'Bahkan dari rasa sakit yang aku rasakan saat bersamamu, melepasmu adalah hal yang paling menyakitkan untukku'Damar menatap langit yang seolah sedang tak ingin bersahabat dengannya. Lagi-lagi pikiranya kacau saat membayangakan Arum yang selalu ada dalam benaknya. "Mas.... " panggil Hani. "Sudah kubilang, aku tak mau seranjang dengan wanita simpanan," kata Damar setengah berteriak. Hani bangkit dari tidur, dan merapikan dirinya. Hani yang sudah berdandan memakai lingerie pun Damar tak sedikit pun meliriknya. "Keterlauan kau, mas. Kumat lagi.""Sudah kupenuhi permintaanmu, Hani. apa lagi yang kamu inginkan padaku?"Hani terdiamDamar menghela nafas kasar. "Ya ampun Hani. Ada apa denganmu ini hah! Pusing aku, " ucap Damar mengusap rambutnya dengan kasar. Hani terisak merasai sakit yang teramat dalam. Selalu dijadikan pelampiasan saat lelah saja. Sampai kapan ini berakhir, meskipun Damar mencukupi kebutuhannya Damar tak pernah perhatian dengannya. Beginikah rasanya menjadi wanita y
Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada menyadari bahwa dia sangat berarti bagimu, tetapi kamu tidak berarti apa-apa baginya. ya Arum sudah tak menganggapnya ada. Damar menatap langit-langit ruang kerjanya, entah bayangan Arum selalu berada di benaknya. "Mar, lo kemarin ga hadir ya di acara tunangan mantan istri lo dan bos Levin?" tanya teman kerja Damar. Sesaat tubuh Damar membeku. "Apa...." Badannya gemetar mendengar kata itu. "Iya, gila ... mantan istri lo cantik banget. pertunangan yang super wah dan keren."Wajah Damar memanas. "Kapan itu?" tanyanya antusis. "Aku punya vidionya, mau dikirim!""Boleh." Lelaki itu mengangguk. "Ok sudah ya, aku ke ruangan bos dulu."Damar tersenyum. "Thanks ... siap brow."Namun hati damar begitu sakit. Tangan Damar bergetar saat gawainya berbunyi dan mendapat chat dari temannya di aplikasi hijau itu. Ia tak sanggup melihatnya. Apa ini artinya ia benar-benar sudah kehilangan Arum kali ini. 'Ternyata aku gagal move on'Damar harus bagaimana,
Sebagai pria yang berada di puncak kesuksesan, punya kedudukan tinggi wajah tampan hidung mancung ya setidaknya Levin punya daya tarik tersendiri. seharusnya ia bisa mudah mendapatkan jodoh juga banyak wanita yang begitu menyukainya. Tangan tinggal menunjuk sesuai kriteria yang diinginkan. Akan tetapi, tidak semudah itu. Saat bertemu Arum untuk pertama kalinya ia sudah jatuh cinta dengan wanita bermata indah itu. Levin lebih memilih sendiri daripada harus dituntut menikah dengan wanita lain. Bahkan waktu itu ia bilang sama Papanya jika dirinya ingin menikah setelah Arum menikah. Ia sangat percaya jodohnya sudah disiapkan Tuhan. Nyatanya do'anya diijabah ia dijodohkan dengan Papa dan Mamanya. Hampir setengah tahun sudah ia menjadi kakak kandung Arum, rasanya jiwanya telah mati. Apalagi semakin dekat dengan Arum membuatnya begitu tersiksa batin kala itu, pernah Levin pergi dari rumah beberapa hari meninggalkan orang tua dan juga adik kesayangannya belajar hidup mandiri. Namun bersembun
Zhia menatap pantulan wajahnya melalui cermin yang berada di depannya. Sedikit usang namun Elang suaminya masih menyimpannya. Yang Zhia tahu kaca usang ini peninggalan Ibunya. Karena mereka selesai melaksanakan ijab siri lagi, setelah beberapa tahun ia menghilang. Memang secara negara mereka masih resmi menikah, karena Elang pun tak menggugatnya. Namun dimata agama pernikahan mereka mungkin sudah tak sah lagi. Perlahan Zhia menyeka sisa air di wajahnya hingga basah. Sungguh belakangan ini ia sangat bahagia. Lelah tubuh juga pikiran. Tubuhnya lelah bekerja dan mengurus Naura. Sementara pikirannya terkuras karena stres menghadapi sikap suaminya yang begitu dingin. Harusnya Zhia sadar jika suaminya memang pastinya sangat marah karena kepergiannya. Pelan, Zhia menyisir rambutnya, dan memebersihkan bekas make up diwajahnya yang masih tersisa. Tangannya bergerak meraba mengambil kain kapas dan mengelap wajahnya. Begitu saat Elang masuk ke kamar dan duduk ditepi ranjang. selanjutnya lelaki
Wajah Naura memerah, senang, serasa kehidupannya kembali indah tak bisa dibayangakn oleh gadis kecil itu nyatanya Bundanya begitu baik dengannya. Ingin rasanya ia meneriakkan betapa hidup ini indah saat memiliki seorang Ibu. Namun ia rindu sekali pada wanita yang menjadi penolong hidupnya, semua hanya menggumpal di dada, seakan semua kata enggan untuk kelur dari bibir gadis kecil itu. Naura membayangkan bisa bertemu dengan wanita cantik itu, namun itu hanya diangan-angannya saja. Ia tak mau membuat sang Bunda marah ataupun sedih. Ia hanya bisa memendam rindunya pada Arum. Zhia menoleh, menatap tajam putrinya yang lagi termenung. yang duduk di sampingnya. Bibirnya kini menyunggingkan senyum sinis. "Ayo dimakan sayang, kenapa diam saja?" tanyanya. Zhia menambahkan lauk pada piring Naura. "Emm, Naura ingin bertemu, Tante Arum, Bunda? Boleh tidak." Lirih Naura hampir tak terdengar, namun Zhia cukup dengar perkataan anaknya. "Tante, Arum...?"Zhia menarik nafas, ia sadar jika wanita i
Arum berasa di depan cermin, ia sedang menyisir rambutnya, dan membersihkan make up tipisnya. Karena ia akhir-akhir ink begitu rajin mencuci muka, setiap mau tidur kulitnya terlihat kencang juga bercahaya. Selesai ia bangkit dan mengambil air wudhu untuk menjalankan shalat isya'. Selesai melantunkan ayat-ayat Allah ia berdoa.'Ya Allah bimbing aku agar bisa menemukan mutiara dibalik semua kesusahan, penuhi hatiku dengan kesabaran. Ya Allah jangan biarkan kesibukan dunia membutakan hatiku. Jangan biarkan hawa nafsu membuatku terperosok dalam maksiat. Tanamkanlah kecintaan terhadap keimanan dalam hati kami dan jadikan iman itu penyejuk kehidupan kami.'Embusan napas teratur Levin menerpa kulit leher Arum. Tangannya melingkar erat di pinggang Arum yang masih duduk. "Kangen, Rum...!"Arum menggeleng melihat tingkah Levin. "Bisa saja, mas ini.""Oh ya, Rum, bagaimana keadaan kakakmu Elang?"DegArum terdiam. "Jaga silaturahmi kan ga papa, Sayang. Lagian aku ga akan cemburu karena aku per
"Bagaimana, sayang? Apa kau nyaman dengan Levin?" tanya Bu Fatma sambil mengaduk bubur kacang hijau buatannya yang masih di atas kompor. "Rasa nyaman itu lebih dari apapun lo, Ma, karena semuanya yang dicari adalah kenyamanan 'kan," jawab Arum tersenyum pada Mamanya. Hanya sebuah perasaan manusiawi ketika kata nyaman terucap, yang jujur tak ingin lagi terulangi. Namun untuk saat ini, Arum yakin kondisinya sudah berbeda. Dan nanti pernikahannya dengan Levin tengah Arum renungi sebagai sesuatu yang sebenarnya tampak seperti sebuah isyarat. "Rum, apa yang kamu ucapkan benar adanya. Namun Mama dan Papa tak salah kan jika menjodohkan kalian?"Arum tersenyum. "Apapun itu pilihan Mama dan Papa yang terbaik.""Ya, mungkin saja Levin sudah jodoh kamu, Nak."Menanggapi perkataan dari sang mama tersebut, terbit seulas senyum yang membawa Arum sedikit mengingat masa lalu. "Mungkin ini berawal dari sebuah kekecewaan, semoga saja Arum dan Levin bisa melewatinya, Ma.""Maksudnya?" "Ya begitulah
Siang yang begitu terik, Zhia dan Naura berusaha mencari alamat yang di berikan tetangga lainnya, kebetulan beliau kerja di perusahaan papanya Arum. Rasa bahagia dirasakan Naura karena bisa menemukan alamatnya bahkan Papanya Elang tak tahu rumah baru Arum. Meskipun alamat rumah agak jauh dari rumah mereka, tapi mereka berdua harus tetap bersyukur karena alamat sudah mereka dapat. Binar-binar bahagia terlihat dari wajah gadis kecil itu, ia tak sabar ingin bertemu dengan Tantenya itu. Naura menggenggam tangan Bundanya dengan tatapan hangat, seraya berada dalam pelukan sang Bunda."Bunda, terima kasih sudah membantu Naura bertemu dengan, Tante Arum ya."Wanita itu mengangguk pelan seraya mengusap rambut panjang Naura. "Iya sayang, sama-sama.""Naura sayang, Bunda."Terlihat wajah wanita itu tersenyum dan memeluk putrinya. "Iya, Bunda juga sayang Naura. Bahkan Zhia selalu tertekan kalau ditanya hal itu. Sewaktu Naura kecil mungkin ia masih bisa dibohongi, oleh papanya, tapi sekarang? Gad