Ameera, seolah menikmati ketegangan yang ditimbulkan, merogoh tasnya dan mengeluarkan kartu nama, lalu menyodorkannya kepada Janeetha. “Kalau kau ingin bicara atau sekadar butuh teman yang netral, jangan ragu untuk menghubungiku.” Senyumnya menggoda, membuat Janeetha merasa tak nyaman, tetapi ia tetap menerima kartu itu. Namun, Dikara dengan cepat mengulurkan tangan dan meraih kartu tersebut sebelum sempat Janeetha menyimpannya. Tatapannya tajam, nyaris mengintimidasi, saat ia menyimpan kartu itu di sakunya sendiri, tak memberi kesempatan pada Janeetha untuk memprotes. Janeetha mendengus kecil, merasa dikendalikan lagi, sementara Ameera hanya tertawa pelan melihat reaksi Dikara. “Baiklah, baiklah,” kata Ameera akhirnya, mengangkat kedua tangannya seolah menyerah. “Aku pamit dulu. Oh, dan Dikara, jangan lupa tentang hasil pemeriksaan itu. Penting, kau tahu?” Dikara hanya diam tanpa banyak ekspresi, memalingkan tatapannya dari Ameera dengan jelas menunjukkan rasa tak sabarnya. "Tung
Janeetha merasakan amarahnya memuncak. “Ya, terus saja bersikap seperti itu! Kau memang tak akan pernah bisa jadi suami atau ayah yang baik—” Sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, Dikara tiba-tiba mencengkeram tangannya dengan kuat, menghentikan kata-katanya. “Sudah! Cukup!” suara Dikara terdengar tajam, tegang, dan penuh amarah. Janeetha tertegun, rasa takut menyergapnya, tetapi ada sesuatu yang membuatnya tetap menatap Dikara. Ia menelan ludah, rasa takutnya membuncah, tetapi kini ada juga perasaan lain yang sulit ia jelaskan. Tangan Dikara masih mencekalnya erat, dan ia bisa merasakan denyut napas yang tajam dan teratur di antara mereka. Di balik kemarahannya, ada kilatan yang seakan-akan menunjukkan luka lama yang terpendam di mata Dikara. Dikara tak segera melepaskan genggamannya, tetapi perlahan kekuatannya melonggar, seolah ragu. Wajahnya masih menampi
Ameera terdiam sesaat, melihat ekspresi keras kepala di wajah Dikara. “Jika kau tidak mau menerima bantuan, maka aku hanya bisa berharap kau tidak menyesal suatu hari nanti,” ucap Ameera dengan suara rendah, mencoba memberikan peringatan terakhirnya.Kali ini Ameera benar-benar serius mengatakannya, begitu juga dengan ekspresinya.Namun, sebelum Ameera bisa melanjutkan, sebuah notifikasi muncul di ponsel Dikara.Suara yang familiar itu langsung menarik perhatiannya. Dikara melirik ponselnya, dan ekspresinya berubah tajam. “Dia bergerak lagi,” gumamnya dengan nada rendah, penuh kemarahan yang mendidih.Ameera tertegun. “Apa maksudmu… ‘bergerak lagi’?” tanyanya, mulai menyadari sesuatu yang tidak beres.Dikara mengangkat kepalanya, tersenyum tipis, tapi senyum itu lebih mirip seringai. “Aku memastikan dia tidak akan pernah bisa kabur tanpa sepengetahuanku. Aku tahu di mana dia berada, setiap saat.”Ameera menatapnya tak percaya. “D
Fabian tak segera melepaskan pelukannya, bahkan ketika Dikara melangkah mendekat, wajahnya semakin menunjukkan kemarahan yang tak tertahan. “Lepaskan dia,” ujar Dikara dengan suara rendah dan tegas, penuh ancaman yang mematikan. Janeetha tersentak, buru-buru menarik diri dari pelukan Fabian dan menatap Dikara dengan perasaan takut sekaligus marah. “Mas, dengarkan aku—” “Aku sudah cukup mendengarkan, Janeetha,” potong Dikara dingin, tatapannya masih terkunci pada Fabian. “Kau pergi diam-diam dan bertemu dengannya di belakangku. Dan kau pikir aku akan membiarkan ini begitu saja?” Fabian berdiri tegak di depan Janeetha, melindungi tubuh wanita itu dari Dikara. “Jangan salah paham, Tuan Dikara. Janeetha hanya ingin memberitahuku tentang pertemuan besok.” “Oh, jadi kau tahu?” Dikara menyeringai sinis, namun sorot matanya penuh ancaman. “Dan kau pikir aku akan membiarkan kalian berdua
Dikara tersenyum, tetapi senyuman itu tidak membawa ketenangan. “Kau tahu, Janeetha, aku sangat mengagumi dirimu. Tapi terkadang, kau membuatku ingin memberimu pelajaran—agar kau ingat bahwa aku tidak suka jika kau melawan.”Janeetha merasa jantungnya semakin cepat berdegup, ketakutan menyelimutinya. “Mas, aku tidak melawanmu… Aku hanya ingin…”“Cukup,” potong Dikara. “Tidak perlu beralasan. Aku akan memastikan kau tidak akan mengulanginya lagi!”Suara Dikara terdengar begitu tegas, penuh ancaman yang tersirat.Janeetha menelan ludah, merasakan hawa dingin yang semakin mencekam di dalam kamar.Dikara tetap menatapnya, wajahnya kini tampak datar, namun ada intensitas yang sulit dijelaskan.“Jadi, ini hukuman kecil dariku,” katanya sambil melepaskan cengkeraman di dagu Janeetha dan melangkah mundur.Dikara, yang diliputi amarah yang menggebu, tiba-tiba mengangkat Janeetha ke atas bahunya dengan mudah, seperti membawa baran
Dikara mengangkat wajahnya dari ponsel ketika Janeetha berjalan mendekat. Senyum yang menghiasi wajahnya tampak hangat, tetapiJaneetha merasa ada sesuatu yang mencekam di balik itu, sesuatu yang membuatnya ingin mundur."Ah, tepat waktu," katanya dengan nada ringan, berdiri dari sofa. "Ikut aku sebentar, ada sesuatu yang ingin kutunjukkan.""Ke mana?" tanya Janeetha pelan, perasaan gelisah menyelusup di benaknya. Namun, Dikara tidak menjawab, hanya melambaikan tangannya, menyuruhnya mengikutinya ke arah koridor.Janeetha ragu, sayangnya kakinya tetap melangkah, mengikuti Dikara yang tampak tenang. Mereka berjalan menyusuri koridor yang biasa, sampai tiba di ujung, di sebuah dinding polos tanpa pintu atau apa pun yang terlihat aneh.Dikara berhenti di sana, menekan bagian tertentu dari dinding itu, dan perlahan, dinding itu terbuka, mengungkapkan ruangan kecil yang tersembunyi."Kau… kau menyembunyikan ruangan di sini?" Janeetha bertanya, kebingungan.
Janeetha menempelkan wajahnya ke pintu, dengan suara yang nyaris tak terdengar, ia mengulang permohonannya, “Kumohon… Dikara… aku tidak sanggup di sini… kumohon…”Kegelapan di ruangan itu semakin menghimpit Janeetha, membuat napasnya makin berat dan tak beraturan. Ia meraba-raba sekeliling, tangan gemetar menyentuh dinding dingin tanpa menemukan apapun yang bisa menjadi jalan keluar. Tak ada celah, tak ada pegangan—hanya kesunyian yang menakutkan.“Dikara!” teriaknya, suaranya pecah dalam keputusasaan. “Dikara! Kumohon… keluarkan aku dari sini! Tolong!”Tapi tak ada jawaban, hanya gema lemah dari suaranya sendiri yang kembali padanya, seakan mengejek. Dia mendekatkan telinganya ke pintu, berharap mendengar apapun dari luar, suara langkah atau mungkin suara Dikara yang akan datang untuk membukanya.“Dikara… kumohon. Aku akan melakukan apa saja… aku akan menuruti semua yang kamu mau,” katanya, suaranya mulai gemetar. “Tolong… aku… aku tidak bisa di sini sen
Melihat itu, Maura tersentak kaget. "Kak!" Sambil berdiri di depan Maura yang masih tersandar dengan ketakutan, salah satu pria itu membungkuk sedikit, menatapnya dengan tajam. “Kalau kamu lapor ke polisi atau mencoba melawan, ingat ini baik-baik—kami tidak segan-segan menghabisi Fabian,” ancamnya, suaranya dingin dan mematikan. Maura menelan ludah, matanya penuh ketakutan saat melihat Fabian yang tergeletak tak berdaya. Ia hanya bisa terdiam, napasnya memburu, tidak berani mengucapkan sepatah kata pun. Kedua pria itu kemudian menyeret Fabian yang masih pingsan keluar dari apartemen, meninggalkan Maura yang hanya bisa terisak dalam ketakutan dan kepanikan. *** Fabian membuka matanya perlahan, merasakan kepalanya berdenyut dan sedikit pusing. Ia mengedarkan pandangannya, mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi sebelumnya, tetapi yang ia rasakan hanyalah kekosongan. Kegelapan menyelimuti sekitarnya, hanya ada cahaya samar dari lampu yang tergantung tinggi, menciptakan bayangan panj
Janeetha memandang ke luar jendela, menyaksikan lampu-lampu jalan yang berkelebat. “Aku hanya ingin jauh dari dia. Itu saja.”“Terkadang, menjauh saja tidak cukup,” kata Arman, nadanya serius. “Kau harus memastikan dia tidak bisa menemukanmu lagi. Itu artinya, kau juga harus menghilangkan apa pun yang bisa mengikatmu padanya.”Kata-kata itu membuat Janeetha terdiam. Ia tahu maksud Arman, tapi memutuskan semua itu tidaklah mudah. Ada terlalu banyak hal yang masih menahannya, meskipun ia tahu semua itu juga yang membuatnya terjebak.Mobil melambat saat memasuki sebuah gang kecil. Arman menghentikan kendaraan dan mematikan mesin. “Kita ganti mobil di sini,” ujarnya singkat.Janeetha menatapnya dengan cemas. “Kenapa? Apa ada sesuatu yang salah?”“Tidak,” jawab Arman sambil turun dari mobil. “Ini hanya langkah pengamanan. Fabian memastikan kita tidak meninggalkan jejak.”Janeetha turun dari mobil, memeluk tas kecilnya erat-erat. Di depan mereka, sebuah mobil lain sudah menunggu. Seorang wa
Rusli merasa seluruh tubuhnya membeku.Namun, sebelum ia bisa menjawab, Dikara melanjutkan, “Dengar, Rusli. Aku sudah cukup lama bekerja denganmu untuk tahu kapan kau mulai berbohong. Jika kau menyembunyikan apa pun dariku…”Pria itu sengaja berhenti sejenak, agar Rusli benar-benar memikirkan kembali tindakannya. “Aku sendiri yang akan memastikan bahwa kau menyesali keputusan ini.”“Tentu tidak, Tuan,” jawab Rusli cepat, mencoba menenangkan situasi. “Saya hanya mencoba melindungi kepentingan Anda.”“Kalau begitu, buktikan!” sahut Dikara dingin. “Kau punya waktu sampai tengah hari untuk membawa laporan tentang Fabian dan rekaman yang kuminta. Kalau tidak…” Dikara tidak melanjutkan kalimatnya, tetapi ancamannya jelas terasa.“Saya mengerti, Tuan,” balas Rusli dengan nada patuh.Sambungan telepon pun terputus, meninggalkan Rusli dalam diam. Ia memijat pelipisnya yang berdenyut, mencoba menenangkan pikirannya. Ia tahu Dikara semakin curiga, dan waktunya untuk membantu Janeetha semakin sed
Hingga akhirnya saat pintu itu terbuka, udara dingin dari luar langsung menyambutnya.Janeetha sempat terdiam sepersekian detik menikmati aroma udara kebebasan lalu bergegas keluar melangkah keluar. Rasanya, dadanya ingin meledak saat kakinya melewati pintu dan merasakan kebebasan kecil untuk pertama kalinya. Namun, ia tahu ini baru permulaan.Di kejauhan, sebuah mobil hitam dengan kaca gelap menunggunya. Sopirnya mengangguk cepat begitu melihat Janeetha.Saat kaca jendela bagian supir turun, pria itu berkata, “Cepat masuk!”Tanpa ragu, Janeetha mempercepat langkahnya dan bergegas masuk ke dalam mobil, menutup pintu di belakangnya.Mobil pun mulai bergerak. Janeetha menatap keluar jendela, menyaksikan hotel itu menjauh.Rasa haru dan bahagia begitu membuncah menyesakkan dadanya hingga akhirnya air mata merebak di pelupuk mata wanita itu. Ia bahkan harus menutup mulutnya dengan tangan agar isakannya tidak keluar.Supi
Pagi hari di hotel itu tenang.Namun, bagi Janeetha, setiap langkah yang ia ambil terasa seperti berjalan di seutas tali yang berada di atas lautan api.Semalam, ia tak dapat memejamkan matanya dengan tenang karena terlalu bersemangat sekaligus khawatir.Tak ingin membuang waktu, Janeetha bergegas keluar dari kamarnya dan turun. Ia mengenakan gaun ringan berwarna pastel, dengan tas kecil yang tersampir di pundaknya.Penampilannya memang terlihat santai, tetapi hatinya tidak tenang.Suara langkah kakinya yang beradu dengan lantai marmer di lorong menggema, mengiringi jantungnya yang berdetak cukup kencang.Di dalam lift menuju spa, Janeetha mengatur napasnya, mencoba menenangkan debaran di dada. Ia tahu bahwa setiap detik pagi ini penting, dan ia harus memanfaatkan kesempatan yang ada.Ketika pintu lift terbuka, aroma terapi lavender langsung menyambutJaneetha. Musik lembut mengalun di latar belakang, memberikan ilusi ketenangan yang
Dikara duduk di kursi besar di ruang kerja hotelnya. Pria itu sedang membaca laporan yang dikirim oleh beberapa orang suruhannya yang mengikuti Janeetha.Mata hitamnya menelusuri setiap detail dalam laporan itu, mencoba menemukan sesuatu yang luput dari perhatian. Sejauh ini, tidak ada gerakan mencurigakan dari Janeetha. Ia tetap berada di hotel, berjalan-jalan di area sekitar tanpa menunjukkan tanda-tanda ingin kabur.Namun, rasa lega yang seharusnya muncul malah tenggelam dalam pusaran rasa tidak puas yang semakin dalam.Dikara meletakkan ponselnya ke atas meja dengan gerakan kasar, suara benda itu menyentak keheningan ruangan. Ia menyandarkan punggung ke kursi, tetapi bukannya merasa nyaman, tubuhnya terasa semakin tegang.Tatapannya kosong, terpaku pada sesuatu yang tak terlihat di depan sana. Pikirannya berputar begitu cepat, seperti mesin yang tak pernah berhenti bekerja, hingga dada terasa sesak.“Kenapa rasanya semua ini masih salah?” gumamnya pelan, hampir seperti bisikan kep
BAB 108 - "Langkah di Bawah Bayang-Bayang"Dingin malam menyentuh kulit Janeetha saat ia turun dari taksi. Matanya mengamati hotel mewah yang menjulang di hadapannya—tempat yang telah dipesankan Rusli untuknya.Pilihannya tampak disengaja, hotel ini memiliki keamanan tinggi, membuat siapa pun sulit bertindak ceroboh. Namun, Janeetha tahu, di balik kenyamanan ini, Dikara tetap menebarkan bayang-bayangnya.Janeetha melangkah masuk ke lobi hotel dengan langkah percaya diri, meski hatinya dipenuhi ketegangan. Aroma wangi kayu cendana memenuhi udara, bercampur dengan keheningan khas hotel bintang lima. Seorang resepsionis wanita menyambutnya dengan senyum hangat.“Selamat malam, Nyonya. Apa yang bisa kami bantu?”Janeetha menyerahkan dokumen yang telah diberikan Rusli kepadanya. “Saya ingin check-in. Nama saya sudah terdaftar di bawah reservasi.”“Baik, Nyonya. Sebentar ya,” jawab resepsionis dengan sopan, mengetik cepat di komputer.Janeetha mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencoba
Malam semakin larut, tetapi Dikara tetap terjaga. Ia duduk dalam kegelapan kamar hotelnya, hanya diterangi oleh lampu-lampu kota yang redup dari balik jendela besar yang tirainya sengaja ia biarkan terbuka. Tatapannya kosong, mengarah ke panorama malam yang tak memberikan ketenangan apa pun pada pikirannya.Segelas whiskey di tangan Dikara kini tinggal separuh. Ia menyesapnya perlahan, merasakan panasnya mengalir di tenggorokan, tetapi itu tak cukup untuk mengusir rasa gelisah yang terus membakar pikirannya.Pikirannya tertuju pada Janeetha. Ia tahu, saat ini wanita itu masih berada di atas pesawat, menuju Ardenton dalam penerbangan panjang yang melelahkan."Dia pasti merasa bosan sendirian di pesawat," gumam Dikara pelan. Sebuah senyum tipis menghiasi wajahnya, tetapi senyum itu segera pudar, tergantikan oleh ekspresi masam."Astaga, aku bertingkah seperti orang bodoh," desisnya sambil mendecak keras. Ia memalingkan wajahnya ke arah meja kecil di dekat tempat tidurnya, di mana ponseln
Dikara duduk di kursi kulit hitam yang mewah di sudut suite hotelnya. Pemandangan kota yang gemerlap terbentang di balik dinding kaca, tetapi pikirannya berada di tempat lain. Jemarinya menggenggam ponsel dengan erat, membaca ulang pesan singkat yang baru saja diterimanya.[Pesawat Nyonya sudah take off, Tuan.]Pria itu mengetukkan jarinya ke meja dengan ritme pelan namun teratur, sebuah kebiasaan yang muncul setiap kali pikirannya terganggu.“Kenapa rasanya ada yang salah?” gumamnya pelan.Dikara mencoba membuang pikiran itu dengan meminum kopi hitam di depannya. Rasanya pahit, seperti perasaannya saat ini.Ia sudah memastikan semuanya terkendali—menempatkan orang-orangnya di dekat Janeetha, memastikan keberadaannya diketahui setiap saat, bahkan menyiapkan rencana cadangan.Namun, tetap saja, hati pria itu terasa gelisah.Pikirannya mulai berputar. Bagaimana jika Janeetha benar-benar mencoba melarikan diri darinya? Bagaimana jika...“Tidak,” gumamnya lagi, lebih keras kali ini, seaka
Perjalanan menuju bandara terasa begitu panjang bagi Janeetha, meskipun jam di dashboard mobil menunjukkan waktu terus bergulir. Jalanan sore itu cukup lengang, tetapi di dalam kendaraan, suasana penuh dengan ketegangan yang tak terlihat.Janeetha duduk di kursi belakang, kedua tangannya menggenggam erat tas kecil di pangkuannya. Matanya melirik keluar jendela, tetapi pikirannya melayang jauh.Rusli yang berada di belakang kemudi mengamati gerak gerik Janeetha beberapa kali melalui kaca spion tengah. Pria itu pun berusaha memecah keheningan.“Nyonya, tenang saja. Saya sudah memastikan rencana ini berjalan dengan baik,” ucapnya, penuh keyakinan.Janeetha mengangguk kecil, tetapi dirinya tetap merasa tegang. Ia tahu Rusli sedang berusaha menenangkannya, tetapi kata-kata pria itu hanya sedikit mengurangi kecemasan yang melingkupi dirinya.“Tapi,” lanjut Rusli, “Akan ada beberapa orang suruhan Tuan Dikara yang ikut dalam penerbangan Anda. Mereka akan mengawasi setiap gerakan Anda di Arden