalah suaminya. Erlan terdiam, seketika ingatannya tertarik jauh ke masa lalu. Ia pikir selama sepuluh tahun adalah waktu yang cukup untuk melupakan sosok Kamila. Ternyata, Erlan salah dan salah. Ia begitu terluka saat melihat ke arah sang mantan istri yang terlihat begitu cantik. Bagaimanapun pedihnya luka yang pernah ditorehkannya dulu, tetap saja kenangan indah sebelum luka itu ada, kembali hadir. Dengan cepatnya rasa itu muncul menembus batas pertahanan yang selama ini mereka pertahankan. Namun pecah dihantam gelombang perceraian. Memakai pashmina hitam dan masih sama, wajahnya tampak lebih sangat cantik dan begitu dewasa. Berbagai pikiran berkecamuk antara ingin menegur juga tak ingin bertemu dengannya. Untung
"Pak, meeting sudah mau dimulai.""Baiklah, ayo."Dengan hitungan langkah Erlan menuju tempat yang telah disediakan oleh Reni. Hati Erlan terasa berkeping-keping melirik Kamila yang tak melepas genggaman suaminya, Erlan terlihat kesal tidak dapat berdusta jika hatinya belum pulih sepenuhnya melupakan Kamila.Angin senja menerbak membelai wajah Erlan,yang menerpa angin berganti dengan semburat kuning di ujung langit. Ia telah selesai meeting hari hampir magrib. Entah mengapa Erlan begitu sibuk hingga tidak sedikitpun melirik jam di pergelangan tangannya. Saat menoleh Kamila dan suaminya telah pergi dari kafe itu. Dan sudah tak terlihat lagi. Kalaupun saat ini dia berkerja keras hanya untuk memenuhi kebutuhan sang Ibu. Semenjak kejadian itu Erlan tak pernah pulang ke rumah. Tak sekalipun dia melihat ponsel sejak kejadian itu, untuk sekedar menjawab panggilan dari adiknya. Hal yang tidak pernah absen dilakukan Erlan selama ini, menuruti perintah sang Ibu. Duh, hari ini rasanya rindu d
Brakk! Erlan membanting pintu rumah Reni. "Pak sabarlah, mungkin Ibu Pak Erlan masih bergabung. Sudahlah jangan marah-marah terus.""Aku malas selalu dipojokkan, Ren.""Iya aku tahu Pak. Sabar ya." Reni menenangkan Erlan. Erlan berjalan ke arah kamar, sedangkan Reni ke dapur membuat kopi. Terdengar suara barang jatuh cukup keras dari arah kamar, disusul suara dentingan beberapa alat yang berjatuhan, membuat Reni terkejut."Pak ...!"Reni memanggilnya, namun, tak ada jawaban, seketika kamar terasa hening membuat perasaan Reni mulai tidak enak.Khawatir terjadi sesuatu pada Erlan, Reni berjalan cepat kearah kamar, tampak tubuh Erlan yang tersungkur dilantai, dengan mata tertutup."Ya Tuhan, Pak Erlan!"Reni menghampirinya, langsung meraih kepalanya dan meletakkannya di atas pangkuan, Reni berusaha tenang ia tahu jika Erlan lagi banyak masalah. Meskipun hati sangat cemas. "Pak! Ayo ke ranjang." Panggilnya pelan.Ia hanya mengangguk. "Kau sakit, Pak?" tanya Reni lagiErlan memegang ke
Erlan berjalan melewati jalanan yang sudah sangat ia hapal tiap kelokannya. Beberapa motor melintas mendahului mobil Erlan di sepanjang jalan ia hanya terpaku tak percaya oleh Kamila dan Alifa bersama lelaki itu yang baru sama terlihat sari pandangannya. Perasaannya yang semakin hancur tatakala menginggat semua kejadian saat pernikahaannya dengan wanita yang sangat ia sayangi yang kini sudah hancur. Entah apa yang terjadi dengannya saat ini, Erlan mengemudikan mobilnya dengan kecepatan cepat. Mobil berjalan di depan rumah Kamila. Seperti dulu, saat masih kecil, Erlan mencuri waktu untuk bertemu Kamila. Dulu, Ayah Kamila sering terlihat marah karena Erlan menemuinya. Sekarang semuanya sudah berbeda, Ayah Kamila telah pergi, dan saat sang Ibu sudah memberi kebebasan, namun Erlan menghianatinya dan beliau mungkin sudah tidak berdaya. Lucunya, tak pernah sekalipun Erlan meminta maaf pada wanita yang sangat ia sayangi itu. Ah, Erlan mendengus kesal sambil membanting setir mobilnya, kadan
Malam semakin larut, sunyi sepi setelah anak-anak tertidur, Kamila langsung menuju kamar. Reyga sudah menunggu di dalam kamar."Sayang, sudah tidur jangan kecapekan," pinta Reyga pada Kamila untuk beristirahat."Iya Mas, aku baru saja nemenin anak-anak tidur," jawabnya ikut duduk di samping sang suami. "Oh, Mama sudah tidur?""Sudah, Mas." "Sayang terima kasih ya sudah mau menjadi ibu untuk anak-anakku," ucapnya pada Kamila. Kamila saat ini berada pada dada bidang Reyga. Ia menikmati wangi tubuh sang suami, entah akhir-akhir ini Kamila lebih suka berada di bawah ketiak sang suami. Kamila menarik tangan Reyga lalu meletakkan telapak tangan di atas perutnya."Mama sepertinya betah disini, sayang." Kamila mengangkat kepalanya, lalu menumpu dagunya di bahu sang suami. Reyga mengusap pelan perut yang mulai membuncit. Menikmati keanehan yang terasa di dalam perut Kamila saat tangan Reyga berada di sana."Alhamdulillah, itu yang Kamila harapkan, Mas."Reyga mengangguk. "Mungkin, ini aka
Angga berteriak, Elang dan Bu Fatma panik. Elangengbil akih Arum dan menggendongnya ke dalam mobil sedangkan Angga berlari menyetir mobil. Dan mobil meninggalkan rumah milik. arum Dan Elang."Ya Allah, Arum! bangun, Nak! jangan tidur buka matamu, Rum!" Bu Ftama begitu cemas. Elang menepuk-nepuk pelan pipi istrinya. "Mama Arum, ga apa-apa kan, Bu?" tanya Elang.Bu Fatma tak sanggup menjawab, hanya mampu memeluk kepala putrinya itu dengan erat. "Arum, kenapa, Elang?" tanya Angga dari depan."Tadi juga ga papa kok, Mas Angga," jawab Elang ketakutan dengan suara bergetar."Ya Allah ... sabar dikit lagi kita sampai. Bismillah ... mudahkan ya Allah ...." Angga terus memacu mobilnya menembus jalanan kota yang ramai. Motor-motor didepan masih terus merangsek membelah jalanan yang dipenuhi kendaraan yang padat. Lalu lintas ibu kota yang tau sendirilah padatnya seperti apa.Bu Fatma terus berdzikir benar-benar berada dalam titik pasrah kepada Allah. Pengharapan tertinggi saat ini hanya mem
"Bangun, Mila. Sudah aku masakan air hangat untukmu."Kamila masih menggeliat dan mengucek matanya yang masih terpejam. "Harusnya ga usah repot masakin air segala, Rey," tukas Kamila. "Ya sekali-kali ga papa kan, kan selama ini kamu yang mengurusku. Apa mau aku gendong?"Pagi buta Kamila mendengar gombalan romantis dari suaminya, tiba-tiba bibir Kamila tersenyum kecut mendengarnya."Ayo sudah keburu dingin air hangatnya.""Iya... iya." Gerutu Kamila malas. Kamila menghela nafas pelan. Sekali lagi tersenyum dan melangkah keluar kamar mandi dan bersiap menjadi makmum untuk menjalankan salat Subuh berjamaaah dengan suaminya. Di akhiri dengan doa sebagai penutup, Kamila melipat mukena dan kembali menaruhnya di atas nakas. Ia berjalan ke dekat jendela dan menyibak gorden kamarnya. Saat buka pintu jendela suasana masih gelap. Di langit timur nampak semburat warna jingga menebar dari balik bukit nan jauh di sana. Membuat Kamila tersenyum lalu menatap suaminya yang masih bertilawah. "Kami