Hawa sejuk terasa membelai kulit wajah saat Arum masih di depan Levin. Sesekali, kerudung pashmina yang menutupi kepala melambai-lambai diterpa angin sore. Arum masih terpaku oleh pengakuan Levin yang masih berada di dekatnya. "Rum ...."Tangan Levin terulur dan menyentuh tangan Arum yang masih berada di depannya. Levin menelan saliva seiring rasa rindu yang menyeruak. Sementara Arum menjauhkan tangannya dari Levin, ia sedikit terkejut beraninya Levin menyentuh tangannya. "Kami permisi, Levin."Levin menarik napas pelan. "Please sebentar lagi, Rum."Entahlah, kali ini Arum merasakan ketidak nyamanan. Meskipun hati Levin rasanya menjadi ringan dan lebih tenang. Namun tidak dengan Arum dan sang Mama mereka begitu takut. "Jika waktu bisa berputar aku tak akan menyakitimu, Rum." Jelasnya dengan nada serak. Arum menghela napas dalam. Untuk beberapa saat, ia hanya terdiam."Aku enggak akan melepasmu, Rum."Arum tersenyum tak enak sambil menggelengkan kepala. Entah kalimat apa yang tadi
"Cerai...?" tanya Arum dengan muka seolah tak percaya. "Iya.""Kamu yakin, Mila?" tanyanya lagi Arum pada sahabatnya semasa SMA dulu, mereka bertemu setelah beberapa tahun lamanya dipertemukan di rumah sakit saat Arum memeriksakan kandungannya. "Ya.""Ini aku tak salah dengar? Sudah kamu pikirkan baik-baik."Kerongkongan Kamila begitu kering, ia menelan saliva yang begitu pahit. Tak pernah terpikirkan akan seperti ini pernikahannya. "Nyatanya sampai sekarang aku hanya ia jadikan pelampiasan lelahnya saja, Hati Mas Erlan hanya untuk wanita itu saja kan, sejak saat acara reuni itu mungkin saja hatinya sudah beralih untuk wanita itu. Rasanya begitu sakit jika menginggat selama dua tahun suaminya tak peduli dengannya bahkan suaminya lebih sering ke luar kota atau mungkin singgah di rumah wanita itu. "Kalian punya Alifa lo, Mila. Kau tau kan bahkan kau pernah diposisi itu 'bukan?" tanya Arum. Kamila tercengang mendengar itu dari mulut Arum, begitu jelas bahwa dirinya pun korban broke
Kamila terus mengguyur tubuhnya dengan shower hingga air itu bisa menghapus sudut matanya yang terasa basah. Runtuh sudah ketegaran Kamila saat menginggat vidio yang dikirim oleh nomor yang gak ia kenal. Kamila mugkin saja murka atas kebodohannya yang telah salah menilai mempertahankan pernikahannya. Setelah mandi basah, Kamila menunaikan ibadah salat subuh. Kamila merasa begitu lelah, tentang hidupnya yang separuh dari hatinya telah menghilang. Suaminya baru kembali dari urusannya bersama bosnya ke luar kota. Tak lupa Kamila memulai rutinitas bersih-bersih senbari membuat sarapan buat suami juga anaknya. Selesai membuat darapan Kamila menyuapi Alifa dengan nasi goreng sosis requestnya semalam. Terakhir memberikan satu gelas susu, dan bersiap mengantarkan Alifa ke sekolah. Toh ... di rumah hanya semakin membuat Kamila menjadi gila karena mengingat foto-foto itu. Senyum lembut dan kehangatan serta cinta suaminya dulu yang selalu menatapnya dengan binar rindu yang sama. Kamila rindu
Terkadang enggak mudah buat bersikap seolah enggak pernah terjadi apa-apa di antara Kamila dan Erlan. Ada jarak yang tercekat antara keduanya, ada wanita itu yang menjadi penggoda di tengah pernikahan mereka. Namun Kamila harus kuat demi sang buah hati. Bahkan Kamila bisa kuat bertahan dan melaluinya juga sampai saat ini hanya karena Alifa putrinya. "Kamila.... ""Aku mau tidur, Mas.""Mila, pliss," tangan Erlan memegang bahu Kamila, namun segera di tepis olehnya. "Sudah ya, Mas. Aku enggak mau bahas soal ini lagi, urus saja wanitamu itu.""Mila, kita perlu bicara?"Kamila duduk bersandarkan sofa dan mengambil posisi paling ujung sofa dan Erlan berjalan dan ikut duduk mendekati Kamila. "Silahkan bicara, Mas."Rongga dada Kamila mulai sesak. "Ya, aku salah, Mila. Aku sering mengabaikamu beberapa tahun terakhir ini, aku akan perbaiki ini semua."Erlan berusaha mengenggam tangan Kamila, Kamila mencoba tersenyum meskipun hatinya perih. "Aku sudah berusaha untuk kuat, Mas. Namun aku s
Dada Kamila berdetak lebih cepat, sesaat ia menatap ke arah cermin dan bergetar mengoles bibir dengan lipstik warna natural, membubuhkan bedak padat tipis-tipis, lalu mengambil jilbab pashmina. Dan berjalan menuju ruang depan. Karena Alifa sudah menunggu untuk diantarkan mengaji, Alifa sudah siap dengan pakaian syar'inya. "Sudah siap, sayang?""Sudah, Ma.""Baiklah, kita berangkat ya?""Iya, Ma."Meski jarak untuk mengaji dengan rumahnya tak terlalu jauh, namun Kamila tidak tega karena girimis membasahi bumi. Kamila dan Alifa berjalan menggunakan payung untuk sampai di tempat mengaji. Kamila berharap Alifa mempunyai ilmu yang bermanfaat agar bisa buat bekal saat menjalani kehidupan. Kehidupan terus berjalan dengan segala aktifitas dunia. Aktifitas yang tidak ada habisnya. Sederet panjang kegiatan dua puluh empat jam sehari membuat Kamila terus menerus melakukan aktivitas tersebut berulang. Kamila ingin memberi bekal Alifa menuntut ilmu agama. Tak terasa mereka sudah sampai di TPQ
Tut ... tut .[Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi, atau berada di luar jangakuan.]Aghhh.... Erlan meremas kasar rambutnya merasai panas dalam dadanya. 'Plis, Kamila angkat teleponnya.'Berulang kali Erlan menekan tombol, namun hasilnya tetap sama, nomor ponsel Kamila tidak aktif. Gundah itu yang dirasakannya, diam Erlan melangkah duduk di kursi teras, menelisik setiap sudut membayangkan tawa Alifa saat bermain dengan istrinya kamila. Biasanya Alifa mengajak dan menarik Erlan untuk ikut main bersama, ia berusaha membuang jauh-jauh bayangan Alifa di kepalanya. Bukankah dia sudah terbiasa menyakiti hati kamila selama tahun terakhir dipernikahananya? Berusaha tegar menjalani tugas menikahi Ambar walaupun terkadang terasa berat?Harusnya ia enggak menyakiti hati Kamila, agar ia enggak meninggalkannya seperti saat ini, Bertahun-tahun mengabdi di keluarga besar Ambar. Hingga sampai keluarganya beranjak sukses, Namun ada syaratnya ia harus menikahai wanita itu tentu saja dengan b
"Mas, kita jadi ke hotel nggak?"Erlan menoleh ke arah istri sirinya, Tampak ia sedang duduk di sampingya dengan rok mini, sehingga paha mulus Ambarwati menantang untuk dipandang. Dengan pakaian yang serba mini, tentu membuat pemandangan yang sayang jika dilewatkan bagi Erlan. "Jadilah. Aku udah booking hotel," ucapnya dengan nada sinis. "Seriusan, Mas?"Erlan merasa prustasi, saat Kamila menerima uluran tangan Lelaki itu untuk digengenggamnya dan diajak pergi tadi, ia berusaha ingin bersenang-senang saat ini dengan Ambar. Mencoba menghilangkan wajah Kamila yang terus melintas dalam ingatannya. "Serius lah, apa tampangku lagi bercanda?"Ambarwati tersenyum manis, sambil, memeluk Erlan dari samping. "Terima kasih, sayang. I like this.""Hmm."Dada Erlan begitu sesak, bayang-bayang istrinya Kamila selalu menghantuinya. "Oh, ya kau sudah menggugat istrimu itu?"Erlan menggeleng pelan. "Menurutku ya, jangan diceraikan dia biar tau rasa. Kita persulit saat Kamila minta cerai mas."Se
Tubuh Erlan bergetar hebat ketika untuk pertama kalinya harus menurunkan ego. Menemui wanita yang sembilan tahun pernah begitu berarti dalam hidupnya. Sebelum akhirnya dia pergi meninggalkan pedih di hati. Yang mungkin tidak akan terlihat olehnya, Erlan berdiri menatap pantulan bulan separuh yang menggantung di atas sana. Ia menatap ke atas dengan rokok ditangan lalu kemudian menghisap rokok pelan-pelan lalu mengeluarkan asap ke atas. Menatap bintang yang sangat jauh hanya sedikit terlihat di atas sana. Menatap sekilas tetapi tetap merasa ada yang terasa tak nyaman dalam hatinya. Lebih menyakitkan dari pada melihat Kamila marah, ia bahkan tidak pernah melihat Kamila begitu berani dan sangat marah seperti itu. Keheningan malam akan membuat suara hati lebih terdengar. Saat itulah yang membuat Erlan semakin merana saat menginggat kejadian tadi pagi. Berdiri menatap sosok wanita yang sangat ia rindukan itu tengah duduk di teras rumah. Tadi senyumnya masih sama seperti dulu, wajah Kami
Cakrawala memancarkan warna, dan tiba-tiba matahari muncul berada diantara percakapan Erlan dan Reni. Sejenak Erlan bernafas lega melihat wajah gadis itu, lalu menunduk lagi tangannya mencekeram kuat ujung kursi roda yang ia duduki. Seolah harinya begitu ragu akan ketulusan hati Reni. "Karena wanita itu, yang bernama Kamila, kau jadi kecelakaan, Pak?"Reni mendecih, sedangkan Erlan tidak melakukan tindakan apapun. Tidak mengiyakan tidak pula menentang. Merasa ucapan Reni tepat dia mengujar lagi, pertanyaan yang diluar dugaan. "Sudah kubilang, tidak karena siapa-siapa. Kenapa kau bertanya seperti itu? Sudahlah.""Bisa-bisanya kau menghilang dariku, Pak. Terus mengapa jadi begini? Kenapa jadi lumpuh dikursi roda, Pak?"Erlan meremas rambutnya dengan kasar. Agar Reni mau menghentikan ocehannya. Ia begitu kesal oleh sikap Reni yang tidak menghargainya. "Sudahlah Ren, bukan urusanmu."Reni tersenyum jahat. "Maksudku aku akan menikah lagi. Pak"Kali ini Erlan membulatkan matanya, bahk
"Mas, kenapa tak memberi tahu Mbak Reni, padahal dia sudah kesini beberapa kali mencari, Mas."Erlan terdiam. Merasakan detak jantung yang meningkat cepat. Kenapa Dimas tiba-tiba bertanya itu?"Apa aku pantas untuk sekedar dicintai, bahkan untuk berjalan saja aku tak bisa, Dim."Dimas mengehela nafas berat. " Ga boleh putus asa begitu, Mas. Bukankah dokter Reyga juga memberi tahu bahwa untuk kesembuhan, Mas sangatlah besar."Erlan menatap jendela dari balik kamarnya. "Entahlah Dimas, aku merindukan Alifa."Dimas tersenyum, sejak kapan kakaknya ini berubah baik. Bahkan ia tahu jika sang kakak selama ini tak pernah peduli dengan Alifa sang keponakan. "Iya, kapan-kapan kita ke sana ya.""Tidak, Dimas. Aku tak mau membuat Kamila susah dengan hadirku."Dimas tersenyum. "Mas, pikir mbak Kamila orangnya pendendam. Satu hal, Mas. Hati Mbak Kamila itu bagaikan sutra sangat lembut, jadi kayaknya ga ada masalah kalau kita menemui Alifa. Lagian bukankah Alifa adalah masih tanggung jawab Mas Erla
Ponsel di tangan Dimas hampir terjatuh saat melihat wanita yang tengah melintas di depannya. Dimas sambil mendorong kursi roda sang kakak Erlan. Mudah-mudahan kakaknya tak mengetahuinya. Namun, sepertinya ia tahu jika Kamila berjalan bersama seorang dokter yang tak lain adalah suaminya. Erlan terdiam, seketika ingatannya tertarik jauh ke masa lalu. Ia pikir selama sepuluh tahun adalah waktu yang cukup untuk melupakan sosok Kamila. Ternyata, Erlan salah dan salah. Ia begitu terluka saat melihat ke arah sang mantan istri yang terlihat begitu cantik. Bagaimanapun pedihnya luka yang pernah ditorehkannya dulu, tetap saja kenangan indah sebelum luka itu ada, kembali hadir. Dengan cepatnya rasa itu muncul menembus batas pertahanan yang selama ini mereka pertahankan. Namun pecah dihantam gelombang perceraian. Memakai pashmina hitam dan masih sama, wajahnya tampak lebih sangat cantik dan begitu dewasa. Berbagai pikiran berkecamuk antara ingin menegur juga tak ingin bertemu dengannya. Untung
"Pak, meeting sudah mau dimulai.""Baiklah, ayo."Dengan hitungan langkah Erlan menuju tempat yang telah disediakan oleh Reni. Hati Erlan terasa berkeping-keping melirik Kamila yang tak melepas genggaman suaminya, Erlan terlihat kesal tidak dapat berdusta jika hatinya belum pulih sepenuhnya melupakan Kamila.Angin senja menerbak membelai wajah Erlan,yang menerpa angin berganti dengan semburat kuning di ujung langit. Ia telah selesai meeting hari hampir magrib. Entah mengapa Erlan begitu sibuk hingga tidak sedikitpun melirik jam di pergelangan tangannya. Saat menoleh Kamila dan suaminya telah pergi dari kafe itu. Dan sudah tak terlihat lagi. Kalaupun saat ini dia berkerja keras hanya untuk memenuhi kebutuhan sang Ibu. Semenjak kejadian itu Erlan tak pernah pulang ke rumah. Tak sekalipun dia melihat ponsel sejak kejadian itu, untuk sekedar menjawab panggilan dari adiknya. Hal yang tidak pernah absen dilakukan Erlan selama ini, menuruti perintah sang Ibu. Duh, hari ini rasanya rindu d
Brakk! Erlan membanting pintu rumah Reni. "Pak sabarlah, mungkin Ibu Pak Erlan masih bergabung. Sudahlah jangan marah-marah terus.""Aku malas selalu dipojokkan, Ren.""Iya aku tahu Pak. Sabar ya." Reni menenangkan Erlan. Erlan berjalan ke arah kamar, sedangkan Reni ke dapur membuat kopi. Terdengar suara barang jatuh cukup keras dari arah kamar, disusul suara dentingan beberapa alat yang berjatuhan, membuat Reni terkejut."Pak ...!"Reni memanggilnya, namun, tak ada jawaban, seketika kamar terasa hening membuat perasaan Reni mulai tidak enak.Khawatir terjadi sesuatu pada Erlan, Reni berjalan cepat kearah kamar, tampak tubuh Erlan yang tersungkur dilantai, dengan mata tertutup."Ya Tuhan, Pak Erlan!"Reni menghampirinya, langsung meraih kepalanya dan meletakkannya di atas pangkuan, Reni berusaha tenang ia tahu jika Erlan lagi banyak masalah. Meskipun hati sangat cemas. "Pak! Ayo ke ranjang." Panggilnya pelan.Ia hanya mengangguk. "Kau sakit, Pak?" tanya Reni lagiErlan memegang ke
Erlan berjalan melewati jalanan yang sudah sangat ia hapal tiap kelokannya. Beberapa motor melintas mendahului mobil Erlan di sepanjang jalan ia hanya terpaku tak percaya oleh Kamila dan Alifa bersama lelaki itu yang baru sama terlihat sari pandangannya. Perasaannya yang semakin hancur tatakala menginggat semua kejadian saat pernikahaannya dengan wanita yang sangat ia sayangi yang kini sudah hancur. Entah apa yang terjadi dengannya saat ini, Erlan mengemudikan mobilnya dengan kecepatan cepat. Mobil berjalan di depan rumah Kamila. Seperti dulu, saat masih kecil, Erlan mencuri waktu untuk bertemu Kamila. Dulu, Ayah Kamila sering terlihat marah karena Erlan menemuinya. Sekarang semuanya sudah berbeda, Ayah Kamila telah pergi, dan saat sang Ibu sudah memberi kebebasan, namun Erlan menghianatinya dan beliau mungkin sudah tidak berdaya. Lucunya, tak pernah sekalipun Erlan meminta maaf pada wanita yang sangat ia sayangi itu. Ah, Erlan mendengus kesal sambil membanting setir mobilnya, kadan
Malam semakin larut, sunyi sepi setelah anak-anak tertidur, Kamila langsung menuju kamar. Reyga sudah menunggu di dalam kamar."Sayang, sudah tidur jangan kecapekan," pinta Reyga pada Kamila untuk beristirahat."Iya Mas, aku baru saja nemenin anak-anak tidur," jawabnya ikut duduk di samping sang suami. "Oh, Mama sudah tidur?""Sudah, Mas." "Sayang terima kasih ya sudah mau menjadi ibu untuk anak-anakku," ucapnya pada Kamila. Kamila saat ini berada pada dada bidang Reyga. Ia menikmati wangi tubuh sang suami, entah akhir-akhir ini Kamila lebih suka berada di bawah ketiak sang suami. Kamila menarik tangan Reyga lalu meletakkan telapak tangan di atas perutnya."Mama sepertinya betah disini, sayang." Kamila mengangkat kepalanya, lalu menumpu dagunya di bahu sang suami. Reyga mengusap pelan perut yang mulai membuncit. Menikmati keanehan yang terasa di dalam perut Kamila saat tangan Reyga berada di sana."Alhamdulillah, itu yang Kamila harapkan, Mas."Reyga mengangguk. "Mungkin, ini aka
Angga berteriak, Elang dan Bu Fatma panik. Elangengbil akih Arum dan menggendongnya ke dalam mobil sedangkan Angga berlari menyetir mobil. Dan mobil meninggalkan rumah milik. arum Dan Elang."Ya Allah, Arum! bangun, Nak! jangan tidur buka matamu, Rum!" Bu Ftama begitu cemas. Elang menepuk-nepuk pelan pipi istrinya. "Mama Arum, ga apa-apa kan, Bu?" tanya Elang.Bu Fatma tak sanggup menjawab, hanya mampu memeluk kepala putrinya itu dengan erat. "Arum, kenapa, Elang?" tanya Angga dari depan."Tadi juga ga papa kok, Mas Angga," jawab Elang ketakutan dengan suara bergetar."Ya Allah ... sabar dikit lagi kita sampai. Bismillah ... mudahkan ya Allah ...." Angga terus memacu mobilnya menembus jalanan kota yang ramai. Motor-motor didepan masih terus merangsek membelah jalanan yang dipenuhi kendaraan yang padat. Lalu lintas ibu kota yang tau sendirilah padatnya seperti apa.Bu Fatma terus berdzikir benar-benar berada dalam titik pasrah kepada Allah. Pengharapan tertinggi saat ini hanya mem
"Bangun, Mila. Sudah aku masakan air hangat untukmu."Kamila masih menggeliat dan mengucek matanya yang masih terpejam. "Harusnya ga usah repot masakin air segala, Rey," tukas Kamila. "Ya sekali-kali ga papa kan, kan selama ini kamu yang mengurusku. Apa mau aku gendong?"Pagi buta Kamila mendengar gombalan romantis dari suaminya, tiba-tiba bibir Kamila tersenyum kecut mendengarnya."Ayo sudah keburu dingin air hangatnya.""Iya... iya." Gerutu Kamila malas. Kamila menghela nafas pelan. Sekali lagi tersenyum dan melangkah keluar kamar mandi dan bersiap menjadi makmum untuk menjalankan salat Subuh berjamaaah dengan suaminya. Di akhiri dengan doa sebagai penutup, Kamila melipat mukena dan kembali menaruhnya di atas nakas. Ia berjalan ke dekat jendela dan menyibak gorden kamarnya. Saat buka pintu jendela suasana masih gelap. Di langit timur nampak semburat warna jingga menebar dari balik bukit nan jauh di sana. Membuat Kamila tersenyum lalu menatap suaminya yang masih bertilawah. "Kami